Pilih Laman

Jumat, 23 September 2016 | teraSeni~

Dialektika dalam berbahasa merupakan ciri khas suatu daerah atau etnik yang bisa ditinjau secara kultural-geografis. Abraham Ilyas mengatakan bahwa ciri khas tesebut tidak muncul begitu saja melainkan dengan melewati fase-fase serius yang termaktub dalam alur sejarah masyarakat darah tertentu. Hal itu dapat dilihat pada masyarakat Minangkabau, misalnya, yang secara geografis menetap di wilayah Sumatera bagian Barat dan berbatasan dengan pesisir pantai Samudera Indonesia.

Dilihat dari tata letak Sumatra Barat secara geografis ini, maka di dalam Tambo karangan Datuak Tuah dikatakan hembusan angin pantai mempengaruhi gaya dan intonasi orang Minangkabau dalam berbicara. Hal ini jelas tampak saat terjadinya dialog dua arah di Minangkabau, di mana masing-masing individu secara alamiah dapat memahami isi pembicaraan tanpa harus dijelaskan secara gamblang.  Masyarakat Minangkabau mengatakan bahwa manusia tahan kias, binatang tahan palu, tau jo bayang kato sampai (tahu dengan bayangan kata sampai) di mana raso dibao naiak, pareso dibao turun (rasa dibawa naik, periksa dibawa turun).

pertunjukan randai-teraSeni
Pertunjukan Randai
(Sumber Foto:
 www.padi-soborang.indonesiaz.com)

Setiap individu di alam Minangkabau dididik untuk menjadi manusia yang mampu menangkap makna setiap ungkapan. Makna ungkapan bisa dikenal melalui kandungan atau isi ungkapan yang biasanya berbentuk kiasan. Setiap interaksi antar individu berkemungkinan bisa memunculkan tata dialog secara etis sehingga melahirkan sebuah tatanan budaya yang baku. Hal ini di Minangkabau dikenal dengan istilah tau jo nan ampek (tahu dengan yang empat), yang terdiri dari: kato mandaki, kato mandata, kato malereng dan kato manurun. Diartikan pula bahwa nan ampek ini juga memiliki fungsi berdasarkan faktor geografis menurut daerah masing-masing.

Setiap kato dalam kato nan ampek yang disampaikan dalam bentuk kiasan tersebut bisa dijumpai dalam  sastra dan seni tradisi Minangkabau seperti randai, saluang dan sebagainya. Kato mandaki digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, seperti dialog yang sering dijumpai di dalam randai, “ka rantau madang di hulu, babuah babungo balun, karantau badan dahulu, di kampuang paguno balun, bermakna kesadaran terhadap diri sendiri bahwa lebih baik memilih untuk pergi merantau disebabkan dirinya belum berguna di kampung.

Kato mandata biasanya digunakan untuk lawan bicara sama besar dari segi umur, bersifat senda-gurau, umpatan serta pujian. Kato malereng merupakan ungkapan halus atau sindiran dari sesuatu yang aslinya bermakna kasar, yang ditujukan kepada seseorang dengan tujuan tertentu: ada udang di balik batu. Seperti dalam kehidupan berumah tangga, pembicaraan yang terjadi antara mamak rumah dengan sumando, misalnya, “Alah abih limau dek binalu,”  yang sebenarnya merupakan sindiran keras tentang masalah yang sering ditimbulkan oleh ulah si sumando, namun disampaikan dengan kiasan, sesuai dengan pepatah harimau di dalam, kambing juo nan kalua.


Jika dalam kato mandaki banyak berisi permohonan, kato mandata merupakan kelakar, dan kato malereng  mengandung sindiran halus maupu kasar, maka aturan untuk kato manurun dipergunakan kepada orang yang lebih kecil yang berisi wajengan atau berupa nasehat-nasehat, misalnya ungkapan yang berbunyi;  tau dahan nan kamaimpok, tau jorantiang nan kamancucuak, yang mana ungkapan tersebut mengandung arti berhati-hatilah dalam setiap kemungkinan yang kadang-kadan bersifat di luar dugaan.

Sesungguhnya pola dialog Minangkabau tidak begitu saja hadir, melainkan melalui beberapa penyebab, antara lain oleh ruang-ruang kultural. Ruang-ruang dimaksud kemudian mengatur sikap dan perilaku masyarakat Minangkabau secara kolektif, yang kemudian terkonstruksi menjadi nilai budaya yang tersebar di surau dan lapau. Sikap kolektif itu juga telah memberikan pemahaman kepada individu-individu untuk mengasah sensibilitas dalam membaca dan mengenali wujud kemanusiaan secara ontologis sebagaimana diungkapkan dalam pribahasa Minangkabau: takilek ikan di dalam aia alah jaleh jantan jo batinonyo, atau pandai mambaco nan tasirek.

Dengan demikian pola dialog Minangkabau lebih menempatkan isian dan maksud kalimat kapada hal-hal yang tersirat atau subteks dialog, di mana hal yang demikian merupakan cikal-bakal sastra di Minangkabau, seperti pantun, gurindam, alua, petatah petitih, dan kaba yang dituturkan secara lisan hingga berkembang menjadi seni pertunjukan randai yang banyak berkembang saat ini di berbagai daerah di Minangkabau.

