Selasa, 9 Agustus 2016 | teraSeni ~
Pertengahan bulan Agustus 2016 ini masyarakat seni pertunjukan di beberapa kota di Indonesia akan mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan duel karya dua koreografer tari kontemporer Indonesia, yakni Eko Supriyanto dari Surakarta dan Ali Sukri dari Padang Panjang. Kedua koreografer yang tengah sama-sama mendapatkan banyak sorotan di dunia seni pertunjukan ini, akan menampilkan karya masing-masing secara bersama, yakni tra•jec•to•ry dan Tonggak Raso.
Kedua karya ini dipertemukan karena berangkat dari konsep dan dasar filosofi penciptaan yang hampir serupa, yakni berangkat dari penggalian atas seni beladiri silat. Hal yang membedakan, adalah silat yang yang dijadikan titik berangkat oleh kedua koreografer, karena keduanya berasal dari latar budaya yang berbeda, dan masing-masing sepakat untuk berangkat dari khasanah seni beladiri silat di budayanya masing-masing. Ali Sukri, akan mencoba mengeksplorasi silek Minangkabau, sementara Eko Supriyanto dari silat Jawa.
![]() |
Pergelaran Pesona Silat Jawa-Minang akan mempertemukan Eko Supriyanto (Surakarta) dan Ali Sukri (Padang Panjang), masing-masing dengan karya tra•jec•to•ry dan Tonggak Raso |
Meski memiliki kesamaan dasar filosofi penciptaan, namun karya yang akan ditampilkan oleh kedua koreografer dipastikan akan menampilkan ciri dan gaya yang berbeda. Selain perbedaan latar budaya silat yang dijadikan bahan eksplorasi, perbedaan juga akan timbul karena karya dua orang koreografer ini berbeda generasi. Eko Supriyanto memasuki fase puncak karirnya pada tahun 2000-an hingga sekarang, dan Ali Sukri baru muncul sekitar 10 tahun sesudahnya.
Perbedaan gaya dan karakter tersebut sesungguhnya terepresentasikan secara signifikan dalam karya-karya mereka berdua sejauh ini. Meski keduanya memiliki kualitas stamina, endurance, kecerdasan, dan kepekaan visual yang sama kuat, namun cara pandang mereka terhadap penciptaan karya masing-masing sangat berbeda.
Demikian pula halnya yang akan terjadi dalam projek yang diberi judul Pesona Silat Jawa-Minang ini. Ali Sukri, dengan dasar silek Minangnya, menciptakan Tonggak Raso dengan mengambil sudut pandang ke arah luar, di mana ia merasa pentingnya sebuah tonggak dalam diri seseorang sebagai mekanisme pertahanan diri dalam menerima berbagai pengaruh dari lingkungan luarnya. Sementara, Eko Supriyanto, yang memiliki dasar Silat BIMA di Magelang, memilih untuk menggali ke dalam, menelusuri akar tanah dan filosofi leluhurnya sebagai upaya penguatan identitas, yang ia wujudkan dalam sebuah interpretasi gerak yang dituangkannya dalam karya tra.jec.to.ry.
Projek duel koreografi Pesona Silat Jawa-Minang ini didukung oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia dan Bakti Budaya Djarum Foundation serta bekerjasama dengan berbagai lembaga seni yaitu Yayasan Ekosdance, Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, Universitas Muria Kudus, dan NuArt Sculpture Park, Bandung. Pesona Silat Jawa-Minang akan melakukan tur petas keliling di pulau Sumatera dan Jawa, dengan mengunjungi titik-titik yang dianggap potensial untuk perkembangan seni pertunjukan di Indonesia.
Direncanakan, pementasan akan berlangsung pada tanggal 12 Agustus 2016 pukul 19.00 WIB di Gedung Hoeriyah Adam, ISI Padang Panjang; tanggal 6 September 2016 pukul 19.00 WIBdi Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta; tanggal 8 September 2016 pukul 19.00 WIB di Auditorium Universitas Muria Kudus; dan tanggal 10 September 2016 pukul 19.00 WIB di NuArt Sculpture Park, Bandung.
