Pilih Laman

Selasa, 03 April 2018 | teraSeni.com~

Paul Valery, seorang pelopor estetika modern – tulis ST.Sunardi (2012) dalam artikel “Re-edukasi Tubuh Lewat Tari” – pernah mengatakan; “Manusia adalah salah-satu binatang yang melihat dirinya hidup. Pengalaman melihat dirinya paling jelas ia temukan dalam gerak tubuh sekuensial yang terjadi dalam tari. Begitulah ia melihat tari sebagai seni paling menggairahkan. Dalam seni tari, orang bisa belajar banyak hal tentang fenomena hidup itu sendiri”.
Paul sendiri – masih kata ST.Sunardi, bukanlah seorang penari. Ia lebih dekat dengan dunia sastra, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada tari. Demikian juga saya, yang tidak bisa menari, tahu sastra hanya sedikit, dan tak pandai menahan kekaguman pada dunia tari. Berbekal pengetahuan yang sedikit itulah saya kemudian tertarik melakukan intertekstualitas. Apalagi ketika mengalami sebuah momen yang jarang saya alami: menjadi penonton tunggal dalam pagelaran yang tidak biasa. Sebuah pengalaman – atau kesempatan, bila boleh dikata demikian, yang tentu saja tidak saya lewatkan begitu saja. Paling tidak dengan mencatatnya, saya bisa mengamankan pengalaman itu dari erosi waktu: ingatan.
Isi dari sebagian catatan itu – yang kemudian tampak dalam tulisan ini, sebenarnya adalah sebuah upaya untuk menangkap momen pertunjukan di balik pertunjukan. Suatu proses, di mana perhatian kritikus seni pertunjukan biasanya tertuju pada titik kulminasi sebuah pagelaran dalam tata artistik panggung yang sempurna belaka. Alih-alih menandai dan menakar titik kulminasi itu, saya lebih tertarik untuk menulis momen proses yang membutuhkan konsistensi dan disiplin luar biasa dari para pelaku kesenian itu, tanpa sama sekali mengurangi estetika pertunjukan sebagaimana ketika mereka tengah mementaskannya. 
bedhaya:teraseni.com
penari mengikuti bunyi musik dari dalam diri
Foto: Rio Belvage
Bermula dari suatu hari ketika saya dihubungi oleh kawan lama untuk main ke tempatnya. “Si Thenk” – demikian ia dikenal. Seorang seniman yang sejak tahun 98 hingga kini telah puluhan kali menjadi artis dan sutradara seni pertunjukan. Ia tinggal di Yogyakarta, dan beberapa tahun belakangan sempat menghilang dari hiruk-pikuk seni pertunjukan. Kebetulan dulu saya pernah mengulas pagelaran teater yang disutradarainya, yang kemudian diterbitkan dalam jurnal Kajian Seni di Program Pengkajian Seni Pertunjukan UGM. Dan pada malam kali itu, setelah lama tak berjumpa, tiba-tiba saya sudah menjadi penonton tunggal dari ide liarnya yang lain. 
Usut punya usut, rupanya ia sedang mengagendakan sesuatu. Sebuah seni pertunjukan yang sebenarnya beberapa kali telah dipentaskan. Nama pertunjukan itu adalah Tari “Bedhaya Banyu neng Segara” – yang dalam terjemahan bahasa Indonesia kurang lebih dapat diartikan sebagai “Tarian Air di Lautan”. Sebuah tarian yang mulanya terbilang sakral, ia didesakralisasi dengan membuat Bedhaya versi sendiri, dan menampilkannya di ruang-ruang publik, seperti di trotoar di pinggir jalan, di warung kopi, bahkan institusi pendidikan sekolah dasar pun juga tak luput dari kunjungan pementasannya. 
Pesan simboliknya bagi saya jelas sekali, dalam konteks sosiologi ruang bernama Yogyakarta, pada saat dimana-mana kesenian tradisi telah umum dikapitalisasi dan dikemas menjadi momen-momen pertunjukan eksklusif, maka dengan ide liar Si Thenk dan kepiawaian penarinya, estetika seni tradisi itu kemudian dapat diakses dan menyambangi banyak orang. Tentu ini konsep yang menarik, yang berbeda dengan pola umum yang berlaku dalam dunia seni pertunjukan, di mana biasanya penontonlah yang akan mengunjungi pertunjukan dan bukan sebaliknya. Oleh sebab itu jika diterjemahkan, tidak berlebihan kiranya menyebut kerja kesenian semacam ini sebagai usaha mengembalikan identitas Jogja sebagai “Kota Budaya” pada makna definitifnya. 
