Senin, 7 Mei 2018 | teraSeni.com~
Sebuah kisah sederhana mengenai seorang Nyonya rumah dengan seorang pedagang barang antik. Seorang yang sangat cermat dalam urusan tawar menawar. Perlahan namun pasti, dengan tipu muslihatnya, barang paling antik milik Nyonya berhasil dimilikinya. Selain menyoal berurusan dengan pedagang barang antik, hidup Nyonya dibumbui intrik dengan para kemenakan-kemenakan (perempuan) suaminya. Mulai dari status kebangsawanan, hingga pembagian harta tanah pusaka, menjadi masalah yang dilempartuduhkan kepadanya.
 |
Pertunjukan naskah Nyonya Nyonya karya Wisran Hadi oleh Teate UI Depok
Foto: Vhky Murder |
Begitu, tertulis sinopsis sebuah lakon yang berjudul Nyonya Nyonya karya Wisran Hadi di buku program panitia penyelenggara. Sebuah pertunjukan teater yang dipentaskan oleh Teater Univesitas Indonesia Depok pada Rabu 25 April 2018 di Medan Nan Balinduang Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Andalas Padang. Dengan sutradara Alfian Siagian. Pertunjukan ini merupakan rangkaian agenda Festival Nasional Wisran Hadi yang perdana. Helat ini diselenggarakan oleh Teater Langkah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang.
Panggung pertunjukan yang dinamai dengan Medan Nan Balinduang itu tampak remang. Pentas pertunjukan sejenis Arena tersebut di sekelilingnya dibalut dengan kain hitam. 3 buah lampu dipasang di batten atas penonton, menghadap panggung, sehingga menyinari wilayah panggung sebagai area bloking aktor. 2 lampu berwarna merah dan biru dipasang di belakang panggung sebagai backlight, untuk menekankan suasana tertentu ke beberapa set di atas panggung.
Beberapa set terlihat di beberapa titik, masing-masing set dibuat tanpa batas yang jelas di antara yang satu dengan yang lain. Di kanan panggung, beberapa box yang dibungkus kain hitam disusun sama tinggi, satunya memanjang dan satunya lagi melebar. Lalu, para pemain mengidentifikasinya sebagai ruang tamu, serupa sofa dan meja tamu.
Di sebelahnya, kira-kira bejarak 1 meter. Beberapa kotak juga disusun sebagai tempat duduk, di depannya agak meninggi dan diberi alas. Yang kemudian pemain menggambarkan sebagai meja makan, meskipun tidak ada piring, gelas, ataupun ceret tempat minum seperti layaknya sebuah meja makan.
Di sebelahnya lagi, satu buah level memanjang, diatasnya diberi alas sedikit tebal. Disampingnya bediri sebuah bingkai, di depan bingkai diletakkan bangku kecil. Jika aktor duduk di bangku tersebut dan menghadap ke bingkai di depannya, maka akan terlihat serupa orang bercermin. Ya, itu seperti kamar tidur. Kamar tidur Nyonya yang nantinya diduduki oleh pedagang barang antik bersama Nyonya.
Kemudian di kiri belakang panggung satu level lagi sebagai tempat pemusik juga sekaligus menjadi terminal tempat untuk para aktor menunggu giliran bagian mereka masing-masing. Tempat ini juga menjadi tempat aktor untuk nyeletuk-nyeletuk kepada pemain yang sedang berdialog.
Agaknya, pementasan tersebut dilekatkan dengan pendekatan Lenong, tak lain adalah teater rakyat Betawi. Dimana salah satu ciri khasnya adalah celetukan-celetukan bodoran, humor-humor khas Betawi oleh aktor lain dari luar area permainan sebagai bentuk improvisasi permainan, atau cairnya sebuah pementasan.
Antara Seorang Laki-laki, Para Perempuan, Dan Uang
Di kiri belakang pangung, dua orang dengan gitar klasik dan lima orang aktor sedang bersiap untuk pementasnnya. Selayaknya Lenong, pertunjukan malam itu dibuka dengan sebuah lagu yang dinyanyikan secara bersamaan. “ai senangnya dalam hati, kalau beristri dua”.
Ya, Madu Tiga, sebuah lagu gubahan Puteh Ramlee atau yang kita kenal dengan P Ramlee. Lagu yang populer pada tahun 60an, yang menyindir dengan satire laki-laki kaya yang gemar berpoligami. Alih-alih lagu itu dinyanyikan dengan merdu diiringi petikan gitar klasik, tetapi terdengar sangat fales dan tidak masuk matnya.
 |
Tampak ekspresi aktor sedang bernyanyi bersama
Foto: Vhky Murder |
Sekiranya itu tampak disengaja, seolah benar-benar sedang mengejek laki-laki beruang yang memberlakukan perempuan sebagai barang, siap dibungkus jika hitungan tulus.
