Sabtu, 16 Desember 2017 | teraSeni.com~
Tubuh Sebagai Simbol
Moertri Purnomo meyakini bahwa bahasa gerak bukan sekedar merangsang artis untuk-berkomunikasi tanpa bicara, tetapi seseorang harus mampu menelorkan ide denga simbol, lambang, sinyal, aktivitas, bisnis, gestur, dan ekspresi yang pas, dilakukan dengan menggunakan teknik dan dasar laku tertentu yang mengakibatkan orang lain bisa menangkap arti ataupun makna sesuatu yang akan disampaikan dengan jelas meskipun beberapa saat harus berpikir (Kedaulatan Rayat, April 1985). Ukapan dari salah satu sesepuh pantomimer Jogja diatas dapat menjadi jembatan masuk untuk memahami tubuh Jemek Supardi lebih jauh dalam karyanya Ngilogithok.
![]() |
Jemek Supardi menyalakan lilin dalam karyanya Ngilogithok, Kamis 7 Desember 2017, di Pendopo Art Space (Foto: Ajie Wartono) |
Kita tahu Jemek telah lama menjadi figur, tokoh, mitos dunia pantomime Indonesia yang telah malang melintang dalam dunia pertunjukan. Ia telah menelurkan banyak karya hampir sepanjang hidupnya baik pementasan di panggung ; jalanan, ruang publik, tempat pembuangan sampah, sungai, kuburan, kereta, di atas folklift, dan di dalam tong penuh berisi lem panas, dan banyak lagi. Sosoknya bagi dunia seni pertunjukan meninggalkan banyak cerita misteri, lucu, aneh, menjengkelkan, unik, nakal, liar, penuh dengan kejutan, Jemek tiba-tiba bisa muncul dimana dan kapan saja dengan berbagai tema, gaya, improvisasi, kolaborasi, serta penyikapan ruang yang spotanitas. Tak mengherankan jika keistimewaan aksi-aksi spontanitas dan ide orisinalitas manggungnya, seperti salah satu karyanya berjudul Badut-Badut Republik atau Badut-Badut Politik’ yang bermain di atas ‘Folklift’ berjalan, yang suatu ketika menurut Garin Nugroho mampu memecah kebuntuan konsep ‘Panggung Bergerak’ yang kala itu sedang diperdebatkan oleh seniman seperti Sardono W Kusumo dan Putu Wijaya.
Sekelumit cerita tubuh-tubuh tak terduga Jemek di masa lalu yang selalu tampil di depan untuk dan atas nama pantomim. Ternyata ada yang berubah dalam karya-karyanya saat ini. Seperti Kamis 7 Desember 2017, di Pendopo Art Space, pukul 19.30 WIB Jemek bersama Aktor pantomim Broto Wijayanto dan Asita mementaskan karyanya Ngilogithok. Tubuh Jemek rasanya lebih sangat senti mentil. Narasi yang tersurat dari tubuh yang tergambarkan secara ‘simbolis’ seperti sedang-bergerak menuju jauh ke dalam hal subtil pada dirinya. Tubuh dan gerak pantomim Jemek yang atraktif menjadi semacam ‘hanyut dalam kesunyian’ tidak banyak aktivitas, bisnis, gestur, hanya sinyal-sinyal kecil yang muncul dari ekspresi wajah, tatapan nanar dan kosong, gerak tangan yang hampa dan lintasan-lintasan keluar masuk panggung.
Melihat tubuh mimer Jemek tanpa sejarah sama juga kehilangan konteks narasi utuh atas ide dan gagasannya tampil malam itu. Setidaknya seperti apa yang ditulis dalam buku ‘Wajah Pantomim Indonesia’ ide-ide karya Jemek Supardi biasa selalu berangkat dari pengalaman dan kegelisahan dalam kehidupan keseharian yang sangat ‘Orisinal’ sekaligus personal yang sedang dialaminya. Tampaknya secara simbolis ada yang sedang berubah dari narasi tubuh Jemek, nampaknya perubahan tersebut telah dimulai sejak tahun lalu. Lewat karyanya ‘Napas’ 1 September 2016 di Taman Budaya tahun lalu, ia melakukan pentas ‘ruwatan’ menyambut kelahiran cucu pertamanya dan menyatakan akan meninggalkan masa lalunya. Tampaknya dulu aksi-aksi pentas pantomim Jemek lebih banyak mengkritik hal-hal di luar diri. Namun semakin ke sini tampaknya ia semakin melakukan kritik terhadap diri (ke dalam).
Bangunan Peristiwa
“Kita memiliki mata, namun mata kita tidak bisa melihat wajah kita secara jelas tanpa cermin” (penggalan awal sinopsis Jemek Supardi)
Jemek naik panggung, ia lalu duduk di kursi pojok belakang, mengenakan pakaian putih tanpa make up. Kemudian perlahan mulai berdandan mengolesi wajahnya dengan bedak Body Painting berlatar belakang bundaran putih menggantung seperti bakpau. Sementara sisi lain sekitar dirinya penuh tertata seratusan kaca pengilon kecil dengan lilin-lilin. Musik mengalun, berdampingan dengan suara-suara mesin kamera para pemburu gambar panggung dan Gun Smoke. Selesai berdandan Jemek berdiri kemudian jalan berlalu keluar panggung, menghilang.
