Pilih Laman

Minggu, 29 Januari 2017 | teraSeni~

Sumatra Barat tidak hanya Padang dan Padang bukanlah representasi tepat untuk Sumatra Barat. Tetapi, persoalan-persoalan kebudayaan di
Sumatra Barat senantiasa diurus oleh “Padang”. Padang dalam hal ini tak
hanya sebagai kota, tetapi juga sebagai “paradigma” kebudayaan.

Sebagai
ibukota provinsi, Padang adalah tempat di mana infrastruktur formal
kebudayaan (seperti Dinas Kebudayaan Sumatra Barat, Taman Budaya Sumatra
Barat, Galeri Lukisan), serta kampus-kampus (Unand, UNP, IAIN Imam
Bonjol, ST-KIP) dan media (Padang Ekspres, Haluan, Singgalang) berada.
Sedangkan Padang sebagai paradigma kebudayaan, sebagai salah satu
konsekuensi dari sentralisasi infrastruktur tersebut, adalah suatu
komposisi pemikiran, konflik, serta pengalaman-pengalaman
berkesenian-berkebudayaan yang secara “spesifik” terjadi di Padang.
Dalam dua “pengertian” ini, Padang terlanjur angkuh untuk menjadi
“representasi” Sumatra Barat.

Daerah-daerah lain
padahal mempunyai “gejala” dan “kebutuhan” tersendiri. Kondisi alam,
komposisi etnik, distribusi wacana, tingkat perekonomian serta
pendidikan, yang berbeda antar satu wilayah dengan wilayah lain, tak
bisa diwakili dengan “pengalaman” di Padang saja. Daerah-daerah lain
memang secara sporadis “menciptakan” kebudayaan sendiri, tetapi tetap
saja dalam wacana kebudayaan berskala Sumatra Barat, terutama yang
berhubungan dengan “tanggung jawab” pemerintah, daerah-daerah tersebut
jarang sekali dipertimbangkan sebagai “partisipan aktif.” Mereka justru
seringkali menjadi “pelaksana pasif” dari apapun yang ditetapkan oleh
“Padang”. Sentralisasi meski melalui sistem “perwakilan” seperti ini,
sudah terlalu lama terjadi di Padang.

Tak hanya itu.
Ada yang tak kalah krusial. Sentralisasi pun terjadi dalam arena
komunitas-komunitas etnis. Minangkabau adalah etnis mayoritas di Sumatra
Barat. Tetapi, wacana kebudayaan di Sumatra Barat pun, dari waktu ke
waktu, cenderung dibicarakan dalam konteks kebudayaan Minangkabau.
Bahkan dalam tahun-tahun belakangan, gagasan kelompok tertentu untuk
diubahnya Sumatra Barat menjadi DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) tampak
tak mempertimbangkan keberadaan etnis-etnis lain tersebut. Untung saja
gagasan DIM tersebut bisa dilawan. Tapi, tetap saja, komunitas etnis
lain bisa dikatakan tak diberi tempat “aktif” dalam pembangunan wacana
kebudayaan Sumatra Barat.

Namun begitu, “kerjasama”
lintas etnis di Sumatra Barat bukan berarti tidak ada sama sekali. Meski
secara umum kelompok-kelompok etnis selain Minangkabau melakukan
aktivitas kebudayaan dengan cara sendiri-sendiri, namun, bagaimanapun
juga, tetap ada bentuk-bentuk praktik kultural yang dengan sadar
dilakukan, meski dengan ruang lingkup kecil, tetapi setidaknya masih ada
usaha untuk menciptakan semacam “kebudayaan bersama.” Hanya saja,
sekali lagi, dalam “grand design” kebudayaan Sumatra Barat, wacana
lintas-etnis bisa dikatakan absen.