bedhaya:teraseni.com
terasa sekali suasana hening dari ekspresi penari
Foto: Rio Belvage
Walaupun tidak tahu banyak mengenai dunia tari selain unsur semiologisnya, namun malam itu saya merasa beruntung bisa menikmati pertunjukan itu. Bagi saya ini adalah sebuah pagelaran yang memukau. Terlebih ketika mereka sedang unjuk kebolehan menari, keheningan hadir dalam arti yang literal, yakni suatu pagelaran dengan iringan suara jangkrik dan serangga lain yang saling mengisi, di mana momen itu justru menyuguhkan daya tarik tersendiri bagi lelaki yang secara tak terduga tengah berada di sarang penari. Sesekali nuansa mistik hinggap lalu hilang, menyisakan jejaknya pada gerak tubuh penari yang gemulai membius menghanyutkan, di mana mau tak mau membawa saya sepersekian detik memasuki alam dongeng Ahmad Tohari tentang Srinthil dalam “Ronggeng Dukuh Paruk”: “Di halaman rumah.., tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa nyanyi atau tarian erotik.., semua orang tahu permainan kali ini bukan pentas.., biasa (Tohari, 2011:45)”. 
Akan tetapi tentu saja pagelaran pada malam itu berbeda dengan gaya Ronggeng saat menari. Sebab dalam catatan sejarah geopolitik kesenian Jawa abad 19 dan 20, Ronggeng, Tayub, lebih hidup dan dihidupi oleh lingkungan masyarakat yang bermukim di luar Vorstenlanden, di luar jangkauan kekuasaan negaragung atau adat-istiadat keraton, yang selanjutnya hal tersebut sedikit banyak memberi pengaruh pada gaya kinetik tubuh, membuat tarian menjadi lebih “merdeka”, cenderung blak-blakan, erotik, dan tanpa sungkan-sungkan misalnya, nyawer selembar uang dengan menyelipkan ke sela gunungan dada si penari. Sementara di lingkungan Vorstenlanden, pemandangan yang dijumpai cenderung sebaliknya. Tarian mengikuti pakem yang halus. 
Ritme gerakannya lamban, mengikuti alunan gamelan yang mendayu – hingga hal itu menarik minat sastrawan yang lahir di wilayah Jawa bagian utara, di luar Vorstenlanden, Pramoedya Ananta Toer, untuk ikut nimbrung dengan gaya sarkastiknya. Di dalam karyanya yang berjudul “Bumi Manusia”, Pram melihat kedudukan gamelan di lingkungan elit feodal Jawa berelasi dengan watak sesungguhnya dari orang Jawa: “Gamelan itu sendiri lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias – merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menerjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran..” – bersifat eksklusif, dan kerap dianggap sebagai citra dari seni “Adiluhung”. 
Kemapanan citra Adiluhung itulah yang digebrak oleh pagelaran di mana saya bak mendapat karcis VVIP gratis sebagai penonton tunggal pada malam itu. Tanpa kehadiran pengrawit dan irama gamelan yang disindir Pram, keheningan menyublim menjadi alunan musik tersendiri yang memenuhi ruang tempat penari berunjuk kebolehan. Dengan lampu sanggar yang padam sebelah karena kabelnya rusak sehingga membuat sebagian ruang terang dan yang lain temaram, sama sekali tidak mengurangi penghayatan penari dalam menggerakkan tubuhnya. Di bawah komando kolektif yang tak kasatmata bernama “rasa”, tatapan mata dan air muka mereka berada pada satu titik fokus yang seirama dengan gerakan tubuhnya. Seolah mereka sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran saya. Sembari sesekali koreografer berjalan di sela para penari membenarkan gestur tubuh, tak henti-hentinya pagelaran beberapa menit itu menebar aura magnetik (yang bila saja si penari mau usil sedikit dengan melempar tatapan pada lawan jenis dalam tarian semacam itu, tak ada jaminan yang dipandang tak bakal kelabakan panas-dingin susah tidur tiga harmal). 
Itulah yang saya jumpai saat memenuhi undangan kawan lama, main ke Padepokan SangArt. Sebuah latihan yang rupanya rutin dilakukan dan lokasinya tak jauh dari Kali Gajahwong – di mana masih dalam geografi ruang yang sama, yakni di tepi sungai itu, enam belas tahun silam ST.Sunardi juga pernah menulis proses kreatif pelukis Affandi berjudul “Suara Sang Kala di Tepi Gajahwong”. Saya membayangkan, mungkin inilah transformasi “Suara Sang Kala di Tepi Gajahwong” itu. Dulu lukisan, kini tarian.