Sabtu, 15 April 2017 | teraSeni.com~
Rahasia Loteng Rumah Dalam Cerita Bujang Tungga
Loteng telah mengambil tempat yang spesial dalam kebudayaan orang Sumatra di masa lampau. Khususnya pada masyarakat-masyarakat budaya di wilayah yang pada masa kekuasaan Belanda sampai masa Orde Lama termasuk Sumatra Bagian Selatan. Karena suhu loteng yang stabil, orang menggunakan loteng sebagai museum tempat mengawetkan barang-barang pusaka; seperti naskah kuno dan benda keramat lainnya. Posisi loteng yang selalu pasti berada di atas kepala, membuat barang-barang pusaka itu pun tetap berada di tempat yang aman, terhormat dan tidak dilangkahi. Sehingga status keramatnya bisa lestari.
Namun yang lebih istimewa adalah filosofi loteng. Dari loteng, masyarakat tradisional Sumsel menciptakan sejarah kebudayaannya melalui penghargaan atas “anak angkat” sebagai peletak dasar kebudayaan. Diceritakan dalam sebuah guritan orang suku Rejang, Bengkulu. Dahulu kala di daerah yang sekarang bernama Tambang Sawah, Seblat, ada sebuah kerajaan bernama Pinang Belapis yang diperintah oleh raja bergelar Ratu Agung.
![]() |
Kurang Banang Sahalai, Kain Ndak Manjadi Lukisan Karya Yulfa Japank H.S., (50 x 50 cm Acrylic, Crayon, Pencil di atas Kanvas, 2015) |
Walaupun kerajaannya makmur sentausa, sang raja sendiri kerap bermuram durja lantaran pada usia yang sudah semakin uzur ia belum juga mempunyai seorang anak. Hampir setiap petang, kalau tidak lagi blusukan ala Jokowi keliling daerah, pekerjaan sang raja hanya melamun memandangi anak-anak yang bermain di pekarangan. Manakala diingatnya bahwa ia belum juga mempunyai seorang putra, semakin gundahlah hatinya. Kepada istrinya dinyatakannya kedukaan hatinya itu dan suatu ketika dinyatakannya pula niatnya untuk bertapa agar bisa memperoleh anak.
Singkat cerita, Ratu Agung pergilah berjalan ke negeri-negeri yang jauh. Ia mendatangi tempat-tempat keramat di pulau Sumatra. Ia bertapa ke Minangkabau, Jambi dan bahkan ke pulau Jawa. Niatnya yang kuat itu akhirnya didengar oleh penguasa kayangan dan diwangsitkan kepada Ratu Agung kalau ia akan memperoleh seorang putra yang diturunkan dari kayangan. Gembiralah Ratu Agung.
Setelah kembali ke Pinang Belapis, sang raja pun menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan putra yang dijanjikan itu. Hari-hari menunggu dan memantapkan hati, hingga terdengar suara tangis bayi dari loteng rumah. Setelah diperiksa ke atas loteng, ternyata di situ ada seorang bayi laki-laki yang tubuhnya diliputi cahaya terang benderang. Ratu Agung pun menggendongnya turun, namun bayi itu meronta. Baru setelah istrinya yang menggendong, diamlah sang bayi itu. Sang bayi pun diberi nama Bujang Tungga.
Waktu demi waktu, Bujang Tungga tumbuh menjadi pemuda yang elok budinya, tangguh dan pemberani. Diceritakan pula, ketika berburu di Rimba Larangan, Bujang Tungga bertemu sejumlah bidadari kayangan mandi di telaga di tengah rimba itu. Ia mengambil pakaian salah seorang dari mereka. Dan karena sudah tak bisa pulang ke kayangan, mau tak mau ia memenuhi permintaan Bujang Tungga untuk diperistri. Mereka hidup bahagia sampai mempunyai seorang putra yang sehat dan lucu.
Suatu hari sang bidadari membersihkan loteng dan menemukan sebuah benda jatuh dari atas loteng. Ternyata itu adalah sebuah “seruling serdam” (buluh perindu) yang suaranya sangat indah. Bila diperiksanya, ternyata di situ tersimpan baju terbang sang bidadari. Sadarlah sang bidadari yang kini sudah menjadi ibu seorang anak itu, kalau sudah tiba saatnya ia kembali ke kayangan. Ketika mereka bertengkar, tak sengaja Bujang Tungga mengeluarkan kata-kata menghina:”engkau kutemukan dalam hutan belantara”. Mendengar itu sedihlah sang bidadari dan setelah mengenakan baju terbangnya, pulanglah ia kekayangan membawa putra satu-satunya.