Meskipun begitu,
“Padang” dan “Minangkabau” tersebut bukanlah “Padang “dan “Minangkabau”
dalam pengertian menyeluruh. Dalam skala Padang itu sendiri, ada begitu
banyak bentuk praktik-praktik kebudayaan. Begitu juga dalam kebudayaan
“Minangkabau” itu sendiri pun ada banyak bentuk-bentuk sub-kultur yang
ada. Tetapi, di tangan beberapa orang, sepetak dari “Padang” yang
sungguh luas dan sesudut dari “Minangkabau” yang bervarian itu, secara
tidak seimbang, direpresentasikan sebagai kebudayaan “Sumatra Barat.”
Dengan kata lain, Sumatra Barat tak hanya direduksi dalam kategori
“Padang” dan “Minangkabau” saja, tetapi “Padang” dan “Minangkabau”
itupun direduksi oleh segelintir pihak belaka.

Segelintir
yang “memegang tampuk” kebudayaan Sumatra Barat tersebut itupun tak
jauh-jauh benar dari sebahagian kalangan akademisi, seniman, dan
budayawan. Artinya, tidak seluruh akademisi, seniman, ataupun budayawan
yang bergiat dalam arena kebudayaan di Sumatra Barat yang secara
partisipatif ikut “memikirkan” jalan kebudayaan ke depan. Otoritas
tersebut, para “pemegang tampuk” kebudayaan itu, memang bersifat tidak
tetap, tersebab selalu ada konflik kepentingan untuk masuk ke dalamnya.
Namun, yang jelas, meski diselipi berbagai praktik “perebutan”, tetap
saja hanya segelintir seniman-budayawan yang berhasil merebut “kuasa”
saja yang diberi peran aktif untuk “membangun” Sumatra Barat melalui
jalur kebudayaan.

Selalu adanya otoritas tertentu,
bahkan di balik layar, untuk menentukan siapa yang pantas ikut dan siapa
yang tidak tentu saja tak sekedar berkaitan dengan persoalan-persoalan
“moral”, seperti nafsu dasar, ambisi kekuasaan, persoalan “proyek”,
dsb., tetapi juga karena adanya “sistim” yang terus memberikan
kesempatan, bahkan melegitimasi, perilaku-perilaku “sentralistik”
seperti itu. “Sistim” itu menggejala dalam kerja-kerja lembaga
pemerintah di bidang kebydayaan selama ini. “Sistim” tersebut sudah
menjadi “lahan” bagi para seniman, budayawan, dan akademisi untuk
“menggelar tikar” tapi disorak-soraikan sebagai “kerja-kerja kebudayaan
kita”. “Sistim” tersebut ada selama ini dan akan terus ada karena “kerja
budaya” tidak mempunyai dimensi “emansipasi”. Padahal, yang dibutuhkan
sekarang, adalah “kerja budaya” untuk “perubahan sosial” dan hanya
dengan begitulah praktik “partisipasi aktif” menjadi logis untuk
dicarikan bentuk kongkritnya. “Kerja budaya” yang kehilangan dimensi
“perubahan sosial” salah satunya akan memproduksi
kesombongan-kesombongan sekaligus sentimen pribadi, kelompok, etnis, dan
sejenisnya.

“Dimana Bumi Diinjak,
Di situ Langit Dijunjung,”
Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.,
(140 x 135 cm, Acrylic, Crayon,
Pencil di atas Kanvas, 2015) 

Kondisi paling mutakhir dapat kita lihat pada 19 Januari 2017 lalu. Di Galeri Lukisan Taman Budaya Sumatra Barat, lebih kurang 100 “tokoh” yang terdiri dari seniman, budayawan, dan akademisi berkumpul dengan Dinas Kebudayaan Sumatra Barat yang baru diresmikan Gubernur Irwan Prayitno pada 27 Desember 2016 lalu. Acara yang diberi nama “Duduak Baropok Tagak Bapusu” tersebut diselenggarakan sebagai usaha Dinas Kebudayaan untuk “menampung” gagasan-gagasan seniman, budayawan, serta akademisi Sumatra Barat sebelum menyusun Rencana Strategis Dinas Kebudayaan Sumatra Barat ke depan.

