Senin, 5 Desember 2016 | teraSeni~
Paska menurunnya hasil produksi dan ketersediaan lahan tebu, tepatnya pada puncak krisis moneter 1997-1998, pabrik gula Colomadu, Karanganyar berhenti beroperasi. Bangunan tua, gagah, nan besar tersebut mangkrak ditinggalkan pemodal dan pekerja begitu saja. Kini pabrik gula yang dibuat sejak tahun 1861 tersebut hanya menjadi bangunan tidak berpenghuni, yang kian ditinggalkan. Namun nasib naas tersebut seakan berubah seketika dengan kedatangan seorang seniman tari senior, Sardono W. Kusumo, yang hadir untuk ‘menghidupkan kembali’ pabrik gula tersebut dengan cara yang berbeda.
Sejak setahun silam, Sardono menggunakan kembali pabrik gula Colomadu, alih-alih difungsikan kembali seperti sedia kala, pabrik gula tersebut justru disulap menjadi arena pertunjukan. Hal ini cukup menarik, terlebih pemanfaatan ruang dan menggunakannya sebagai arena pertunjukan memang tidak lazim bagi seni pertunjukan Indonesia ‘modern’ yang kerap menggunakan panggung dan proscenium. Sebuah upaya melawan konvensi pertunjukan yang kerap mengukung ide dan imajinasi akan tempat pertunjukan. Selain itu, tidak hanya menempatkan pabrik gula Colomadu sebagai ruang pertunjukan semata, Sadrdono dkk turut merespon pelbagai mesin yang teronggok dan menjadikannya sebagai bagian dari pertunjukan.
Mesin-mesin yang tak lagi terpakai, menjadi Ruang Pertunjukan dalam Fabriek Fikr 2, Karya Sardono W Kusumo |
Sekiranya hal itulah yang dapat penonton rasakan ketika datang menyaksikan pertunjukan Fabriek Fikr. Serupa dengan tahun lalu, pertunjukan tersebut hanya ditampilkan di dua hari saja, dan lazimnya dihelat pada pertengahan bulan November—tahun ini dihelat pada 19 dan 20 November 2016. Untuk pertunjukan kali kedua ini, Fabriek Fikr mengusung Expanded Performance sebagai tajuk utama yang membingkai keseluruhan pertunjukan. Sebagaimana expanded adalah meluaskan, pertunjukan ini mengajak para penonton untuk membuka cakrawala imajinasi sebebas-bebasnya ketika menyaksikan pertunjukan.
Ketika Mesin Pabrik ‘Menari’
Sore menjelang petang (20/11), para penonton diarahkan berjalan memasuki pabrik gula Colomadu yang sudah tidak lagi digunakan. Diarahkan untuk berjalan ke area dalam pabrik, penonton memang dibiarkan melihat pelbagai mesin yang teronggok dan tidak lagi difungsikan. Sesampainya di area dalam, terdapat sebuah demo memasak dari teman-teman Papua yang interaktif. Dalam sesi di awal ini, mereka ingin memperlihatkan tingkat adaptasi dalam menyiasati pahitnya kehidupan di kota lain. Tidak dikondisikan khayalnya para chef yang berkontestasi di televisi dengan segala peralatan dan busana lengkap, para teman-teman Papua memasak dengan cara mereka sendiri. Diberikan tajuk Papua Kuliner, aktivitas yang mereka lakukan dirasa cukup unik, terlebih prosesi memasak hingga memakannya tidak akrab dalam sebuah perhelatan berbingkai seni pertunjukan.
Setelahnya perhatian penonton diarahkan pada panggung di antara mesin-mesin mangkrak. Beberapa penari perempuan dengan tatapan ‘kosong’ mulai memasuki dengan perlahan. Tidak menari dengan ragam dan koreografi yang serentak, para penari merespon segala sesuatunya secara personal. Alih-alih pertunjukan menampilkan sajian tari lazimnya, sebuah painting performance disajikan di atas panggung setelah para penonton dibuat cukup ‘kenyang’ dengan hindangan dari aktivitas masak-memasak sebelumnya.
