Jumat, 19 Agustus 2016 | teraSeni ~
Menyaksikan pawai 17 Agustus di jalanan kota, dan mengingat persoalan teman-teman kita dari Papua belakangan ini, membawa kenangan saya ke sebuah kejadian dua tahun lalu. Ketika itu, sebuah Pawai Budaya sedang dipersiapkan di Jakarta. Peristiwa itu akan diselenggarakan di seputar Monas dan Istana Negara. Peristiwa tahunan, yang dilaksanakan setiap peringatan hari ulang tahun Republik Indonesia ini. Kebetulan, saya bisa ikut menyaksikan persiapan Pawai Budaya waktu itu, karena ditugasi untuk mengamatinya oleh sebuah kegiatan workshop penulisan seni pertunjukan.
![]() |
Pemuda Papua, Akrilik di atas Kanvas 115 x 135 cm, karya Kartika Affandi (2007) (Sumber Foto: www.sahabatgallery.wordpress.com |
Ketika pertama kali saya dating di Monas, pada hari Sabtu 16 agustus 2014 itu, keadaan pelataran monumen nasional cenderung sepi siang itu, Sabtu 16 Agustus 2014. Meski dari jauh mulai terdengar instruksi dan sejenisnya dari pengeras suara, namun belum ada aktivitas yang cukup menarik perhatian berlangsung. Belum ada tanda-tanda bahwa akan segera dilaksanakan gladi kotor Pawai Budaya 2014 itu. Area itu hanya terasa sedikit berbeda karena terdapat jejeran tenda krem di sebuah sudutnya. Hampir setiap tenda ditempati 30 sampai 70 orang, yang rata-rata berpakaian dengan warna yang identik, sehingga tampak seperti kumpulan titik merah, biru, hijau, oranye, hitam, atau putih dari kejauhan.
Keadaan berubah manakala sekumpulan orang mengambil inisiatif untuk mengisi salah satu bidang di area itu, dan memainkan beberapa peralatan musik. Ikat kepala, peralatan musik, serta gerakan atraktif yang mereka pertontonkan saat memainkan alat musik kiranya dengan segera dapat dikenali pengunjung Monas, sebagai identitas para penampil Papua. Segera setelah mereka menampilkan atraksi, grup-grup penampilan yang lain turut hadir di area itu, dan keramaian pun dimulai. Sebuah keramaian dari Gladi Kotor Pawai Budaya 2014, akhirnya digelar di pelataran tugu Monas, yang saat itu tampak seperti siluet dari sisi timur.
Kontingen Papua dan Ritual baru
Ketika sebagian personil kontingen Papua mulai memainkan musik dari gitar dan tifa, para lelaki dan perempuan yang sedari tadi telah berdiri dua berbanjar di hadapan mereka segera pula bergerak. Tanpa aba-aba kaki, tangan dan kepala mereka mengisi ruang dengan gerakan-gerakan yang sepintas sederhana namun jika diperhatikan ternyata membutuhkan kekuatan dan kerampilan tersendiri. Melompat dengan satu kali sambil menahan tifa dengan tangan lurus di depan dada, sembari memukul benda itu sesuai tempo, tentulah membutuhkan latihan yang memadai.
Namun kesan tentang latihan itu segera hilang ketika dua orang yang postur dan ciri fisiknya mirip dengan para penampil datang. Sepasang lelaki dan perempuan ini secara cepat dapat mengikuti gerakan-gerakan yang disajikan para penampil, dan dengan cepat pula dapat beralih terlibat dalam gurauan dan obrolan dengan para ofisial. Singkatnya, dapat dipastikan mereka bukanlah bagian dari kontingen yang akan tampil. Jadi, kemungkinan besar gerakan-gerakan ini sudah ‘menubuh’ dalam diri setiap orang papua, bagian dari keseharian mereka. Kesan itu semakin kuat, jika memperhatikan bahwa pemimpin arak-arakan ini adalah seorang anak lelaki berumur sekitar 11 tahunan, yang bisa memperagakan gerakan itu dengan lepas dan bertenaga.