Salah seorang “budayawan” yang ikut dalam agenda tersebut adalah Darman Moenir. Melalui akun Facebook miliknya (20 Januari 2017) dan tulisannya di Padang Ekspres, Apa Itu ABS-SBK? (23 Januri 2017) Darman Moenir secara harfiah menyebut lebih kurang 100 orang yang hadir dalam agenda tersebut sebagai seniman-budayawan “papan atas.” 100 orang itu dianggap sebagai pihak yang paling representatif dalam memikirkan kebudayaan Sumatra Barat. Artinya, sampai di sini, sudah tercium modus-modus “sentralistik” dalam kerja-kerja kebudayaan di Sumatra Barat ke depan.

Tentu, tak ada maksud untuk mengatakan bahwa 100 seniman-budayawan yang hadir dalam agenda tersebut sebagai pelaku-pelaku yang serupa dengan Darman Moenir. Bahkan ada—meski sedikit—di antaranya yang bekerja diam-diam selama ini di luar program-program pemerintah. Namun, seniman-budayawan yang diproklamirkan Darman Moenir sebagai “papan atas” itu bisa-bisa ikut terseret ke dalam logika yang dipakai dirinya. Jelas, bukan suatu kebetulan bahwa Darman Moenir dengan tepat menyebut agenda pertemuan itu sebagai acara “papan atas” karena memang ada tendensi “papan atas” atau “sentralistik” di dalamnya.

Artikulasi “papan atas” tersebut dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk melihat ancaman-ancaman sentralisasi dalam kerja-kerja kebudayaan ke depan. Pertama, bentuk sentralisasi yang terjadi, 100 orang yang hadir dalam acara tersebut secara umumnya “orang Padang”. Dalam pengertian, mereka lebih cenderung “berproses” di kota Padang daripada di daerah lain di Sumatra Barat. Namun, mereka terlanjur harus menjalankan tanggung jawab untuk memikirkan “Sumatra Barat” secara luas. Maka, tentu saja, bias-bias konflik, pemikiran, serta warisan cara berkesenian-berkebudayaan di kota Padang akan mengisi pikiran-pikiran yang mereka ajukan kepada Dinas Kebudayaan Sumatra Barat. Padang dengan segala “kelebihan” dan “kekurangan” di dalamnya, apakah bisa menjadi suatu bangunan basis untuk membangun “kesadaran kolektif” masyarakat Sumatra Barat di daerah-daerah lain? Bahkan dengan menggunakan “dikotomi” klise seperti darek/pasisia sekalipun, Padang tak akan pernah bisa menjadi metode dalam mengidentifikasi “kebutuhan” daerah lain di Sumatra Barat.

Kedua, tak hanya itu, sentralisasi pun rentan muncul dalam hal “semangat zaman” yang melatarbelakangi 100 tokoh tersebut. Secara umum, pegiat seni-budaya itu adalah generasi pasca-Navis dan pasca-Wisran. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang membangun pemikiran, pengalaman berkesenian, dan keterlibatan konflik dalam iklim seni-budaya pada rentang dekade 1960-an sampai 1990-an. Dengan pengalaman tumbuh di “semangat zaman” generasi tersebutlah “Rencana Strategis” kebudayaan di Sumatra Barat digantungkan. Apakah generasi-generasi tersebut memahami gejala-gejala kultural, konflik-konflik, serta kecendrungan paradigma kebudayaan generasi 2000-an? Apakah generasi 2000an belum bisa menjadi “partisipan” penting di dunia kebudayaan saat sekarang? “Masalah-masalah spesifik” generasi lebih akhir, 2000-an, tetap tak bisa diwakili oleh generasi manapun, meskipun oleh generasi paling dekat dengannya, apalagi oleh generasi-generasi sebelum itu. Dengan kata lain, bias-bias “semangat zaman” generasi terdahulu jelas-jelas sangat berpotensi dalam mereduksi masalah-masalah kebudayaan kontemporer. Apalagi, dalam lika-liku kebudayaan di Sumatra Barat selama ini, para generasi terdahulu cenderung berpikiran seakan-akan “waktu terhenti di zaman mereka”. Bahkan, generasi yang banyak mengidap penyakit akut “post power syndrome”, terutama generasi 60an – 80an, adalah generasi tidak cukup “rendah hati” untuk mau memahami dengan baik gejala-gejala kebudayaan kontemporer termasuk modus-modus baru dalam penciptaan karya seni.

