Pilih Laman

Minggu, 14 Agustus 2016 | teraSeni ~

Tulisan ini adalah semacam refleksi atas sebuah pertunjukan teater yang mungkin saja tidak lagi aktual. Akan tetapi rasanya masih cukup kontekstual untuk dinilai, terutama dalam kaitannya dengan metafora dalam teater kontemporer. Terutama dalam kaitannya dengan kecendrungan artitistik teater masa kini, yang tidak lagi berorientasi pada verbalitas, melainkan pada metafora visual.

Hari itu, Rabu, 23 Desember 2009, di Auditorium Boestanul Arifin Adam ISI Padangpanjang, sebuah pertunjukan yang berjudul Laki-laki Berkabar dan Perempuan yang Memilih Bersendiri, dipentaskan. Sesaat sebelum berlangsungnya pertunjukan, terlihat penonton mulai menduduki kursi penonton di auditorium tersebut. Antusiasme menunjukkan hausnya mereka dengan hiburan dan apresiasi.

teater lelaki berkabar dan perempuan
Salah Satu Adegan dalam Pertunjukan Teater
Lelaki Berkabar dan Perempuan yang memilih Bersendiri, karya Wendy HS

Jika diperhatikan, terlihat bahwa penonton yang datang mayoritas adalah mahasiswa ISI Padangpanjang. Hal tersebut terjadi mungkin dikarenakan lokasi pertunjukan yang berada di dalam lingkungan kampus, sehingga penonton yang meramaikan auditorium malam itu kebanyakan adalah warga kampus. Karena itu tampaknya, antusiasme itu bukan saja beralaskan pada rasa haus akan hiburan, melainkan juga karena sudah menjadi suatu bentuk kaharusan sebagai mahasiswa seni untuk mengapresiasi berbagai karya seni.

Kurang lebih pukul 20.00 Wib, pertunjukan di mulai. Emen (nama sapaan) yang bertindak sebagai penata musik, yang terjun langsung sekaligus memainkan musik, mulai menampilkan karyanya, yang mungkin atas arahan dari sutradara, terkesan penuh distorsi (warna musik yang tak biasa didengar oleh penonton dalam keseharian). Tidak lama kemudian, seiring dengan suara musik itu, cahaya lampu yang telah ditata sedemikian rupa,  yang pastinya juga tidak lepas dari konsep sutradara, yang dioperasikan oleh Danil Martin (Inyiak), dengan pelan mulai naik intensitasnya hingga menerangi sett di atas panggung.

Seketika cahaya lampu menyoroti sett yang dirakit dari sedotan plastik, sehingga menjadi seperti bunga yang mekar di atas panggung, yang berposisi di sebelah kiri panggung dari arah penonton. Pada bagian ini penonton dibuat seperti melihat, bahwa sebuah kehidupan baru saja dimulai tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di bagian depan panggung juga terdapat tiga gumpalan sett yang di gantung, seperti sebuah metafor dari sperma yang akan menetes. Sejauh ini dapat dirasakan kuatnya teks-teks non verbal yang dibangun oleh sutradara untuk mempertajam teks-teks yang akan dihantarkan oleh aktor. Ada pula kesan bahwa semua itu terlihat seperti sebuah metafora dari laki-laki Minangkabau.

Sedangkan pada bagian belakang panggung arah kanan penonton, terdapat gantungan sett yang juga dirakit dari sedotan plastik dengan panjang sett kira-kira 7 m, berjumlah kurang lebih 20 untaian sehingga menjajaki lantai panggung yang samar-samar membentuk lingkaran. Jika coba dicari  maknanya, dapat dikatakan bahwa itu seperti sebuah terali penjara yang berbentuk lingkaran.

