Pilih Laman
Kamis, 31 Mei 2018 | teraSeni.com~
Penciptaan ruang pertunjukan di Yogyakarta bukan ihwal asing. Belakangan ini, ruang-ruang independen semakin riuh dalam kuantitas. Hal ini tentu berdampak baik dalam pewacanaan yang tidak tunggal, semakin beragam, dan tersebar. Selain beberapa ruang yang telah ajeg, seperti: kampus, sanggar, padepokan, dan sebagainya; ruang-ruang berbasis komunitas mandiri turut banyak tercipta terhitung lima tahun belakangan ini. Hal yang menarik, setiap platform mempunyai terobosannya masing-masing. 
Di pertengahan tahun 2018, platform presentasi karya bertajuk Jalur Pinggir Tak Selalu Ada di Peta Kota menggelar tiga karya pertunjukan untuk kali pertama di IFI-LIP Yogyakarta. Platform rintisan ini berupaya membaca ulang keberagaman praktik koreografi di Yogyakarta dengan tujuan intervensi terhadap pola-pola penciptaan dominan dengan mengeksplorasi berbagai kemungkinan jalur pinggir yang dapat ditempuh bersama untuk mengalami dan membicarakan koreografi secara berbeda. Dari sini, dapat dilihat bawah proyek yang diproduseri oleh M.R. Ridlo ini mempunyai semangat memberikan terobosan alternatif dalam penciptaan karya. 
Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu: Teraseni.Com
Selain gerak tubuh ekspresi wajah memberikan impresi tertentu
Foto: Doni Maulstya
Sebagai perwujudan semangat tertaut, platform ini menampilkan tiga karya koreografi berbeda, mulai dari gagasan, pendekatan, ataupun metode yang dikurasi oleh Linda Mayasari dan direktur artistik, Besar Widodo. Tiga karya tersebut dihelat pada dua hari pertunjukan. Pada hari pertama (21/5) menampilkan karya bertajuk Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu dari Anter Asmorotedjo, Asita Kaladewa, Ninin Tri Wahyuningsih, dan Yennu Ariendra. Pada hari kedua (22/5) menggelar dua karya bertajuk Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha dan My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die dari I Putu Bagus Bang Sada dan Natasha Gabriella Tontey. 
Alih-alih serupa, terdapat dua jenis karya yang ditampilkan, yakni re-creation dan work in progress. Karya re-creation ditampilkan pada hari pertama dari karya yang telah mereka (tidak termasuk Yennu Ariendra) ciptakan delapan tahun silam di PSBK (Padepokan Seni Bagong Kussudiardja). Sedangkan dua karya tersisa merupakan karya work in progress yang tengah mereka kerjakan beberapa waktu belakangan. Dua karya work in progress ini pun mempunyai skema penciptaan yang berbeda, salah satu di antaranya merupakan karya kolaborasi dengan seni performatif. Atas pelbagai pola dan skema kerja penciptaan, kiranya platform tersebut menunjukkan kemungkinan akan karya tari yang lebih beragam.

 

Pertemuan Di Ruang Antara 
Karya pertama dalam pertunjukan ini adalah Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu dari Anter Asmorotedjo, Asita Kaladewa, Ninin Tri Wahyuningsih, dan Yennu Ariendra. Karya ini menampilkan pertunjukan kolaborasi lintas disiplin, antara tari, pantomim, dan musik. Pertunjukan dimulai dengan cahaya teram-temaram, sementara Anter bersila di tengah arena pertunjukan. Perlahan ia mulai menggoyang-goyangkan tubuhnya maju mundur hingga cepat. Tidak lama berselang Anter bangkit, sedangkan Asita yang duduk bersila di belakangnya merespon dengan gerakan senada. Anter melakukan beberapa gerak kuda-kuda dan gerak bertahan laiknya etude pencak silat, sementara itu Asita mengitari Anter dengan raut wajah yang ekspresif. Setelahnya Asita melangkah ke sisi depan arena, ia bergerak memeragakan beberapa aktivitas ketika sedang mandi, mulai dari gosok gigi, mengangkat gayung, dan lain sebagainya. Kesan yang ditampilkan dari awal pertunjukan pun cukup kuat, yakni ketubuhan dan ruang imajinya. 
Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu: Teraseni.Com
Tampak penari satu bergerak perlahan di samping penari lain yang sedang duduk diam
Foto: Suluh Senja
Dalam hal ini, Anter dan Ninin yang notabene penari memberikan impresi ketubuhan yang kokoh, sedangkan Asita yang menekuni pantomim membantu konstruksi imaji semakin kuat. Persilangan tubuh dengan cara kerjanya masing-masing ini kiranya telah menjalin satu skema pertunjukan yang menarik. Kelindan tari dan pantomim ini lantas tidak menghadirkan suatu pesan yang eksplisit—terlebih jika merujuk tajuk karya—, melainkan memberikan ruang dialog untuk penonton menginterpretasikannya. Secara sederhana, karya Anter, dkk. ini menghadirkan tubuh sebagai medium yang tidak wantah dalam menyampaikan pesan.
Kendati demikian, tidak wantah bukan berarti arbitrer dan abstrak. Pasalnya jika menikmati pertunjukan sedari awal, Anter, dkk. berusaha merajut persilangan tubuh, konstruksi, dan keseharian antar penampil secara artikulatif dengan caranya masing-masing. Hal ini diejawantahkan dengan penggunaan gerak dan busana yang berbeda satu dengan yang lain. Di bagian akhir pertunjukan, persilangan itu semakin kentara, di mana Anter dengan pakaian merah, Ninin dengan pakaian putih, dan Asita dengan pakaian biru, saling merespon gerak satu sama lain. Namun hal yang menarik adalah dua penampil seakan membeku, sedangkan satu penampil tersisa lah yang membuat gerak kedua penampil lainnya. Hal tersebut lantas dilakukan secara bergantian. Tentu hal ini dapat ditautkan pada tajuk Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu, di mana pertemuan itu menjadi ruang antara (abu-abu) untuk saling mengonstruksi satu sama lain. Hal yang kiranya selalu berulang tetapi kerap tidak disadari. Aktual! 
Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu: Teraseni.Com
tampak ekspresi penari merespon satu sama lain
Foto: Doni Maulistya
Selain itu, hal lain yang kiranya menarik adalah proses dari re-creation dari karya yang telah diciptakan dan dipentaskan delapan tahun silam pada platform Jagongan Wagen, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). Pasalnya, alih-alih video dan foto terekam dengan baik guna sumber mereka menyajikan, data tersebut justru tidak terekam dengan semestinya, sehingga proses re-creation ini mengandalkan rajutan memori ketiga penampil atas karya tersebut. Tidak hanya itu, jika sebelumnya karya ini dipertunjukkan tanpa musik, pada karya ini, Yennu Ariendra justru diundang untuk “mengganggu” ingatan-ingatan mereka. Alhasil karya ini tidak hanya menjadi pelanggeng memori atas karya delapan tahun silam melainkan menciptakan memori yang lebih segar atas karya bertajuk Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu. 
Upaya Melampaui Limit Tubuh 
Berbeda dengan karya Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu, karya pertama di hari kedua (22/5) bertajuk Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha. Karya yang masih dalam tahap Work in Progress ini menyoal tentang limit dan kualitas tubuh perempuan yang menurun di usia 30 tahun. Lantas eksperimentasi Silvia berupa pendisiplinan pada dirinya guna mengetahui seberapa maksimal tubuh dapat diupayakan. Dalam menghadirkan pertanyaan kritis tersebut, Silvia selaku koreografer mengajak seorang penari lainnya, Risca Putri. 
Pertunjukan diawali dengan pemanasan yang dilakukan keduanya. Pelbagai gerak pemanasan kaki, tangan, dan sebagainya, mereka lakukan. Ketika penonton telah memenuhi arena pertunjukan, lantas Silvia—seolah-olah—meminta Risca untuk mengambil kostum yang tertinggal di luar ruangan. Sembari menunggu Silvia kembali melakukan pemanasan diiringi barisan lagu populer, seperti Can’t Help Falling in Love dari Elvis Presley, dengan sebuah speaker mini dan pemutar lagu di ponsel pintarnya. Pelbagai gerak, mulai dari merenggangkan otot tangan, tidur menyamping, melakukan rolling depan, dan lain sebagainya, dilakukan. 
Dalam hitungan menit, lagu turut berganti menjadi lagu ciptaan Ed Sheeran dengan Thinking Out Loud-nya. Di tengah lagu Silvia mematikan lagu tersebut, dan segera memanggil Risca untuk bergegas. Kemudian, mereka berdua melakukan latihan secara bersama-sama, dari saling mengamati satu sama lain, hingga bergerak seragam dan serentak. Impresi yang muncul dari awal pertunjukan ini adalah Silvia “bermain” dengan konsep pertunjukan dengan menghadirkan fase latihan yang terkesan lebih cair. 
Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha: Teraseni.Com
penggambaran cross-gender dari pakaian penari
Foto: Doni Maulistya
Setelahnya, di arena bagian belakang mereka berganti pakaian juga berias. Risca menggunakan pakaian pria berupa celana panjang, kemeja, dan dasi, sedangkan Silvia menggunakan pakaian perempuan berupa dress sepanjang lutut. Tidak hanya pakaian, bahkan Silvia secara eksplisit memosisikan Risca sebagai seorang laki-laki dengan menggambarkan kumis di wajah Risca. Secara lebih lanjut, upaya ini atau dapat dibaca sebagai praktik cross-gender yang riskan laiknya pisau bermata dua. Di satu sisi, tidak dipungkiri dengan menghadirkan sosok laki-laki, Silvia lebih terbantu memperlihatkan pelampauan limit geraknya. 
Namun di sisi lain, kita dapat melihatnya sebagai usaha mewujudkan sosok “laki-laki” sebagai tolak ukur pelampauan limit dan kualitas atas tubuh perempuan. Walau kiranya perwujudan laki-laki justru terasa wantah. Sementara itu, hal ini juga dapat dibaca sebagai wujud persilangan tubuh perempuan menjadi laki-laki. Sederhananya, kekuatan tubuh perempuan yang ‘disamakan’ dengan laki-laki, terlebih kualitas gerakan dan dinamika satu sama lain cenderung serupa. Jika demikian, satu hal yang cukup menggelitik adalah untuk apa kekuatan dan kualitas tubuh wanita dibandingkan dengan tubuh laki-laki? Dalam arti, limit tubuh perempuan tidak dapat diukur ketika perempuan menyerupai ketubuhan laki-laki, melainkan ketika perempuan melampaui ketubuhannya sendiri atas usia yang diasumsikan berlimit. 
Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha: Teraseni.Com
tampak gerakan penari serupa sedang pemanasan
Foto: Doni Maulistya
Selain itu, jika Silvia menghadirkan tubuh sebagai laboratorium eksperimentasi dalam mengukur kualitas tubuh, maka kiranya gerak Silvia terasa terlalu rapi—terlebih ia turut menghadirkan fase latihan atau pemanasan di dalam panggung. Di dalam pertunjukan, pasca mereka melakukan pemanasan, Silvia dan Risca lantas mementaskan apa yang telah mereka latih. Gerakan seragam dan saling merespon merajut keutuhan repertoar. Di sisi akhir turut dimunculkan sisi lain dari perempuan (baca: Silvia) yang meratap di sebuah dinding, hingga di bagian akhir sang perempuan bertemu kembali dengan sang laki-laki. Dari hal tersebut, Jika yang dihadirkan adalah kesiapan tubuh dalam sebuah repertoar, tentu hal tersebut telah terbayar lunas—di mana gerak dan ketubuhan Silvia dan Risca terasa kuat (baca: berkarakter), variatif, saling mengisi, dan dikemas dengan rapi—, namun jika yang dihadirkan adalah limit dan kekuatan tubuh, kiranya Silvia dapat mempertimbangkan gerak-gerak yang tegas namun dikemas sebaliknya.
Bertolak dari hal ini, kiranya kegelisahan Silvia atas batas limit kualitas tubuh perempuan adalah hal yang baik dalam mengkritisi hal-hal yang penting namun jarang diperbincangkan, apalagi menjadi gagasan dalam berkarya. Hal serupa yang sempat dilakukan oleh seorang Taiwan bernama Wei-Hua Lin dengan laporannya yang bertajuk Does Dancing Career Ends After Married?, yang menyoal perempuan Taiwan yang lazimnya mengakhiri karier kepenarian setelah menikah. Refleksi-refleksi seperti ini niscaya penting untuk para koreografi dan penari perempuan guna membangun kualitas tubuh kepenariannya dengan sadar.

 

Kecakapan Visual dan Gerak Ganjil Tentang Kematian 
Pertunjukan terakhir di hari kedua bertajuk My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die, dari I Putu Bagus Bang Sada—seorang koreografer dan penari—dengan Natasha Gabriella Tontey—seorang perupa yang kerap melakukan kerja seni performatif, serta Nindityo Adipurnomo sebagai dramaturg. Karya ini merupakan work in progress atas kerja kolaborasi lintas bidang yang dipertemukan oleh kurator beberapa bulan sebelum pertunjukan digelar. Gagasan dari pertunjukan nomor terakhir ini menyoal tentang kematian dari sisi sosial dan spiritual yang didasarkan pada penelitian artistik. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die
Penari satu merayap di atas plastik dan penari lain membalikan tubuhnya
Foto: Doni Maulistya
Pertunjukan diawali dengan teram temaram lampu menyinari arena pertunjukan, dua buah plastik panjang tembus pandang—membujur dari sisi kiri ke kanan dan juga sebaliknya—bersilangan di tengah panggung, telah menyita perhatian. Beberapa meter di belakang plastik tersebut, duduk termenung Tontey dan Gusbang. Setelahnya Tontey mulai mengucap kata demi kata, narasi tentang kematian, Gubang meresponnya dengan gerak dari belakang tubuh Tontey. Kemudian Gusbang tertelungkup dan Tontey terlentang di punggungnya. Tontey bernarasi tentang bangkai dengan keadaan lemas lunglai sementara Gusbang merayap hingga membalikkan badan Tontey dengan cepat. Setelahnya Gusbang terlentang membeku, Tontey mencoba membolak-balikkan tubuh Gusbang laiknya seonggok daging tak lagi bernyawa. Dalam hal ini Tontey dan Gusbang mewujudkan dialog tentang kematian antara narasi dan tubuh secara tidak lumrah. 