Eko Supriyanto, meyelesaikan program S1 di ISI Surakarta, dan kemudian melanjutkan studi magisternya di UCLA, AS dalam bidang Koreografi dan Seni Pertunjukan dengan dukungan dari beasiswa Ford Foundation, Asian Cultural Council, dan UCLA. Program doktoralnya diselesaikan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada tahun 2015 dalam kajian Seni Pertunjukan. Pengalaman menari dimulai Eko saat kecil dengan mempelajari beladiri silat di bawah bimbingan BIMA (Budaya Indonesia Mataram) dan tari-tarian Jawa, di Magelang, Jawa Tengah.
Karya-karya Eko telah medapat apresiasi secara luas oleh masyarakat dunia, baik di Indonesia maupun di negara lain, seperti di Amerika Serikat, juga di berbagai panggung dan festival prestitius di Asia, Australia, Afrika dan Eropa. Eko pernah terlibat sebagai penari dalam tur konser Drowned World penyanyi Madonna pada tahun 2001, dan bekerja sebagai Konsultan Tari dalam karya Los Angeles and National Tour of Julie Taymor saat memproduksi teater Broadway Lion King.
Dalam dunia layar lebar di tanah air, Eko telah terlibat menjadi aktor, penari, dan koreografer dalam beberapa film antara lain Opera Jawa (Garin Nugroho, 2006) dan Generasi Biru (Garin Nugroho), Kisah Tiga Titik dan Negeri Tanpa Telinga (Lola Amaria), dan film terbaru Sunya bersama Harry Dagoe. Saat ini Eko fokus membangun EkosDance Company dan Yayasan EkosDance yang menjadi wadahnya menghasilkan karya-karya terbarunya seperti Cry Jailolo (2014-2015), yang baru saja menyelesaikan tour dunia ke festival-festival seni pertunjukan kontemporer di Australia, Eropa, dan Asia, serta karya terbarunya Balabala dan SALT karya tunggalnya yang melengkapi Research Performance Trilogy of Jailolo (2017-2018).
Sementara itu Ali Sukri, yang lahir di Pariaman, 28 Oktober 1978, kini merupakan salah seorang koreografer muda asal Sumatra Barat. Tahun 1994, Sukri lulus SMP dan melanjutkan studi ke Sekolah Teknik Menengah mengambil jurusan bangunan. Tetapi karena semua keluarga mengharapkan Sukri masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia akhirnya ia masuk SMKI di Padang. Ia meneruskan pendidikannya di STSI Padang Panjang.
Di STSI Sukri membuktikan kemampuannya dengan menyusun duet Dentuman Gong untuk memperingati wafatnya perintis tari baru Minang: Hoerijah Adam 10 November 1998. Karya ini berkisah tentang seseorang yang berada di lingkungan yang baru dan harus merintis hidup yang baru dari nol. Bulan yang sama, Sukri membuat Baliak Ka-Asa untuk merayakan ulangtahun STSI Padangpanjang dan mendapat sambutan hangat. Di samping belajar dari Ery Mefri dan pendidikan formal di STSI Padangpanjang, Sukri pernah belajar koreografi dari penata tari Boi G. Sakti, Tom Ibnur, dan mengikuti workshop koreografi penati tari Taiwan kenamaan Lin Hwai-min yang diselenggarakan Kelola di Surakarta 2007.
Lulus S-1 STSI tahun 2002, Sukri menjadi guru tidak tetap di SMKI Padang. Baru tahun 2004 ia menjadi dosen di almamaternya, STSI Padangpanjang sambil tetap aktif membuat karya. Tahun yang sama Sukri mendirikan “Sukri Dance Theatre” sebagai wadah kegiatan kreatif. Tahun 2006, Sukri mengambil program pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta yang ia selesaikan tahun 2008.