Tak lama setelahnya, dari kanan panggung seorang laki-laki (Tuan) dengan kostum celana berbahan kain dengan baju kemeja bunga-bunga. Ia masuk sambil bernyanyi-nyanyi kecil, seolah ia sangat senang sekali. Laki-laki itu bediri di teras rumah Nyonya. Nyonya dengan busana celana rok monyet keluar menghampirinya dan menanyakan untuk alasan apa ia bediri di teras rumahnya.
Barangkali Tuan merasa di atas angin setelah hari sebelumnya ia bisa membeli sepetak tanah di depan rumah Nyonya. Lantas beranggapan bahwa ia akan bisa membeli lebih banyak apa yang ada di rumah Nyonya tersebut.
Kontan saja, ia menyatakan ingin membeli marmar dan atap rumah tempat ia berpijak. Tatkala Nyonya ingin mengusirnya, ia menawar dengan harga tinggi, lalu suasana hati Nyonya tampak berubah dari ekspresinya. Seolah dengan uang suasana bisa berubah dengan cepat. Dengan mudahnya Tuan berhasil membeli teras rumah dan atap di depan rumah Nyonya. Kemudian Tuan pergi meningglkan rumah Nyonya dengan girang. Begitu juga Nyonya, tak kalah girang sambil menghitung uang.
Seorang perempuan muda memasuki panggung. Perempuan itu tak lain adalah keponakan Datuk, suami Nyonya. Berdalih ingin mengabarkan keadaan Datuk yang tidak lagi bisa bicara. Padahal Nyonya sudah mengira bahwa kedatangan ponakan suaminya itu berarti sebuah persoalan. Maka, Nyonya buru-buru memasukkan uang tersebut ke dalam kutangnya. Namun, merasa berhak atas harta di rumah Datuknya perempuan tersebut berhasil mendapatkan uang dari Nyonya.
Di samping kanan panggung, pemusik dan beberapa orang aktor merespon apa yang dimainkan di atas panggung. Mereka merespon dengan celetukan-celetukan khas Lenong di sela-sela obrolan Tuan pedagang dan Nyonya. Celetukan tersebut mencoba didekatkan dengan apa yang ada di Sumatera Barat, misalnya Semen Padang, masakan Padang.
 |
Aktor mencoba merespon dialog dengan celetukan-celetukan
Foto: Vhky Murder |
Babak kedua kembali dimulai dengan nyanyian yang sama. Hanya saja tidak dinyanyikan dengan utuh, hanya satu bait. Menariknya, sebagian liriknya diganti dengan apa yang menjadi persoalan di bagian pertama. Semisal, “uangnya dalam hati, kalau beristri dua”.
Tampak Tuan telah berada di kursi tamu milik Nyonya. Ia duduk sambil mengelus-elus kursi tersebut. Seakan ia begitu yakin akan bisa memiliki kursi tersebut. Tentu saja Nyonya kaget, namun dengan dihargainya kursi tersebut dengan uang yang banyak, maka kekagetan Nyonya berubah drastis dengan kerlingan mata tanda ingin memiliki uang tersebut. Semudah mengitung uang, begitu mudah pula kursi itu menjadi milik Tuan pedagang.
Nyaris sama dengan babak pertama, ketika Nyonya begitu senang mendapatkan uang, ketika itu pula keponakan suaminya datang. Kedatangan keponakan suaminya itu tentunya persoalan. Tidak hanya itu, persoalan-persoalan pada bagian ini semakin mengemuka setelah kehadiran seorang perempuan memakai daster yang mengaku sebagai istri Tuan pedagang yang mencari suaminya. Bisa-bisa nama baik Nyonya bisa tercoreng jika ternyata Tuan pedagang berada di dalam rumahnya.
Babak ke tiga, pola petunjukan sudah bisa diterka. Dimulai dengan nyanyian, kemudian Tuan pedagang duduk di meja makan milik Nyonya. Lalu Nyonya terkaget, dan Tuan mengeluarkan uang, kemudian Tuan pergi meninggalkan setumpuk uang.
Tak lama setelahnya dua orang keponakan Datuk masuk mebawa kabar dari dokter bahwa lidah Datuk akan dipotong, dan Datuk tidak akan bisa bicara lagi. Agaknya ini bagian yang cukup seru, tampak aktor sedikit bermain-main. Terdengar dialog-dialog pingpong masing-masing aktor, sesekali mengajak penonton ikut merespon apa yang mereka mainkan. Improvisasi atas kesalahan-kesalahan dialog menjadi humor tersendiri bagi penonton.
 |
Nyonya menerima seikat uang dari tuan pedagang
Foto: Vhky Murder |
Meskipun dengan pola yang hampir sama, babak ke empat menjadi agak riuh. Penonton mulai terpancing untuk ikut berceletuk merespon lelaku aktor. Tawa, suit-suit penonton mulai pecah ketika Nyonya dan Tuan pedagang mulai semakin intim.