Seperti seni tradisi pada umumnya, randai merupakan seni pertunjukan yang tumbuh bersama semangat masyarakat yang dilandasi kebutuhan bersama. Dede Pramayoza mengatakan bahwa randai lahir pada tahun 1932, sebagai bentuk pengembangan teater tutur yang disampaikan dengan nyanyian-nyanyian menjadi bentuk teater gerak yang kemudian disebut sebagai randai. Randai sendiri merupakan wujud respons sekaligus identitas budaya yang berperan sebagai antitesis terhadap seni pertunjukan teater Bangsawan yang berkembang pada masa kependudukan Hindia Belanda di Minangkabau.

Randai dapat dikatakan sebagai teater utuh atau “total tater” karena meliputi seluruh bidang seni pertunjukan. Seluruh bidang seni pertunjukan yang dimaksud merupakan percampuran dari tari Minangkabau atau gerak, musik dan nyanyian, dan naskah drama sebagai karya sastra. Gerak dalam randai berpola melingkar dan terkesan seperti tarian adalah bentuk-bentuk gerak yang didominasi oleh gerak silat, sedangkan nyanyian berisikan alur cerita dan disampaikan oleh seorang narator, atau di dalam istilah randai disebut sebagai pandendang. Sementara karya sasra yang menjadi naskah randai berbentuk pantun-pantun, andai-andai serta kiasan.

Dialog tokoh dalam pertunjukan randai  umumnya tidak perlu diucapkan secara jelas, dalam artian cukup dengan isyarat-isyarat atau perumpamaan-perumpamaan. Namun para penikmat atau masyarakat dimana tempat randai tersebut tumbuh umumnya bisa memahami dan menerima secara jelas pesan dari setiap dialog, baik itu yang berupa pesan, maupun sindiran.

Hendri JB menjelaskan bahwa randai sebagai teater tradisional Minangkabau digunakan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai ke-Minangkabauan. Hal ini senada dengan pendapat yang menjelaskan bahwa seni merupakan sarana komunikasi yang paling efektif untuk mencapai tujuan, oleh karena itu randai dilirik sebagai kendaraan dalam mengkomunikasikan identitas budaya Minangkabau yang meliputi dialektika, logika, dan sistimatika alam takambang jadi guru.

Karena itu, dapat dikatakan bahwa fungsi randai dalam transformasi budaya adalah sebagai sarana edukatif, yang diharapkan bisa menjadi acuan untuk mambangkik batang tarandam dan memahami kembali kandungan makna-makna tradisi. Hal ini menjadi menarik karena mengingat konstruksi budaya yang ada di Minangkabau selalu menjadi sumber kreatifitas bagi masyarakatnya. Beranjak dari sebuah ungkapan babaliak kapangka yang merupakan ungkapan khas masyarakat Minangkabau untuk kembali kepada hakikat adat istiadat yang diwarisi oleh nenek moyang.

Hal ini erat kaitannya dengan fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang, fenomena tersebut merupakan arus globalisasi, yang mempengaruhi setiap lini kehidupan masyarakat Minangkabau yang sangat berpotensi untuk menghilangkan rasa sensitifitas terhadap hal-hal yang bersifat ereng jo gendeng (rasa saling menghargai yang ditawarkan lewat sindiran dan ekspresi) sebagai mana pemahaman bagi masyarakat tradisonal Minangkabau, sesungguhnya hal demikian memberi kesan humanis dalam melahirkan sikap kolektif demi kretifitas yang menjadi identitas budaya.

Hal yang paling menarik ialah bahwa pola dialektika bahasa Minangkabau di dalam berkomunikasi antar individu tersebut juga mempengaruhi karya sastra serta dialog-dialog yang terdapat didalam pertunjukan tradisi randai. Pola ini terbukti bermanfaat untuk melestarikan budaya Minangkabau dalam tatacara berkomunikasi sehari-hari yang meliputi kiasan, sindiran, andai-andai, pantun, petatah-petitih dan alur terutama bagi generasi muda.

Pola dialektika bahasa Minangkabau dalam tatakrama berkomunikasi antar tokoh di dalam randai umumnya tetap terkelompok menjadi makna dan fungsi dari kato nan ampek. Pola dialog yang mempengaruhi gaya tutur di dalam naskah randai banyak mempergunakan istilah-istilah, andai-andai, perumpamaan, serta kiasan yang berbentuk pantun. Tutur bahasa yang demikian menunjukkan kepercayaan masyarakat Minangkabau bahwa manusia merupakan mahkluk yang tahan kieh (kias). Dialog yang disampaikan secara kiasan atau sindiran dalam randai tersebut biasanya dapat ditangkap maknanya oleh lawan dialog, dan secara dramatik dan alur cerita sangat biasa pula dipahami oleh penonton, dalam artikata pertunjukan randai yang menggunakan pola dialog semacam ini tetap berfungsi sebagai pertunjukan yang komunikatif.