Sabtu, 30 Juli 2016 | teraSeni ~
![]() |
Salah satu produksi Waiting For Godot (Menunggu Godot) Naskah Lakon karya Samuel Beckett (Sumber Foto:www.meanderite.com) |
Dilihat dari sejarahnya, seni pertunjukan sudah hidup selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Banyak jenis seni pertunjukan yang telah diselenggarakan, dipatenkan, dikembangkan dan menjadi suatu konvensi. Seni pertunjukan, dalam kancah kebudayaan dan kesenian, secara praksis tentunya memiliki banyak fungsi dan makna. Demikian pula, di baliknya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh sang pengkarya.
Banyak bentuk kesenian selain seni pertunjukan, seperti seni rupa, desain komunikasi visual, film, dan lain-lain. Ada pula hal dipandang bukan seni namun mengandung unsur seni. Namun di dalam setiap karya seni terkandung nilai-nilai yang inheren, yang lazimnya dinamakan nilai estetika.
Kali ini kita akan melihat seni dan nilai estetika dalam suatu seni pertunjukan, lebih khususnya dalam seni teater. Secara ajeg, seni pertunjukan banyak membahas kehidupan, seperti agama, sosial, budaya, dan lainnya. Hal ini tentunya tergantung pada budaya dan semangat zaman yang sedang beringsut berkembang. Isu dan wacana menjadi senjata pamungkas sebagai pengaruh paling penting, khususnya dalam seni pertunjukan, meski hal ini juga terjadi pada seni-seni lainnya.
Seni pertunjukan tidak jarang ditujukan untuk mengajukan suatu argumentasi, yakni dari sang pengkarya, apakah itu sutradara, komposer, koreografer, atau perupa. Hal itu bahkan terlihat begitu kuat dalam kancah kajian kesenian, apakah itu menyangkut aspek filosofis, teologis, budaya, apalagi estetika.
Estetika yang akan kita lihat dalam seni pertunjukan kali ini adalah estetika dalam kaca mata Imannuel Kant, seorang tokoh filosof besar pada abad ke-18-19 (1724-1804). Kant bahkan menjadi salah satu pemikir yang paling berpengaruh bahkan hingga di era modern. Pengaruh pemikirannya terhadap kritik atas akal budi dan rasio murni, khususnya kritiknya atas estetika, menggoda saya untuk mencoba meimplementasikannya ke dalam pembacaan atas pertunjukan seni teater.
![]() |
Immanuel Kant (1724-1804), Seorang Filsuf berkebangsaan Jerman (Sumber Foto:www.philosophers.co.uk) |
Ada empat hal yang harus kita perhatikan dalam memandang estetika menurut Kant, yaitu: (1) bersifat universal; (2) tanpa pamrih; (3) tujuan tanpa tujuan; dan (4) keharusan (mutlak). Dari keempat butir pandangan estetika Imannuel Kant itu, saya mencoba membaca seni pertunjukan teater dengan lebih luas dan seksama, guna membantu merumuskan bagaimana pandangan kita terhadap seni teater, dalam kaitannya dengan unsur-unsur estetika.
Seni teater sejak awalnya memang bergerak bersama dan tak dapat dilepaskan dari suatu pandangan yang terkait dengan kepercayaan, keyakinan dan kebudayaan tertentu. Hingga pada akhirnya, dunia dan zaman yang terus bergerak mengubah banyak hal, bahkan permukaan ilmu pengetahuan. Seni teater, terus bergelut dengan dunia sastra, sosial, budaya, filsafat, teologis, dan berbagai hal lain di sekitarnya.
Sikap multidisipliner ilmu ini menyuguhkan nilai atau butir utama pandangan manusia terhadap seni teater, yaitu terutama pada sifatnya yang menguniversal. Sifat yang menguniversal inilah yang menambah nuansa dan citarasa yang lebih estetik ketika dipertunjukan. Salah satu contoh, ialah apa yang dapat dilihat pada pertunjukan seni teater, yang berangkat dari naskah lakon Menunggu Godot (Waiting For Godot).
