Pilih Laman

Jumat, 29 Desember 2017 | teraSeni.com~

Perlahan seorang laki-laki paruh baya berbusana putih, melangkah ke atas panggung. Berwajah muram, ia duduk termangu di depan sebuah kain putih yang tergantung. Meratap gusar tanpa bicara, diam namun terpancar kegelisahan. Beberapa saat setelahnya, ia melangkah ke arah datangnya kepulan asap. Lantas menghilang bersamaan dengan kepulan asap yang terurai perlahan. Selang beberapa saat, dua pantomimer muncul bergantian. Mereka memeragakan aktivitas yang berbeda hingga pada akhirnya menyatu. Setelahnya mereka menelusuri jalan menuju ke sebuah ‘gerbang.’ ‘Gerbang’ menuju ‘dunia’ Jemek Supardi.

Ngilo Githok: Jemek Supardi - www.teraSeni.com
Jemek Supardi mengenakan riasan wajah khas pantomime
dalam adegan awal karyanya Ngilo Githok
(Foto: Eko Susanto)

Jemek Supardi, pria kelahiran tahun 1953 ini merupakan seorang seniman yang dikenal sebagai pantomimer. Sejauh ini, Jemek lah yang kiranya paling konsisten menyuarakan suara dan pendapatnya melalui seni pantomim. Atas kesenimanannya, Jemek kerap diundang oleh pelbagai pihak, salah satunya adalah Fabriek Fikr 2 di Colomadu, Surakarta, setahun silam. Di acara site spesific yang diinisiasi Sardono W. Kusumo tersebut, Jemek merespon ruang pabrik dengan cakap dan reflektif.

Lantas kegundahan untuk kembali berkarya merebak pada benak pantomimer senior ini. Alhasil sebuah pertunjukan bertajuk Ngilo Githok dipentaskan pada kamis (7/12) di Pendhapa Art Space, Bantul, Yogyakarta. Diselenggarakan oleh Sanggar Seni Kinanti Sekar, pertunjukan tersebut turut menggandeng beberapa nama, seperti Broto Wijayanto dan Asita Kaladewa sebagai penampil; Guntur Nur Puspito sebagai penata bunyi; Warto Ibrahim, Kristanto, dkk sebagai penata artistik, Dian Santyas sebagai penata kostum, dan M. Shodiq Sudarti sebagai sutradara dari pertunjukan tersebut.

Sebagaimana khas pertunjukan pantomim dari Jemek Supardi yang reflektif, Ngilo Githok dimaknai sebagai upaya cermin diri untuk menyelami makna berkehidupan, terlebih bagi masyarakat kini yang kerap lupa asal, diri, juga sosial. Melalui Ngilo Githok, Jemek berupaya mengajak kita bercermin secara mendalam, untuk melihat apa yang ada di setiap diri manusia namun tidak terlihat secara kasat mata.

Menyelami Dunia Jemek Supardi
Jemek Supardi mengawali pertunjukan dengan cukup sederhana. Duduk terdiam dengan gelisah, sesekali kepalanya menunduk atau menengadah. Beberapa saat setelahnya, ia mulai merias wajah dengan make-up berwarna putih—laiknya wajah pantomimer. Tidak terburu-buru, Jemek mengusap wajahnya secara perlahan. Sesekali ia memandang tajam ke penonton, dan seketika wajahnya berimpresi muram. Setelah semua permukaan wajahnya berwarna putih, ia berjalan menghilang bersama kepulan asap. Tanpa melakukan banyak gerak tubuh dan ekspresi wajah, Jemek dapat merangkai rasa gundah di benak penonton dengan baik.

Ngilo Githok: Jemek Supardi - www.teraSeni.com
Broto membawa lilin dalam salah satu adegan
Ngilo Githok, karya Jemek Supardi
(Foto: Eko Susanto)

Beberapa saat kemudian, seorang pantomimer, Asita, muncul di depan panggung bagian kanan. Berpakaian rapih juga berdasi laiknya pekerja kantoran, Asita mempantomimkan pelbagai aktivitas, mulai dari mengetik, menulis, dengan beragam kompleksitasnya. Dalam hal ini Asita turut membawa persoalan harian para pekerja kantoran, yakni kesibukan.

Setelahnya perhatian diarahkan pada pantomimer lain, Broto, yang berdiri di sisi kiri dari Asita. Alih-alih serupa, Broto berpakaian lurik dengan bawahan sarung laiknya orang yang tengah bersantai di rumah. Broto mempantomimkan hal yang sebaliknya dilakukan Asita, yakni aktivitas rumahan, mulai dari menggosok gigi, menjaga burung perkutut, juga duduk bersantai.

Dalam hal ini, M. Shodiq Sudarti telah memberikan kontras yang jelas. Tidak hanya ditujukan untuk memperlihatkan perbedaan aktivitas, interaksi tersebut turut menunjukan perbedaan ruang. Secara lebih lanjut, hal ini dapat dibaca sebagai dunia yang beragam, tidak tunggal.

Ngilo Githok: Jemek Supardi - www.teraSeni.com
Jemek Supardi menyalakan lilin-lilin di depan
cermin-cermin yang memenuhi panggung Ngilo Githok
(Foto: Eko Susanto)

Dengan beragam aktivitas yang dipantomimkan, baik Asita dan Broto, masing-masing adegan diakhiri dengan kesan kebosanan. Hal yang cukup menarik, mereka setelahnya bertukar ruang. Hasilnya mereka cukup terlihat gagap dan asing satu sama lain. Oleh karena bertukar ruang dan peran tidak membuahkan hasil, maka mereka menyetujui untuk mencari hal yang diidealkan secara bersama-sama.

