Rabu, 28 September 2016 | teraSeni~
Dalam bentuk siluet, terlihat sesosok tubuh laki-laki berjalan pelan menuju sudut kanan panggung. Bias lampu dari arah sudut, memperlihatkan tubuh laki-laki tadi yang tampak berotot dan ramping. Beberapa saat ia melakukan gerakan pemanasan sambil melepas jaket dan baju kaos yang semula dikenakan, menyisakan tubuh setengah telanjang memakai celana panjang hitam berpotongan longgar. laki-laki itu kemudian berjalan ke arah tengah panggung dan berhenti persis di tengah sebuah formasi lingkaran tiga lapis. Sorot lampu berwarna kemerahan dari atas panggung memperlihatkan lingkaran dengan tiga gradasi warna yang berbeda: merah, hitam, dan kuning berpadu dengan tubuh tunggal penari yang menjadi fokus perhatian.
Di tengah lingkaran, laki-laki tadi bertansformasi menjadi sosok yang feminim dengan liukan tangan dan tubuh yang bergerak lembut dan pelan, namun di saat lain tubuh itu berubah maskulin, bergerak dengan tajam dan menusuk. Suasana ritual mulai terasa ketika laki-laki itu menggeliat di tengah lingkaran simbolik. Ia larut dalam gerakan meditatif yang terasa khusuk namun tiba-tiba berubah keras. Tubuh tunggal itu seperti membelah menjadi dua karakter berbeda yang saling bertukar peran. Sambil terus mengayun ritmis diiringi suara-suara yang terdengar menyayat, tubuh itu menebar aura magis dengan cara yang tidak biasa.
Penggalan di atas diambil dari pertunjukan tari Meniti Jejak Tubuh, karya Sherli Novalinda yang ditampilkan pada gelaran World Dance Day (WDD) ke-10 (28-29/4/2016) lalu, di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang mengangkat tema, “Menyemai Rasa, Semesta Raga.” Perhelatan tari terbesar di Indonesia yang digelar setiap tahun tersebut, menjadi ajang tampilnya ratusan koreografer dengan karya-karya yang sangat variatif. Meniti Jejak Tubuh karya Sherli yang juga seorang dosen di ISI Padangpanjang, meninggalkan imaji yang kuat mengenai tubuh penari tunggal (Kurniadi Ilham) dan kesederhanaan artistik panggung yang ikonik. Meniti Jejak Tubuh digarap secara minimalis tanpa menggunakan banyak unsur dekoratif. Pilihan yang berhasil menciptakan tontonan yang berpusat pada tubuh.
![]() |
Salah Satu Adegan dalam Tari berjudul Meniti Jejak Tubuh, karya Sherli Novalinda |
Ritus Tubuh
Seperti tahapan ritual, koreografi Meniti Jejak Tubuh terdiri dari tiga bagian: awal, tengah, dan akhir. Bagian awal dimulai saat penari membawa tubuh sehari-harinya ke atas panggung; masuknya penari ke dalam lingkaran simbolik, menandai transformasi tubuh menjadi tubuh ritual; dan pertunjukan ditutup dengan kembalinya penari ke tubuh sehari-hari. Lingkaran simbolik merupakan batas ambang yang memisahkan penari dari tubuh keseharian, ia masuk ke tahap ritual yang mengubah tubuhnya menjadi tubuh yang lain, tubuh pertunjukan (performing body) yang bertutur mengenai sejarah ketubuhannya.
Sebagaimana diungkap oleh koreografer, Meniti Jejak Tubuh bicara tentang bagaimana mengejawantahkan spirit memori tubuh dan gerak tradisi ke tubuh kontemporer. Sebuah refleksi dari perjalanan koreografer dalam Meniti Jejak Tubuh-nya yang ditansformasikan kepada tubuh yang lain dengan latar budaya dan jender yang juga berbeda. Sebuah eksperimentasi yang menarik sekaligus menantang. Menarik karena narasi tersebut menceritakan pengalaman koreografer yang mewarisi tradisi tari dan budaya masyarakat Kerinci tetapi kemudian hidup di tengah masyarakat Minangkabau.
Pengalaman bolak-balik di antara budaya Kerinci dan Minangkabau, bagaimanapun telah membentuk sejarah ketubuhan yang tidak lurus tetapi dinamis dan melingkar. Sebuah perpaduan yang dengan apik disimbolkan lewat formasi lingkaran sebagai penanda yang terdiri dari warna-warna adat dari kedua tradisi. Simbol yang kemudian menuntun tubuh penari bergerak bolak-balik di antara keduanya, antara tubuh melayu Kerinci yang mengayun dan tubuh Minang yang atraktif dengan pencak silatnya. Pilihan terhadap Kurniadi Ilham sebagai penari menjadi eksperimentasi yang menarik. Ilham adalah penari handal yang berasal dari Minangkabau namun memiliki kepekaan menarikan tradisi di luar tradisi pencak silat yang ia warisi.
Di lain pihak, eksperimentasi yang dilakukan koreografer dengan meminjam tubuh orang lain dengan latar belakang tradisi dan gender yang berbeda, tentu bukan perkara yang mudah. Baik koreografer maupun penari, dihadapkan kepada tantangan yang berbeda. Koreografer mestilah piawai dalam mentranformasikan memori tubuhnya ke tubuh penari yang berasal dari tradisi yang berbeda dan jender yang juga berbeda. Dalam konteks ini, penari dituntut memiliki kecerdasan dan kepekaan dalam menyerap tradisi yang berbeda dari apa yang ia alami. Dalam hal ini, eksperimen tersebut terbilang berhasil karena Ilham sebagai performer dapat menuturkan sejarah tersebut dengan baik dan mengesankan. Ia mampu bertransformasi dan menciptakan sebuah tubuh baru, tubuh in-between.
![]() |
Salah Satu Adegan dalam Tari berjudul Meniti Jejak Tubuh, karya Sherli Novalinda |
Narasi
Ada pergeseran dalam wacana tari kotemporer yang berkembang saat ini. Di awal perkembangannya, tubuh lebih difungsikan sebagai media untuk menceritakan narasi di luar dari pengalaman tubuh itu sendiri. Tari dimaknai sebagai sebuah teks dramatik, yang menjadikan tubuh sebagai media untuk menuturkan sebuah cerita. Tubuh seolah tidak memiliki kisahnya sendiri. Pendekatan fenomenologi kemudian menawarkan sebuah sudut pandang yang berbeda dalam memandang tubuh. Tubuh dipandang sebagai sebagai sesuatu yang hidup (living body), yang tidak saja mengalami tetapi juga mampu mengingat sejarahnya sendiri. Oleh sebab itu tubuh juga dapat bernarasi. Dalam konteks inilah, karya tari Meniti Jejak Tubuh memiliki arti penting dalam penghargaan terhadap tubuh dan kesejarahannya. Namun sebagai sebuah garapan kontemporer, Meniti Jejak Tubuh oleh Sherli Novalinda menawarkan banyak kemungkinan interpretasi yang menarik untuk diperdebatkan.