Dalam kerja kebudayaan ke depan, kita tak ingin lagi dilanda kasus-kasus yang dibuat oleh “budayawan Orde Baru” seperti sebelumnya, untuk menyebutkan beberapa contoh, seperti kasus ketidakjelasan Dewan Kesenian Sumatra Barat (DSKB) di masa Harris Efendi Thahar, atau kasus arogansi nama besar “tak ada novel berkualitas dalam 30 tahun terakhir” ala Darman Moenir, atau kasus anti-intelektual berupa pencekalan karya perupa Alberto di acara Sumatra Biennale I, atau kasus “bagi-bagi kue” di Padang Arts Festival II lalu, atau kasus penggunaan uang rakyat tanpa pertanggungjawaban dalam agenda Anugrah Literasi Minangkabau (ALM) dan Penerbitan 20 Buku untuk Penulis, dan seterusnya.

Selanjutnya, ketiga, pola Minangkabau-sentris turut mewarnai agenda tersebut. Tak dapat dipungkiri tokoh “papan atas” yang dilabeli oleh Darman Moenir itu merupakan bagian dari kelompok etnis Minangkabau, meskipun dengan “varian” yang berbeda-beda. Atau kalaupun ada beberapa tokoh di dalamnya yang selama ini kerja-kerja kebudayaannya tak terpusat pada “masalah-masalah” kebudayaan Minangkabau saja, mereka hanya bagian kecil dari 100 tokoh tersebut. Dengan kata lain, komposisi utama dari tokoh-tokoh tersebut adalah orang-orang yang memandang kebudayaan di Sumatra Barat sebagai kebudayaan Minangkabau. Bagaimana dengan keberadaan komunitas etnis Mentawai, Tionghoa, India, Jawa, Sunda, misalnya? Bagaimana mungkin kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, atau masalah-masalah yang biasa dihadapi komunitas etnis Minangkabau bisa menjadi tolak-ukur dalam merencanakan kerja-kerja kebudayaan Sumatra Barat ke depan?

Dalam kenyataannya, program-program kebudayaan yang diselenggarakan di fasilitas kebudayaan Sumatra Barat nyaris tak pernah dimanfaatkan oleh kelompok etnis di luar kebudayan Minangkabau, meski tak seluruh varian kebudayaan Minangkabau pun yang mendapat tempat. Pada dasarnya, kelompok etnis-etnis lain cenderung menjalankan kebudayaannya, termasuk perayaan-perayaan kultur mereka sendiri, dalam teritorial tertentu saja, meskipun konflik-konflik antar etnis jarang sekali terdengar di wilayah Sumatra Barat dan kehidupan sosial lintas etnis “relatif aman”.

