Rabu, 11 Oktober 2016 | teraSeni~
“Dance is in the air, it’s just in the air…”
Ujaran Annie Leobovitz, seorang fotografer legendaris Amerika di atas menjelaskan betapa sulitnya mengabadikan momen pertunjukan tari ke dalam karya fotografi. Tari adalah pertunjukan yang bersifat sesaat (ephemeral). Sekali dipergelarkan, tidak dapat lagi dihentikan, kemudian menghilang dalam sekejap tanpa bisa diulang kembali. Barangkali karena itulah pencatatan mengenai tari sangat sedikit, berbanding terbalik dengan banyaknya karya yang dipergelarkan.
![]() |
Suasana Pameran Imajinari di Pendhapa Art Space, Yogyakarta |
Namun di Pendhapa Art Space, 24-30 September 2016 lalu berlangsung sebuah pameran fotografi pertunjukan, yang mencoba mengabadikan tari ke dalam karya fotografi, dengan tema yang cukup menarik, Imajinari. Sekilas mirip dengan kata imaginary dalam bahasa Inggris. Imajinari sendiri adalah permainan dua kata yang memiliki kemiripan bunyi (homophonic), imaji dan nari, yang dapat diartikan gambar atau foto yang menampilkan visual kegiatan menari.
Pameran menampilkan sejumlah karya pilihan dari tiga fotografer Yogjakarta: Erick Ardianto Wibowo, Erwin Octavianto, dan Nanang Setiawan. Menurut kurator pameran yang juga dosen fotografi di Institut Seni Indonesia Surakarta, mas Setyo Bagus Wakito, ketiga fotografer dipertemukan karena memiliki kecintaan yang sama pada dunia fotografi dan seni pertunjukan. Dari karya-karya foto mereka, kita dapat melihat perjuangan fotografer dalam mengabadikan pertunjukan demi pertunjukan, mengakali pencahayaan dan menjadikannya sebuah keuntungan atau kekuatan yang memiliki nilai estetis.
Tentang Fotografi Pertunjukan
Tanpa bermaksud mendefinisikan apa itu fotografi pertunjukan, ada baiknya berbagi sedikit informasi dari sesi diskusi (27/09/16) sebagai bagian dari pameran Imajinari yang menghadirkan ketiga fotografer plus kurator yang malam itu bertindak sebagai moderator. Fotografi atau photography berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu photos (cahaya) dan grafo (melukis), yang kemudian diartikan sebagai seni melukis dengan menggunakan media cahaya. Fotografi pertunjukan merupakan genre baru dalam dunia fotografi, yang jelas berbeda dari fotografi pada umumnya karena pertunjukan sebenarnya tidak dirancang untuk pemotretan, tetapi sebagai tontonan (spectacle).
![]() |
Salah Satu tangkapan Kamera Atas Pertunjukan Tari |
Pada awalnya fotografi hanya dipakai untuk kebutuhan dokumentasi atau peliputan untuk kebutuhan pemberitaan. Namun dalam perkembangannya, fotografi pertunjukan muncul sebagai sebuah passion baru yang hanya dimiliki oleh segelintir fotografer yang tidak saja memiliki kecintaan terhadap seni fotografi tetapi juga memiliki apresiasi yang bagus terhadap pertunjukan. Karena itu seorang fotografer pertunjukan tidak saja dituntut memiliki kemampuan teknis yang mumpuni, tetapi juga memiliki kepekaan, kesabaran, dan jam terbang yang tinggi dalam mengamati pertunjukan. Jejak rekam itulah yang tergambar dalam gelaran karya-karya ketiga fotografer yang mampu menghadirkan sisi lain dari pertunjukan tari yang memiliki daya pikat tersendiri.
Melukis Tari Dengan Cahaya
Pameran imajinari membawa kita melihat tari dengan cara yang berbeda. Ketiga fotografer mencoba melukis pertunjukan tari yang moving dengan menggunakan media cahaya ke dalam frame fotografi yang bersifat statis. Erwin Octavianto, fotografer yang juga dijuluki ‘sang maestro’ karena karya-karyanya yang menjadi referensi banyak koreografer, berusaha menangkap dinamisasi gerak tari ke dalam karya foto yang terasa hidup dengan menggunakan teknik slow action dan freeze (stop action). Eksperimen itu menghasilkan karya-karya foto yang seperti memiliki nyawa. Dalam salah satu karyanya, I wanna fly away…so high, tubuh-tubuh penari terlihat seperti berkejaran dalam kelebat bayangan, menciptakan imaji tubuh yang dinamis. Kita seperti dapat merasakan energi yang mengalir dari kelebatan tubuh-tubuh penari. Erwin juga mengkontraskan antara tubuh statis dan tubuh yang seakan bergerak sehingga ia berhasil menghadirkan esensi tari sebagai the art of moving.
