Sabtu, 17 Desember 2016 | teraSeni~
Perhelatan workshop Indonesian Dance Festival (IDF), 21-27 Juli 2016 di Malang, mengusung isu pentingnya riset artistik dalam koreografi kontemporer. IDF menemukan permasalahan di dunia koreografi kontemporer Indonesia dalam rentang 2-5 tahun ini, yaitu kurangnya kemauan, dan adanya kemiskinan pemahaman terhadap cara memperdalam tema yang hendak digarap. Padahal di Indonesia begitu banyak bahan dan tema yang membutuhkan respon artistik para seniman. Ditambah dengan lemahnya penggalian tema dan riset artistik dalam karya-karya koreografer muda Indonesia.
![]() |
Para Perserta Workshop IDF 2016 di Malang (Sumber Foto: https://www.facebook.com/ IndonesianDanceFestival/) |
Workshop ini dimaksudkan sebagai stimulasi bagi pengkayaan perspektif kritis koreografer. Kekayaan perspektif itu modal bagi riset-riset mereka. Dengan demikian diharapkan muncul karya-karya koreografi yang kuat pada tema dan eksekusi artistiknya. IDF mendatangkan empat narasumber. Mereka adalah seniman dari pelbagai disiplin seni yang sudah terbiasa bekerja dengan riset artistik yang mendalam. Karya-karya mereka mengutamakan riset dalam prosesnya, baik tema maupun artistik.
Daniel Kok, seorang koreografer dari Singapura. Karyanya baru-baru ini, Bunny, merupakan hasil risetnya tentang ‘keterhubungan’ (relationality) dan kepenontonan (audienceship). Pada 2016 ini, ia memulai penelitian baru perihal trans-individualitas. Daniel terinspirasi konsep “the dead of the author” dari pemikir Perancis Roland Barthes, bahwa yang ‘menyelesaikan’ karya /tulisan adalah pembaca. Pembaca yang mengkonstruksi makna karya/tulisan. Dari situ ia berpikir bahwa penonton adalah hal yang penting. Eksplorasi atas penonton dan kepenontonan mewarnai karya-karyanya. Baginya tari tidak bersandar pada bahasa yang sekedar pernyataan-pernyataan. Menurutnya perlu menjelajahi sikap kritis. Mengapa kita berkumpul bersama dan menjadi kritis.
Arco Renz, koreografer asal Jerman yang menetap di Belgia. Ia memiliki perhatian mendalam terhadap Asia. Kerap berkolaborasi dengan penari dan koreografer Asia Tenggara. “Saya menari karena ingin menyatakan sesuatu yang tidak bisa saya pikirkan/ungkapkan secara verbal”, begitu katanya. Baginya tari adalah praktik, aksi. Tari adalah bahasa, memformulasikan sebuah bahasa, di mana kata-kata sangat sulit menjangkaunya. Tari sebagai bahasa membawa Arco pada pencarian perihal kekosongan dan oposisinya, kepenuhan. Arco berpegang pada konsep oposisi ini : suatu hal tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya lawan darinya.
![]() |
Arco Renz dan Daniel Kok Berdiskusi dengan peserta Workshop IDF 2016 di Malang (Sumber Foto: https://www.facebook.com/ IndonesianDanceFestival/) |
Tari merupakan praktek pemahaman, kesadaran akan beragam sudut pandang dan perubahan-perubahannya. Tiga lapisan dalam tari menurutnya adalah praktik, kontemplasi, bahasa. Tari menempatkan hubungan vertikal-horizontal. Ini adalah bagian dari eksplorasinya pada sebuah karya. Tari juga menghubungkan pengalaman batin (inner experience) dan lingkungan (environment).
Bagi Arco, dramaturgi tari adalah sesuatu yang abstrak. Diperlukan parameter yaitu waktu, struktur/ruang (struktur pola energi yang mengikat kerangka), fisikalitas tubuh. Ia menemukan adanya konflik tubuh manusia dengan waktu dan ruang. Dalam arsitektur tubuh, harus ada negosiasi, didasari pertanyaan tentang pentingnya kebebasan. Parameter bergerak dalam konsep-konsep yang berlawanan. Hasilnya adalah negosiasi dari kutub-kutub yang berlawanan itu. “Life negotiation process” merupakan negosiasi antara gerak tradisi, otot-otot fisik, untuk memodifikasi gerak dari dalam.
