Rabu, 12 April 2017 | teraSeni.com~
Halaman PKM Universitas Jember mengasah jatidiri melalui semacam nostalgia, Selasa, 28 Maret 2017. Menjelang maghrib yang mendung itu, kesibukan seputar seni pertunjukan kembali menghidupi sejarah “pusat kegiatan” pada tapal batas “formalisme kampus”—yang belumlah bosan mengidam-idamkan lestarinya skema hierarki sebagai suatu cara jitu menyembunyikan residu-residu antroposentrisme.
Saat hari berubah gelap, gedung yang konon telah mengalami sejumlah perbaikan itu, masih mempertontonkan serpihan adegan lama—setidaknya: lampu korslet dan terbawanya lumpur di alas kaki ke lantai beranda yang pada malam tersebut disulap menjadi semacam “panggung jelata” untuk pertunjukan pembuka: musikalisasi puisi oleh Jantung Teater. Sebentuk prolog yang memulai dirinya dengan mengaung dan agak narsis, “kau sendiri beranugrahkan nama teater”.
![]() |
Salah Satu Adegan dari Pertunjukan berjudul Anatomi Botol dalam rangkaian HATEDU Jember 2017 (Foto: Basith) |
Perayaan hari teater dunia yang diprakarsai oleh sejumlah komunitas independen, juga unit kegiatan mahasiswa, dalam pangkuan Pawon Cerklacer tersebut, cukup berjarak dari kesan siap dan meriah. Pendeknya: cerklacer (suasana perkakas di dapur-dapur kampung). Meski begitu, pada hari pertamalah, jumlah penonton melampaui kapasitas gedung dan menyusut hampir separuhnya pada pentas-pentas berikutnya.
Kritik terkait kondisi apresiasi yang sebenarnya sudah cukup khas dan nyaris klasik tersebut, akhirnya diungkapkan oleh Abdo El Aziz. Katanya, “Coba cek, berapa orang yang kemarin tampil dan malam ini menonton.” Menurut salah seorang kawakan teater Jember yang cukup lama bergulat dan bersentuhan langsung melalui workshop dan penggarapan pemanggungan yang melibatkan lintas komunitas itu, semangat produksi dengan kebutuhan saling menonton belum berimbang. Dalam ungkapan lain, belum menjadi ruang perjumpaan yang meyakinkan antara “pernyataan gagasan” dan “perspektif kepenontonan”—bahkan buat keperluan “rumah tangga teater” pun, tidak.
Kukira, aspek kepenontonan ini cukup krusial—mengingat: asal-mula medan pergulatan pra-penggarapan (gagasan panggung) selalu meletakan seseorang sebagai “penonton” dan bukan penampil, dari “mengolah” dan bukan agresi, melalui pengalaman dan bukan keajaiban tanpa kesejarahan yang tiba-tiba rekah sebagai kehendak kreatif. Aspek inilah yang sesungguhnya menyediakan “momentum pembacaan” sekaligus alasan “mengapa branding hatedu menjadi perlu”, di Jember atau di mana saja.
Hari Pertama: Kegagapan Tubuh dan Kecanggungan Konseptual.
Ruang yang hitam membuat lubangnya dengan cahaya. Sekotak layar menampilkan microsoft word. Putih, tapi sebenarnya kosong. Seseorang duduk di hadapan laptop. Kering, sepi emosi, dan mulai mengetik. Sampai sajian berakhir, inti yang ditunjukan tak berubah: membaca kata dan cerita. Hanya itu. Rekaman seriosa yang diperdengarkan hampir sepanjang durasi, terasa lemah syahwat. Pilihan konseptual yang kuat, berani, dan tidak populernya cerita yang tersaji di layar, seakan memaksa fokus harus memilih satu hal dan mengabaikan hal lainnya. Bahkan termasuk keberadaan aktor.
Dalam pertunjukan menulis tersebut, Kurusetra mengadopsi cerita pendek berjudul Menyusu Ayah. Tak ada interpretasi yang tampil. Cerita yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu itu, hanya ditulis ulang dengan sejumlah adegan salah ketik. Jemari aktor yang memerankan Nay, tokoh utama dalam cerita, cenderung memperlihatkan ketidak-akrabannya dengan keyboard. Pilihan yang mungkin tak perlu adalah ketika di akhir durasi muncul aktor yang mengembalikan kata sebagai monolog. Kehadiran ini meruntuhkan bangunan bisu huruf-huruf.
