Rabu, 8 mei 2019 | teraSeni.com~
Semarang—Aroma khas kambing menyeruak memenuhi udara. Dari ujung gang, sampai jalan- jalan sempit, memperlihatkan aktifitas warga kampung bustaman—atau dikenal juga kampung penjagal kambing—yang guyup. Sebagian dari mereka, adalah pedagang sekaligus pembeli. Tetangga sekaligus keluarga. Sebuah jalinan yang jarang ditemui di kampung- kampung tengah kota, terutama di tengah arus modernisasi saat ini.
Tengok Bustaman IV merupakan kelanjutan dari agenda dua tahunan Tengok Bustaman I sampai III sejak tahun 2013. Ada banyak karya seni peninggalan yang masih terjaga, dan atau dimodifikasi oleh warga kampung di sana- sini. Mural di dinding- dinding kampung, Wayang Gaga yang tergantung, hingga komik strip yang mampu mengundang penasaran hingga gelak tawa pengunjung.
Secara lugas, Tengok Bustaman IV merupakan hasil dari kerja keras kolektif komunitas Hysteria dan warga kampung. Dengan menjunjung frasa Bustaman Untuk Dunia, mereka mencoba menerjemahkan ulang kontribusi figur Kai Bustam beserta keturunannya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi hidup dan kehidupan Kampung Bustaman, bahkan Kota Semarang. Dalam hal ini, direspon dengan pendayagunaan kembali bekas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dalam wujud galeri seni.
![]() |
Arak-arakan bustaman, saat keliling kampung Foto: Dokumentasi Penyelenggara |
Menjelang senja, anak- anak sudah merias diri dengan berbagai macam pakaian adat lengkap dengan segala tetek bengeknya untuk mengikuti ritual pengarakan Bustaman. Yakni, ritual arak- arakan pengantin sunat keliling kampung. Sebenarnya, pembukaan galeri oleh Ayah Hari—figur kampung yang dituakan—akan dilakukan pada tanggal 21 April 2019 malam, sepaket dengan street perfomers art yang melibatkan dengan beberapa seniman dan urbanis. Tetapi, mengawalinya dengan arak- arakan di sore hari sebagai rambu- rambu pengingat acara, barangkali bisa menambah daya tarik pengunjung lebih dini.
“Karena momentumnya pas. Yaitu bertepatan dengan peringatan hari kartini, akan lebih baik jika kita juga merayakannya sekaligus menghibur adik- adik yang baru saja disunat,” ungkap Ayah Hari dengan wajah berseri- seri, saat ditemui ditengah- tengah ritual arak- arakan pada Minggu (21/04) kemarin.
Ketika salah seorang warga kampung membakar petasan, maka prosesi arak-arakan pun dimulai. Mereka melakukan pawai keliling kampung, dengan menyenandungkan sholawat nabi yang diiringi oleh grup rebana dan terbangan.
Tengok Bustaman IV kemudian menjadi respons isu-isu kampung kota dalam bentuk artistik dengan menggandeng banyak seniman dan para urbanis. Sebagai usahanya, seniman- seniman yang terlibat akan mengangkat dan memberdayakan bekas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai ruang publik yang sudah lama ditinggalkan dan diabaikan. Pemberdayaan dan pemanfaatan ini berupa pembuatan galeri seni yang artistik dan estetik sekaligus interaktif bagi partisipasi publik serta ikonik sebagai sebuah ruang yang dapat mengakomodasi ekpresi publik.
![]() |
Rumah Pemotongan Hewan yang sudah tak terpakai yang disulap menjadi galeri seni bustaman, tampak dari depan Foto: Dokumnetasi Penyelenggara |
Agenda ini melibatkan sekurang- kurangnya sepuluh seniman (baik grup maupun individu), band, serta muralis warga dengan didukung pula street perfomer artis yang merespon selasar jalan depan RPH sebagai sebuah panggung ekspresi. Seniman yang terlibat diantaranya; Deny Denso, Hasrul (jakarta), Kolase Semauku, Five Miles Stereo. Arsita Iswardhani (Teater Garasi- Yogyakarta), Pop Corn (Surabaya), Resto Samkru, Gracia Tobing (Bandung), Propagandasmu (Magelang), Rizka Ainur R, Gump n Hell, Tesla Manaf (Bandung), Sore Tenggelam, Ok Karaouke, serta Tridhatu. Mereka telah mempersiapkan diri selama satu minggu dibawah arahan Iqbal Al Ghofani selaku kurator, dan Syaifudin Iqbal selaku ketua panitia.