Perlahan-lahan aktor (Feri) yang bertubuh cukup gemuk masuk dari wing kanan dari arah penonton dengan gestur yang membungkuk, tidak lama kemudian disusul dengan aktor (Keron) yang bertubuh cukup kurus dari wing yang berlawanan menirukan gaya yang sama. Setelah beberapa lama masing-masing aktor menirukan gestur, kemudian masuk pada adegan seperti seseorang yang belajar mengeja kata perkata, sehingga menjadi rangkaian kalimat yang masing-masing aktor mengucapkannya dengan kalimat yang berbeda serta gestur yang berbeda pula.

Aktor yang gemuk mengucapkan kalimat sambil memegang kemaluannya sementara yang kurus mengucapkan kalimat sambil memegang kepalanya. Tidak lama kemudian muncul aktor perempuan (Winda) dari wing sebelah kanan arah penonton menebar-sedotan. Jika coba dicari maknanya, dapat diumpamakan hal itu seperti seorang perempuan yang menabur benih.

Setelah lama pertunjukan berlangsung, aktor perempuan kembali muncul dari wing sebelah kanan arah penonton yang merupakan metafora dari seorang perempuan Minangkabau, bergerak menuju sett yang menguntai kelantai yang samar membentuk lingkaran tersebut. Setelah berada dalam sett, perempuan tersebut melontarkan kalimat dengan lantang. Sangat disayangkan, kekuatan vokal aktor masih kurang cukup untuk mengantarkan teks-teks tersebut ke penonton. Sehingga penonton yang duduk pada jarak kurang lebih 9 meter dari panggung hanya mendengarkan kalimat yang dilontarkan dengan samar-samar.

Masih kurangnya kemampuan ini membuat sebagian dari spektakel yang mendukung dan yang didukung tidak termaksimalkan. Barangkali hal ini juga dikarenakan efek musik yang volumenya melampaui kekuatan vokal aktor perempuan. Demikian juga kedua aktor laki-laki, yang tidak luput menjadi bagian sebab  yang menenggelamkan vokal aktor perempuan. Artinya, ketika aktor perempuan berdialog, atau sebenarnya lebih tepat dikatakan semacam monolog-monolog, sementara pada saat yang sama juga diiringi efek musik distorsi dan juga diiringi dengan kedua aktor laki-laki yang mengeja. Bentuk adegan ini, terlihat seakan-akan dengan sengaja diciptakan dalam sebuah teror oleh sutradara. Sehingga makna dari teks-teks yang diucapkan sebagian besar menghilang begitu saja.

Menghadirkan simbol ke atas panggung teater tentunya bukanlah bentuk tafsir yang konkrit, yang dengan cepat dan mudah dimengerti dan dipahami oleh sebagian penonton yang awam akan tanda. Apalagi, tanda yang diciptakan oleh sutradara Laki-laki Berkabar dan Perempuan yang Memilih Bersendiri merupakan tanda yang sebelumnya belum menjadi kesepakatan atau konvensi, yakni tanda yang hanya dimengerti oleh sutradara dan sebagian orang saja.

Hal ini merupakan salah satu sebab fatal dari gagalnya capaian tematik yang diusung oleh sutradara dapat dipahami penonton. Terlebih lagi, dampak dominan itu kemungkinan muncul karena aktor sendiri tidak paham apa yang ia sajikan kepada penonton di atas panggung. Seperti dikatakan oleh Winda, bahwa ia sendiri tidak memahami apa yang ia lakukan. Hal ini dikarenakan gaya pertunjukan Laki-laki Berkabar dan Perempuan yang Memilih Bersendiri yang tidak menggunakan logika yang beralaskan sebab akibat (kausalitas). Hal yang wajar, apalagi bagi Winda yang belum genap melalui studi teaternya selama satu semester di Jurusan Teater ISI Padangpanjang. Sama juga halnya dengan Veri dari jurusan yang sama dan juga Keron dari Jurusan Musik.

