Sabtu, 11 Agustus 2018 | teraSeni.com~
PUNO LETTER TO THE SKY adalah sebuah pertunjukan teater boneka yang disajikan oleh Papermoon Pupet Theatre Rabu, 4 Juli 2018, pukul 19.30 di Institut Francais Indonesia (IFI), Jl. Sagan no. 3 Terban, Gondokusuman Yogyakarta. Sebelumnya pertunjukan Puno ini telah melanglang buana ke beberapa tempat dan festival antara lain di Jakarta, Thailand, Singapura, Filipina, sebelum akhirnya pulang dan dipertontonkan untuk publik Yogyakarta. Dalam beberapa hari saja tersiar kabar tiket pertunjukan Papermoon selama tiga hari 5-8 Juli 2018 dengan cepat sudah sold out oleh penonton. Beruntung sehari sebelum pementasan, saat Gladi Bersih Papermoon berbaik hati mengundang dan membuka kesempatan bagi para teman dan perwakilan kelompok seni untuk hadir menjadi saksi. Sehingga saya berkesempatan menonton secara langsung.
Terlihat para penonton banyak menghadiri momen gladi bersih pada malam itu, hingga nyaris memenuhi halaman area IFI, para undangan mengkonfirmasi kehadiranya untuk terlibat dalam pertunjukan ke meja penerima tamu. Dari sana kemudian diberi sebuah booklet yang dibukus dalam sebuah amplop, berwarna oranye dengan perangko dan cap pos bergambar Tala digendong oleh ayahnya, amat sangat manis sekali. Pukul 19.30 pertunjukan akan mulai, penonton berbondong antri masuk. Penonton yang datangpun sangat bervariasi secara usia mulai dari anak muda, orang tua, dan anak-anak laki-laki dan perempuan. Ruang IFI yang telah lama hadir bagi publik seni di Jogja, meski kecil sangat khas sekali dan kuat kehadirannya, sebab ruang tersebut banyak menyimpan memori dan nuansa romantisme. Nuansa Romantisme amat kuat sekali, akan berbagai peristiwa pertunjukan yang pernah tampil ataupun menjadi penonton dalam ruangan tersebut.
![]() |
Terlihat beberapa orang sedang memainkan boneka Foto: Papermoon Pupet Theatre |
Keakraban ruang khas IFI adalah keterbukaan dan kedekatan antara si penyaji peristiwa dan penonton. Karena ruanganya terbatas, kita dapat melihat dan bercakap dengan para penonton lain jika saling mengenal, atau bisa mengamati reaksi raut wajah penonton dengan jelas terhadap peristiwa yang terjadi, bisa pula melihat dengan jelas dapur kerja artistik seniman, sebab IFI adalah salah satu dari banyak lain ruang pertunjukan alternatif dan ekplorasi bagi seniman. Banyak bermunculnya ruang alternatif di Jogja karena terbatas dan mahalnya tempat pertunjukan konvensinal dan profesional standar internasional. Justru hal tersebut yang menjadi menarik dan khas di Jogja sebab banyak tumbuh ruang-ruang alternatif bagi seniman dan kesenian. Yang sejak Bengkel Teater, Padepokan Bagong Kussudiardja, Wayang Ukur Sigit Sukasman, hingga kini dikatakan belum ada lahir kelompok seni ‘profesional’ meski seniman-seniman tersebut dan banyak seniman saat ini sudah memiliki ruang dan bekerja amat profesional dengan berbagai relasi dan jaringan yang tidak remeh pula.
Lepaskan dialog dan lamunan mengenai kelompok dan ruang bagi kelompok ‘profesional’ bagi seniman dan kelompok seni di Jogja. Sebab malam ini adalah pertunjukan Puno. Tumbuhnya banyak komunitas, kerja kreatif, keakraban dan dialog seni khas Jogja, lebih penting dari pada dialog ‘profesonalitas’ berbagai elemen dan ukuran seni pertunjukan standar inetrnasional, meski hal-hal tesebut juga penting jika ingin meletakan gagasan seni Jogja/Indonesia dalam kerangka gagasan dan isu wacana seni di dunia yang luas dan besar. Salah-salah suara dan wacana tersebut hanya akan menjadi buih dilaut yang maha luas. Dari ruang penonton dan ruang pertunjukan yang kecil di IFI dapat langsung tampak banyak kapal-kapal bergantungan diatas langit-langit dan pertunjukan dimulai dengan pengatar oleh Ria, selaku produser, konseptor, direktur artistik dan penulis naskah.
![]() |
Kapal-kapal bergelantungan di laggit-langit panggung Foto: Papermoon Pupet Theatre |
Pertunjukan berjalan kurang lebih satu jam, cerita berjalan mengalir, menceritakan kisah seorang gadis bernama Tala, yang menyusun petualangan-petualangan dan ingatan bersama ayahnya. Objek-objek boneka yang dimainkan sangat rapi dan detail sekali, dapat nampak bagaimana perkembangan dan cara aktor-aktor boneka memainkan dan berinteraksi satu dengan yang lain dengan bonekanya. Cerita Puno ini sangat personal dan emosional sebab bangunan yang disusun pada kerangka narasinya adalah pengalaman rasa personal kehilangan sosok yang kita cintai. Kehilangan menjadi sebuah relasi kunci dan kepercayaan terhadap sesuatu yang dulunya ada dan telah tiada. Oleh karena perasaan lebih sensistif dari pada sebelumnya. Sebab yang bekerja adalah perasaan akan kenangan dan kenyataan.
