Pilih Laman

Jumat, 14 April 2017 | teraSeni.com~

Dari Tragedi Ke Tradisi
Tragedi telah lama menjadi sumber imajinasi kebudayaan kita yang utama. Tak terkecuali di Sumatra. Sebagian besar mitologi tentang asal-usul suatu daerah di Sumatra, berawal dari adanya tragedi yang disebabkan oleh bencana alam. Dan kebudayaan dalam berbagai bentuknya diproduksi sebagai respon kepada tragedi itu. Bila tanah Minangkabau mulai dihuni saat bumi bersentak naik, laut bersentak turun, maka dalam mitologi asal-usul suku Enggano di Bengkulu, manusia pertama bernama Kamanipe yang menurunkan bangsa Enggano dan budaya-budaya sukunya, juga memulai kehidupan ini setelah kiamat air yang dahsyat menghancurkan bumi. Tragedi yang sama, dapat dijumpai dalam cerita-cerita lokal lain yang mendapat pembenarannya melalui rekaman-rekaman peristiwa geologi yang telah dipublikasikan para ahli.

Semua dongeng tentang asal-usul itu, membawa kita kepada satu pesan: orang Sumatra berpijak di atas satu luka yang sama, di atas patahan lempeng benua sepanjang 1900 km yang secara semu ditutupi oleh Bukit Barisan. Patahan yang sewaktu-waktu tak dapat lagi menahan bebannya, lalu dalam sekejap mengubur daratan besar ini ke petala bumi paling bawah. Realitas alam yang seperti ini mengilhami pula orang Sumatra untuk menemukan eksistensi kebudayaannya di dalam nilai-nilai batin yang merendah pada kekuatan alam itu. Dan sebagai suatu upaya untuk tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan. Secara ajaib, sikap rendah hati kepada kekuatan alam itulah yang menjelma menjadi kekayaan tradisi, kesenian, sastra dan menjadi sumber kehormatan martabat mereka.

Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.-teraSeni.com
Indak Lapuak Dek Hujan, Indak Lakang Dek Paneh
Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.,
(50 x 50 cm
Acrylic, Crayon, Pencil di atas Kanvas, 2015)

Peradaban Gua Sumatra Selatan
Sumatra Selatan, bukan lagi kandidat, tetapi telah dipandang oleh para ahli prasejarah sebagai pintu masuk peradaban tertua di Pulau Sumatra. Ekskavasi atas tinggalan-tinggalan prasejarah di kawasan ini menghasilkan usia kurang lebih 1 juta tahun. Yang paling populer mungkin situs Padang Bindu yang paling banyak memiliki tinggalan artefak dari masa yang sangat tua itu. Beberapa alat-alat batu dari zaman Acheulien seperti kapak genggam (hand axe), alat serpih serut gerigi (denticu/ated) dan kapak pembelah yang ditemukan di Padang Bindu, ditenggarai sebagai industri prasejarah tertua di Sumatra.

Menurut buku Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu (2006) adanya benda-benda ini menguatkan model yang secara menyeluruh diakui sebagai jalan migrasi dari benua Asia Tenggara menuJu pulau-pulau di tengah dan timur kepulauan Indonesia, seperti Jawa, Lombok, atau Flores. Selain itu, peradaban gua di Sumatra Selatan telah melengkapi unsur-unsur prasejarah pulau Sumatra secara umum. Pandangan bahwa pulau Sumatra tidak memiliki peradaban gua telah terbantah dengan sendirinya.

Belum diketahui hubungan yang kronologis dari masa prasejarah itu dengan pola-pola peradaban yang muncul berikutnya. Bagaimana misalnya persambungan dari masa industri batu kerakal sederhana ke monument-monument megalitik yang ada di situs Pasemah. Bagaimana pula rangkaiannya dengan budaya perunggu atau logam yang juga terdapat di situ. Artinya studi-studi tentang tinggalan peradaban klasik yang datang kemudian, masih akan berada dalam alur yang terpisah satu sama lain.

Situs Pasemah (Besemah), mulanya dikira sebagai warisan budaya pemujaan bernuansa Hindu. Namun pengkajian ulang oleh peneliti Belanda pada tahun 1932,  menghasilkan pemandangan yang berbeda. Monument-monument megalitik yang terdapat di kawasan ini lebih memenuhi unsur prasejarah daripada unsur budaya zaman klasik Hindu-Budha. Sementara tinggalan-tinggalan perunggunya ditenggarai memiliki hubungan dengan budaya Dongson Vietam dari kisaran masa 1500 SM.