Penampilan kontingen Papua itu rupa-rupanya sudah ditunggu-tunggu. Hanya dalam waktu yang relatif singkat, mereka sudah dikerumuni pengunjung Monas siang itu. Sebagian pengunjung bahkan tampak menjadi bagian dari pertunjukan, karena mereka berada tepat di antara dua garis yang dilalui barisan penampil provinsi Papua ini. Menariknya, para penampil tidak merasa terganggu, dan tetap bergerak dengan khusuk dan bersemangat. Beberapa pengunjung bahkan dibiarkan ikut menirukan gerakan-gerakan ini. Jadilah penampilan kontingen Papua itu segera menjadi pusat perhatian. Mereka segera menjadi seperti ‘gula yang dikerubungi semut.’ Sekumpulan ‘gula’ yang tidak habis-habisnya hingga matahari tengelam hari itu.
Magnet Kontingen Papua
Keesokan harinya, saya kembali ke pelataran Monas. Keragaman budaya bangsa Indonesia segera terasa jika memasuki silangan Monas di hari Minggu 17 Agustus 2014 itu. Dibanding hari sebelumnya, keadaan di situ jauh lebih ramai dan meriah, entah karena hari libur, atau karena memang banyak yang ingin menonton Gladi Bersih Pawai Budaya. Pengunjung Monas dan pedagang kaki lima, seperti melengkapi jejeran mobil berhiasan aneka bentuk dan warna. Sementara itu ratusan perempuan dan laki-laki bersiap-siap untuk tampil. Masih sama seperti kemarin, mereka mengenakan baju berwarna sama berdasarkan kelompoknya, hingga menyerupai sekumpulan titik-titik abu, merah, hitam, putih, biru, hijau, oranye, dan sebagainya.
Meski cukup lama kumpulan manusia di silangan Monas itu hampir tidak melakukan sesuatu yang terkonsep atau terencana sebagaimana layaknya sebuah Gladi Bersih Pawai Budaya, namun berbagai bunyian, tarian, bangun, rupa, terus menerus ditampilkan sepanjang siang itu, bagai spora bertaburan. Hampir pukul lima sore, barulah para kontingen yang telah datang sejak pukul sebelas siang itu mendapatkan giliran untuk menampilkan atraksinya, pada sebuah bidang, yang diandaikan sebagai titik pemberhentian dalam pawai budaya esok hari. Hal yang cukup menarik, tidak satu kontingen pun mengeluh apalagi memprotes terundurnya pelaksaan Gladi Bersih ini. Meski ini acara tahunan, Gladi Bersih Pawai Budaya memang selalu tertunda dari jadwal semula, kata seorang seniman di sana.
Lagi-lagi, kontingen Papua tampaknya sama sekali tidak terganggu oleh penundaan itu. Malah, mereka seperti mendapatkan peluang untuk menciptakan penampilan baru, penampilan yang tidak harus 2,5 menit seperti yang digariskan panitia. Suara gitar dan nyanyian dari atas mobil yang belum selesai dihias terdengar seperti tak akan berhenti. Sementara sekelompok orang mulai menggerakkan kaki dan tangannya di sisi mobil itu. Kelompok ini semakin lama semakin besar. Sebagian penonton seperti mendapat undangan untuk ikut mengendurkan urat syarafnya. Gerakan gerakan sederhana, melompak sambil membungkuk, lalu melompat dengan dada ditarik ke belakang, dengan cepat dihapalkan semua orang yang ikut bergabung. Kelompok ini bahkan dengan cepat dapat membentuk formasi-formasi yang indah, yang tentunya tidak terencana. Lingkaran yang membesar dan mengecil, garis yang meliuk-liuk, dan juga rantai yang tak putus.
Segera, sebuah tontonan, yang mungkin akan disebut Lono Simatupang (2013) dalam bukunya Pergelaran sebagai “tontonan yang bukan tontonan” tercipta di Silangan Monas. Semua orang terlibat, membangun sekaligus menikmati sebuah peristiwa, peristiwa bersama, di mana tidak ada lagi kategori penampil dan pemeran. Sebuah ritus, yang tercipta begitu saja, dan kita tidak perlu menduga apakah mereka semua pernah membaca Victor Turner atau Richard Schechner, dua pelopor Kajian Penampilan itu.