Naskah yang ditulis oleh Samuel Beckett, yang berkebangsaan Irlandia ini, menawarkan suatu posisi, situasi dan kondisi manusia pada masa-masa pra dan pasca Perang Dunia pertama dan kedua, atau yang lebih dikenal dengan PD I dan PD II. Naskah Menunggu Godot kemudian mampu menyedot seluruh perhatian dunia. Ilustrasi utama naskah Menunggu Godot ini ialah tentang tokoh Vladimir dan Estragon menunggu Tuan Godot, yang tak kunjung datang. Anehnya, mereka sendiri tidak mengetahui, siapakah sebenarnya Tuan Godot, apa tujuannya, apa maunya.
Meski begitu, mereka berdua tetap bertahan menunggu Godot, dan senantiasa selalu menunggu. Selama menunggu, mereka berdua terus bermain, mempermainkan dan menipu diri mereka seolah-olah hidup dengan penantian yang panjang itu sangat berarti, meski yang pada akhir dan awal kisah, mereka mengucapkan dialog yang sama: “Tidak ada yang berguna’ (Nothing To Be Done)
Hal yang terjadi pada Vladimir dan Estragon seperti gambaran manusia pada umumnya, yang setelah kian lama hidup dalam penantian, dengan perang, konflik sedemikian rupa, dan seperti tengah menanti dan menunggu. Entah apa yang manusia tunggu, apakah ‘Tuhan’, atau ‘Kematian’?
Pemikiran yang serupa Vladimir dan Estragon pun pasti akan terpikirkan dan terpintas oleh setiap manusia, dengan bertanya: apakah tujuanku hidup, siapakah diriku, dan siapakah Tuhan yang sesungguhnya, atau apakah aku hanya menunggu kematian? Pertanyaan itu semua berkemungkinan pernah terlontar dan terpikirkan oleh setiap manusia, meski ada beberapa yang mencoba menegasikannya dan ada pula yang mencoba mengkajinya lebih dalam, entah itu melalui filsafat eksistensi, atau teologi.
Gambaran yang disebut oleh Kant sebagai ‘bersifat menguniversal,’ dari gambaran naskah lakon Menunggu Godot, melalui perwakilan tokoh Vladimir dan Estragon, dengan demikian, memiliki artian dan makna yang sangat berarti bagi setiap manusia dalam dunia ini. Tentunya untuk dapat kita renungkan dengan saksama, baik itu yang bersifat eksistensi kedirian, eksistensi dunia dan tuhan, atau pandangan filosofis kita masing-masing.
Pengalaman empirik yang secara tidak frontal ditujukan kepada seluruh manusia, ditransformasi ke dalam naskah lakon Menunggu Godot oleh Samuel Beckett. Tentunya, hal itu dapat menggangu benak dan pikiran kita, bahkan dapat mengubah banyak hal, ketika kita membaca atau menonton pertunjukan teater dengan naskah lakon Menunggu Godot karya Samuel Beckett ini. Di sinilah letak nilai estetika dari pertunjukan seni teater, khususnya berdasarkan pemikiran Imannuel Kant menurut pengamatan dan perenungan saya.
Selanjutnya, berdasarkan butir kedua estetika dari Kant, kita dapat mencoba melihat nilai estetika yang tanpa pamrih. Kembali kepada contoh pertunjukan teater (drama) Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Kita ambil secara acak saja, entah siapa yang menyutradarai, atau memerankan, atau yang membuat tafsir dan kertas kerja dramaturgialnya.
Secara eksplisit, lakon Menunggu Godot, berbicara perihal absurditas yang sama, yakni sisi absurd dari kehidupan manusia. Ketika pertunjukan ini berlangsung, tentunya tidak sedikit penonton yang mengapresiasi atas pertunjukan Menunggu Godot. Secara general, mereka semua (audience), ingin mendapat nilai apresiasi baru dengan menonton pertunjukan.