Berbeda dengan cerita Jaka Tarub yang terputus setelah sang bidadari meninggalkan lumbung yang kosong, Bujang Tungga justru kemudian pergi kekayangan mencari anak istrinya dengan mengendara seekor burung garuda. Si garuda bersedia asal ia diberi makan seekor gajah sebagai bekal di perjalanan. Karena jauhnya perjalanan itu, gajah besar yang mereka bawa akhirnya habis sesampai mereka di pintu langit yang pertama. Bujang Tungga akhirnya memberikan kedua kakinya untuk makanan sang garuda.
Karena tak bisa turun dan berjalan lagi, berkatalah Bujang Tungga pada garuda tunggangannya kalau kakinya sudah habis untuk memberi makan. Betapa terkejut nenek garuda. Ia pun kemudian memuntahkan kaki bujang tungga lalu menyambungkan kembali. Jangan heran, di langit apa saja bisa terjadi. Pengorbanan Bujang Tungga tak sia-sia. Di langit itu ia bertemu anak dan istrinya, lalu membawa mereka ke Pinang Belapis. Seperti yang kita harapkan, mereka hidup bahagia dan Bujang Tungga memerintah negeri Pinang Belapis dengan adil.
Kalau dicermati, loteng rumah, rimbo larangan, kayangan tampaknya adalah simbol dari tiga alam yang berbeda yang telah terpaut secara intim dalam keseluruhan cerita melalui perjalanan seorang anak angkat bernama Bujang Tungga. Hal ini dapat ditafsirkan, pemahaman terhadap keterpautan tiga alam itu baru terjadi setelah munculnya anak angkat dalam kerajaan Pinang Belapis. Sebab sebelum kedatangannya, belum pernah ada orang yang memasuki rimbo larangan dan kembali, apalagi sampai mempersunting bidadari dan bertamasya ke kayangan.
Memang keberadaan tiga alam ini tidaklah asing bagi kosmologi Melayu kuno. Orang Melayu kuno (jauh sebelum kemunculan agama-agama kitab seperti Hindu dan Budha) telah mengenal tiga alam yang disebut Tanah Julang (atas langit/kayangan), Tanah Kelam (bumi) dan Tanah Lirang (kerak bumi). Penduduk negeri Pinang Belapis pun mungkin sudah mengenal pengetahuan tersebut, namun dalam cerita ini digambarkan simbol-simbol pengetahuan budaya tersebut tidak terjamah atau masih dianggap misteri. Akibatnya, selama beberapa waktu simbol-simbol budaya itu justru menjadi horor bagi kehidupan mereka.
Pada titik ini, kehadiran Bujang Tungga menyegarkan suasana, karena ia memberi inspirasi bagi karakter budaya baru yang kelak akan dilakoni oleh generasi penerus negeri Pinang Belapis. Karakter budaya itu adalah karakter penjelajahan dan semangat eksplorasi yang tinggi. Di dalam karakter budaya yang seperti ini, pemecahan misteri adalah tanda ilmu pengetahuan. Sebaliknya, menutup-nutupi pengetahuan itu dapat dinilai sebagai tindakan korup. Masyarakat budaya yang seperti ini memerlukan “keterbukaan” sebagai pilar utama pranata budaya mereka. Orang Minangkabau mengungkapkannya dengan pepatah : hidup yang bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak. Itulah hadiah terpenting seorang “anak angkat” bagi kebudayaan kita, eh, negeri Pinang Belapis maksudnya…
Tiuh Karangan
Zaman dahulu di tepian Sungai Umpu, dusun Tiuh Karangan, Way Kanan, Lampung. Istri Jumpang Keling sang kepala kampung, melihat seruas bambu terapung di atas sungai dan bergerak melawan arus. Ia mengambilnya, lalu menyimpannya di loteng rumah. Sejak itu, konon, rumah Jumpang Keling selalu benderang diterangi cahaya. Namun penduduk tidak mengetahui kalau cahaya itu berasal dari ruas bambu yang disimpan di loteng rumah.