Satu-satunya kelemahan penting dalam pertunjukan ini, mungkin, motif digunakannya cerpen Djenar. Jika teks digantikan oleh cerpen Adam Ma’rifat-nya Danarto, pertanyaan-pertanyaan Mata Najwa, komentar-komentar dalam Lawyer Club, pidato Pasha Ungu, tweet SBY, puisi-puisi iklan, stiker promo jasa pembersih toilet, atau ramalan zodiak, agaknya tak memberikan keberbedaan berarti bagi konsep panggung yang telah ditampilkannya. Dramaturgi absen.
Savira S. Tasya, sutradara Nayla, mungkin kurang rinci dalam mengelaborasi cerpen yang ia adaptasi. Nalar penciptaannya seakan diperoleh dari luar teks, sehingga tak muncul interaksi atau keterhubungan kasat mata antara “cerpen yang sedang ditulis” dengan “tubuh aktor yang sedang menulis”. Taste feminisme yang tersimpan dalam cerita tidak mendapatkan bahasanya dengan tubuh. Sementara, latar yang dipakainya cenderung memperlihatkan imajiner seorang introvert atas ruang privat yang bebas dan traumatik.
Pertunjukan berjudul Badhokan dalam rangkaian HATEDU Jember 2017(Foto: Yusrizal) |
Kegagapan tubuh nampak lebih mencolok dalam Badhokan yang ditulis (?) dan disutradarai Abdo El Aziz. Keduanya mengalami problem senada dalam hal observasi ketubuhan yang memungkinkan dipinjam dan berbeda dalam hal konsekuensi pilihan konseptual. Jika Nayla lebih membutuhkannya tanpa pendisiplinan tubuh secara ketat (hanya sebatas aksen seorang “pesakitan”), maka Badhokan sebaliknya. Ia mesti menanggung metode tua: olah ketubuhan yang menangani ketersedian tegana untuk sekian durasi dan memberi otot-otot untuk gestur simbolis.
Pendayagunaan “tubuh ritus” untuk adegan kaotik perebutan makanan dan sedemikian rupa memainkan grouping dalam komposisi pose yang seakan telah menjadi “menu wajib” sang sutradara, akhirnya tampak tidak meyakinkan. Sejumlah tubuh agaknya telah berjarak dengan displin keaktoran tertentu dan telah didisiplikan keseharian lain: “tubuh pekerja”. Ini problem yang menarik buat membaca ulang, posisi sekaligus strategi, penghadiran “tubuh panggung”. Apakah melulu ide atau naskah yang menentukan tipikal ketubuhan? Tak mungkinkah alur itu berubah?
Vay Oktavia mengatakan, ia mengkondisikan lapar untuk penghayatan adegan. Aku tak yakin cara tersebut banyak membantu—mengingat: reaksi yang timbul akibat lapar tidaklah sejalan dengan “tubuh ritus” yang dipilih sutradara. Apakah kelaparan (atau kerakusan) mendorong “tubuh kontemporer” meminjam ulang memori otot ketika manusia masih sebentuk binatang yang lain? Tidakkah otak kita yang justru jauh lebih sigap mengingat nama-nama menu dan restoran, atau layanan delivery order?
Toshiki Okada, memperkenalkan satu pendekatan alternatif, yakni: memaknai ritual tubuh di lajur-lajur keseharian (termasuk kepegawaian) sebagai “laboratorium estetik”—dan berhenti mempercayai keringat dunia kerja sebagai karat yang mengeroposi tubuh. Dengan perpektif tersebut, maka gerak dalam kehidupan sehari-hari yang (seolah-olah) bukan bagian resmi dari seni pertunjukan kembali terintegrasi kepada sirkulasi kesadaran estetis. Cara ini, barangkali, akan mengembalikan “stilistika tubuh” sebagai “teknik” yang—meminjam ungkapan Melati Suryodarmo—tidak datang dari luar, melainkan ditemukan lewat kerja personal antara tubuh dan memori-memori luka yang dialaminya.
Studi Teater Jember yang dengan “agak nekad” mementaskan naskah Badhokan, barangkali perlu membaca ulang hubungan-hubungan antara tubuh-aktor dan gagasan kreatif yang akan dipanggungkannya. Juga, pengertian “studi” yang terkandung di dalam dirinya sendiri. Tentu saja, tak hanya mereka. Semua komunitas dengan kondisi habitat kreatif mirip Jember, yakni: hanya tersedia “energi sisa” bagi olah-teater—juga penting menerjemahkan tawaran wacana dari sutradara muda yang dianggap mewakili “generasi teater Jepang yang hilang” itu, secara kontekstual. Terutama bagaimana pembabtisan tubuh oleh kapitalisme global melalui profesi-profesi, atau “desakan kultural” yang membuat tubuh terkelupas dari pemahaman teater yang lazim, kembali mendapatkan “pernyataan” yang melampaui gimmick.