Dugaan bahwa lama menunggu giliran tampil, dan kehabisan tenaga karena sudah tampil secara spontan sebelumnya akan membuat kontingen Papua kehilangan daya pikat dalam penampilannya terbukti tidak benar. Begitu mereka memasuki arena yang telah ditentukan, keriangan dan tenaga dari tarian improvisasi tadi segera dapat mereka pindahkan. Bedanya, kali ini tak ada yang berani bergabung untuk menari bersama mereka. Bedanya lagi, kali ini tarian mereka tampak punya alur yang terencana. Langkah-langkah kecil yang mereka peragakan sambil bergerak menuju arah depan, tampak kontras dengan kaki mereka yang kuat dan berisi. Sesekali para penari yang berbaris dalam dua banjar itu seolah akan berhenti, lalu melakukan gerakan di tempat, menggoyangkan tungkai dengan ujung kaki sebagai sumbu. Pinggul bergoyang, seolah menerjemahkan lagu-lagu berbahasa Papua yang mengiringinya.
Delapan orang penari laki-laki, bergerak melompat lalu menahan tubuhnya dengan satu kaki, sambil menampar tifa yang mereka letakkan lurus dengan dada. Sesaat kemudian tubuh mereka berputar, hingga satu kaki mereka menjadi porosnya. Tidak tekanan di wajah mereka. Keringat yang mengucur dan membasahi baju serba gelap yang mereka kenakan, justru tampak bercahaya, memancarkan ketulusan sekaligus kesederhanaan. Ini keseharian orang Papua. Menari, menyanyi dan menabuh tifa, selalu hadir dalam setiap pesta. Begitu kata salah seorang ofisial mereka. Tepuk tangan kemudian menandai usainya penampilan mereka. Tepuk tangan yang sama meriahnya dengan tadi ketika mereka usai menarikan nomor jam dan improvisasi.
Hal yang manarik dari penampilan kontingen Papua ini adalah variasi. Meski para penari melakukan gerakan serempak dengan desain yang relatif mirip, namun kecendrungan tubuh masing-masing seperti dibiarkan memberi aneka warna. Selalu terdapat volume, level, dan intensitas yang berbeda satu sama lain pada setiap tahapan gerakan mereka. Mungkin karena ini bukan tarian yang dilatihkan, melainkan tarian yang sudah menjadi disiplin tubuh karena kebiasaan. Tidak ada yang merasa terganggu dengan variasi itu, karena semua tampak sangat menikmati dan tidak peduli dengan perbedaan-perbedaan itu. Sikap ini seolah menegaskan beberapa kalimat dari nyanyian yang mereka nyanyikan untuk mengiringi gerak mereka: “Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan Sulawesi, Maluku, Papua. Kita semua adalah satu. Satu Indonesia.”
Kontingen Papua dan Keindahan ‘Indonesia’ yang Tertunda
Penyaksi yang hadir di silangan Monas di dua sore Agustus 2014 itu mungkin sekali akan merasakan pengalaman yang anomali, yang kecuali. Pengalaman yang berbeda dengan yang didapatkan saat menonton tivi, atau ketika hadir di gedung pertunjukan. Sebentuk pengalaman keindahan, yang hadir sebagai irisan antara kesempatan untuk terlibat dalam keriangan seni penampilan, dengan suasana perayaan kemerdekaan republik ini. Keindahan yang hadir dari perasaan lepas dan bebas seperti tarian kontingen Papua, yang berpadu padan dengan perasaan sebagai komunitas yang tangguh dan kuat seperti benteng kontingen Sultra. Sayang, langit sudah menjadi merah, padahal baru sebagian kecil kontingen yang sempat bergladi bersih.