Tak lama setelah itu, penduduk kampung memergoki seorang bocah laki-laki buruk rupa berpenyakit sedang mencuri padi yang dijemur. Terkejut karena kepergok itu, si bocah melemparkan butir-butir padi yang sudah digenggamnya. Ajaib, butir-butir padi itu berubah menjadi ratus harimau yang siap menerkam dan kebal senjata tajam. Jumpang Keling, sang kepala kampung akhirnya bertarung dengan harimau-harimau itu dan berhasil mengalahkan mereka. Setelah diselusuri, diketahuilah kalau si bocah buruk rupa itu adalah titisan Umpu Diwa Sebiji Nyata – Radin Jambat, yang lahir dari ruas bambu yang disembunyikan istri Jumpang Keling di loteng rumahnya. Umpu Diwa Sebji Nyata itu kelak bernama Umpu Putera Lima sakti yang dipercaya sebagai leluhur orang Tiuh Karangan dan ia sampai kini dipercaya masih menjaga keselamatan negeri-negeri di sepanjang sungai Way Kanan.
Sisi tragik dari cerita ini mungkin terletak pada tokoh sang istri kepala kampung, yang menyembunyikan rahasia di loteng rumah. Sehingga Jumpang Keling tidak mengetahui kalau ia sudah mempunyai putra yang lahir dari seruas bambu. Namun penerimaan penduduk terhadap anak laki-laki yang lahir dari ruas bambu itu sebagai leluhur mereka menjadi bukti adanya pengaruh kuat “anak titipan atau anak angkat” dalam kebudayaan masyarakat di sepanjang Sungai Way Kanan.
Tanah Asal Minangkabau
Minangkabau dibangun dari sebuah tambo tapi juga didustai dengan tambo. Dalam pembukaan sebuah tambo alam biasanya dikatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau berasal dari gunung Marapi. Oleh karena sampai hari ini gunung merapi yang populer di daerah ini adalah gunung Marapi yang terletak di Padang Panjang, maka para penutur tambo sejak dari era kolonial hingga pasca kolonial ini mensugesti masyarakat bahwa memang gunung Marapi itulah yang dimaksud. Sementara daerah Pariangan yang terletak di lerengnya diklaim sebagai daerah pertama yang dihuni oleh niniek orang Minangkabau. Sementara darek (atau dataran tinggi) dan luhak diklaim sebagai sebagai negeri asal.
Klaim negeri asal ini, pada gilirannya membawa konsekuensi adanya daerah-daerah yang disebut Rantau. Yakni daerah-daerah Pesisir Selatan. Juga ke bagian tengah, yakni daerah yang sekarang termasuk dalam wilayah propinsi Riau. Ke arah utara, rantau ninik orang Minangkabau itu diperluas hingga ke pantai barat Aceh dan Negeri Sembilan. Dalam tambo, batas Minangkabau itu malah meliputi seluruh alam ini: “sehingga ombak yang berdebur / sirangkak yang berdangkang / sehingga durian ditekuk raja / buayo putih dagu…” Anda bisa cari mana batasnya. Sebab semua ombak itu berdebur, semua raja umumnya gemar durian, semua kepiting ada cangkangnya…
Belum ada dokumen tertulis maupun bukti-bukti arkeologis yang dapat membenarkan tambo wilayah darek sebagai negeri asal yang tua itu. Kalau ditinjau dari segi peninggalan materi, satu-satunya wilayah darek yang telah dipastikan mempunyai peninggalan zaman batu purba hanyalah daerah Lima Puluh Koto. Bahkan tradisi-tradisi prasejarah orang Minangkabau mungkin hanya terdapat di wilayah ini.
Kebanyakan wilayah-wilayah darek, termasuk daerah yang pernah menjadi pusat-pusat kerajaan; seperti Dharmasraya, Batusangkar (Pagaruyung) justru ditopang oleh warisan kultur Hindu Budha yang baru berkembang sejak abad ke 7 hingga 14. Bahkan Pagaruyung baru mulai mencolok semenjak Babad Jawa membangun ilusi tentang adanya invasi Majapahit ke Sumatra pada kisaran abad 14 masehi. Terasa aneh, kalau darek yang warisan abad 14 itu justru menjadi negeri asal sementara banyak tempat di sekitarnya justru mempunyai peninggalan budaya yang lebih tua. Satu-satunya yang bisa disimpulkan adalah, tukang kaba kebingungan menerjemahkan tambo sebagai referensi sejarah. Mungkin karena kebingungan itulah, tukang kaba sebelum ataupun sesudah menutur tambo, biasanya mengelak dengan ungkapan: dusta orang kami tak serta.