Hari Kedua: Kepolosan Eksperimentasi dan Absennya Permainan Teks.
Teater Angsa SMK 5 tampil di luar dugaan. Tidak seperti keumuman teater pelajar (di luar taste seorang pembina), mereka mementaskan reportoar Fermentasi Maling dengan cukup eksperimentatif. Alienasi dihadirkan nyaris total, kecuali beberapa momen yang terjembatani oleh kepolosan kaum remaja yang ingin menjangkau gagasan-gagasan besar. Nasionalisme, misalnya. Bermunculan kata-kata kasar yang keras dan adegan tabu (merokok) yang biasanya terlarang bagi pelajar. Penampilan mereka jauh dari kesan paktek didaktik.
Adegan meloncati kuburan, barangkali yang paling banal untuk menyatakan kematian negara dan—seperti yang kutakutkan setiap kali menonton teater pelajar; kehendak bangkit dengan menyanyikan lagu nasional. Selebihnya hanya teriak sana-sini, memakai telinga sebagai tong sampah olok-olok; bodoh, tolol, dsb. dan adegan bisu membaca (juga mnyobek) koran—yang membuat panggung terasa hambar, membuat jurang alienasi yang cukup kemarau, meskipun diliputi emosi kemarahan dan raut muka aktor yang sangat serius.
Akan tetapi, kejelasan mulai nampak dan kedalaman mulai menyentuh ketika para aktor itu membaca berita “orang hilang” di penghujung orde baru—dan di situlah letak menariknya: bagaimana tema romantik-politis ini sampai kepada mereka. Kata sutradara, “dari lagu Efek Rumah Kaca.” Ia beranggapan bahwa situasi semacam itu masih terjadi hingga saat ini.
Munculnya koran di atas panggung yang juga hadir dalam pertunjukan Badhokan, menempuh sasaran yang berlainan. Abdo El Aziz mengintegrasikan “trending hoax” dengan pemenuhan hasrat melalui komodifikasi kebohongan menjadi kebenaran dan kebenaran menjadi proposal politik. Fermentasi Maling memandang “media” sebagai alat, sekaligus strategi perampasan. Di titik ini, gagasan yang dibawakan Teater Angsa—dengan tak mulus—semakin gamblang, yakni: revisi definitif atas keberadaan negara sebagai kuasa yang terus mencuri hal-hal yang semestinya dimiliki oleh rakyatnya.
Teater Lebus menyajikan cerpen Agus Noor berjudul Kurma Kyai Karnawi, yang diadaptasi dengan rapi dan sentuhan komedis yang jauh lebih kuat oleh Dwiyoso. Intensitas kedua aktor terjaga dan setara. Gaya “teater rakyat” berhasil lepas dari kesan semata-mata menghibur atau terjebak pada klise, bahwa tontonan adalah tuntunan. Singkatnya, semua beres—kecuali satu: absennya permainan teks.
Ferick Sahid Persi, sutradara Teater Lebus, menggarap naskah adaptasi itu tanpa kenakalan untuk merespon isu-isu terkini. Misalnya, mengubah Kyai Karnawi dengan Dimas Kanjeng atau Rizieq Shihab, dsb. Atau mengganti kurma dengan syar’i roti. Seperti yang ia lakukan pada idiom-idom komedisnya—meskipun di beberapa pilihan, terlalu berani mengambilnya dari ruang pergaulan yang sangat terbatas. Absennya kenakalan tersebut membuat “muatan kritik” dalam kenaskahan yang dimainkan dengan “nyaris Gandrik” ini, gampang menguap bersama tawa penonton. Cenderung Opera Van Java ketimbang Sentilan-Sentilun.
Hari Ketiga: Kerja Arkeologis dan Terkelupasnya Eksotisme.
Sejak judul dan sejumlah cuplikan latihan di instastory, Anatomi Botol menyeretku pada satu judul ulasan Afrizal Malna untuk “Posthaste, 34 Tahun Teater Payung Hitam”: barang bekas, lepas, jatuh. Ada sebentuk kerja arkeologis, sebelum diboyongnya botol-botol ke atas pentas. Meskipun garapan ini memungkinkan dibawa ke arah perbincangan ekologi, tetapi penerapan kurasi yang memilih plastik sebagai jenis materi satu-satunya, agaknya memperlihatkan satu kecenderungan arah bidik yang berbeda. Ada kedekatan, intensitas interaksi, antara tubuh dan residu konsumerisme minuman yang coba dimaknai. Sebagaimana coca-cola yang kemudian menjadi diksi legendaris dalam perpuisian Indonesia. Jenis materi itulah, yang kukira, paling dekat dibandingkan logam atau kaca.