Alih-alih plastik menyilang hanya menjadi artistik semata, Gusbang dan Tontey menggunakan plastik tersebut sebagai bagian penting dari pertunjukan. Di mana mereka berdua memasuki kedua plastik yang bersilangan, dan mereka merangkak menyusuri hulu hingga hilir plastik tersebut. Seusai mereka keluar dari sisi yang berbeda dari plastik, mereka kembali memasuki plastik ke arah yang berlawanan. Kembali di titik mereka mulai, sekali lagi mereka memasuki plastik, namun dengan cara yang berbeda yakni menarik jengkal demi jengkal plastik dalam keadaan berdiri satu sama lain. Dalam hal ini, Gusbang yang mempunyai latar ketubuhan tari menariknya dengan pelbagai gerak stilisasi, seperti menggoyangkan tubuhnya dengan halus dan teratur, sementara Tontey melakukan gerak sebaliknya, gerak keseharian. Dalam hal ini, keputusan menggunakan plastik tembus pandang dalam mendalami kematian sangat menarik, pasalnya upaya Tontey dan Gusbang untuk keluar dari plastik dengan merayap telah memberikan pengalaman atau imajinasi kematian dengan cara yang berbeda. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die
Penari masuk ke dalam plastik
Foto: Doni Maulistya
Pada adegan setelahnya, Gusbang memasukkan kakinya dan Tontey memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam kardus yang berbeda. Lantas Gusbang berjalan menggunakan tangan dengan menyeret kakinya sambil bersiul, sementara Tontey berjalan perlahan dengan mengucap kata demi kata tentang organ tubuh. Mereka berjalan dalam arah yang bersamaan hingga berlainan. Namun di satu sisi persilangan mereka bertemu, Gusbang menarik telapak tangan Tontey dan mengusapkannya ke wajah dengan perlahan. Sementara itu lampu panggung padam, dan lampu mengarah kepada penonton. Penonton yang telah dibagikan selembar kertas sebelumnya, mengucap: Segelas teh yang kuseduh belum sempat kusentuh// Tak mampu aku mengangkat gelas// Bokongku ditarik// Perutku kram// Seisi-isinya terburai-burai// Aku bertahan// Tanganku memeluk kakiku. Gugusan kata tersebut mereka rapal laiknya mantra dengan gaya ucap yang berbeda satu sama lain. Dampaknya ruang pertunjukan menjadi ramai namun dalam keadaan yang aneh. Dalam hal ini, perwujudan impresi dan ambience akan pengalaman kematian menjadi terasa. Kendati kedua penampil tidak mewujudkan gerakan atau visual yang eksplisit, namun yang menarik impresi atas gagasan justru tersampaikan. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die: Teraseni.Com
Penari menyeret tubuh yang berada dalam kardus
Foto: Suluh Senja
Sementara pertunjukan usai dengan interaksi Gusbang dan Tontey yang cukup unik, Gusbang kembali tergeletak dan Tontey mengatur arah dan gerak Gusbang dengan kepalanya. Di tengah arena, Tontey memantulkan kepala Gusbang ke tanah—laiknya tengah men-dribble bola—dengan statis namun bertempo cepat, hingga lampu perlahan padam menyisakan suara Tontey yang terus berkisah tentang kematian. 
Bertolak dari pertunjukan tersebut, kiranya pertunjukan bertajuk My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die berhasil memberikan tarik ulur atas tubuh. Karya ini telah memberikan ruang persilangan antara tubuh sebagai tubuh yang hidup, tubuh sebagai jenazah, dan tubuh dengan konstruksi kematian. Mereka tidak hanya mewujudkan kematian sebagai sesuatu yang jasmaniah, melainkan juga tentang sosial. Untuk mendekatinya, eksplorasi gestur orang meninggal menjadi etude gerak mereka, seperti lunglai laiknya seonggok daging tak bernyawa yang diwujudkan Gusbang. Alih-alih berhenti, mereka justru dapat mengeksplorasi gestur-gestur kematian, dari yang lazim hingga yang asing. Sederhananya, Gusbang berhasil memberikan respon gerak di pelbagai adegan. 