Inilah yang menurut saya dimaksud dengan kriteria ‘tanpa pamrih’ dalam estetika Kant ini, yakni nilai inheren dalam karya seni pertunjukan, yang harus tidak dan tanpa tujuan sama sekali, kecuali memberi ruang penyadaran terhadap penonton, atau pemurnian diri (katarsis). Penyelenggaraan dari pertunjukan Menunggu Godot, merupakan sebuah tujuan yang murni tanpa adanya embel-embel kepamrihan.
Pementasan teater harus memiliki kemurnian, tanpa terkait dengan eksploitasi kepada manusia atau masyarakat. Karena ketika suatu karya seni diciptakan, katakanlah seni pertunjukan, maka suatu karya itu tidak memiliki nilai estetika dalam karyanya, yang ada hanya sebatas guna, yakni guna ekonomi, guna eksistensi, guna makna paradoks.
Saya percaya, bahwa ketika Samuel Beckett membuat naskah Menunggu Godot, yang dikerjakannya lebih kurang selama dua tahun ini, ia melihat berbagai peristiwa tragis di sekitarnya, yang bahkan karena terlalu tragisnya, kemudian malah muncul suatu ironi dan komik (komedi) dalam Menunggu Godot. Hal ini tentu saja sesuai dengan argumennya mengenai peristiwa yang ia tuangkan ke dalam naskah Menunggu Godot, yaitu, ‘lelucon adalah sumber penderitaan,’ (bukannya malah kebahagiaan) sebagaimana juga disinggung oleh Bakdi Soemanto dalam bukunya Menunggu Godot: Sebagai Studi Banding, Di Amerika Dan Indonesia.
Kiranya cukup jelas, bahwa sebagai sebuah lakon maupun pertunjukan teater, Menunggu Godot merupakan suatu karya seni yang memiliki nilai estetika sebagaimana yang diformulasikan dan dirumuskan oleh Kant, yakni estetika yang tanpa pamrih. Tentunya, kita boleh meyakini, bahwa masih banyak kesenian di luar sana, selain Menunggu Godot, yang sesuai dan sepadan dengan apa yang dipikirkan oleh Imannuel Kant sebagai kriteria ‘tanpa pamrih’ ini.
Butir ketiga dari pembahasan estetika Kant dia formulasikan sebagai ‘tujuan tanpa tujuan.’ Kesenian, sering diibaratkan dengan beribadah, di mana nilai murni untuk mencipta, berkarya, itu bukan merupakan suatu tujuan yang krusial untuk badani atau dunia saja, tetapi lebih dari pandangan keduniaan (imanen). Sama halnya dengan Kant ketika merumuskan pandangannya terhadap estetika dalam karya seni sebagai beribadah.
Setiap manusia memiliki suatu kepercayaan dan keyakinannya terhadap Tuhan, agama, atau jiwanya. Atas dasar itu, setiap umat manusia dengan akal budi murninya akan beribadah kepada yang kuasa, tanpa mengharapkan sesuatu hal. Hal inilah ditransformasikan oleh Kant ke dalam pandangannya terhadap estetika.
Kunci ini pulalah kiranya yang akan membawa kita untuk memandang bagaimana pertunjukan seni teater, misalnya kembali ke contoh pertunjukan Menunggu Godot. Misalkan, kita ambil ketika saya menyaksikan, pertunjukan seni teater dengan naskah lakon Menunggu Godot, anggap saja yang disutradarai oleh Afrizal Harun (salah satu dosen ISI Padangpanjang), yang menyutradarai pemeran Rico Melta Pratama dan kawan-kawan, dalam rangka tugas akhir minat pemeranan (Rico Melta Pratama).
Ketika pertunjukan ini berlangsung, saya duduk di bangku penonton, gedung Teater Arena Mursal Esten, ISI Padangpanjang. Saya akan menatap fokus ke depan, memerhatikan bagaimana pertunjukan berlangsung, mulai mengamati dari bentuk penggarapan, tematik, artistik yang dibangun, hingga ke permainan para aktor di atas panggung.