Apakah kondisi di atas adalah kasus spesifik di Sumatra Barat? Tentu saja tidak sepenuhnya. Sebab kondisi tersebut tak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas di Indonesia. Cara pandang pendahulu kita, seperti pada dekade awal abad 20 lalu, yang mengatakan kebudayaan Indonesia sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah” adalah salah satu embrionya. Cara pandang tersebutlah yang dipakai pada era 1970-an oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, sebagai legitimasi untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat sekaligus etalase kebudayaan-kebudayaan daerah di Indonesia, atau dalam bahasa Ali Sadikin sendiri, “daerah adalah sumur yang harus kita gali dan hasil-hasil terbaik dari daerah kita bawa ke Jakarta.” Atau contoh paling lumrah: TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sebagai miniatur paling “vulgar” dari cara pandang tersebut. Ini adalah gejala “papan atas” yang paling kentara dari abad sebelumnya dengan Jakarta sebagai contoh kasus.

Kebudayaan daerah dalam satu provinsi diambil perwakilannya yang “papan atas” untuk menjadi representasi di TMII. Ketika provinsi hanya dibagi menjadi 27 provinsi, sebagai contoh, maka itu seakan-akan menjadi perhitungan ada 27 model kebudayaan di Indonesia. Permasalahannya kemudian adalah ketika sebuah provinsi tak satupun yang terdiri dari satu varian etnik saja, sehingga terjadi ketidakadilan representasi disebabkan banyaknya sub-sub dari kebudayaan itu sendiri. (Seperti di Sumatra Barat misalnya yang diwakili oleh bentuk Rumah Gadang tipe Bagonjong. Padahal, ada banyak tipe rumah gadang di Minangkabau, tetapi mengapa yang bagonjong dan bukan yang tipe tungkuih nasi atau kajangpadati yang dipilih? Persoalan serupa pun juga terjadi di provinsi lain).

Dengan kata lain, kehadiran kebudayaan-kebudayaan daerah hanya sebagai “pelaksana pasif” dari ambisi untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat kebudayaan di Indonesia. Dan itu pula memang yang menjadi salah satu alasan yang kemudian mendorong terjadinya “perlawanan” terhadap “Jakarta,” termasuk dalam ranah kebudayaan. Tapi “perlawanan” tersebut cenderung “berkaki kecil”. Bahkan, ironisnya, seberapapun “orang daerah” mengkritik Jakartasentris, tapi pada kenyataannya, praktik-praktik yang dilakukan Jakarta pun turut dilakukan oleh “orang daerah” itu sendiri dalam skala kecil terhadap masyarakatnya sendiri.

Dalam hal ini, apa yang terjadi di Sumatra Barat, melalui agenda Dinas Kebudayaan tersebut, hanyalah variasi lain dari metode kerja kebudayaan yang sudah bertahun-tahun dilakukan di Jakarta. Dan, melalui kebanggaan “papan atas” itu, Darman Moenir semakin menegaskan kondisi itu. Tentu lebih kurang 99 orang lagi tak semuanya yang sepakat dengan cara berpikir Darman Moenir. Masalah utama memang tak berasal dari tokoh-tokoh tersebut. Bagaimanapun juga, komposisi tokoh tersebut hanyalah hasil undangan Dinas Kebudayaan. Artinya, kritik pentingnya sekarang justru kepada Dinas Kebudayaan sebagai tuan rumah.

Dinas Kebudayaan Sumatra Barat memang sudah berusaha mengajak seniman, budayawan, dan akademisi untuk mengambil bagian dari penyusunan rencana kerja kebudayaan kita ke depan. Bahkan usaha Taufik Efendi sebagai Kepala Dinas patut diapresiasi, karena bagaimanapun juga, di tengah berbagai konflik kepentingan antar seniman, budayawan, dan akademisi di Sumatra Barat hari ini, mengumpulkan lebih kurang 100 orang adalah kerja yang tidak mudah. Namun begitu, usaha tersebut tetap harus harus dikritik karena kentalnya tendensi “sentralisitik” di dalam agenda itu sendiri sebagaimana yang dibahas sebelum ini.

