Pilih Laman
Rabu, 24 April 2019 | teraSeni.com~
Seonggok jenazah lelaki paruh baya tidak bisa disemayamkan. Sang penjaga kubur kekeh menolak
untuk menguburkannya walau jenazah adalah orang terpadang di masa hidupnya. Pasalnya
sederhana, sang jenazah tidak mempunyai sehelai surat penting, ‘SKKB’ Surat Keterangan Kematian yang Baik sebagai
syarat pemakaman. Jenazah tersebut
disinyalir melakukan korupsi di masa hidupnya. Implikasinya sang jenazah akan diperlakukan
dan dibuang laiknya sampah. Arwah dari jenazah tersebut gusar, ia mulai
mendatangi satu per satu orang yang bisa memberikan SKKB kepadanya. Pelbagai
upaya (baca: intrik) mulai dilakukan, agar kelak ia tidak hanya dapat
dikuburkan, namun untuk mengembalikan nama baiknya. 
Bukan Teater Gandrik,
jika tidak “mengusik” persoalan sosial serta politik Indonesia dan
menerjemahkannya dalam peristiwa teater. Bertajuk Para Pensiunan: 2049, mereka mengangkat isu yang familier dan terus
berulang di masyarakat Indonesia, sekaligus tak pernah punya jalan keluar,
yakni korupsi. Alih-alih mensosialisasikan pesan dan jargon anti korupsi dengan
kaku, Teater Gandrik justru menghadirkannya dengan narasi tentang korupsi dan
kematian. Namun kematian di sini tidak seperti tayangan azab di layar televisi,
melainkan sebuah cerita hukuman duniawi—pasca kematian—untuk para koruptor. 
Tetaer Gandrik: Teraseni.Com
Tampak seorang aktor digambarkan sedang berada pada dimensi lain
Foto: Yuke Arfiyahya
Naskah menarik buatan
Agus Noor dan Susilo Nugroho ini lalu disutradarai oleh G. Djaduk Ferianto.
Kemudian Rombongan pemain, yakni: Butet Kartaredjasa, Susilo Nugroho, Jujuk
Prabowo, Rulyani Isfihana, Sepnu Heryanto, Gunawan Maryanto, Citra Pratiwi,
Feri Ludiyanto, Jamiatut Tarwiyah, Nunung Deni Puspitasari, Kusen Ali, M Yusuf
Peci Miring, Broto Wijayanto, Muhamad Ramdan, Akhmad Yusuf Pratama,
mempertunjukkannya dengan balutan kritik khas ala Gandrik, “guyon parikena”.
Tidak hanya dengan
canda dan sindiran ala Teater Gandrik, proporsi plot cerita, pelakonan tiap
pemain, hingga alunan musik tergarap sebagaimana mestinya. Kerja sama antar
lini, yakni penata musik (Djaduk Ferianto dan Kuaetnika), penata artistik (Ong
Hari Wahyu), penata cahaya (Dwi Novianti), penata kostum (Djaduk, dkk), dan
penata suara (Antonius Gendel) bersinergi dengan apik. Di bawah komando Djaduk
Ferianto, karya  yang digelar di Concert
Hall, Taman Budaya Yogyakarta (8-9 April)—dan akan dipentaskan di Ciputra
Artpreneur Teater, Jakarta (25-26 April)—ini membuktikan bahwa mereka bukan teater
klangenan belaka.
 
Persekongkolan Melenyapkan
Kebenaran: Tamparan Untuk Indonesia
 
Jenazah seorang
laki-laki paruh baya terpandang, bernama Doorstoot—yang diperankan oleh Butet
Kartaredjasa—ditolak untuk dikuburkan. Penguburannya tidak dapat dilakukan
karena terkendala ‘SKKB’ Surat Keterangan
Kematian yang Baik
yang tidak dikeluarkan oleh ‘KPK’ Komisi Pertimbangan Kematian. Dugaan adanya penundaan terjadi
karena Doorstoot disinyalir melakukan tindak korupsi di masa hidupnya. Sementara
itu seorang juru doa, Slepen—diperankan oleh Gunawan Maryanto—memperjualbelikan
doa dalam pelbagai varian. Namun segala doa tidak dapat dilakukan, pasalnya Kerkop—yang
diperankan oleh Susilo Nugroho—sebagai petugas penguburan menjaga marwah makam
dengan tegas. Ia menolak pelbagai rayuan, mulai dari harta, takhta, hingga
wanita.