Akhir perjalanan mereka berada pada satu ruang sempit, di mana tujuan akhir dari segalanya adalah sebuah ‘gerbang’ yang terkunci. Asita ataupun Broto berupaya membukanya namun sia-sia yang hanya didapat. Hingga pada satu titik, mereka telah ‘siap’—ditandai dengan pergantian busana putih yang dikenakan oleh mereka—dan perlahan melangkah masuk ke dalam ‘gerbang’ tersebut.

Sesampainya di dalam, terlihat banyak lilin tergeletak acak yang masing-masing berhadapan dengan sebuah cermin. Susunan ‘lilin bercermin’ itu membuat panggung semakin menawan. Di sebuah sisi, terlihat sosok Jemek yang tengah menyalakan lilin tersebut satu per satu. Merasa penasaran, Broto dan Asita mendekati arah cahaya tersebut. Alih-alih hanya menonton, Broto dan Asita mulai membantu menyalakan hingga semua lilin memancarkan sinarnya.

Ngilo Githok: Jemek Supardi - www.teraSeni.com
Jemek Supardi membawa salah satu lilin yang ia nyalakan
untuk menyalakan lilin yang lain dalam Ngilo Githok
(Foto: Eko Susanto)

Sementara itu, Jemek berjalan ke arah kain putih yang tergantung. Ia berusaha membukanya, tetapi kain tersebut tidak kunjung terbuka. Lantas atas bantuan Broto dan Asita, kain tersebut terbuka, di dalamnya terdapat sebuah cermin besar. Mereka mencoba untuk berkaca bersama.

Setelahnya, mereka turun ke arena penonton menyebarkan cermin secara acak. Seusai berinteraksi dengan penonton, mereka kembali ke panggung. Lantas terdengar suara yang entah darimana asalnya seraya berkata, “Ngilo.. Ngilo.. Ngilo..”. Mereka termangu duduk membelakangi cermin hingga lampu perlahan pada, tanda pertunjukan usai.

Beragam Tafsir Menguak ‘Misteri’
Jika bertolak pada cerita, tentu tarik ulur terdapat pada perbedaan ruang antara Asita ataupun Broto yang merujuk pada satu ruang lain, yakni Jemek. Dalam hal ini Jemek menjadi simbol ajakan reflektif—bercermin diri—dari pelbagai latar belakang dan keadaan. Aktivitas yang kerap dilupakan di tengah konstelasi manusia kini.

Namun atas pertunjukan Ngilo Githok. tafsir implisit lainnya, baik terkait ataupun sebaliknya, turut muncul. Seperti, keikutsertaan dari dua kolaborator pantomimer yang turut tampil pada pertunjukan tersebut. Hal ini dapat dianggap sebagai upaya regenerasi. Di mana Jemek ingin menunjukan bahwa banyak wajah pantomim baru, di antaranya Asita dan Broto. Hal ini turut terwujud dalam peran Asita dan Broto yang sebenarnya lebih dominan ketimbang Jemek sendiri. Bahkan Asita dan Broto lebih menunjukan gerak dan gesture yang lebih tersurat.

Namun Jemek mungkin lupa bahwa karakternya terlalu kuat dan mengikat. Pasalnya, dengan gerak tubuh dan gesture yang sederhana, Jemek justru menyita lebih perhatian. Tidak hanya terkait nama besar, namun hal ini terkait dengan karakter yang dibangun oleh Jemek selama ini. Hal ini turut dibaca scholar pertunjukan, Richard Schechner, sebagai double negative. Double Negative dapat diartikan sebagai Me-Not Not Me, atau yang diterjemahkan dengan saya yang bukan-bukan saya.

Sederhananya, Jemek melakukan pantomim, dan ia mempantomimkan sosok yang berbeda dari dirinya. Namun dari praktik pantomimnya, ia membentuk sebuah karakter tertentu yang mengikat pada dirinya. Jika orang menyaksikan pertunjukan pantomim, maka penonton secara sadar akan mengatakan bahwa ini pantomim Jemek, dan—kerap kali—hanya Jemek yang dapat melakukannya. Dan itu kiranya terjadi pada pertunjukan tersebut, di mana gerakan Jemek yang minimalis justru memberikan impresi yang sama—bahkan lebih—kuat dari dua pantomimer lainnya.

Ngilo Githok: Jemek Supardi - www.teraSeni.com
Tiga Pantomimer bercermin, di hadapan cermin besar
dalam Ngilo Githok, karya Jemek Supardi
(Foto: Eko Susanto)

Oleh karena kekuatan karakter Jemek yang kuat, pertunjukan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya Jemek untuk come back atau ‘turun gunung’ dalam jagad seni pertunjukan, khususnya pantomim. Ngilo Githok bisa saja diterjemahkan sebagai balasan atas absennya Jemek dari pentas tunggal selama ini. Harapannya, kita dapat melihat pentas-pentas tokoh pantomim senior ini pada tahun-tahun mendatang.

Bertolak dari hal ini, Jemek memang tidak muda lagi, namun pantomim adalah dirinya. Maka, niscaya ia bersama pantomimer-pantomimer lain akan terus berupaya membangun iklim pantomim ke depan. Dalam hal ini, perlu kiranya kita dukung pelbagai upaya mereka. Dengan begitu, pantomim dapat terus menawarkan pertunjukan reflektif-reflektif lainnya. Penting kiranya hal tersebut untuk manusia-manusia Indonesia yang semakin egois dan individualis.[]