![]() |
Asita dan Broto Wijayanto, dua pantomimer muda beraksi dalam Ngiloghitok (Foto: Ficky Sanjaya) |
Pantomimer lain, Asita dan Broto Wijayanto sedari awal berjongkok berada di depan bawah panggung ketika jemek sedang berdandan. Setelah Jemek keluar, Asita bergerak layaknya orang yang tengah sibuk bekerja di kantor. Sedang Broto menjadi orang Jawa yang suka ‘leyeh-leyeh’. Keduanya tampak ingin menampakkan sosok manusia keseharian dalam wujudnya yang ‘realis’ dari penegasan karakter kostum keseharian yang mereka kenakan (baju hem, celana kain, dasi dan baju surjan, celana komprang serta sarung). Meski gerak-gerik tubuh ciri khas pantomim mereka tidak dapat dikata realis (karikatural, mimik ekpresif, dan penuh gerak-gerak stilir dan patah) tubuh Asita yang atletis dan lentur, tampak ‘datar’. Padahal, dengan kecakapan dan kemampuan tubuh yang dimiliki tersebut, sepertinya gerak-gerak melebihi “tiruan” mampu dijangkau.
Sementara Broto tampil ekpresif dan detail, kefasihan tubuhnya memusatkan tenaga pada gerak-gerak visual pantomimik dan improvisasi sungguh bening dan meyakinkan. Kecenderungan-kecenderungan dalam caranya bermain itulah yang selanjutnya menjadi tipikal bagi siapa saja yang sering melihatnya tampil. Lagi, gerak-gerik kedua pantomimer ini diiringi musik ilustratif yang terkadang artifisial (musik dan gerak berkesinambungan berkecenderungan menjelas-jelaskan suasana yang sudah jernih).
Kedua aktor tersebut banyak bergerak mendominasi pertunjukan. Menyusun narasi gerak cerita ‘keseharian mereka’ secara bergantian. Mereka kemudian merajut cerita pertemuan, keluar rumah dan berjumpa disebuah kota dengan bis yang entah. Menuruni dan menaiki tangga, menyusuri cuaca dan bergantian memasuki pintu demi pintu imajiner. Kedua pantomimer meganti kostumnya serba putih, sebelum membokar satu pintu terakhir untuk masuk menuju Jemek yang sedari tadi telah masuk dan nencoba menyalakan lilin yang ada diatas panggung.
Pertunjukan menjadi sentimentil sebab Jemek tampaknya tidak banyak bergerak berpantomim. Secara gestur ia lebih banyak diam bersembunyi dibalik sinyal dan simbol, melalui gerak-gerik kecil ekpresi wajah dan pose, juga secara biasa mulai menghidupan lilin-lilin satu-persatu di depan puluhan kaca pengilon kecil. Asita dan Broto turut membantu menyalakan. Jemek memainkan cahaya dari pantulan ligthing yang mengenai dua kaca yang dipegannya bergantian. Suasana gerak-gerik pemain di atas panggung dengan komposisi cahaya lilin yang menyala silih berganti, sungguh puitis seperti sajak liris dari irama lagu ‘Hujan Bulan Juni’ Sapardi Joko Damono.
![]() |
Asita sibuk bekerja di kantor, sedang Broto suka ‘leyeh-leyeh’ dalam Ngiloghitok (Foto: Ficky Sanjaya) |
Ketika lilin menyala seluruhya, Jemek membawa beberapa kaca dan dibagikan kepada penonton. Ketika kaca sampai ketangan para penonton, suara lirih ajakan ngilo menggema dari dalam sound. Kaca masih terus dibagikan dibantu Asita dan Broto, Lampu penoton kemudian menyala, penonton saling melihat, ada yang spotan langsung berkaca, ada hanya berdiam. Namun ajakan ngilo terus menggema hingga akhir pertunjukan.
Puncaknya sebuah kain putih disingkap, muncul kaca pengilon berukuran besar dimana Jemek awal sebelumnya duduk berdandan. Para pemain bermain sebentar dengan bayangan dari anggota tubuhnya yang mucul dikaca, sebelum akhirnya berpose diam, cahaya benderang menerang seluruh aktor dan kemudian redup dengan cepat.
Rangkaian pertunjukan yang kurang-lebih 60 menit tersebut didukung oleh Sanggar Seni Kinanti dan Pendopo Art Space, melibatkan stuktur produksi lengkap meliputi sutradara : M. Shodiq Sudarti, penata bunyi : Guntur Nur Pusputo, Artistik: Warto Ibrahim, duo Teguh dan Tholi, Erfianto Wardana, Sound Uta, Gendon, dan Blass Grup, Kostum : Dian Santyas, dan dibantu oleh bebera crew panggung.
Sedayu 7 Desember 2017