Ketika saya menyaksikan dengan seksama, dari skenario yang telah dibangun secara artifisial, saya mendapati suatu titik sentuh dengan kisah pertunjukan, titik yang begitu dalam bagi saya sendiri. Nilai murni, yang ditawarkan ke dalam pertunjukan dengan naskah lakon Menunggu Godot, memang seperti sudah ada keindahaan atau estetika yang inheren dalam dirinya (objek tunggal) dan seperti tidak memerlukan suatu elemen lain untuk menambah kualitas pertunjukan guna mencapai nilai estetis.
Estetika yang sudah terdapat dalam objek (inheren) ini, maksudnya, ialah adanya suatu kualitas dari penampakan dan realitas panngung ketika dilihat oleh pandangan manusia (audiens). Karena itulah, bisa dikatakan bahwa pertunjukan seni teater, yang salah satu studi kasusnya adalah naskah lakon Menunggu Godot, memanglah seni yang murni tanpa suatu penimbangan, apakah ini dapat dikatakan seni atau hanya sejenis kegiatan artifisial manusia, atau hanya sebatas buah tangan manusia.
Nilai Kemurnian (tanpa pamrih), yang tujuan tanpa tujuan dan sifatnya meng-univesal telah terbukti adanya bagaimana pertunjukan seni teater adalah merupakan suatu seni yang ideal bagi Kant, sementara itu, ada satu point dan nilai lagi yang harus diuji dalam pertunjukan seni teater dan sekali lagi, study kasusnya melalui pertunjukan dan naskah lakon Menunggu Godot, karya Samuel Beckett. Point terakhir adalah keharusan atau mutlak dan dengan mencoba melihat seni teater ideal bagi Kant dalam pandangannya dan rumusannya tentang estetika.
Saya memandang ini dengan keharusan, bahwa terhadap objek yang saya yakini ada suatu nilai estetis di dalamnya. Saya akan mencoba mencari alegori lain selain pertunjukan dan saya mencoba menkoherensikannya dengan pertunjukan seni teater. Ketika saya melihat suatu pemandangan, entah itu gunung, danau, perubahan iklim, benda seni, atau segala isi alam kosmik ini, saya tidak perlu memerhatikan secara panjang dan jlimet, untuk menyatakan bahwa di situ ada nilai estetisnya. Melainkan, saya mengharuskan sublim antara jiwa saya dengan apa yang saya pandang, amati, lihat, apapun itu bentuknya.
Keharusan benda (objek) yang sudah ada pada dirinya, suatu penampakan yang realitasnya ada atau tidak ada dalam benak pemikiran saya, yang mampu membuat saya sublim. Dengan kata lain, penyatuan (transformasi emosi) antara jiwa diri saya dan objek fenomena atau nomena, itulah yang disebut keharusan (mutlak) estetis dalam objek.
Dari gambaran atau alegori di atas, kita bisa pula mencoba menariknya ke dalam pertunjukan seni teater. Sama halnya dengan deskripsi singkat mengenai objek yang memiliki nilai estetis yang terdapat di dalamnya, pertunjukan seni teater, misalnya yangberangkat dari naskah lakon Menunggu Godot juga demikian.
Pada saat saya menyaksikan pertunjukan Menunggu Godot, saya langsung merasa sublim dan juga terkatarsiskan oleh berbagai nilai estetis yang ada pada naskah itu. Nilai-nilai terdapat pada berbagai aspek, mulai dari konflik yang ditawarkan, nilai moral, problematisasi yang dibawa dari setiap tokoh, maupun basis makna kontekstualnya terhadap perang dunia.
Dengan demikian, melalui cara menonton Menunggu Godot dengan kacamata Estetika Immanuel Kant ini, saya cenderung memandang seni teater, adalah suatu seni yang ideal dan layak untuk disaksikan oleh manusia (audiens). Spekulasi ini, juga merupakan pembuktian yang berdasarkan perumusan dan formulasi yang telah menjadi pemikiran Kant, sebagai seorang filosof, dan pengkritik akal budi dan rasio, bahwa untuk memandang estetika kita harus berdasarkan akal budi dan rasio, baik itu antara subjek dengan objek, atau manusia dengan benda yang diamati, dalam realitas dan tampakan.