Jumat, 15 Desember 2017 | teraSeni.com~
Juli 2017 lalu di ISI Surakarta saya menyaksikan beberapa pertunjukan Tugas Akhir mahasiswa penciptaan tari ISI Surakarta. Ada satu karya yang menarik bagi saya, yaitu karya dengan judul Sosak dengan koreografer Riyo Fernando (dengan pembimbing: Eko Supriyanto). Sekilas melihat karya tersebut nampak seperti orang-orang yang melawan rasa sesak yang diakibatkan oleh asap. Banalnya lagi ketika saya mengetahui bahwa Riyo (koreografer) berasal dari Riau, saya semakin yakin karyanya terinspirasi oleh kebakaran hutan di Riau yang pernah memakan korban jiwa. Mungkin saja asap menjadi sumber inspirasi, namun saya melihat pertarungan dalam melawan asap; rasa sesak merupakan metafora yang ingin terus saya telusuri lebih dalam, karena saya meyakini bahwa dalam penciptaan karya tari, bentuk-bentuk tubuh terlatih dan penggunaan properti tidak hanya memunculkan impresi bagi yang melihatnya. Penciptaan karya tari seharusnya juga dapat memberikan pengalaman reflektif secara akurat, meski akurat dalam seni belum tenbisa kita bedah secara positivistik.
![]() |
Karya Tari Sosak (Juli, 2017) Koreografer: Riyo Fernando |
Sosak, dalam pandangan saya merupakan karya yang berbicara tentang manusia-manusia yang berupaya bertahan dari asap-asap budaya asing yang terus menerus berusaha membuat manusia di Indonesia kehilangan oksigen (yang dalam karya Sosak dianalogikan sebagai budaya-budaya lokal). Asap-asap yang kini dikendalikan oleh kapitalis dalam arena pertarungan budaya membuat manusia-manusia menjadi terkontaminasi kemurnian budayanya. Maka untuk melindungi kemurnian budaya lokal tersebut, manusia-manusia itu sendirilah yang harus terjun ke dalam arena pertarungan budaya.
Pertunjukan ini dimulai dengan repetisi tubuh yang membungkuk dan suara sesak yang kian mengeras. Suara sesak bila direlasikan dengan gagasan Riyo di atas tadi merupakan representasi dari manusia-manusia yang mulai kehilangan oksigen. Kemudian di pertengahan terdapat sekumpulan manusia yang mulai bergegas melawan kesesakan karena asap (melalui repetisi-repetisi gerak yang dikembangkan dari salah satu gerak Melayu). Di bagian akhir pertunjukan, para penari membuka pakaian mereka yang telah kuyub dengan keringat, dengan pakaian basah itulah mereka melakukan gerak melawan asap-asap.
Repetisi tubuh yang membungkuk dan suara sesak yang kian mengeras
Secara dasar, pertunjukan ini memang seperti gerakan melawan asap yang telah mencemari udara yang dihirup oleh manusia. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa karya seni merupakan refleksi dari kehidupan yang mampu memberikan kesadaran kritis kepada siapa saja yang melihatnya. Begitu pula dengan karya Sosak ini, sederhana tetapi memiliki kedalaman tentang kehidupan.
Bila kita relasikan pilihan kreatif yang ditampilkan oleh Riyo pada awal pertunjukan, menampakkan tubuh sekumpulan orang-orang yang membungkuk. Tubuh yang membungkuk dapat direlasikan dengan kata sakit (Danesi, 2012), sehingga awal pertunjukan yang menampilkan tubuh membungkuk dan suara sesak dapar merepresentasikan rasa sakit manusia yang tidak lagi mendapatkan kesegaran-kesegaran yang dihadirkan melalui budaya lokal. Budaya-budaya lokal justru sering dielaborasi atau dikolaborasikan dengan budaya-budaya Barat yang penggunaannya sendiri sangat dipaksakan dan tidak berdasarkan kebutuhan dalam mengangkat budaya lokal. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat Indonesia secara tidak langsung teracuni oleh budaya Barat.
![]() |
Representasi tubuh yang berusaha bertahan dari asap budaya asing |
Kumpulan penari dan repetisi gerak tari Melayu
Pada bagian pertengahan karya ini terdapat sekumpulan penari yang melakukan repetisi tari Melayu. Repetisi-repetisi terhadap gerak tari Melayu merupakan penanda yang menampakkan adanya kegiatan dalam mempertahankan budaya lokal dalam kesesakan perang budaya yang terjadi di Indonesia. Repetisi ini tidak hanya sekedar repetisi yang kita saksikan dalam pertunjukan tari Melayu pada umumnya. Repetisi ini sendiri merupakan penguatan terhadap budaya lokal, dimana penguatan-penguatan tersebut didukung dengan hadirnya lompatan-lompatan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Pina Bausch tentang repetisi gerak, “semakin sering suatu gerak diulang, maka akan membawa penari pada perbedaan hasil yang akan menentukan kualitas gerak” (Climenhaga, 2009) Budaya lokal juga serupa seperti repetisi, semakin sering ia dilakukan akan memberikan kualitas hasil yang memiliki nilai. Nilai inilah yang akan memperkuat manusia dalam menghadapi peperangan Budaya.