Terutama pada bagian akhir, setelah merasa berhasil memilik hampir seisi rumah Nyonya, Tuan pedagang pun masuk dan hendak memiliki ruang paling privasi Nyonya. Yaitu kamar tidur. Tampak ekspresi-ekspresi centil Nyonya sambil merapikan rambutnya di depan cermin. Tuan pedagang yang sedang duduk di atas ranjang semakin bergairah merayu untuk menawar barang yang paling antik Nyonya. Pertunjukan diakhiri dengan dialog yang konotatif, antara tawaran harga yang semakin naik dengan pegangan Tuan pedagang yang juga semakin naik. Dari tumit, betis, paha, lalu tawa penonton pecah.
 |
Tuan sedang menghitung uang diatas ranjang Nyonya
Foto: Vhky Murder |
Pertunjukan Lakon Nyonya Nyonya: Akankah ini Drama Keseharian Kita Kita?
Seusai pertunjukan, ketika diskusi digelar, Alfian Siagian selaku sutradara mengakui bahwa pertunjukan ini tidak dibekali dengan pemahaman mendalam dari aktor-aktornya. Para aktor yang terlibat dalam proses tesebut merupakan mahasiswa-mahasiswa angkatan baru yang dengan senang hati telah memilih teater sebagai ruang pengembangan diri mereka. Menurut Alfian, soal pemahaman itu barangkali soal nomor sekian, setelah yang pertama adalah kemauan anak-anak muda untuk mau terlibat bermain teater. Pemahaman yang dimaksud barangkali menyangkut konteks sosial yang melingkupi naskah yang disutradarainya. Naskah Nyonya Nyonya yang ditulis oleh Wisran Hadi, seorang seniman sekaligus budayawan Sumatera Barat. Sebagaimana dalam naskah-naskah, cerpen, novel serta esai, kritik yang ditulisnya, yang melulu mengkritisi dan membenturkan dengan apa yang sudah diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat Minangkabau. Baik itu menyoal mitos-mitos, hikayat-hikayat, legenda, maupun konsep hidup yang tertuang dalam adat, dan budya Minangkabau.
Kejujuran itupun diiyakan oleh para aktor, bahwa mereka tidak punya bacaan atau referensi yang banyak soal naskah, ataupun menyangkut tema yang diangkat ke dalam naskah tersebut. Namun, terlepas dari itu semua, bagaimanapun naskah itu dipentaskan malam itu. Bagaimanapun aktor bemain di panggung, bagaimanapun musik dan lagu dinyanyikan dengan fales, hal tersebut tampak tak mengurangi antusias penonton memadati panggung arena Medan Nan Balinduang FIB Univesitas Andalas Padang malam itu.
Penonton yang hadir ikut larut dalam canda tawa dari adegan per adegan yang dimainkan. Mereka serupa sangat akrab dengan joke-joke yang dilontarkan aktor, serupa ketika aktor mangatakan “Datuk sudah tidak bisa bicara lagi”, “lidah Datuk akan dipotong”. Tentu pada konteks tertentu kalimat serupa itu menjadi sesuatu yang lain. Sebagaimana yang kita ketahui pada kebudayaan tertentu, katakanlah di Minangkabau, atau Melayu, Datuk merupakan gelar kehormatan yang dilekatkan kepada orang yang dituakan, orang-orang yang tinggi harkat dan martabatnya, barangkali serupa penghulu adat. Orang-orang serupa ini adalah orang-orang yang lidahnya sangat “masin” di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang sebetulnya merepresentasikan suatu masyarakat. Orang-orang tak lain adalah corong suatu masyarakat. Pada forum-forum tertentu orang-orang inilah yang menjadi wakil suatu masyarakat.
Akan tetapi, dalam pementasan ini orang serupa itu seolah tidak mempunyai daya upaya. Ia digambarkan serupa judul lagu, terkecoh pada yang terang. Orang yang besar bertuah, orang yang keras buku lidah, juga sedang terlibat memperebutkan talang yang pecah.
Tidak hanya menyoroti sosok yang terhormat, tokoh perempuan juga menjadi sosok yang disigi dalam pementasan ini. Bagaimana perempuan digambarkan sebagai sosok yang materialistis. Perempuan sekiranya tak butuh akal sehat ketika sudah menyangkut soal uang, soal tawar-menawar. Jika harga sudah pas maka segera akan ditancapkan gas, lalu setelahnya adalah tawa puas.
Ya, agaknya tawa sebagai sebuah tanda kepuasan pada pertunjukan malam itu, setidaknya bagi saya. Kelompok teater Universitas Indonesia Depok serupa sedang mempertunjukan kebiasaan-kebiasaan serta kepuasan-kepuasan pada kekeliruan yang terlanjur dianggap lumrah bagi masyarakat kita. Saya kira penonton dengan puasnya pula serupa sedang menertawakan diri mereka sendiri, menertawakan ibu-ibu mereka sendiri, bapak-bapak mereka sendiri, kakak, paman, bibi, etek, om, tante, mamak, serta Datuk mereka sendiri.