Oleh sebab itu, Dinas Kebudayaan mesti merombak cara kerja yang dipakai pada agenda pertama lalu. “Sistim” yang menggurita dalam lembaga pemerintah harus segera dibersihkan, tak hanya dari segi aturan-aturan formal tetapi juga cara pandang Kepala Dinas situ sendiri. Sumatra Barat tidak bisa lagi terus-terusan “diwakilkan” sebagai “Padang” dan “Minangkabau” saja. Begitu juga “Padang” dan “Minangkabau” itu sendiri, tak bisa dilihat hanya melalui kecendrungan pemikiran-pengalaman generasi 60-90 yang justru didominasi oleh generasi 70-80 saja. Kalau Dinas Kebudayaan masih bersikeras memakai model-model “papan atas” tersebut, maka kerja-kerja kebudayaan di Sumatra Barat, kalaupun ada semacam “dialektika” hanya akan diisi oleh gaya-gaya konflik generasi terdahulu, yang seringkali tampak kekanak-kanakan bila konflik itu terjadi pada “rekan seangkatan”, dan berbau premanisme bila konflik terjadi pada persoalan “paruiak bareh seniman proyek”, serta kental aroma “feodal”.bila konflik itu itu sudah terjadi pada “lintas-generasi”.

“Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu,”
 Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.,
(50 x 50 cm, Acrylic, Crayon,
Pencil di atas Kanvas, 2015) 

Sekarang ini, sebagai akibat dari modus “papan atas” yang menjadi alas-pijak kerja-kerja kebudayaan di Sumatra Barat selama bertahun-tahun ini, kita melihat banyak munculnya “komunitas” seni yang pada sisi tertentu dapat dibaca sebagai reaksi terhadap dikuasainya “pusat-pusat” kebudayaan oleh pihak tertentu, meski di sisi lain “komunitas” tersebut tidak sepenuhnya “terpisah” dari tanggung jawab pemerintah. Tentu sebenarnya merebaknya komunitas seni bisa menjadi pertanda baik bagi geliat berkesenian dan kerja budaya di Sumatra Barat, tetapi sayangnya sebagian besar “komunitas” tersebut tidak sepenuhnya menjalankan fungsi kesenian ataupun kebudayaan, apalagi fungsi “politik kebudayaan”, karena dengan suatu dan lain cara, kehadiran “komunitas” tersebut cenderung terjebak oleh logika “identitas” daripada logika “kerja-sama” dalam suatu visi kebudayaan yang dibangun dengan kesadaran kolektif, apalagi “emansipatif”. Artinya, kehadiran suatu “komunitas” seni seringkali didasarkan pada “sentimen murahan” terhadap suatu komunitas sehingga ketika “komunitas” tumbuh semakin banyak, yang terjadi bukannya semakin semaraknya arena kebudayaan dengan keberbagaian tawaran-tawaran percobaan kerja budaya, tetapi malah semakin menggejalanya komunitas-komunitas tersebut menjadi lebih tertutup, bahkan cenderung menjadi “tempurung”. Dengan kata lain, berkesenian sudah dikerdilkan menjadi persoalan “galeh surang-surang” sehingga dimensi “perubahan sosial” semakin tenggelam. Maka, tak heran, bila salah satu fenomena yang terjadi darinya adalah kritik atas kondisi itu akan cenderung dianggap naïf, sebuah “pembunuhan karakter” bahkan dianggap mengganggu “pariuak bareh”.

Agenda “Duduak Baropok Tagak Bapusu” lalu pun tentu tak akan terlepas dari bias-bias konflik antar pegiat seni-budaya di kota Padang. Karena sedari awal agenda tersebut sudah menunjukkan karakteristik “papan atas”, maka tak dapat dihindari bahwa agenda itu pun dapat memunculkan usaha-usaha membuat “agenda” serupa oleh pegiat seni-budaya yang merasa tidak menjadi bagian dari rencana Dinas Kebudayaan ke depan.