![]() |
Representasi Tubuh Penguatan Budaya Lokal |
Peperangan Budaya
Sekumpulan penari membuka pakaian mereka yang telah kuyub dengan keringat. Mereka mengibas-ngibaskan pakaian mereka sembari menutupi mulut mencoba untuk mengurangi polusi asap yang ada di sekitarnya agar banyak udara bersih yang dapat dihirup kembali oleh manusia. Gerak mengibas-ngibaskan pakaian bila direlasikan dengan dengan konteks pertahanan budaya lokal merupakan kegiatan dimana orang-orang secara sadar melakukan pertarungan budaya dengan identitas mereka dalam budaya lokal. Hal serupa dikatakan oleh Van Peursen (Strategi Kebudayaan:1988) “kesadaran ini merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar dapat secara kritis menilai kebudayaan yang sedang berlangsung.”
![]() |
Tubuh yang merepresentasikan perlawanan pada arena pertarungan budaya |
Properti yang digunakan para penari merupakan pakaian mereka yang telah kuyub. Pakaian dapat direlasikan sebagai identitas budaya. Maka gerak di saat para penari mengibas-ngibaskan pakaian mereka merupakan momentum dimana mereka berusaha mengurangi asap-asap budaya asing yang semakin melumpuhkan budaya lokal di arena pertarungan budaya. Karena kelumpuhan dari budaya lokal akan berpengaruh pada nafas kearifan lokal yang ada di berbagai daerah negara Indonesia. Kemusnahan dari kearifan lokal sama dengan kemusnahan identitas sebuah daerah. Semakin banyak identitas daerah yang hilang, semakin samar pula identitas sebuah negara di hadapan negara lain.
Tubuh yang kehilangan suara
Dalam hubungan kausalitas, perlawanan akan terjadi bila ada salah satu pihak mengalami ketertindasan. Seperti itulah ekspresi tubuh yang ingin saya lihat dalam karya Sosak ini, akan tetapi beberapa tubuh tidak saya dapati memiliki bekas atau sejarah tentang pengalaman rasa sesak. Tubuh-tubuh tersebut, bagi saya terlihat sangat kuat dari awal pertunjukan hingga akhir. Saya menyebutnya tubuh-tubuh atraktif dengan sebuah teknik. Tentu saja pertunjukan dengan teknik yang terlatih akan memunculkan sebuah impresi, akan tetapi impresi saja tidak cukup. Pertunjukan tari seharusnya tidak hanya bekerja pada wilayah pukauan mata, akan tetapi mampu menggugah batin audiens melalui ekspresi. Sehingga secara tidak langsung mampu membawa audiens ke dalam wilayah kontemplasi. Namun demikian bukan berarti ekspresi itu tidak ada dalam pertunjukan Sosak. Tentu saya menangkap beberapa pesan yang coba dihadirkan melalui pertunjukan tersebut.
Sebagai penonton tentu saya memiliki harapan untuk melihat sebuah pesan yang dapat disampaikan kepada penonton dengan gugahan-gugahan ekspresi tubuh. Dalam hal ini (pendapat saya bisa saja salah) saya kurang melihat beberapa tubuh tersebut mengalami rasa sesak yang secara langsung menyerang dirinya—baik sesak karena asap secara harfiah atau sesak yang hadir karena budaya-budaya asing yang semakin membuat hidupnya tidak nyaman. Sehingga pemilik tubuh merasa sesak dengan budaya asing yang kian hari kian menjajah pikiran, batin dan tubuhnya.
Terlepas dari kekurangan (kritik) dalam pandangan saya yang sangat subjektif, tentu saya menangkap sebuah maksud yang akan saya tuliskan dalam penutupan tulisan ini. Bagi banyak orang, mungkin merasa kecewa pada akhir pertunjukan ketika melihat tubuh-tubuh yang bertarung di arena pertarungan budaya tersebut yang ditutup dengan suara-suara sesak dan kelelahan. Katakanlah lampu padam adalah simbol kekalahan, akan tetapi kekalahan tidak harus dimaknai sebagai rasa putus asa. Kekalahan atau kematian seharusnya mampu memberikan sebuah spirit untuk tetap memperjuangkan sesuatu. Maka untuk menegaskan makna perjuangan saya mengutip kalimat Emha Ainun Nadjib (64) tentang perjuangan, “Yang penting bukan apakah kita menang atau kalah, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga kalah pun bukan dosa, yang penting adalah apakah seseorang berjuang atau tak berjuang.”
Keterangan: Foto-foto di atas diambil dari koleksi foto Eko Crozher dan @aulianurrajut.