Pertunjukan Laki-laki Berkabar dan Perempuan yang Memilih Bersendiri tersebut jelas menyampaikan makna lewat metafora-metafora yang direkonstruksi dari tema. Sayangnya, pertunjukan itu sedikit membuat sebagian penonton bingung dan harus berpikir beberapa kali, agar menemukan makna serta tujuan apa yang di sampaikan oleh pertunjukan malam itu. Artinya, pilihan bentuk panyajian Laki-laki Berkabar dan Perempuan yang Memilih Bersendiri yang dipilih oleh sutradara bukanlah satu hal yang biasa bagi penonton yang terbiasa dengan teks verbal, yang memang membuat penonton dapat mengerti dan paham dengan cepat.

Akan tetapi, dalam satu sisi itu hal ini tampaknya sudah menjadi kecenderungan gaya sutradara sendiri, yakni untuk menggarap pertunjukan teater dalam bentuk non verbal. Oleh sebab itu bentuk pertunjukan tersebut lebih menekankan makna-makna yang tercetus lewat teks visual yang non verbal, dan cenderung ambigu. Sehingga pada pertunjukan dengan gaya tersebut, naskah  juga berkemungkinan tidak baku, dan baru selesai seiring berjalannya proses atau bahkan selesainya pertunjukan.

Seperti yang tertulis pada pamflet, yaitu pada sinopsis, Wendy HS, sang sutradara menuliskan pula teks-teks yang mengandung ambiguitas tentang pertunjukan tersebut, sebagai suatu hal penting yang ingin diuraikannya ke dalam pertunjukan, antara lain :

Aku semakin berjalan, aku kian berjarak dari jauh. Entah esok atau lusa, rasanya hari ini juga. Mungkin sunyi itu yang datang padaku. Layaknya surau sehabis azan zuhur. Aku tak sanggup bertahan sekedar mengingatnya saja. Nyatanya, aku tetap hanya sebatas beton-beton dan udara, di ruang mana aku masih belajar membaca: “A-KU LA-KI-LA-KI.”

Aku semakin berjarak, kian berjalan dari jauh. Entah hitam atau merah, rasanya kuning juga. Aku tak akan mewarnai lagi mendung di sini. Sebab sepanjang jalan ini, tempat berteduh sudah penuh. Tampaknya aku harus membuat sendiri cahaya bulan, angin dan gerimis. Agar hati leluasa berlindung sembari belajar menulis: “A-KU LA-KI-LA-KI.”

Struktur bahasa dari sinopsis di atas, jelas tidak memberi batasan-batasan wilayah pemahaman pada subjek tertentu. Artinya, ambiguitas memang diciptakan untuk memberi kebebasan makna atas bahasanya, sehingga tidak terikat oleh waktu, tempat, dan kejadian suatu peristiwa.
Wendy H.S., S.Sn, staf pengajar (dosen teater ISI Padangpanjang) yang menulis dan menyutradarai karyanya Laki-laki Berkabar dan Perempuan yang Memilih Bersendiri itu, seperti yang dikutip dari pamflet pertunjukan, menyatakan bahwasanya, karya ini berangkat dari wilayah lingkar sosial-budayanya, yakni budaya Minangkabau.

Proses pertunjukan teater ini menurutnya mencoba mengkomunikasikan kenyataan tata kekerabatan, hubungan laki-laki dan perempuan di ranah kebudayaan Minangkabau. Dan pada garapan kali ini, sutradara memilih bentuk penyajian tanpa karakter sebagai bentuk bahasa yang menurutnya adalah bentuk bahasa yang efektif untuk disampaikan pada penonton.

Terkadang, tanpa disadari bahasa metafora dan simbol-simbol memang bisa saja tuntas dalam mengusung tema dari sutradara dan siap dihantarkan pada penonton. Namun hal itu mensyaratkan adanya aktor-aktor yang siap menjadi suatu metafora pula di atas panggung. Untuk itu aktor harus berhati-hati dalam ‘pengadaannya’ di atas panggung guna memperkuat teks, sehingga bentuk yang diusung menjadi konteks dengan teks yang sedang dibawakannya tersebut.