Pilih Laman

Minggu, 5 April 2020 | teraSeni.com~

“Fujimi Bashi…”, seorang perempuan berpakaian kasual memulai pembicaraan dengan menyebutkan nama sebuah jembatan yang cukup tenar di Jepang. Pun ia menyambungnya dengan menjelaskan arah sebuah daerah kepada seorang perempuan lainnya. Hal yang menarik, Ia merapal arahannya yang sama berulang kali. Tidak lama berselang, lawan bicaranya ikut merapal arahan tersebut tetapi terlambat per sekian detik. Hasilnya, rapalan dari dua orang tersebut saling berkejaran tetapi tidak terganggu satu sama lain. Alih-alih mengganggu, rapalan tersebut justru membentuk komposisi bunyi yang unik. Di saat yang bersamaan, terlihat cerobong asap hingga jam yang terus berputar.

Tidak dapat dipungkiri, kelompok seni muda selalu mempunyai cara yang unik dalam membuat karya. Kelompok teater muda asal Tokyo, Nuthmique adalah salah satunya. Di dalam karya yang bertajuk “The Town Thereafter”, Nuthmique menyoal kebiasaan (salah satunya rapalan berulang) dengan waktu yang terus berjalan (baca: kontinyuitas). Masashi Nukata—selaku sutradara dan penulis naskah—mempunyai cara yang unik dalam membalut gagasannya. Berlatar belakang musik, Nukata menggunakan metodologi musik minimalis modern untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari.

pemain, aktor dan aktris berdialog di salah satu sudut panggung
Foto diambil dari https://natalie.mu/stage/gallery/news/366359/1328603

Karya yang berlatar apartemen ini diperankan oleh empat orang muda, antara lain: Kazuki Kushio, Kana Sakato, Tsumugi Harada, dan Shiho Fukasawa. Berdurasi 80 menit, karya ini dipentaskan di ST Spot, Yokohama, Jepang. Karya yang dipentaskan delapan kali dalam lima hari jadwal tayang, jumat (7/2) hingga selasa (11/2) ini juga menjadi bagian dari gelaran TPAM Yokohama 2020, sebagai salah satu pertunjukan di TPAM Fringe. TPAM Fringe merupakan pertunjukan-pertunjukan yang berlangsung di saat yang bersamaan dengan TPAM, pada 9 hingga 16 Februari 2020. Alih-alih berkontestasi satu sama lain, TPAM justru mengajak seniman-seniman tersebut untuk mendaftarkan diri dan menjadi bagian dari gelaran mereka.

Lebih lanjut, TPAM Fringe menjadi ruang seniman Jepang dan sekitarnya untuk mendapatkan penonton serta jaringan yang lebih luas, yakni Internasional. Kendati mereka tidak menjadi deretan penampil di pertunjukan utama (TPAM Direction), melainkan hanya menjadi penampil di TPAM Fringe (pinggir), tetapi saya justru merasakan bahwa penampil mereka tidak kalah menarik dari para penampil utama di gelaran TPAM. Pasalnya Saya justru menyaksikan keberagaman cara ungkap dan kompleksitas gagasan ketika menyaksikan beberapa pertunjukan di TPAM Fringe. Satu di antaranya adalah “The Town Thereafter” karya Nuthmique, di mana mereka menguliti sesuatu yang mendalam dari hal kecil dan di sekeliling.

 

Dari Arah Mempertanyakan Marwah

Setelah melakukan registrasi, penonton masuk satu per satu pada sebuah lorong menuju panggung. Hal yang unik, terdapat instalasi susunan pintu tanpa daun pintu pada lorong tersebut. Semakin ke dalam tinggi pintu semakin rendah, sehingga penonton yang melewatinya harus menunduk untuk dapat masuk ke arena penonton. Sementara penonton berbelok untuk mengisi bangku penonton, susunan pintu itu juga tersusun hingga ke panggung. Sontak hal ini membuat saya berpikir, apakah pertunjukan sudah dimulai sejak memasuki lorong tersebut? Pikiran ini sontak terlintas, terlebih kelompok teater yang didirikan empat tahun silam ini dikenal selalu berangkat dari pertanyaan “apa itu pertunjukan?” dan kepercayaan untuk memperluas batas-batas seni pertunjukan. Atas dasar itulah instalasi ini tentu mempunyai maksud lain ketimbang hanya menjadi properti semata.