Teater Gelanggang memulai pertunjukannya di halaman (kemudian ke dalam gedung dengan transisi perpindahan ruang yang kurang tergarap). Gesekan botol plastik dan lantai aspal telah mengabarkan tawaran bentuk pemanggungan tak lazim. Suasana yang dikehendaki cenderung meneror, sehingga insiden aktor yang terpeleset tak mampu diselamatkan lewat improvisasi.
Dalam gedung, pertunjukan bergerak dari satu framen ke framen lain dengan batasnya yang gradatif. Di sepanjangnya, panggung mengalami metamorfosa makna melalui pola interaksi antara tubuh dan botol yang terus bergeser. Dari presentasi menuju representasi, dari alienasi menuju intimate, dari tubuh menuju simbol, dari realisme (monolog) menuju surealisme, dari anti-konsep menuju konsep.
![]() |
Adegan yang lain dari Pertunjukan berjudul Anatomi Botol dalam rangkaian HATEDU Jember 2017 (Foto: Halim Bahriza) |
Gelanggang, mempertontonkan elemen-elemen seni pertunjukan nyaris komplit; gerak, kata, bunyi, cahaya, dll. (tanpa sentuhan teknologi) yang mereka tampilkan dan perlakukan di luar kebiasaan—dengan momen mencolok yang bergantian, terkadang bersamaan, dalam balutan “teater miskin” Grotowski. Untuk Anatomi Botol, “Poor Theatre” lebih cocok diterjemahkan sebagai “teater kumuh”, mungkin. Pemilihan dan perlakuan terhadap benda artistik, tata cahaya, tubuh, menjauh dari kegenitan seorang komposer yang mengubah aktor menjadi model dan menyulap panggung menjadi studio fotografi.
Fragmen pertama adalah dunia infantil. Tubuh dan ratusan botol menyajikan dengan kuat apa itu “teater kejadian”. Presentatif. Serupa performance art yang riang. Tak berupaya memoles sakralitas panggung dengan semacam kegawatan: tubuh dan botol saling bertukar posisi. Tak jelas lagi siapa sebenarnya subjek-objek pembuat peristiwa. Ada kalanya botol kena tendang. Ada kalanya tubuh jatuh terpeleset. Ada kalanya tubuh-tubuh menjelma botol itu sendiri. Pola pertautan tubuh dan botol yang berlangsung, mirip Exergie Butter Dance Melati Suryodarmo. Tentu saja, tanpa kontaminasi gagasan tubuh dewasa dan-atau kecanggihan mempertemukan kandungan semiotis benda-benda. Tepat di titik itulah, “rasa organik” bisa tercecap—di luar eksotisme, atau semacam eksotisme.
Bagian tersebut memberi “pengalaman menonton” paling penting, berhasil menjadi magnet fenomenologis dalam pertunjukan. Penonton mendapat momen ketiadaan untuk mengalami teater tanpa kesadaran teater. Juga para penampil. Ada kesaksian yang terasa “pertama kali” di situ. Sebuah dunia yang menegasi “pada mulanya adalah kata” dengan “inilah awal mula kata”. Infantilitas itu menyembuhkan pengertian “act-ing” dalam (realisme) teater modern yang seringkali tampil sebagai dekorasi kepura-puraan.
Keberhadiran botol mulai bergeser saat seorang aktor meniupkan kata hoax ke dalamnya dan bertubi-tubi botol-botol terlempar ke arahnya. Aktor lelaki yang kehilangan konteks telanjang dadanya itu, berpidato. Berisi ceracau, sindiran, protes. Sejak persoalan endemis akademika, ilmu pengetahuan, dan melebar dari satu konten ke konten lain melalui semacam improvisasi yang terkonsep. Di fragmen monolog ini muncul konsekuensi untuk merengkuh kembali apa yang disebut Afrizal Malna dengan “tubuh naratif yang harus memiliki rima dan lirisisme.”
Kebutuhan tubuh yang sama juga tampak pada fragmen lain yang mereka namakan “jerapa homo”.
Jarak panggung dan menonton menipis dan benar-benar terhapus saat salah seorang penonton dibawa ke atas panggung untuk memerankan seorang pakar. Sebuah kursi peyot dan patah di sejumlah bagian dipersembahkan untuknya. Monolog sang aktor kian kocak saat pertanyaan demi pertanyaan dijawab serampangan oleh sang pakar dan selalu diletakkan sebagai kebenaran dalam permainan “dramaturgi hoax” yang serius dan spontan.