Para performer di antara mesin-mesin tua, dalam Fabriek Fikr 2, Karya Sardono W Kusumo |
Painting Performance sebagaimana sebuah peristiwa seni yang membaurkan disiplin seni tari dan seni rupa memang kerap menjadi aktivitas kekaryaan Sardono dalam beberapa pertunjukan terakhirnya. Lantas mereka merespon kanvas yang telah tersedia dengan beragam gerak yang tidak terkira. Meraih cat dan menggoreskannya ke kanvas tanpa ancang-ancang tidak seperti yang dilakukan para pelukis terkemuka. Bahkan mereka berguling, merangkak, dan menggeliat, yang bukan sebuah kebiasaan dari para pelukis dalam membuat karya.
Namun hal ini lah yang kian menarik, di mana perpaduan antar bidang terjadi, namun hal yang ditakutkan lazimnya adalah tenggelamnya tubuh dengan pelbagai wacana dan properti (artistik), dalam pertunjukan ini tubuh tari tetap menjadi media utama dalam perkelindanan dari pelbagai bidang tersebut. Berbeda di dua hari pertunjukan, pada hari pertama Sardono turut tampil dalam sesi painting performance. Sebagaimana Sardono telah menekuni pertunjukan dengan gaya tersebut beberapa waktu lampau, maka ekspresi dan gekstur Sardono terasa sangat menjiwai, sederhana, dan tidak berlebihan. Sedangkan pada hari kedua, Sardono justru memilih untuk menyaksikan Painting Performance dari bangku penonton.
Tidak lama berselang, seorang laki-laki berjanggut—yang adalah Tony Broer—memecah perhatian di atas panggung dengan berdiri menatap di antara aktivitas painting performance. Setelahnya ia turun panggung dan memanggul seng berjalan memalang di antara penonton bersama lima laki-laki dengan wajah terperban. Memecah perhatian, seakan mengajak penonton untuk memalingkan perhatian ke arah mereka. Lalu mereka terhenti pada sebuah pelataran memanjang dengan beberapa kemah dan pakaian terjemur di antara bilah-bilah tiang pabrik. Pada Fabriek Fikir kali kedua ini Tony memang cukup mengagetkan dengan keinginannya mendirikan sebuah tenda yang akan ia tinggali semalam sebelum pertunjukan dihelat.
Tentu pilihan Tony untuk berkemah di pabrik gula yang tidak berpenghuni adalah ide yang ‘gila’, namun di sinilah yang menarik dari Tony Broer, di mana ia berupaya mengenali dan mencari sari atas tempat secara lebih mendalam. Alhasil pilihan berkemah untuk merasakan pengalaman yang ‘lebih’ bersama bangunan mangkrak tersebut lebih terjalin. Proses keterjalinan itu lantas Tony wujudkan ketika sesi pertunjukannya. Ia banyak melakukan aktivitas untuk menciptakan suara-suara dengan seng; menatap tajam ke arah penonton; bermain dengan keseimbangan dari beberapa penampil berperban. Setelah beberapa menit berselang, seorang perempuan berbusana merah terang membelah penonton. Ia berjalan perlahan menatap tajam ke arah Tony dan penonton, dengan minim interaksi namun tersimpan ragam interpretasi.
Lantas para penonton teralihkan kembali, tersebar pada beberapa titik, yakni pada ruang panjang yang tersiar pertunjukan dan proses Sardono atas kekaryaan puluhan tahun silam. Dengan tajuk Expanded Cinema, Sardono sekaligus mempelihatkan fase retrospektif yang telah dilakukan setahun sebelumnya. Sedangkan di sisi ruang yang lain para penari papua turut melakukan tarian dan merespon pelbagai benda di sekitarnya.