Teater Gandrik : Teraseni.Com
Dua orang pemeran digambarkan pada dunia yang berbeda
Foto: Yuke Arfiyahya
Adalah langkah jitu
bagi Butet Cs membuka pertunjukan dengan adegan yang menyita perhatian. Di mana
beberapa orang tengah menggali kubur, sementara terdapat rombongan yang
mengantarkan seonggok jenazah untuk dikuburkan. Proses pemakaman tidak berjalan
dengan lancar, terjalin percakapan yang rigid, mengapa
hal tersebut terjadi. Tidak dilakukan dengan dingin dan kaku, percakapan justru
terasa kuat dengan pendalaman karakter dari setiap tokoh dan lelucon segar yang
kerap menaungi mereka. Hal ini kiranya berhasil memberikan landasan persoalan
dengan jelas, sekaligus memudahkan penonton mengidentifikasi tokoh hingga
persoalan yang diangkat.
Cerita kematian
koruptor memang tidak terbayangkan untuk diangkat. Terlebih dengan mengangkat cerita
pensiunan yang mengalami kesulitan penguburan. Padahal pensiunan merupakan
figur yang lazimnya digambarkan menikmati masa tua dengan tenang. Alih-alih
serupa, cerita daur ulang isu Pensiunan (1986)
karya alm. Heru Kesawa Murti, diubah sedemikian rupadi tangan Teater Gandrik,
khususnya pada alur cerita dan orientasi pensiunan. Di bawah komando Djaduk
Ferianto, para pensiunan dibuat ‘sengsara’ dan tidak tenang, terlebih jika
mereka melakukan korupsi.
Pelbagai piranti pun
disiapkan, semisal plesetan terma yang
lazimnya digunakan untuk korupsi, serta terma yang familier. Beberapa di
antaranya adalah SKKB, singkatan dari Surat Keterangan Kelakuan Baik menjadi
Surat Keterangan Kematian yang Baik; KPK yang lazimnya singkatan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi berubah menjadi Komisi Pertimbangan Kematian; hingga
adanya undang-undang PELAKOR yakni undang-undang pemberantasan pelaku korupsi. Kehadiran
Plesetan terma ini berfungsi dengan
baik, walau seolah digambarkan berbeda dengan Indonesia tetapi plesetan tersebut membuat persoalan
terasa dekat dengan permasalahan di tanah air.
Kembali
pada cerita yang dibangun, pertunjukan Teater Gandrik kali ini mengisahkan
upaya Doorstoot yang ingin mendapatkan SKKB. Namun menjaminnya tidak korupsi
adalah sebuah kemustahilan, maka pelbagai cara mendapatkan SKKB dilakukan, mulai
dari upaya keluarga membujuk, menjebak, atau menyuap penjaga kubur; hingga jenazah
yang terus mendatangi instansi berwenang dengan harapan mendapatkan SKKB. Narasi
tersebut dibangun dengan alur maju mundur pada adegan-adegan berikutnya.
Teater gandrik : Teraseni.Com
Salah seorang aktor terduduk, sementara aktor lain memegang dengan ekspresi cemas
Foto: Yuke Arfiyahya
Di antaranya adalah ketika
Katelin—yang diperankan oleh Nunung Puspitasari—beradu argumen dengan sang
suami, Jacko—yang diperankan oleh Sepnu Heryanto—yang membicarakan ayahnya
serta hutang budi sang suami. Pembicaraan berakhir pada desakan Katelin pada
sang suami agar “menyelamatkan” mayat ayahnya . Lainnya, beberapa adegan
percakapan Rainne Alleman—yang diperankan oleh Citra Pratiwi—dengan Jacko,
serta percakapan dengan para pensiunan, yang membicarakan tentang ketakutan sehingga
mereka harus bersatu; dan Doorstoot yang bernegosiasi dengan Kerkop. Selain
karakter yang kuat dari setiap tokoh, adegan percakapan tersebut telah
mengungkap kausalitas yang artikulatif. Terlebih percakapan selalu disisipi guyonan dan satire politik, sehingga
seberapa kompleks cerita yang dibangun, penonton dapat mengikutinya dengan saksama.
Pada struktur
pertunjukan, di bawah arahan Djaduk Ferianto, Teater Gandrik menggunakan
struktur yang lebih struktural laiknya gaya pewayangan. Di mana berisikan unsur
dasar, seperti: pemaparan, konflik, goro-goro, dan epilog. Pilihan struktur
pertunjukan ini memberikan alur yang bertingkat, sehingga proses menuju klimaks
pertunjukan dapat dirasakan secara perlahan. Hal ini tampak pada konflik yang
dimunculkan yakni para pensiunan berkomplot untuk melenyapkan undang-undang
PELAKOR. Pun hal ini ditunjukkan secara jelas di dalam pertunjukan, mulai dari
laku provokasi terhadap para pensiunan, hingga pertemuan para pemangku kuasa,
yakni Doorstoot, Jacko, Vonis—diperankan oleh Broto Wijayanto—, dan
Strook—diperankan oleh Feri Ludiyanto—yang sepakat untuk melenyapkan
undang-undang PELAKOR.
