Pilih Laman
Minggu, 2 Desember 2018 | teraSeni.com~

Di pertengahan Oktober 2018 lalu, saya diajak bertemu oleh Roni “Keron” Putra di Padang. Ia mengundang Metasinema dan Shelter Utara untuk datang ke Payakumbuh dalam agenda pertemuan komunitas seni anak muda di Sumatra Barat. Setelah bertemu beberapa saat itu, Keron langsung pergi ke Solok, untuk mengundang komunitas-komunitas seni di sana. Ternyata selama tiga hari itu ia bersama rekannya berkeliling Sumbar untuk mengundang komunitas-komunitas seni di provinsi ini. Sebelum ia beranjak dari Padang, saya tanyakan “komunitas seni seperti apa yang Abang undang?”yang terlihat aktif, baik itu di nyata atau di maya, jawab Keron. 

24 November 2018, pukul 20.00 malam, di Basecamp Legusa Fest, Nagari Tanjung Haro, Kabupaten Lima Puluh Kota, agenda itu dihadiri oleh sebelas komunitas berbasis seni dari berbagai daerah di Sumbar. Diselenggarakan oleh Payakumbuh Youth Artee Committee (PYAC), pertemuan itu dijuduli Lokakarya Seni dan Anak Muda: Mengisi Ruang Kosong Kota. Keron sebagai moderator memberi pengantar dan latar belakang agenda tersebut. Pertemuan ini muncul merespon semaraknya media sosial yang berisi kegiatan komunitas-komunitas berbasis seni di Sumbar, munculnya ruang dan media alternatif yang dikelola oleh anak muda, bahkan yang mengisi media cetak di Sumbar kebanyakan anak muda. Bahkan, kegiatan-kegiatan tersebut telah ikut turut menyumbang sesuatu untuk citra dan branding kota. Lantas kenapa kita tidak saling bersinergi dan berkolaborasi untuk memajukan kesenian di Sumbar? 
lokakarya PYAC: teraseni.com
Anak-anak muda pegiat seni Sumatera Barat saling membicarakan apa yang telah dan akan mereka kerjakan
Sepuluh komunitas itu adalah: PYAC berbasis di Payakumbuh, Legusa, di tempat agenda itu berlangsung, Sibiran, Metasinema, dan Shelter Utara berbasis di Padang, Ladang Rupa dari Bukittinggi, Sarueh di Koto Tuo Ampe Angkek, Agam, Takasiboe dari Solok Selatan, Gubuak Kopi di Solok, Sapakek di Padang Panjang, dan 9 Pucuak Fest di Sungai Talang, Lima Puluh Kota. 
Keron meminta para komunitas dengan perwakilannya untuk mengenalkan diri dan apa kegiatan-kegiatannya, dan bagaimana pembacaan serta respon atas kondisi bidang yang digeluti. Pada bagian selanjutnya, pembahasan berlanjut pada kemungkinan kolaborasi antar komunitas. Kebetulan saya diminta untuk jadi pencatat pembicaraan, saya coba rangkum poin-poin itu seperti berikut. 
Komunitas dan Sikap Terhadap Kondisi Sekitar 
Keron melanjutkan dengan penjelasannya mengenai PYAC. Di Payakumbuh, banyak anak muda dengan segala macam kreativitasnya, mereka coba untuk berkumpul dan membuat sebuah ruang jejaring bernama PYAC. Diniatkan untuk merealisasikan ide-ide yang ada pada diri anak muda itu, sehingga tercipta sebuah momen untuk dinikmati oleh warga, bisa untuk saling mendukung dan menginspirasi. Salah satu kegiatannya adalah Ngopini, sebuah diskusi yang dilaksanakan setiap bulan di sebuah kafe atau ruang terbuka untuk mebicarakan fenomena anak muda yang merespon kondisi sekitarnya, baik itu di kesenian, kebudayaan, industri kreatif, sejarah, dll. 
lokakarya PYAC: teraseni.com
Setiap komunitas mempresentasikan program
Vhky Putra dari Sibiran melajutkan pergiliran mikrofon. Dari sebuah industri kreatif, memproduksi buah tangan (merchandise) dari kayu-kayu, kemudian berkembang menjadi ruang kegiatan musik dan teater. Kebiasaan mereka semenjak jadi mahasiswa yang dekat dengan kegiatan itu, ditambah keengganan untuk bekerja dibawah orang lain, akhirnya membentuk sebuah komunitas Sibiran.Ia melanjutkan dengan pengamatannya atas kondisi komunitas seni di Padang.Ia merasa ada yang tidak sehat, komunitas serta kegiatannya itu terfragmen, dan jarang yang melebur antara lain. Akhirnya muncul nabi-nabi (baca:penggiat) di antara mereka, bersabda untuk lingkungan mereka pula. 