Namun sebagaimana Gusbang berlatar kepenarian yang kuat, kiranya ia perlu memberikan tawaran atas pendalaman gerak akan kematian secara lebih mendalam. Dalam arti, Gusbang dapat memberikan tawaran sintesa gerak yang sama menariknya dengan apa yang ditawarkan Tontey dalam bidang artistik dan narasi. Pasalnya Gusbang merupakan salah satu koreografer yang telah berani mengembangkan dan mengeksplorasi gerak dengan cakap—bahkan ia telah berhasil mencapai taraf eksplorasi tertentu pada tubuhnya di usianya—, maka mengharap lebih pada Gusbang tidaklah keliru. Dalam hal ini, praktik lintas disiplin seni niscaya telah memberikan referensi artistik dan estetik pada Gusbang, namun untuk pendalaman tubuh tarinya, kiranya hanya dirinya sendiri lah yang dapat melakukannya. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die: Teraseni.Com
tampak kedua penari seolah sedang menarik ulur tubuh masing-masing
Foto: Doni Maulistya
Kiranya dari tubuh, visual, performatif, telah menjelma menjadi satu pertunjukan yang menarik. Dramaturgi dari karya ini telah membawa penonton kepada satu pengalaman baru tentang kematian. Impresi yang saya dapat setelah menonton adalah masih membekasnya kesan tubuh dan kematian dengan cara yang berbeda. Menarik! 
Tawaran Pertunjukan 
Bertolak dari ketiga karya tersebut, kiranya platform ini memberikan gambaran singkat dari semesta pertunjukan yang beragam. Pasalnya perbedaan ketiga karya, bukan hanya soal gagasan, melainkan soal metode penciptaan karya hingga impresi dari karya yang dibangun. Sebut saja karya Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu di mana karya tersebut diciptakan secara kolaboratif. Dalam hal ini, pertukaran ide dan logika tidak hanya terjadi antar individu, namun antar bidang seni—yakni latar belakang dari pengkarya, yang dalam hal ini tari dan pantomin—dapat ternegosiasikan. Hal ini tentu menjadi proses yang baik, untuk pengkarya pada khususnya, dan pengembangan bidang seni pada umumnya. Alih-alih hanya karya tersebut, kiranya sistem kerja kolaborasi semacam ini turut terjadi pada karya My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die. Di mana Gusbang dan Tontey berdiskusi ± tiga bulan sebelum karya dipertunjukkan. 
Dalam hal ini, pertemuan ide dan logika tidak hanya bertukar antar individu, namun antar bidang seni. Dari pertemuan kedua kerja kolaborasi ini pun menghasilkan jenis karya yang berbeda. Di mana pada karya Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu mengandalkan tubuh sebagai media ungkap—pun busana yang dikelola oleh Fredy Hendra turut mempengaruhi—, sedangkan pada karya My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die tubuh bekerja sama dengan visual. Tidak hanya media ungkap, impresi pertunjukan yang tercipta juga berbeda satu sama lain, di mana pada karya Gusbang dan Tontey turut mencipta suasana, sedangkan karya Anter, Ninin, Asita, dan Yennu bertumpu pada tubuh. Lantas pertunjukan ini terasa semakin beragam dengan karya Durasi-durasi, karya Silvia, yang menyoal perihal perempuan. Dalam hal ini pertunjukan tari dengan gagasan yang menarik dengan perwujudan ketubuhan memang harus terakomodasi. 
Dari sini, penonton diajak mengarungi ‘belantara’ persilangan kerja kreatif dengan perbedaan variabel kreator sebagai tawaran dalam kerja koreografi. Secara lebih lanjut, kita dapat melihat bahwa tidak ada model tunggal penciptaan karya tari, melainkan beragam cara penciptaan, pola kerja, hingga logika pertunjukan yang beragam. Laiknya tajuk platform Jalur Pinggir Tak Selalu Ada di Peta Kota, maka munculnya ruang alternatif seperti ini kiranya dapat mempertebal harapan akan gerak kerja koreografi Yogyakarta ke depan. Semoga![] 
*“Pinggiran”
di sini merujuk pada tajuk acara Jalur
Pinggir Tak Selalu Ada di Peta Kota.