Tentu tak salah bila keterbatasan suatu lembaga diperbaiki oleh lembaga lain. Bahkan semakin ramainya eksperimen-eksperimen yang dilakukan pegiat budaya, baik secara formal atau tidak, untuk melakukan kerja-kerja budaya malah semakin baik bagi dinamika perubahan sosial dalam kerangka yang lebih luas. Bagaimanapun juga, untuk saat itu, pola hubungan tarik-menarik antara lembaga formal, informal, dan non-formal, masih diperlukan.

Namun masalahnya, dalam konteks di Sumatra Barat, “episodenya” belum sampai benar pada tahap itu, sebab ada masalah-masalah “spesifik” yang harus diperbaiki terlebih dahulu. Bahkan, gagasan “kerja budaya” sebagai “perubahan sosial” masih perlu diatur strategi untuk merealisasikannya. Kita masih saja membersihkan kerja-kerja budaya dari perilaku-perilaku “asal bikin tandingan” yang justru kebanyakan tidak menawarkan gagasan baru, bahkan jauh lebih buruk.

Tentu saja tak semua orang mesti mempunyai gagasan kebudayaan yang persis sama. Perbedaan cara pandang justru yang akan terus menggerakkan arena kebudayaan kita. Hanya saja, logika yang sering terjadi dalam konflik-konflik di kota Padang tersebut, yang kemudian hanya menghasilkan “asal bikin tandingan” di mana-mana itu, adalah logika-logika “pembagian kue” yang dibungkus retorika seni-budaya, di mana persoalan “berteman” atau “bermusuhan” adalah persoalan dapat atau tidaknya pembagian jatah, tapi diartikulasikan dengan “ketidaksesuaian” selera estetik. Paling tidak, dari mulai generasi Darman Moenir, sering terjebak pada logika “pembagian kue” ini, meskipun gejala serupa sudah tampak pula pada generasi hari ini.
Dengan kata lain, berkaitan dengan agenda Dinas Kebudayaan lalu, pola “sentralisitik” atau “papan atas” yang dipakai itu cenderung hanya mereproduksi konflik-konflik lama yang kekanak-kanakan itu, dan tentu saja masih jauh dari usaha yang memicu kerja-kerja produktif, apalagi “perubahan sosial”.

Namun begitu, kondisi-kondisi tersebut hanyalah sebahagian kecil dari persoalan yang lebih kompleks dalam arena kebudayaan saat ini. Tapi, setidaknya, kondisi tersebut dapat menjadi contoh paling mutakhir dari akibat modus “papan atas”, “perwakilan”, atau apapun namanya, dalam kerja-kerja kebudayaan antara seniman-budayawan-akademisi dan pemerintah. Dengan kata lain, selagi masih begitu awal, Dinas Kebudayaan tak ada salahnya untuk merancang metode baru dalam menyusun, membuat, dan menjalankan agenda kebudayaan di Sumatra Barat. Dinas Kebudayaan harus berada pada jalan “kerja budaya” sebagai “perubahan sosial” dengan partisipasi aktif setiap elemen kebudayaan itu sendiri, dan tak cukup hanya dengan “kerja budaya” untuk “kepentingan budaya” dengan pola “sentralistik” dan “perwakilan” seperti itu saja. Kalau tidak begitu, seminimalnya, Dinas Kebudayaan Sumatra Barat akan bernasib sama atau mungkin lebih buruk, dari lembaga-lembaga seperti Pusda Sumatra Barat atau Balai Bahasa Sumatra Barat, yang pada level tertentu, serta waktu tertentu, “dikendalikan” oleh oknum seniman-budayawan yang menjadikan program-program masyarakat sebagai “sawah-ladang” dan “panggung” pribadi/sekelompok orang tanpa pertanggungjawaban sama sekali, baik secara moral ataupun intelektual, lalu terjadi lagi konflik kepentingan, begitu seterusnya, dan orang-orangnya saja yang bertukar, generasinya saja yang berubah, tapi “mental asal dapat proyek” masih sama.