Sabtu, 6 Agustus 2016 | teraSeni ~
Televisi dengan kekuatan teknologi yang dimilikinya dianggap oleh banyak kalangan sebagai penanda kehidupan modern. Betapa tidak, masyarakat masakini seperti tidak dapat dipisahkan dari televisi. Keduanya bahkan ibarat simbiosis mutualisme, sama-sama menguntungkan di antara kedua belah pihak. Televisi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yang berfungsi selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai alat propaganda yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dengan membuatnya percaya dan yakin terhadap pesan yang ada dibalik tayangan televisi itu.
![]() |
Ilustrasi tentang propaganda di televisi (sumber:www.wakingtimes.com) |
Kekuatan utama televisi adalah gambar, dan apapun gambar yang ditayangkannya bisa berdampak pada perilaku orang yang melihatnya. Menyadari kekuatan inilah banyak politisi memanfaatkan media televise sebagai sarana propaganda bagi kepentingan politiknya. Berbagai macam cara perekayasaan gambar dilakukan demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Manipulasi gambar tayangan televisi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mempengaruhi pemirsa, agar percaya dan yakin dengan pencitraan dari tayangan tersebut.
Padahal, semua gambar tayangan televisi bukanlah gambar yang sebenarnya, melainkan sudah mengalami penyuntingan atau pengeditan sesuai dengan strategi yang telah direncanakan. Sayangnya, hanya sedikit dari pemirsa yang tahu dan memikirkan hal itu. Hal inilah yang tak terbayangkan oleh kita, bahwa dibalik tayangan yang spektakuler itu, terselip maksud ‘busuk’ yang berusaha mempengaruhi perasaan dan kesadaran kita. Diperlukan suatu kekuatan dan kejernihan berpikir dalam mencerna segala tayangan, agar tidak terjerumus dengan sarana propaganda melalui tayangan televisi.
Hal yang menarik dewasa ini ialah ketika kegiatan seni dimanfaatkan oleh para politikus untuk mendapatkan simpati dari masyarakat, sebagai senjata untuk memenangkan pemilu. Padahal, di luar itu mereka tidak peduli pada kegiatan seni. Salah satu contohnya ialah apa yang dilakukan oleh presiden kita saat, Jokowi, ketika ia memanfaatkan media televisi dan seni pada pemilu dua tahun lalu. Ya, Jokowi adalah contoh paling jelas, dari bagaimana seni dan televisi digunakan untuk mendapatkan simpati. Dengan memanfaatkan jasa band terkenal seperti Slank, yang terkenal dengan lagu-lagunya yang berisikan pesan perjuangan membela Indonesia, Jokowi berhasil menarik simpati masyarakat, terutama anak muda. Setidaknya, hal ini telah membuat para Slankers memilih Jokowi.
Pencitraan yang didapatkan oleh para politikus dari media televisi ini sungguh hebat. Semua yang tergambar pada setiap frame menjelaskan kebaikan, kedermawanan, kehebatan, dan rasa tanggung jawab yang tinggi dari para politikus. Jarang sekali ada tayangan yang memperlihatkan sisi buruk dari mereka. Tidak saja media televisi yang dimanfaatkan, beberapa media cetak yang siap terbit setiap harinya juga dipenuhi ‘koar-koar’ janji para politikus untuk membangun pencitraannya. Masyarakat diajak menilai sesuatu berdasarkan pencitraan yang tidak nyata ini. Mendadak, seni lalu diagung-agungkan, misalnya dengan mengangkat kembali kesenian tradisi sebagai visi misi dalam kampanye. Berbagai macam pertunjukan seni diadakan di desa-desa yang didanai oleh para politikus dengan embel-embel baliho yang terpajang di sepanjang jalan.
Apakah seni masih pantas dianggap sebagai suatu keindahan ketika ia hanya dimanfaatkan sebagai sarana pencitraan? Pada umumnya, seni diartikan sebagai wahana keindahan, perbuatan manusia yang timbul dari perasaan, sehingga menggerakan jiwa dan perasaan manusia lain. Seni adalah suatu kreativitas yang diciptakan oleh manusia yang berasal dari ide, gagasan, perasaan, suara hati, gejolak jiwa, yang diwujudkan atau di ekspresikan. Dari pengertian seni ini seharusnya seni benar-benar dijadikan sebagai wahana kebudayaan untuk menciptakan keindahan dan hiburan, bukan untuk mendapatkan pencitraan demi mendapatkan jabatan.
Banyak juga orang yang demi mengejar ambisi tertentu, lantas mengemas dirinya terlalu berlebihan. Mereka berupaya mengekspos diri dengan berbagai cara. Dengan adanya sosial media, orang kini bahkan bisa bebas menciptakan citra diri untuk mencapai tujuan tertentu. Orang seperti ini ‘berbahaya’, karena akan tumbuh menjadi ‘narsis’ yang bisa menghalalkan segala cara untuk meraih ambisinya.
Seni dalam pencitraan adalah seni yang tidak berbicara apa adanya. Mendengarkan atau menonton kegiatan seni dalam iklan atau pidato kampanye diwarnai ambiguitas atau ketidakpastian. Ini disebabkan oleh pencitraan yang terlalu berlebihan. Lebih dari 63 persen caleg, menurut KPU Pusat, tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Itu artinya, ada tindak improvisasi ‘kotor’ dalam penggunaan seni sebagai sarana pencitraan, padahal improvisasi adalah bayi yang dilahirkan oleh dunia kesenian. Pada situasi politis demikian, kita dihantui kecemasan, karena seni akan semakin berkurang maknanya, terlebih jika di dalamnya terdapat pencitraan yang berlebihan.