Menyaksikan dua sore di silangan Monas, di hadapan menumen yang menjulang menandai nasionalitas, kebangsaan itu, membuat saya berfikir tentang Pawai Seni dan Budaya yang mengerangkainya. Alangkah sayang, karena Pawai Seni dan Budaya semacam ini biasanya berhenti sekadar menjadi ‘upacara’. Sebuah peristiwa, yang telah membuat kontingen Papua mengeluarkan biaya 8 juta per orang untuk transportasi saja, yang membuat banyak seniman berpindah mewakili provinsi berbeda tiap tahunnya, yang membuat beberapa orang kaya mau menyumbang untuk kesenian (biarpun hanya memanfaatkan seni untuk kampanye politik karena mau maju jadi caleg atau kepala daerah), atau singkatnya memiliki efek domino: ekonomi-politik-sosial-budaya, tentu diharapkan dapat menjadi peristiwa bersama untuk semua, peristiwa kebangsaan. Ketika desentralisasi dan dekonsentrasi sedang ramai-ramai digaungkan, peristiwa serupa ternyata masih hanya dilaksanakan di Jakarta saja.
Pawai Seni dan Budaya serupa ini memang selalu berhasil mempertemukan seniman-seniman dari berbagai daerah. Bahkan mempertemukan mereka dengan para penonton berbeda. Melalui pawai serupa ini penonton dan penampil sama-sama memperoleh kesempatan untuk melihat bahwa Indonesia tak sekadar yang dikatakan Ben Anderson sebagai ‘komunitas (yang) terbayang(kan)’ majemuk. Sebab, Indonesia yang majemuk sesungguhnya juga boleh dan bisa dialami dan dirasakan bersama. Indonesia yang majemuk itu boleh di ‘hidup’kan dalam pengalaman semua anak bangsa.
Fenomena di pelataran Monas, Jakarta siang itu, mengingatkan betapa setiap bangsa, negara-bangsa, selalu membutuhkan perayaan, pawai, karnaval, festival, ritual, untuk menyatakan sekaligus meyakinkan diri sebagai satu kesatuan, satu tanah air dan tumpah darah. Setiap Pawai Budaya, apalagi dalam rangka perayaan hari kemerdekaan, tidak bisa lain, adalah bentuk pernyataan tentang beragamnya budaya nusantara, dan betapa kuatnya persatuan di antara yang beragam itu. Sebentuk kabanggaan sebagai negara yang besar yang terus disegarkan sekaligus dikukuhkan kembali setiap kali peringatan proklamasi. Kebanggaan serupa ini, kata Saini K.M., berakar jauh dalam diri bangsa, dalam berbagai ‘upacara’.
Memang sukar rasanya jika kebanggan serupa itu berangsur hilang, seturut mulai bergemanya ketidakpuasan, yang berujung pada keinginan untuk berpisah. Bagi saya, betapa sukar dibanyangkan jika Pawai Budaya semacam yang terjadi di Monas di dua sore itu terjadi tanpa kehadiran kontingen Papua. Tapi kemudian saya mencela diri sendiri, karena mungkin perasaan takut kehilangan itulah yang mendorong kita melakukan ketidakadilan. Karena Papua bagi kita hanyalah sebatas ‘warna’ untuk menambah keindahan mozaik bangsa kita. Sebagai warna, Papua tidak boleh dilepaskan, dan harus selalu ‘ditundukkan.’ Kita memerlukan Papua untuk menjadi ‘hitam’ demi menegaskan ‘putih’nya kita. Kita memerlukan Papua sebagai yang ‘kasar,’ untuk membangun ke’halus’an kita.
Sementara azan magrib mulai terdengar, pertanyaan-pertanyaan mulai hadir dalam kepala saya. Kapankah kemeriahan dan warna-warni serupa yang hadir dalam Pawai Budaya ini bisa dirasakan pula di Papua? Alangkah indah jika warga di Papua sana bisa pula ikut menari dan bernyanyi, melihat langsung, mendengar langsung getaran kesenian daerah lain, sambil memaknai ulang makna proklamasi kemerdekaan dan merangkai ulang simbol-simbol keindonesiaan. Tapi saya buru-buru menghentikan diri sendiri, sebab rasanya hal itu tidak mungkin pernah terlaksana, hanya akan seperti ‘Menunggu Godot‘ yang tak akan kunjung tiba. Sebab semua harus selalu terjadi di Jakarta. Semua harus dimaknai di Jakarta, termasuk juga bagaimana Papua harus dicitrakan. Apalagi dalam suasana peringatan ‘kemerdekaan,’ suatu kata yang mungkin tak ada maknanya di Papua sana.