“Solid States” merupakan karya Arco dengan penari Eko Supriyanto (Indonesia) dan Melanie Lane (Australia). Di karya ini ia melihat ke dalam tradisi melalui sudut pandang fisikal yang berbeda. Dalam konteks lain, menurutnya, ballet dan hiphop misalnya, juga memiliki proses negosiasi yang berbeda.
Joned Suryatmoko, sutradara dan pendiri Teater Gardanala Yogyakarta. Ia kerap terlibat dalam penelitian bersama di kesenian. Karya terakhirnya, Margi Wuta, merupakan pencarian kemungkinan artistik dengan mendekati tema teater empati. Di situ ia berkolaborasi dengan para seniman tuna netra. Penonton ditutup matanya agar memiliki sensasi “mengalami”. Pada kesempatan lain, dalam perhelatan biennale seni rupa, para penonton melihat pameran dengan ditutup matanya, dan dipandu oleh para tuna netra.
Dalam workshop IDF ia mengusung tema “Mencari dan Menjawab Pertanyaan Artistik”. Dalam proses penciptaan, bagaimana kita bisa menemukan hal yang lebih besar dari pertanyaan itu. Partner berperan membantu merumuskan pertanyaan selanjutnya. Apa artistik ? Apa pertimbangan konsep kesenianmu ? Visi apa yang mendasari kita memainkan bentuk itu ? “Mengapa saya menari ?”. “Bagaimana hubungan kita dengan penari ?”. Direktur artistik adalah penentu arah. Dari pengalaman mencecap teater, baginya teater adalah menguatkan interaksi, meredam dominasi visual. Selain itu perlunya pengalaman mencecap isu. Apa yang dapat ditangkap dari dinamika kota ? Bahwa benda-benda punya cerita, sehingga kajian kehidupan sehari-hari adalah penting. Mari melihat susunan sekitar : normal ? tertata ? Mengapa bergerak, mengapa, berteriak, mengapa bergerak patah-patah, mengapa berbisik…
Nindityo, perupa, pendiri Yayasan Cemeti Yogyakarta. Dikenal dengan karya-karyanya yang melalui riset mendalam, mencoba memadukan dunia tradisional Jawa dengan kosa kata-kosa kata artistik (rupa) kontemporer. Akhir-akhir ini kerap berkolaborasi dengan penari. Dalam workshop ia menjelaskan tentang zona nyaman dan pentingnya keluar dari zona nyaman tersebut dalam kerja seorang seniman. Salah satu alasan mengapa seniman enggan keluar dari zona nyaman mereka adalah seniman tidak mau meresikokan diri dan reputasinya dengan merambah pada cara kerja atau pilihan artistik yang tak biasa ditempuhnya.
Baginya sebuah karya pasti akan dipahami secara berbeda pada tempat yang berbeda-beda. Karena itu perlu ada pendekatan tertentu agar karya tersebut bisa dimaknai oleh masyarakat di tempat yang berbeda. Ketika ia membawa karyanya ke Belanda, ia berkolaborasi dengan komunitas imigran Belanda dan mengajak mereka memaknai karyanya dengan sejarah kehidupan mereka di Belanda.
Beberapa waktu setelah workshop tersebut, saya berkesempatan bertemu dan bersiskusi dengan beberapa koreografer muda dan koreografer yang lebih senior di Jakarta.
Dari perbincangan kami, nyata bahwa dalam dunia koreografi kontemporer Indonesia tubuh memang masih terlepas dari konteks diri dan kesehariannya. Kesenjangan/keberjarakan itu menyulitkan koreografer kita membumikan-menukikkan gagasannya. Laksana air dan minyak, antara gagasan-tubuh-realita keseharian belum menyatu. Tubuh terjebak pada praktik penyerapan bentuk-bentuk dan teknik. Tubuh sangat kurang dibiarkan “mengalami”, kurang dibiarkan menjadi pasif.