Namun, Shelter Utara, seperti yang dipaparkan salah satu penggiatnya Randi Reimena, hadir dan berusaha untuk meleburkan kondisi itu. Sebagai perpustakaan terbuka dan ruang yang bisa dipakai untuk diskusi, pertunjukan, pemutaran, dengan beragam kegiatan disana, mulai dari sastra, musik, film, fotografi, sejarah, dan filsafat. SU agaknya telah berhasil mempertemukan orang-orang dari berbagai kalangan serta memicu berlangsungnya interaksi lintas disiplin. 
Saya menceritakan mengenai posisi Metasinema, yang notabene adalah Unit Kegiatan Mahasiswa, di Universitas Andalas. Satu-satunya komunitas kampus yang hadir di pertemuan ini. Metasinema mencoba menjadi ruang untuk mempelajari film, baik itu sekedar hiburan atau tak sekedar hiburan, karena siapa saja dan dimana saja bisa menonton bahkan memproduksi film hari ini. Atas itu perlu rasanya mengambil kesempatan untuk menjadikan film sebagai medium edukasi. Dengan semangat itu lahirlah program apresiasi seperti Layar Terkembang dan Andalas Film Festival. 
lokakarya PYAC: teraseni.com
Setiap komunitas juga saling bertanya dan berjawab
Lain pula kondisi di kota Bukittinggi dan Padang Panjang. Ladang Rupa lahir karena merespon keengganan kota Bukittinggi atas kegiatan kesenian, terutama seni rupa, jelas Ogy Wisnu, salah seorang penggiat di Ladang Rupa. Sedangkan di Padang Panjang yang telah berdiri kampus seni, mayoritas warga di luar kampus berpandangan negatif atas kesenian, papar Maulana Ahlan, seorang penggiat di Sapakek. Untuk itu mereka mencoba hadir di tengah-tengah masyarakat, dan memperkenalkan seni dengan sehat. 
Sedangkan di Solok, ada Gubuak Kopi yang konsisten dan produktif belakangan ini. Mereka berusaha untuk membaca kebudayaan sekitar, mulai dari sejarahnya hingga perkembangannya hari ini, yang kemudian direproduksi dan didistribusikan dengan seni media. Beberapa programnya adalah Lapuak-Lapuak Dikajangi, Daur Subur, dan Sinema Pojok. 
Jika itu adalah gambaran komunitas dan aktivitasnya di kota, beberapa komunitas fokus di wilayah rural, seperti Legusa dan 9 Pucuak Fest. Andes Satolari menjelaskan ada kondisi yang memprihatinkan di kampungnya.Anak-anak muda kebanyakan mempunyai kegiatan yang negatif, seperti ma lem (menghisap lem), ia contohkan. Atas itu, ia dan kawan-kawan mencoba mengaktifkan kembali kesenian yang pernah ada di jorong-jorong, mengajak anak-anak muda untuk menyentuh kesenian mereka, dan dirayakan di nagari tempat kesenian itu tumbuh.Perayaan itu kemudian disebut Legusa Fest. 
Tidak jauh dari Nagari Tanjung Haro, ada kawan-kawan di Sungai Talang yang memicu potensi-potensi yang ada di nagari mereka untuk digiatkan. Mulai dari bidang pertanian, kerajinan, kuliner, adat, kesenian dipantik dan dirayakan nantinya di 9 Pucuak Fest. Serupa pula dengan apa yang digalakkan oleh komunitas Sarueh di Agam, mereka berusaha untuk mengajak anak muda untuk berkegiatan dan berkesenian, sambung Muhammad Lutfi, salah satu penggiatnya. 
lokakarya PYAC: teraseni.com
Foto bersama seusai lokakarya
Dan tidak semua daerah pula mempunyai ruang-ruang kreatif untuk menstimulus anak muda di sekitarnya. Mardani Syah salah satu anggota Takasiboe menggambarkan kondisi Solok Selatan yang absen ruang-ruang baik tersebut. Tak lain karena kurangnya manusia-manusia yang mau bersitungkin untuk menghadirkan ruang tersebut. Ia kemudian mengajak komunitas-komunitas yang ada dalam pertemuan itu untuk berkolaborasi dengan Takasiboe untuk mencipta ruang dan memicu kegiatan-kegiatan seni di Solok Selatan. 
Ada semangat baik yang terlihat dari gagasan dan kegiatan masing-masing komunitas itu. Baik itu berupa gerakan literasi, seni untuk masyarakat, distribusi pengetahuan yang mudah diakses, dll. Jika komunitas-komunitas ini saling berkolaborasi, apa kemungkinan yang akan terjadi? Kegiatan apa yang bisa muncul dari jejaring ini? Pertanyaan-pertanyaan itu disepakati akan dibahas pada pertemuan selanjutnya di bulan Desember nanti, di markas Gubuak Kopi, Solok.