Setelah semua penonton memadati panggung pertunjukan, dua orang perempuan berpakaian kasual memasuki panggung dan saling bertegur sapa. Menjawab lawan bicaranya, salah seorang di antaranya mengatakan sebuah jembatan yang cukup dikenal masyarakat Jepang, “Fujimi Bashi”. Kemudian ia kembali menerangkan arah untuk pergi menuju jembatan tersebut. Oleh karena kecepatan ucap, arahan tersebut menjelma menjadi rapalan yang diucap berulang kali. Merespons arahan tersebut, lawan bicaranya turut merapal arahan tersebut dengan diucapkan terlambat per sekian detik. Tidak hanya mereka, seorang laki-laki yang memasuki panggung juga mengikuti rapalan tersebut. Pada awalnya saya merasa sangat terganggu, tetapi setelah rapalan ketiga, saya merasa bahwa rapalan tersebut tidak hanya membentuk susunan bunyi yang unik, tetapi juga dimaksudkan sebagai medium dalam menyingkap sesuatu.

dua orang aktris tampak sedang ingin berdialog
Foto diambil dari https://natalie.mu/stage/gallery/news/366359/1328603

Di adegan lainnya, seorang laki-laki mengajak seorang perempuannya berbicara. Laki-laki tersebut menanyakan kabar, pernikahan, dan beberapa pertanyaan seputar hidupnya, sedangkan perempuan tersebut menjawabnya dengan seadanya. Pada awalnya percakapan tersebut terdengar biasa-biasa saja. Namun percakapan tersebut kembali diulang-ulang. Alih-alih menyerupai rapalan laiknya adegan sebelumnya, percakapan yang dilakukan berulang-ulang tersebut diikuti dengan gradasi atas gestur tubuh, dari tegak ke respons tubuh yang sebaliknya, seperti:menggeliat, menjuntaikan tangan, menggerakkan kakinya, hingga mengayunkan badan. Raut wajahnya pun berubah dari wajah tegang ke wajah yang lebih santai. Bahkan gelak tawa pun menyertai perbincangan tersebut.

Lucunya, terlihat beberapa tanda spesifik, seperti: cerobong asap, hingga jam—yang terletak di sisi kanan panggung dari penonton—yang tampak bersamaan ketika adegan pernyataan arah atau pertanyaan kabar direpetisi. Tadinya saya mengira bahwa hal tersebut hanyalah properti yang nir-relasi dengan pertunjukan, ternyata tanda tersebut adalah benang merah dari pertunjukan, yakni waktu yang terus berjalan. Namun tanda tersebut tidak terlalu mencolok, sehingga tidak semua penonton menangkap tanda tersebut dengan utuh. Selain itu, percakapan atau gerak yang terus direpetisi tersebut terasa terlalu panjang dan minim variasi, dampaknya beberapa penonton di sekitar saya pulas tertidur. Untung saja pertunjukan ini dipentaskan dalam ruang yang tidak terlalu besar sehingga tercipta suasana intim, saya tidak membayangkan jika pertunjukan dipentaskan dalam ruang pertunjukan yang besar. Repot urusannya!

Sebenarnya saya tidak punya persoalan dengan metode musik modern minimalis yang digunakan Nukata—saya juga percaya bahwa musik minimalis mempunyai kaidah harmoni yang berbeda— tetapi sebagaimana Nukata menampilkan teater maka dramaturgi dari pertunjukan juga perlu ditautkan. Pasalnya adegan pertunjukan terasa disusun bergantian semata, tidak diberikan perhatian lebih pada antar dan inter adegan.

Tentu saya cukup menyayangkan, terlebih saya merasa bahwa gagasan kelompok Nuthmique dalam mengkritisi tradisi dari kebiasaan sehari-hari ini menarik. Ilustrasi hingga beberapa adegan telah memberikan sudut pandang yang berbeda akan wajah tradisi Jepang. Mulai dengan ilustrasi pintu yang memaksa kita harus menunduk; adegan rapalan repetitif akan arah FujimiBashi yang membuat kesan berulang; hingga adegan menanyakan kabar dengan diikuti sikap tegak hingga menggeliat yang merepresentasikan kebosanan.

Namun kita tidak dapat buru-buru mengatakan bahwa mereka mengkritisi tradisi dan ingin meninggalkannya. Saya justru melihat bahwa mereka mengkritisi tradisi atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat tanpa pemahaman yang utuh. Terlepas dari catatan atas pertunjukan mereka, apresiasi patut diberikan kepada kelompok teater muda ini. Bagi saya “The Town Thereafter” adalah suara millenial Jepang dalam menyikapi tradisi unggah-ungguh yang dilakukan berulang tanpa arah ataupun marwah.[]