Pergeseran kembali terjadi ketika “botol hoax” dimainkan sebagai telepon. Sepasang aktor bercakap-cakap juga dalam ujaran-ujaran spontan. Kata-kata disejajarkan dengan permainan jasa provider. Alat komunikasi menyejajarkan “kebenaran kata” dan “kebenaran promosi”. Dengan tafsir yang mungkin agak gawat: kata adalah genealogi hoax itu sendiri. Gelanggang nampaknya ingin memainkan anatomi kebenaran dan legitimasi sebagaimana pada suatu era pemerintah Cina memainkan lubang botol kecap.
Suasana berubah sureal dengan kemunculan sepasang manusia berkepala galon. Tubuh aktor segera menampilkan diskoneksi dan jalan buntu. Tubuh tari nampak tak cocok dengan teknik kehadiran yang dibangun melalui interaksinya dengan botol-botol. Tubuh “Jerapa homo” ini memakai lagi stilisika tubuh yang memulangkan “act” kepada “gimmick”, atau “kebohongan yang diterima”. Strategi yang sejak mula tampak tak punya tempat. Sebab tak muncul “usaha pembocoran” yang sempat didayagunakan dalam fragmen monolog.
Anatomi Botol menutup pertunjukan dengan mengulang framen pertama secara tak persis, tak penuh. Tubuh dewasa turut hadir dalam infantilitas yang seakan menjadi jurus pelarian. Kata-kata kembali memperoleh kejujuran dan nilai kebenaran melalui praktek kesadaran. Letupan-letupan ini menampilkan kekonyolan yang juga muncul dalam Fermentasi Maling – Teater Angsa. Infantilisme macet total dan menghilang, tepat ketika dari mulut salah seorang aktor menetas kata “pulang”.
Peringatan hari teater sedunia di Jember juga melibatkan beberapa komunitas rupa dan tamu dari luar kota. Diantaranya, live art & black-market oleh Pena Hitam Jember, healing music oleh Xamagata (Majalengka), monolog oleh Yadi Muryadi (Banjarmasin), dan experimental – post rock alternative Jovan Yudistira bersama sejumlah musisi muda Jember. Semenjak hari pertama sampai selesai jawaban yang kutunggu belum juga tiba: mengapa hatedu? Branding ini, agaknya, lumayan senasib dengan cerita pendek Djenar Maesa Ayu dalam pertunjukan Nayla. Tidaklah terlihat upaya “membaca rumah tangga teater Jember” atau “relasi-interaksi antara teater dan yang bukan (atau belum) teater”. Untuk menutup catatan menonton ini, aku ingin mengutip secara utuh, puisi Dendi Madiya yang ia tuliskan untuk turut merayakan hari teater sedunia.
CERBEUS DAN SEORANG SUTRADARA JENIUS
(puisi yang mengandaikan dirinya dihasilkan oleh tangan kepenyairan “R”)
—untuk menyambut Hari Teater Dunia 2017, meski terlambat—
Romeo!
tak cukupkah anjing-anjing itu menggigitmu
hingga dirimu pun berubah menjadi
anjing-anjing gembala dari Jerman
Romeo!
apakah tak ada beda antara
kekejaman dan ketajaman
keindahan dan kesunyian yang beku
Lihat anak kecil itu, Romeo!
tak adakah guna dan makna bagimu
firman teater pertama
“dilarang kau berpentas
bersama anak-anak dan para binatang!”
kau melibasnya habis, Romeo!
“dilarang kau membakar
segala sesuatu di atas panggung
apalagi grand piano itu”
Romeo!
kenapa kau tampil sekadar cameo
gerombolan itu tertunduk lesu
tersesat
perlahan mereka bunuh diri
melalui koreografi
sedang engkau bersembunyi
di balik performance art, Romeo!
Jean!
teriak pemnajat dinding
pada ketinggian menara istana
ia lemparkan bola basket itu
ke atas panggung
yang ditingkahi dentuman
bebunyian Scot Gibbons
polaroid
penonton menarik kain putih
dengan ujung jari mereka
televisi berjatuhan
dari jendela-jendela menara
pecahannya
hampir mengenai
seorang pelukis pop-art
tanpa isi
tanpa isi
Caludia, Chiara
tanpa ini
dengan dingin
renungan filsafat
yang engkau pentaskan
engkau,
kelompok teater
yang memiliki filsuf
ia memotret penonton
sendiri
di depan VW kodok yang ringsek
ia menyusul bunuh diri
setelah menjadi orang suci
atau disucikan
lewat sebuah gestur
Romeo!
Kau bikin mereka
Menendang dinding-dinding itu
(buat Societas Raffaello Sanzio)