“Sebagian seniman yang merespon memang belum mengenal secara dalam historis dan latar belakang kampung Bustaman dengan keterkaitannya pada Kai Bustaman. Sehingga sebagian mereka memang perlu datang dan berinteraksi secara langsung, melakukan riset, hingga meski membaca sejarah untuk akhirnya membuat sebuah karya seni yang bernilai artistik, informatif yang dapat mengakomodasi ekpresi publik,” ungkap Adyn Hysteria, selaku direktur Komunitas Kolektif Hysteria yang dalam hal ini sebagai pihak ketiga dalam penyelanggaraan festival.
![]() |
Seorang anak tengah memperhatikan komik strip, salah satu karya dalam galeri Bustaman Foto: Dokumentasi Penyelenggara |
Bustaman Untuk Dunia dijadikan sebagai tema besar bukan terjerembab segala sebab. Hal ini pertama kali dinyatakan oleh Ayah Hari jauh sebelum ini sebagai sebuah ulasan kampung yang serba terbatas namun berusaha memberikan kontribusi untuk dunia. “Kampung Bustaman itu kampungnya kecil. Rumah-rumahnya berdempetan. Banyak gang-gang kecil. Tapi kami ini istimewa. Dan justru dengan segala keterbatasan itulah kami berusaha untuk tetap menjaga budaya, menjaga hal- hal yang diwariskan dari leluhur kami. Yakni Kai Bustam,” Terang Ayah Hari. Pandangannya jauh, seakan menyimpan sesuatu pada kampung yang ia banggakan.
Bekas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang direspon sebagai Galeri Seni sekaligus partisipasi publik menjadi ikonik dan pembeda dalam Tengok Bustaman kali ini. “Pada awalnya, gedung ini memang digunakan sebagai pemotongan hewan secara komunal, sebelum akhirnya warga memilih untuk melakukan pemotongan kambing di rumah pribadi. Pada Awal tahun 2016- 2017 itu memang sudah tidak berfungsi, dan atas kesepakatan warga, lahan ini dijadikan lahan parkiran. Kemudian atas usul mas Adin dan kesepakatan warga lagi, akhirnya bekas RPH ini dijadikan galeri Bustaman,” tutur Ifkar Izani, salah satu aktivis pemuda kampung Bustaman. Ia mengaku senang dengan gagasan ini.
Selain sebagai refleksi diri siapa itu Kai Bustman, agenda ini juga bisa menjadi kabanggaan dan alasan untuk tetap kumpul antar remaja.
![]() |
Beberapa karya seni yang dipamerkan di galeri bustama Foto: Dokumentasi Penyelenggara |
Adin Hysteria, mengundang para seniman lokal semarang dan luar kota untuk merespon dalam bentuk karya seni sebagai ruang publik. Sehingga muncul nama-nama seperti; Deny Denso (Semarang), Hasrul (jakarta), Kolase Semauku (semarang), Five Miles Stereo (Semarang), serta Pop Corn (Shalihah Ramadhanita-Surabaya). Mereka menampilkan garapan dengan gayanya masing- masing. Memadukan sejarah Kampung Bustaman, partisipasi aktif Kai Bustam, serta perspektif tiap seniman. Menggabungkan keterampilan konvensional dan teknologi modern menjadikan karya yang dipajang kian variatif.
Karya mereka mempresentasikan keagungan dibalik sosok Kai Bustam. Dengan membawa dan mempertanyakan kembali, banyak nilai yang melekat pada objek yang bisa menjadi titik temu warga bustaman dengan leluhurnya. Siapa itu Kai Bustam? Apa Jasanya? bagaimana sikap yang kita ambil sebagai penerusnya? tidak hanya menjadi “sakral”, tetapi kepentingan melekat pada penikmat dan pada akhirnya pada penciptanya. Mereka banyak menemukan fakta- fakta menarik dari figur Kai Bustam.
“Banyak hal yang menginspirasi kami untuk belajar sebagai seniman dan aktivis kebudayaan,” tungkasnya. Galeri Bustaman, kemudian rencananya akan terus dibuka sebagai ruang publik dalam kurun waktu yang belum bisa ditentukan.