![]() |
Arco Renz dalam Workshop IDF 2016 di Malang (Sumber Foto: https://www.facebook.com/ IndonesianDanceFestival/) |
Di sisi lain, dalam ruang penciptaan, gagasan abstrak menjadi sangat dominan. Jika itu tidak disadari dan dibiarkan begitu saja, maka pada pementasannya, karya itu tidak berbicara apa-apa. Fenomena lain menunjukkan dunia tari kita belum keluar dari dikotomi yang menyesatkan. Seolah-olah tidak mungkin terjadi irisan antara timur-barat, ekspresi komunal-ekspresi individual, tradisi-modern, feminin-maskulin, kasar-halus, dsb. Padahal jika mau kembali pada ilmu tubuh dan gerak, maka dikotomi-dikotomi itu tidak perlu ada.
Sekali lagi, kuncinya adalah pada “mengalami”. Keempat narasumber telah menyatakan itu. Tubuh tidak bisa dan tidak perlu dipisahkan dari realita keseharian. Justru yang layak diperbincangkan adalah bagaimana tubuh berproses dengan realita itu. Tubuh telah menyiapkan bahan perbincangan yang sangat kaya bagi para koreografer. Ia hadir berlapis-lapis tak terkira, karena demikian banyak hal yang ia serap dari waktu ke waktu.
Apakah tubuh disadari sebagai apa yang ia alami? Bahwa tubuh Jawa tidak sepenuhnya Jawa, karena ia tidak hanya menyerap unsur-unsur kejawaan. Bahwa tanah yang kita makan, air yang kita minum, udara yang kita hirup adalah bergerak-berubah dari waktu ke waktu. Selain juga munculnya hal-hal baru. Maka tubuh menyerap perubahan senantiasa, sehingga bagaimana bisa kita berteriak lantang tentang keaslian (orisinalitas !)? Dan mengapa juga hal itu menjadi penting? Bukankah lebih penting bersikap terbuka terhadap tubuh kita sendiri, dengan tanpa henti mengenalnya?
Riset artistik adalah sebuah upaya mengenal. Termasuk di dalamnya mengenal pengalaman-pengalaman keseharian. Riset mengungkap hal-hal yang tidak terdeteksi sebelumnya. Hal tersebut ditunjukkan oleh para narasumber.
Daniel Kok terbersit untuk ‘menyentuh’ penonton, pihak yang sangat dekat dengan seni pertunjukan. Melibatkan mereka. Mendekat kepada mereka. Ia ingin mengolah dan mengkritisi itu. Bukan jawaban final yang dicari, melainkan sebuah kondisi keterbukaan-realita. Arco lebih menukik pada persoalan tubuh. Tetapi tetap tidak memisahkannya dengan lingkungan pendukungnya. Ia menyelam di ‘tubuh dalam- tubuh luar’ ketika menyusun konsep artistiknya. Joned menyertakan penonton dalam pengalaman penciptaan. Ia menghidupkan pembacaan atas keseharian: interaksi dan keintiman di ruang publik, dinamika kota, konflik dan keabsurdan di ruang domestik. Nindityo mampu menghubungkan karyanya yang notabene berlatarbelakang budaya Jawa, dengan konteks sejarah imigran Belanda. Apa maksudnya? Karena ia ingin karya itu tidak berjarak dengan mereka, selaku penyerap karya itu. Bahwa ia ingin mengatakan kepada mereka: ada bagian dari dirimu yang terkait dengan karya ini. Mari kita telusuri, kita bongkar, dan kita perbincangkan. (sejarah adalah bagian dari tubuh !)
Keempat narasumber adalah mereka yang telah “menyikapi kembali” temuan-temuan atas proses tubuh. Kebanyakan koreografer kita belum menyentuh tubuh sebagai bagian dari realita. Karenanya tubuh pun bertanya : “sampai kapan ?”.
Yogyakarta, 4 September 2016