Tetapi kenapa seni justru dilarang untuk jadi ajang kreatifitas dan medium kritik? Pertanyaan ini saya ajukan karena ketidakseimbangan antara seniman dengan politikus? Jika seseorang pejabat dapat melakukan pencitraan dengan seni, lalu kenapa seniman tidak diperbolehkan untuk menyampaikan kritik melalui seni? Kita ingat bahwa musisi semacam Iwan Fals dan Sawung Jabo pernah dicekal masuk layar televisi, karena syair-syair lagunya yang dianggap membahayakan stabilitas pemerintahan (rezim Soeharto).
Demikian juga sastrawan WS Rendra yang pernah dilarang masuk televisi terutama untuk pembacaan puisi, karena karya-karyanya dianggap membahayakan kedudukan pemerintahan di mata masyarakat. Aktifitas Rendra pada masa itu seringkali mendapat kontrol ketat dari Departemen Penerangan, Kepolisian, bahkan Kodim. Ketika WS Rendra bergabung dengan group musik Swami, Rendra dan kelompok inipun dilarang tampil di televisi.
Jika siapa saja bebasmelakukan kegiatan seni, bebas mengekspresikan apa saja untuk dirinya dan penonton, kenapa banyak seniman yang dicekal? Seniman juga melakukan pencitraan dengan karyanya. Mereka ingin proses kreatif dari usahanya membangun kesadaran masyarakat dan mampu menjelaskan permasalahan negara saat ini, seperti lagu yang dibawakan Iwan Fals dan puisi WS Rendra.
Apa sebenarnya seni itu ketika dijadikan sebagai sekadar bagian dari pencitraan? Sungguh jelas bahwa pada abad 20 ini seni sangat dibutuhkan oleh semua kalangan. Para politikus memanfaatkan seni untuk pencitraan dan berbagai stasiun televisi memanfaatkan seni sebagai sumber uang. Seni dikembangkan sedemikian meriah sehingga seringkali melupakan hakikatnya sebagai wahana pengalman keindahan. Seni dimanfaatkan dengan menghadirkannya berbagai hiburan yang dipertontonkan tanpa keindahan.
Dr Nigel dalam filmnya yang berjudul “More Human Than Human” menunjukkan bagaimana pencitraan berhubungan erat dengan gambar, simbol, dan seni. Ia menjelaskan bahwa jawaban dari pertanyaan ini terdapat ribuan tahun yang lalu, ketika nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu mewariskan seni di dalam bentuk visual. Bagaimana seniman pertama memperjuangkan peradaban terbesar. Ia menjelaskan hasil surveinya bagaimana manusia membentuk seni dan seni membuat kita menjadi manusia. Lalu bagaimana seni membentuk dunia?
Tidak ada yang mendominasi hidup manusia begitu besar. Namun bentuk tubuh manusia menjadi obsesi beberapa seniman besar dunia. Faktanya, citra bentuk tubuh manusia tidak satupun mirip dengan bentuk manusia pada nyatanya. Mereka jarang mencipta tubuh yang realistis. Jika diperhatikan, kelima seri film Dr Nigel menjelaskan secara rinci awal mula seni sebagai pencitraan, dan bagimana perkembangan seni yang ternyata telah dimafaatkan oleh banyak orang dari dahulu hingga sekarang.
Filsafat seni bersangkutan dengan masalah-masalah konseptual yang muncul dari pengertian kita tentang seni. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seperti pertanyaan yang diajukan oleh Dr. Nigel dalam film-filmnya merupakan bagian dari pertanyaan dasar dalam estetika atau filsafat seni, yaitu: Bagaimana awal mulanya seni? Bagaimana seni di definisikan? Apa yang membuat karya seni indah, menarik dan jelek? Bagaimana seseorang menanggapi karya seni? Apakah ungkapan artistik merupakan bentuk ungkapan yang unik? Apakah seni menyingkap kebenaran tentang segala sesuatu? Mengapa manusia menciptakan karya-karya seni?
Pada umumnya seni adalah segala melalui unsur-unsur tertentu, yang bersifat indah untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sifatnya tak terbatas. Seni dapat mengharukan, seni dapat menyatukan seluruh kalangan maupun komunitas, seni juga dapat menciptakan keakraban dapat menciptakan hal-hal lain yang tidak dapat kita bayangkan. Seni adalah kegiatan yang menghasilkan karya indah. Tujuan seseorang berkesenian di antaranya untuk kepuasan pribadi, tuntutan keadaan, tujuan praktis untuk mencari uang, dan ada pula demi kepentingan kesejahteraan umat manusia.
Intinya, seni pada dasarnya adalah kegiatan untuk menghibur. Tapi jika seni terus dimanfaatkan sebagai sarana pencitraan yang berlebihan untuk mendapatkan simpati dari banyak orang, sei akan berkurang maknyanya.Seorang menciptakan karya seni dengan tujuan meningkatkan kualitas kehidupan zamannya sehingga memilki arti penting bagi generasi berikutnya, tapi seni untuk pencitraan diciptakan untuk menghipnotis pikiran masyarakat untuk melihat seseorang secara berlebihan. Demikian pula pandangan masyarakat yang ‘meminggirkan’ seni dalam proses pendidikan maupun kehidupan sehari-hari seharusnya telah ditinggalkan. Sebab, tujuan manusia menciptakan karya seni adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan zamannya, dan bukan merusaknya.