Keberadaan situs Pasemah tentu menarik, karena telah mengubah fokus pembicaraan tentang budaya – budaya di daerah Sumatra Selatan yang selama ini identik dengan peradaban agama Budha yang secara politik eksis pada abad ke 7–10 masehi, masa kerajaan Malayu kuno dan Sriwijaya. Walaupun tidak ada petunjuk yang kuat dan pasti mengenai pusat dari kerajaan ini,  Palembang yang kini menjadi ibukota propinsi Sumatra Selatan, diusulkan oleh para ahli sebagai salah satu ibukota kerajaan Sriwijaya. Daya tarik Sriwijaya ini membuat kajian pada Sumatra Selatan melulu dihubungkan dengan pengaruh pengaruh pemikiran Hindu-Budha Sriwijaya. Walaupun kenyataannya pengaruh pemikiran Hindu-Budha itu hanya satu rangkaian saja di antara fondasi-fondasi pemikiran dalam kebudayaan masyarakat yang tersebar di wilayah Sumatra bagian selatan.

Kesimpulan mengenai usia peradaban megalitikhum Pasemah yang pertama dipaparkan oleh arkeolog Belanda Van der Hoop, dalam “Megalithic Remains in South Sumatra” kemudian merubah cara pandang itu. Pada masa kini, para ahli umumnya sepakat menyimpulkan bahwa peradaban megalitikhum Pasemah lebih dahulu eksis sebagai peradaban di wilayah Sumatra Selatan dan menjadi dasar pengembangan religi, pertanian, seni pada kebudayaan-kebudayaan sesudahnya.

Situs Pasemah juga menjadi pintu masuk untuk mempelajari hubungan budaya prasejarah Sumatra dengan budaya-budaya prasejarah yang terdapat di Sulawesi, dan Indonesia bagian timur.  Sehingga dalam konteks ini, menyebut Palembang sebagai “Bumi Sriwijaya” telah menjadi ketinggalan zaman. Sumatera Selatan ternyata memiliki misteri kebudayaan yang lebih luas dan lebih kaya untuk dikaji ketimbang membatasinya pada sekedar pengaruh Hindu-Budha.

Namun arkeologi hanyalah satu cara untuk mengetahui jejak peradaban  penghuni pulau Sumatra. Belakangan, kajian-kajian kebudayaan yang lebih komprehensif yang meliputi kajian bahasa, genetika, geologi, kosmologi dan ethnogeologi telah membuka cara pandang yang lebih baru lagi. Peran Selat Sunda sebagai satu-satunya lintasan internasional pada masa plestosen , tentu menempatkan daerah Sumatra Selatan sebagai kawasan penting bagi menyingkap hubungan-hubungan antara masyarakat pra sejarah. Keadaan ini terus berlangsung  sampai Selat Malaka terbentuk 9000 tahun lalu di permulaan masa holosen dan menggantikan Selat Sunda sebagai lintasan pelayaran internasional.

Dari faktor faktor prasejarah dan histori yang seperti itu, tak heran kalau Sumatra bagian Selatan semenjak dahulu sudah menjadi kawasan yang multi bangsa dan multi budaya. Hal ini pada hari ini dapat dilihat misalnya, dari kompleksitas struktur penanda identitas semacam sistem kekerabatan yang terdapat  di beberapa wilayah di Sumatra Selatan. Bila kebanyakan wilayah lain di Sumatra didominasi oleh satu struktur kekerabatan (Patrilineal atau matrilineal), maka di Sumatra Selatan, dua sistem penanda identitas itu eksis secara berbarengan.

Suku Semendo yang tersebar di sepanjang Pagaralam, Lahat dan Bengkulu, misalnya, menganut matrilineal dan eksis bersama suku-suku lain yang menganut patrilineal atau sintesa antara kedua sistem itu. Begitu pula dengan kompleksitas mitologi, folklore, seni, budaya pertanian, bahasa dan pengetahuan lokal yang membuka hubungan dengan budaya-budaya kepulauan paling tua seperti Kalimantan, Sulawesi dan pulau Jawa. Semua itu makin menempatkan arti vital Sumatra Selatan sebagai gerbang interaksi budaya-budaya Asia Tenggara yang telah dimulai sejak batu Pasemah mulai ditanam sebagai fondasi kebudayaan.

Emas Bancah Hulu (Banca Houlou)
Nama kuno Bengkulu dalam hikayat adalah Blambang Mujut. Dan konon, bertakluk kepada Pagaruyung. Dalam buku The History Of Sumatra, Bengkulu ditulis Banca-houlou yang mungkin berasal dari istilah bancah (rawa) hulu. Bukan Bangka-ulu seperti yang umum dimengerti orang. Kecuali jika bangka itu sama artinya dengan bancah.

Bengkulu, di samping julukan “Bumi Raflesia”nya, memiliki pula keunikan seni dan budaya. Terutama dari sisi keragaman budaya yang berkembang sebagai suatu hasil dari interaksi budaya-budaya Sumatera Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Aceh dan bahkan sejumlah unsur budaya yang datang bersamaan dengan kolonialisme Eropa. Oleh karena budaya-budaya Sumatra secara umum dapat dikelompokan menjadi budaya-budaya dataran tinggi ( pedalaman ) dan budaya-budaya pesisir, maka identitas budaya orang Bengkulu pun terbentuk dari interaksi antara budaya dari dataran tinggi dan budaya pesisir, khususnya Pantai Barat Sumatra. Walaupun beberapa wilayah pulau seperti Enggano, oleh karena terpisah samudera luas, mungkin lebih independen dalam beberapa sisi.  Karena tidak secara langsung bersentuhan dengan budaya-budaya major masyarakat Bengkulu daratan.