Peramainan Boneka menjadi lebih pelan, penuh dengan intensitas dan imajinasi, bayangan warna-warna lembut bercampur dengan elemen-elemen keras, tipis, dan kecil keluar dalam berbagai elemen boneka dan propertinya. Permainan komunikasi dan relasi antar pemain boneka dalam memainkan objek mendapat tantangan untuk lebih peka dan berhati-hati serta berkonsentrasi penuh untuk menyadari berbagai kehadiran, situasi berbagai objek; boneka, properti, cahaya, musik, penonton, ruang, adalah kesatuan dari kepercayaan sekaligus kerapuhan akan kehadiran kenangan. Oleh karenanya dialog intens terhadap objek-objek tersebut akan hidup jika sentuhan dan komunikasi dari kesemuanya terjalin baik. Sebab kepercayaan akan kenangan akan indah dan sangat bersifat personal serta ‘spiritual’.
![]() |
Beberapa orang berbaju hitam yang menghidupkan boneka di atas panggung Foto: Papermoon Pupet Theatre |
Anton Fanjri bermain sangat konsetrasi sekali dengan perasaan dan penghayatanya akan relasi antar objek sangat memukau. Beni Sanjaya, Pambo Priyo Jati, Rangga Apria Dinnur pun tak kalah baik secara teknik, namun ketika keempatnya bermain bersama terkadang ada patahan dan perasaan komunikasi antar pemain yang kurang imbang. Puno telah dimainkan berkali-kali tentu saja untuk mendapatkan rasa dan tidak sekedar permainan teknis dibutuhkan kesadaran dan kehadiran yang berulang-ulang dan dialog perasaan dalam setiap moment peristiwa langsung dengan penonton, dan hal tersebut pastilah melelahkan. Musik yang selalu berdengung terus menerus ditelinga juga amat tidak nyaman, cahaya yang asal terang dan hadir dalam situasi yang tidak tepatpun amat menganggu panggilan terhadap kenangan-kenangan untuk muncul dan hidup bernyawa dalam benak. Sebab persaaan ‘spriritual’ akan kenangan sangatlah subtil.
Banyak narasi dongeng cerita-cerita rakyat kita penuh dengan hal subtil itu. Oleh karenanya mudah melekat dan tersimpan dalam ingatan menjelma berbagai kenangan dan imajinasi terhadapnya. Bahkan sampai ada istilah dongeng dalam operasi bahasa jawa Jarwo Dhosok diartikan dengan dipaido keneng (mampu mengakomodasi bumbu-bumbu imajinasi) tanpa kehilangan hal-hal subtil dan unsur-unsur magisnya/spiritualnya. Ada baiknya mungkin Cerita Puno dapat pula menengok ulang estetika dari akar-akar cerita dongeng-dongeng rakyat dinusantara untuk menampung hal-hal yang bersifat magis dan ‘spriritual’.
![]() |
Tampak ekspresi boneka yang begitu hidup Foto: Papermoon Pupet Theatre |
Tim Artistik dan Produksi:
Maria Tri Sulistyani selaku produser, konseptor, direktur artistik dan penulis naskah, Pupet Engineer Anton Fajri, Pupet Designer dan Music Director: Iwan Efendi, Music Composer Yennu Ariendra. Artistik tim : Anton Fajri, Beni Sanjaya, Pambo Priyojati, Rangga Dwi Apriadinnur, dan Rusli Hidayat, Costume : Retno Intiani dan Sherry Harper Mc-Comb, Grapic Disigner : Gamaliel . Budiharga. Producer Manager : Rismilliana Wijayanti, Tecnical Direktor : Gading Narendra Paksi, Crew : Egi Kuspriyanto dan Rusli Hidayat, Merchandes : Studio Batu, Artworks for Mechandise : Ruth Marbun dan Vitarlenology.
Maria Tri Sulistyani selaku produser, konseptor, direktur artistik dan penulis naskah, Pupet Engineer Anton Fajri, Pupet Designer dan Music Director: Iwan Efendi, Music Composer Yennu Ariendra. Artistik tim : Anton Fajri, Beni Sanjaya, Pambo Priyojati, Rangga Dwi Apriadinnur, dan Rusli Hidayat, Costume : Retno Intiani dan Sherry Harper Mc-Comb, Grapic Disigner : Gamaliel . Budiharga. Producer Manager : Rismilliana Wijayanti, Tecnical Direktor : Gading Narendra Paksi, Crew : Egi Kuspriyanto dan Rusli Hidayat, Merchandes : Studio Batu, Artworks for Mechandise : Ruth Marbun dan Vitarlenology.