Sabtu, 9 Juli 2016 | teraSeni ~
![]() |
Karya Eko Supriyanto dalam Fire! Fire!Fire! |
Karya kolaborasi itu kemudian diberi tajuk “Fire! Fire!Fire!” yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (30 Januari 2013) silam.Pertunjukan di GKJ merupakan urutan ketiga dari rangkaian pentas keliling ‘Fire! Fire! Fire!’. Sebelumnya, karya tersebut telah dipentaskan di Phnom Penh pada 24 Januari 2013, dan di Bangkok pada tanggal 28 Januari 2013. Karya itu kemudian juga mendapat giliran berpentas di Institut Seni Indonesia (ISI).
Karya tari “Fire! Fire!Fire!” merupakan bagian dari proyek Goethe-Institut bersama Goethe-Institut di Bangkok, Khmer Arts Theater Phnom Penh, Pichet Klunchun & Dancers Bangkok, dan Eko Solo Dance Studio. Karya tari ini mengangkat kembali kisah cinta antara Rama dan Sinta dalam episode yang di Jawa dikenal sebagai “Sinta Obong.” Episode ini bercerita tentang pengorbanan Sinta yang menyeburkan dirinya ke dalam kobaran api untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama, setelah berjuang dalam sekapan Rahwana. Meski berangkat dari gagasan dan kisah klasik, namun ketiga koreografer memvisualisasikan kisah tersebut ke dalam bentuk tarian kontemporer .
Hasilnya, meski berangkat pada cerita Ramayana, pentasnya “Fire! Fire! Fire!” jauh dari visualisasi tradisional. Kisah Sinta obong hanya dijadikan sebagai inspirasi gerakan. Sementara, ekseskusi tariannya lebih banyak memainkan gerakan-gerakan kontemporer. Meski demikian, di dalam ‘Fire! Fire! Fire! masih terdapat sentuhan tradisi, karena ketiga koreografer pada dasarnya berangkat dari tradisinya masing-masing.
![]() |
Karya Sophiline Cheam Shapiro dalam Fire! Fire!Fire! |
Penonton menyaksikan di atas pentas sama sekali tidak ada cerita Ramayana, yang ada adalah interpretasi kontemporer atas kisah itu. Tak hanya gerakan, kostum dan musik pengiring tarian “Fire! Fire! Fire!” juga tak ada hubungannya dengan bentuk tradisional secara visual. Musik pengiringnya dibuat oleh seorang komposer asal Jepang dan Jerman yang memadupadakan musik-musik modern. Sementara, kostum yang dikenakan lebih mengutamakan fleksibelitas dengan komposisi warna-warna pastel yang jauh dari kesan tradisional.
Tari “Fire! Fire! Fire!” dapat dipandang sebagai kasus tari interkultural, yang menampilkan perbandingan dan perbedaan pendekatan dari ketiga koreografer yang memiliki latar budaya berbeda ketika mereka mencoba menginterpretasikan satu subjek yang sama.Proses pementasan dimulai sejak 2010, ketika ketiga koreografer saling bertemu untuk mengadakan diskusi. Kegiatan berlanjut pada 2011 hingga akhirnya dibuat pentas produksi di tiga negara Asia pada 2012. Saat pentas, masing-masing koreografer diberi kesempatan pentas 30 menit dengan konsep yang berbeda.
Pertunjukan bukanlah kerja sama tiga koreografer dalam sebuah tarian, melainkan tiap koreografer menampilkan koreografinya masing-masing secara bergantian. Pertunjukan dimulai oleh koreografi dari Sophiline kemudian Pichet dan terakhir dari Eko. Tiap Koreografer memiliki ciri khas dan caranya sendiri dalam menyampaikan cerita Ramayana. Sophiline memilih menampilkannya secara tradisional dengan gerakan-gerakan khas tari tradisional Kamboja dan ditambah narasi cerita Ramayana. Sementara Pichet menampilkan cerita Ramayana dalam gerakan Abstrak dengan iringan suara gaduh.
![]() |
Karya Pichet Klunchun dalam Fire! Fire!Fire! |
Eko supriyanto menginterpretasikan tarian “Fire! Fire! Fire!” sebagai bentuk tari dengan pesan gender tentang kesetaraan dan komitmen. Ia mengkomposisikan bentuk spiral sebagai dasar gerak. Semua gagasan Eko tersebut diwujudkan oleh para penari yang menggunakan kostum lurik melalui tenaga dalam tiap gerak tubuhnya. Sebuah ciri khas gerak dari karya tari Eko Supriyanto ialah dari awal hingga akhir gerak tubuh penari dibuat menyerupai spiral atau gerak pegas atau kobaran api. Para penari dibuat seolah saling memantul satu sama lain dalam gerak bersama pasangannya masing-masing. Seperti dilansir blog tanzconnexions, Eko Supriyanto melalui karyanya dalam “Fire! Fire! Fire!” lebih mempertanyakan tentang kisah klasik tersebut, yang menurutnya tidak seharusnya terjadi di masa sekarang atau terjadi pada wanita yang hidup di masa ini.
Tetu saja, interpretasi dari ketiga koreografer tersebut tidak terlepaskan dari latar-belakang masing-masing. Eko Supriyanto adalah lulusan dan dosen tetap di ISI Solo. Peraih gelar Master of Fine Arts (MFA) untuk seni tari dan koreografi dari Jurusan World Arts and Cultures, UCLA (2001) itu mempelajari tari Jawa dan pencak silat sejak berusia tujuh tahun dari kakeknya di Magelang, Jawa Tengah. Pichet Klunchun memperoleh gelar sarjana untuk tarian klasik Thailand dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, dan cenderung menggabungkan tari klasik Thai dengan citarasa kontemporer, sembari tetap melestarikan inti dan kebijaksanaan tradisionalnya. Sedangkan Sophiline Cheam Shapiro dikenal sebagai seniman tari yang memberi suntikan ide dan energi baru pada tarian klasik Kamboja, sekaligus memperluas jangkauan globalnya.
Sumber: www.detikhot.com (Rabu, 30 Jan 2013); www.chic-id.com (Wawan Surajah 3 | February 2013)