Setelahnya penonton diajak kembali berjalan ke ruang depan, di sebuah ruang dengan roda-roda mesin yang cukup besar. Di perjalanan menuju ruang tersebut, para penonton kembali dialihkan kepada praktik Pantomime dari pantomim senior, Jemek Supardi. Kerap disebut sebagai Bapak Pantomim Indonesia, Jemek telah menarik perhatian dengan praktik-praktik pantomimnya yang tidak menghibur, namun turut merespon ruang pabrik.
Di ruang depan, seorang perempuan berhijab panjang dan bercadar dengan bentuk mata kearab-araban berdiri di depan sebuah pemutar musik layaknya disc jockey di club-club malam. Mulai memutar lagu-lagu electronic dance music, dengan alunan musik bertempo tetap dan cepat. Para penampil yang terdiri dari sesi Papua Kuliner, Tony Broer dkk, hingga Pantomime, turut serta dalam sesi tersebut. Yang menarik dalam sesi ini, di belakang arena pertunjukan turut tersiar sebuah proyektor yang menampilkan pelbagai film Charlie Chaplin versi hitam putih. Alih-alih hanya merespon bunyi, para penampil turut merespon ruang pabrik. Alhasil pelbagai gerak seperti bergoyang menikmati lagu secara personal, merayap dan memanjat pelbagai ruas roda, berjalan di antara mesin, berlari ke pelbagai sisi, tidaklah asing dilakukan dalam sesi ini.
Kendati terlihat layaknya improvisasi dalam merespon ruang, namun yang menarik dari sesi ini adalah eksplorasi para penampil. Di sini justru kita dapat melihat sejauh mana mereka dapat bersinergis dengan mesin yang telah mati, dan menghidupkannya kembali dengan cara yang berbeda. Bagi mereka yang dapat memberikan impresi bahwa mesin kembali hidup, maka penampil tersebut dapat dibilang baik. Dan beberapa penampil telah melakukan itu. Kendati tidak semua dapat mewujudkannya.
Salah satu adegan dalam Pertunjukan Fabriek Fikr 2, Karya Sardono W Kusumo |
Setelahnya para penonton diarahkan untuk keluar dari gedung pabrik. Telah disediakan bangku bersaf dan berjejer dengan kuantitas yang cukup banyak, para penonton diarahkan menatap ke arah panggung. Beberapa menit berselang penonton dimanjakan dengan Video Mapping yang ditembakan ke bangunan bagian depan gedung. Video Mapping yang kini tengah naik daun tersebut telah memberikan sebuah tontonan yang memanjakan mata. Beragam grafis ditembakan ke dinding bangunan, turut bercerita menceritakan aktivitas pabrik, hingga beragam cerita terkait seni dan budaya.
Tidak hanya menunggalkan video, pada akhir sesi yang adalah akhir pertunjukan, para penampil turut berkolaborasi dengan merespon ruang visual dinding di sebuah panggung yang telah disiapkan. Bagi mereka yang duduk di bagian depan kursi maka akan tahu seluk beluk korelasi antara video mapping dengan gerak para penampil, tetapi hal tersebut tidak terlalu tertangkap dari bagian belakang bangku penonton. Alhasil penonton tidak mengetahui detil apa yang penampil lakukan di panggung selain upaya bahwa mereka tengah mencoba untuk mengisi ruang.
Interpretasi Ruang dan Ragam Gerak Tubuh
Menyulap sebuah pabrik gula menjadi sebuah arena pertunjukan memang bukan soal mudah, banyak hal-hal yang patut dibayar. Seperti konsepsi pabrik dengan mesin dan aktivitasnya, di mana pabrik kerap ‘memenjarakan’ kebebasan manusia menjadi sebuah mesin kerja. Alhasil kerap kali alienasi—kerap digunakan Karl Marx dalam analisa kapitalismenya—marak terjadi, di mana sebuah perasaan keterasingan akan nilai kebendaan yang diciptakan, dan keterasingan atas dirinya sendiri. Hal tersebut memang terbukti benar, di mana para pekerja terkukung akan jadwal yang padat, tegas, dan dilakukan setiap hari. Akhirnya kebebasan dari individu yang berada di dalamnya semakin pudar dan menghilang perlahan.