Sebagai gambaran, tipikal budaya pedalaman/dataran tinggi yang cenderung agraris dan etnokratis ( dipengaruhi oleh satu pusat kuasa semisal kerajaan ) tercermin dalam budaya-budaya masyarakat yang mendiami daerah Rejang-Lebong, Serawai, Seluma dan juga Muko-muko. Keberadaannya bisa diselusuri berdasarkan pusat kuasa yang menjadi asal budaya itu. Di sisi lain, terdapat juga budaya-budaya migran yang lebih variatif dan tidak terlalu terikat pada satu sumber kuasa. Inilah yang kita jumpai di kota Bengkulu. Sementara pulau-pulau di busur depan pantai barat seperti pulau Enggano dapat dipandang sebagai suatu entitas budaya sendiri yang sekalipun mempunyai azas matrilineal yang mirip dengan Minangkabau, namun memiliki perbedaan tajam dari segi bahasa, arsitektur, maupun laku budaya masyarakatnya.

Kebinekaan semacam ini pada gilirannya menciptakan kreatifitas yang dinamis yang terwujud dalam aneka kesenian, sastra tutur dan tulis, ritual, seni kerajinan, serta kreatifitas lokal yang unik dan kaya. Masing-masing kreatifitas itu mempunyai ruhnya sendiri dan cara sendiri dalam menjaga eksistensi dan dinamikanya. Ini terlihat misalnya dari banyaknya suku bangsa yang terdapat di Bengkulu dan sejumlah bukti lain seperti masih tertinggalnya aksara Ka Ga Nga, seni ritual Tabot, seni kerajinan di Talang Leak, sastra tutur  dan sejumlah ritual pertanian.

Fenomena budaya semacam itu, tak lain tak bukan adalah akibat dari adanya pergesekan kultural yang intens yang mungkin terjadi semenjak abad-abad awal masehi, Namun mencapai puncak pergesekannya pada abad 13 hingga 17 masehi, saat dataran tinggi Bengkulu menjadi pusat penghasil komoditi emas yang merupakan komoditi paling dicari pada abad-abad tersebut. Gelombang para pemburu emas ini, pada gilirannya menciptakan komuni-komuni migran yang membentuk pemukiman-pemukiman penduduk di sekitar dataran Redjang, Lebong, maupun hingga ke wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pantai.
 
Kerajaan  Pagaruyung pada abad ke 13, merupakan perintis dari pengolahan penguasaan tambang emas di Bengkulu, yang akhirnya mengirimkan gelombang-gelombang besar utusan untuk membuka pemukiman di daerah-daerah yang mengandung logam mulia itu. Hal ini terekam dalam cerita asal-usul dusun dan mitos-mitos yang  terpelihara dalam masyarakat. Politik perdagangan Pagaruyung ini, pada gilirannya menjadi politik ekspansi kebudayaan melalui penguasaan atas kerajaan-kerajaan kecil yang ketika itu terdapat di Ranah Sikalawi ini. Setelah Pagaruyung, sejumlah kerajaan dari seperti Aceh dan Banten, juga ambil bagian dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi emas di Bengkulu. Komoditi emas ini baru mengalami penurunan semenjak pada abad 17, karena masyarakat telah beralih ke bidang perkebunan yang merupakan komoditi andalan perdagangan perusahaan-perusahaan Inggris yang memonopoli perdagangan masa itu.

Berdasarkan cerita-cerita rakyat tentang riwayat emas Bengkulu, selanjutnya perusahaan Belanda melakukan sejumlah penelusuran ke lokasi-lokasi bekas penambangan emas Pagaruyung itu. Dan kemudian mendirikan perusahaan pertambangan emas Redjang Lebong pada tahun 1898.  Karena penduduk di dataran tinggi Bengkulu umumnya tidak lagi melakukan penambangan emas, perusahaan-perusahaan Belanda terpaksa mencari kuli kontrak Cina dari Singapura dalam jumlah besar. Pemukiman-pemukiman kuli kontrak ini kemudian menjadi dusun yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Emas memang tak lagi menjadi primadona sejak awal abad 20 di Bengkulu. Namun warisan-warisan budaya yang ditinggalkan sebagai akibat dari gelombang migrasi para pencari emas sejak abad pertengahan masehi itu telah menjadi warisan budaya yang sangat berharga yang membentuk wajah budaya orang Bengkulu hari ini. Suatu wajah yang multi budaya, multi bahasa dan kaya akan sastra dan kesenian. Dari latar belakang yang seperti itulah energi seni dan kreatifitas budaya diciptakan