Sedangkan Erick Ardianto, fotografer muda yang dikenal konsisten memotret seni tradisi, mengabadikan aspek lain dari pertunjukan tari, yakni detail riasan dan kostum penari tradisi sebagai elemen dekoratif pertunjukan yang langsung menarik perhatian. Dalam karya-karyanya, Erwin seperti ingin mengajak penikmat pameran untuk mengapresiasi betapa anggunnya penari klasik dengan kostum berwarna keemasan berpadu dengan rangkaian aksesoris berkilauan dan detail riasan yang menambah kesan keindahan dan kemewahan; atau harmonisasi warna dan desain kostum yang dipakai oleh penari tradisi. Erick juga berhasil menangkap momen-momen dramatik yang membuat penari-penari dalam karya fotonya seperti tengah bercerita tentang tarian yang dipertunjukkan.
Nanang Setiawan, sebaliknya memiliki ketertarikan khusus terhadap formasi-formasi unik pola lantai dan desain gerak, serta ekspresi simbolik dalam pertunjukan tari. Formasi tersebut terlihat dari garis-garis tubuh penari yang membentuk desain-desain tertentu baik vertikal ataupun horizontal yang memiliki makna simbolik. Kita dapat merasakan kesakralan sebuah prosesi ritual dari kejelian Nanang menangkap momen arak-arakan yang memperlihatkan tubuh-tubuh penari yang berjejeran lengkap dengan atribut upacara yang menyertai, atau formasi unik tubuh penari dengan gerak kaki dan tangan yang rampak membentuk pola simbolik tertentu.
Komentar Akhir
Pameran Imajinari menghadirkan tontonan baru dengan daya pukau yang tak kalah menarik dari pertunjukan tari yang sesungguhnya. Ketiga fotografer dengan perspektif yang berbeda, berhasil memindahkan tari dari realitas panggung ke dalam karya fotografi, tanpa kehilangan ruh dari pertunjukan tari itu sendiri. Karya-karya mereka berhasil mengabadikan serangkaian momen berharga dari pertunjukan tari yang luput dari pengamatan. Sebagai sebuah tren baru, pameran yang mengangkat tema yang cukup langka ini pantas diapresiasi. Masuknya fotografi ke dalam ranah seni pertunjukan merupakan perkembangan yang menggembirakan dalam perspektif keilmuan yang makin interdisiplin. Fotografi pertunjukan memperkaya apresiasi terhadap seni pertunjukan, khususnya dalam mengisi kelangkaan pencatatan tari yang tidak sepenuhnya dapat dijangkau oleh kalangan kritikus tari. Medium foto menjadi alternatif baru yang menjanjikan.
Meski demikian, pameran Imajinari, menyisakan banyak hal yang perlu dijelajahi lebih jauh lagi oleh kalangan fotografer pertunjukan. Fotografi pertunjukan dalam Imajinari masih terfokus pada pandangan klasik mengenai pertunjukan sebagai yang tergelar di front stage yang memang dikemas artistik, mulai dari pencahayaan dan tata panggung yang mendukung. Realitas di belakang panggung (back stage) sebetulnya juga bagian dari pertunjukan yang menarik diabadikan namun tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sementara itu, pertunjukan tari sendiri kini mulai ditarik dari panggung pertunjukan ke ruang-ruang publik yang site specific, seperti pertunjukan tari di tengah pasar, bangunan candi, museum, atau jalanan dengan realitas pertunjukan yang lebih kompleks lagi. Belum lagi pertunjukan ritual adat dan berbagai jenis permainan rakyat dalam bentuk tarian, teater, dan musik sebagai pertunjukan yang kurang mendapat apresiasi yang layak sebagaimana pertunjukan yang ditampilkan di gedung-gedung pertunjukan. Bahkan Pertunjukan seperti dikutip dari Richard Schechner memiliki spektrum yang sangat luas meliputi banyak hal dari seremonial, ritual, teater, permainan, olah raga, serta daily performance, yang tidak lagi memandang pertunjukan sebagai teks yang tergelar tetapi pertunjukan sebagai sebuah peristiwa yang melibatkan interaksi timbal balik diantara performer dan penonton yang partisipatif. Dengan demikian eksplorasi terhadap fotografi pertunjukan tentu akan jauh lebih menarik.
maaf, tapi saya dosen dari Institut Seni Indonesia Surakarta, bukan dari ISI Yogyakarta, mohon dapat menjadi koreksi. terimakasih
Sudah dikoreksi Mas Bagus. Terimakasih.