Konflik tersebut telah
mengantarkan adegan “goro-goro”menjadi semakin mendalam. Di mana para pensiunan
bekerja sama menguburkan paksa sang penjaga kubur, Kerkop. Hal ini mereka lakukan
untuk meniadakan undang-undang PELAKOR yang menyulitkan mereka. Tentu adegan
ini telah menjadi penutup yang apik, mulai dari kejutan cerita hingga
penggarapan visualisasi di dalam pertunjukan. Tidak sampai di situ, menurut
hemat saya bagian paling penting adalah pada adegan setelahnya di mana Onderdeel—diperankan
oleh Jujuk Prabowo—sang pemungut jenazah koruptor diam kebingungan. Onderdeel membuka
plastik besar yang lazimnya digunakan untuk memungut jenazah koruptor, tetapi
undang-undang telah dilenyapkan, sehingga tidak ada lagi undang-undang apalagi koruptor.
Sebuah refleksi untuk Indonesia, atas konsensus yang kerap melanggengkan
kesalahan untuk kepentingan semata.
 
Teater ‘Pensiunan’ yang Kembali Segar 
Pada awalnya, saya
mempunyai kecemasan ketika menonton Teater Gandrik; apakah mereka kembali
menjadi teater klangenan yang lebih
banyak mengeksplorasi guyonan ketimbang
teaternya? Namun ternyata saya keliru, berbeda dengan Hakim Sarmin yang tampil tidak menggairahkan, Para Pensiunan 2049 terasa lebih cakap dalam ide, naskah, hingga
perwujudannya sebagai sebuah pertunjukan teater.
Menurut hemat saya, latihan
delapan bulan yang mereka lakukan telah membuahkan hasil. Kendati Djaduk
mengatakan bahwa pada karya ini menggunakan konsep trial and error, tetapi percobaannya cukup berhasil—bahkan
melampaui ekspektasi untuk kelompok teater senior tersebut. Hal yang paling
saya garis bawahi dari Para Pensiunan
2049
ini adalah proporsi yang tepat di setiap lininya. Isi cerita yang kuat
disisipi dengan guyon parikena yang sesuai,
bukan sebaliknya. Lebih lanjut, mereka tetap fokus pada struktur cerita yang
telah ditetapkan sehingga satire politik menjadi sisipan cerita semata. Alhasil
pertunjukan bukan mencari tawa tanpa tahu arah, namun menyajikan sebuah cerita dari
kenyataan dan menertawakannya secara bersama-sama.
Teater gandrik: Teraseni.Com
Seorang aktor diatas kasur dikelilingi beberapa aktor lainnya
Foto: Yuke Arfiyahya
Pun hal menarik yang
perlu saya catat dari pertunjukan Para
Pensiunan 2049
ini adalah pendalaman karakter yang dirasa semakin kuat.
Selaku sutradara, Djaduk Ferianto telah berhasil dengan proses penggalian karakter
dari setiap pemainnya. Hal ini dapat dilihat dari adegan percakapan antar
karakter hingga beragamnya jenis percakapan yang terjalin, mulai dari
percakapan biasa, penggunaan nada tertentu, hingga nada laiknya pasio—bacaan
kisah sengsara Isa Almasih pada ibadat Jumat Agung. Alhasil munculnya beberapa
pemain baru yang mengisi Para Pensiunan
2049
ini tidak sia-sia, melainkan membuat Teater Gandrik semakin berwarna
dan kuat di dalam pertunjukan.
Tidak hanya itu, apresiasi
juga perlu diberikan pada pencahayaan dan alunan musik. Di mana pencahayaan
telah merangkai visual pertunjukan semakin kuat. Sedangkan pada alunan musik,
Djaduk Ferianto dan Kuaetnika—Purwanto, Indra Gunawan, Sukoco, Sony Suprapto,
Beny Fuad Hermawan, dan Arie Senjayanto—telah menciptakan suasana pertunjukan
semakin representatif. Alunan dan susunan suara terasa tepat pada tiap adegan,
semisal ketika Djaduk bersenandung di setiap transisi pertunjukan, ataupun
menyisipkan bunyi ketika pertunjukan berlangsung. Selain musik, rombongan musisi
juga cukup menghibur dengan mengisi ruang tegang pada adegan konflik.
Kendati tetap perlu
dicatat bahwa ada perasaan grogi dari segelintir pemain, tetapi hal tersebut
tidak terlalu mengganggu solidnya pertunjukan. Alhasil tidak adanya hambatan teknis
dan unsur artistika untuk para penonton dalam menyerap pesan dari pertunjukan. Pesan
tentang korupsi yang dapat menjadi refleksi kita bersama dan bukan tidak
mungkin jika diajukan sebagai usulan hukuman koruptor di negeri ini. Bertolak
dari itu semua, Teater Gandrik perlu diapresiasi baik karena kesetiaannya
menautkan persoalan dan konteks yang terjadi di Indonesia, sekaligus
menerjemahkannya dengan cara yang khas menjadi sebuah pertunjukan menarik nan
menggigit.[]