Bertolak dari hal tersebut, Sardono membayar dan mereinterpretasi konsepsi akan pabrik menjadi ‘pabrik’ yang berbeda. Dan hal tersebut ia bayar dengan ‘jalan’ seni. Di mana pabrik yang identik dengan cara kerja yang robotik dan sistemik, menjadi humanis yang menunggalkan kebebasan. Hal ini dapat dilihat dengan pelbagai gerak improvisasi dan ragam gerak yang berbeda dari satu penampil ke penampil lainnya. Lantas gerakan-gerakan tersebut tidak hanya dinikmati sebagai mengisi ruang pertunjukan semata, namun turut terjadi dialog antara mesin dan tubuh, yang secara lebih lanjut menautkan dialog akan keteraturan dan kebebasan.
Adegan lain dalam Pertunjukan Fabriek Fikr 2, Karya Sardono W Kusumo |
Dan dari apa yang Sardono lakukan dengan pertunjukan Fabriek Fikrnya, sebuah tawaran atas site spesific akan pertunjukan telah dilakukan. Senada dengan apa yang diungkap oleh Nick Kaye—seorang scholar performance studies yang mengkaji persoalan tersebut belakangan ini—, di mana site spesific menekankan adanya ‘pembaruan’ akan konsepsi tempat yang lama, dengan menemukan persepsi baru di tempat tersebut ketika pertunjukan dihelat. Dalam hal ini Kaye turut menekankan bahwa perihal site spesific diperlukan pemikiran kritis dalam melihat lanskap tempat (place) dan ketertautannya dengan ruang (space) yang tidak terbatas. Persis dengan apa yang dilakukan Sardono dalam upaya Fabriek Fikrnya.
Lalu, mengingat Sardono adalah seorang seniman tari yang ‘beyond’ dari tari, alhasil tidak dapat dipungkiri bahwa yang dipertunjukan pada Fabriek Fikr bukan melulu soal tari, tetapi seni yang lintas disiplin, lebih luas. Sebagai contoh: Painting Performance, Pantomime, Papua Kuliner, dsbnya. Terbetik dari hal tersebut, kendati Sardono melakukan praktik lintas disiplin, namun ada satu benang merah tersemat yang dapat diyakini, yakni kesadaran tubuh dalam beragam jenis pertunjukan telah ia kurasi. Dan dalam pelbagai pertunjukan lintas disiplinnya, Sardono memang tidak lagi menampilkan gerak tari yang ansih khayalnya bedhaya atau tari tradisi lainnya, tetapi Sardono memperlihatkan bahwa tubuh tetap menjadi sumber dan esensi utama dari tiap nomor yang dipertunjukan di kedua hari perhelatan.
Namun tidak ada gading yang tidak retak, selain di pertunjukan ini menawarkan satu kebaruan akan cara pandang pertunjukan dan korelasinya pada tempat tertentu. Agaknya ada beberapa catatan terkait pertunjukan tertaut. Di mana penggunaan ruang pabrik yang telah mangkrak memang sangat mencuri perhatian, tetapi yang ditakutkan adalah tidak terbayarnya dengan nomor-nomor pertunjukan yang sama menawannya dengan ide penggunaan pabrik tersebut. Dalam hal ini, bukan berarti beberapa nomor karya yang digarap tidak cukup kuat, namun ekspektasi dari penggunaan ruang baru terkadang ‘menuntut’ karya tertampil tidak hanya layak untuk dipresentasikan, tetapi juga memberi pesona yang serupa. Dan semoga hal ini dapat terbayar Fabriek Fikr 3, mungkin dengan sebuah nomor tari ‘baru’ dari Sardono sebagai ‘partai’ pamungkas pertunjukan di tahun depan?[]