Kamis, 3 November 2016 | teraSeni~
Awal bulan Oktober lalu (1-8/10/2016) telah berkumpul di kota Medan beberapa orang pelaku seni pertunjukan yang mewakili daerah–daerah di Pulau Sumatera. Mereka berkumpul untuk membicarakan rencana membuat karya bersama dalam event bernama Medan Contemporary Art Festival (MCAF) #3. Mereka yang hadir di antaranya adalah Hasan (Palembang), Husin (Pekanbaru), Rasyidin Wig Maru (Aceh), Siska Aprisia (Padangpanjang), Agus Susilo (Deli Serdang), Lukman Hakim (Medan), dan Masvil Tomi (Jambi). Namun dikarenakan beberapa hal, Tomi akhirnya berhalangan hadir.
![]() |
Diskusi Pasca Pertunjukan Batas, dalam Medan Contemporary Art Festival (MCAF) #3 |
MCAF #3 kali ini, yang mengusung tema “Rekonstruksi Esok dalam Tubuh Sumatera” memfokuskan kegiatannya di Taman Budaya Sumatera Utara (Medan). MCAF #3 merupakan kegiatan berkelanjutan yang dikerjakan secara swadaya, oleh gabungan dari beberapa kelompok kesenian di kota Medan. “Kami panitia, hanya mampu memfasilitasi tempat kegiatan, konsumsi, dan akomodasi lokal. Sedangkan biaya transportasi (PP) peserta dari daerah ke lokasi kegiatan, ditanggung oleh masing-masing peserta,” ujar Ojax Manalu, Direktur MCAF #3.
Kegiatan MCAF #3 ini sangat berbeda dengan MCAF sebelumnya. Jika MCAF sebelumnya berorientasi pada pegelaran karya tunggal, MCAF kali ini lebih digariskan pada penciptaan karya bersama. Untuk itu panitia telah mempersiapkan jadwal kegiatan yang berisikan diskusi, proses penciptaan karya, dan capaian akhir berupa presentasi karya bersama (pementasan).
Kegiatan hari pertama dilaksanakan pada hari minggu (2/10), bergeser dari jadwal yang ditetapkan panitia. Hal itu terjadi karena beberapa peserta perwakilan daerah terlambat sampai di kota Medan. Tepat pada pukul 09:00 WIB, kegiatan diawali dengan penjelasan kegiatan oleh Ojax Manalu selaku direktur MCAF. Beliau menjelaskan tentang semangat kebersamaan dan gotong royong kawan-kawan pegiat seni, termasuk kawan-kawan perwakilan daerah yang ada di dalamnya, yang kemudian menjadi modal terselenggaranya kegiatan MCAF ini. Selanjutnya beliau berharap silurahmi dalam proses karya bersama ini, dapat terus terjaga dengan baik.
Setelah itu sesuai dengan jadwal, masing-masing peserta mulai sharing soal kondisi faktual perkembangan teater dan seni pertunjukan di daerah masing-masing. Setiap peserta mengutarakan hasil pembacaan serta pemetaan terhadap kondisi sosial, lingkungan, ekonomi, politik, dan kesenian yang ada di daerah masing-masing. Ada kekuatan serta kelemahan tersendiri yang terdapat di derah, yang kemudian melahirkan ide dan gagasan untuk penciptaan karya bersama.
Dari hasil pembacaan serta pemetaan di daerah pulau Sumatera. Agus Susilo selaku moderator diskusi dapat mengambil kesimpulan, bahwasanya sesuai dengan tema “Rekontruksi Esok dalam Tubuh Sumatera,” menurutnya “Tubuh kita sudah banyak mengalami benturan-benturan, seperti tubuh yang terkontaminasi oleh soal sosial, politik budaya, media, filsafat, lingkungan, sejarah kultural (bahasa, religi, dan tradisi-pen)”.
Lalu masing-masing peserta mengambil teks-teks material sebagai perwakilan dari berbagai persoalan. Hasan membawa teks closet, sebagai penanda ruang yang telah menembus dinding-dinding ruang privasi, melampuai ruang-ruang publik, sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Ruang-ruang itu menuritnya dikonsumsi sedemikian rupa melalui smartphone, gadjet, notebook, dan laptop dengan berbagai macam aplikasi yang ditawarkan. Dari ruang closet, tubuh-tubuh personal bisa saja masuk ke ruang pustaka, gelery, pasar, jalan raya, pantai, gunung, dan banyak ruang-ruang lainnya. Tubuh bahkan melintasi kota, provinsi, pulau, benua, segala sudut dunia, bahkan luar angkasa.
Saya, Siska Aprisia mencoba menawarkan teks ayunan bayi. Lewat teks ini, saya ingin menyampaikan tentang bagaimana proses tubuh manusia ketika mendapatkan kenyamanan menjelang terlelap dalam tidur. Teks ayunan ini juga yang kemudian membuat tubuh, menurut saa, terlalu berlama-lama nyaman dalam kelelapannya. Akibatnya, tubuh menjadi malas untuk bangkit, bergerak, dan bahkan berempati pada lingkungan dan sesama.
Sedangkan Lukman mengambil teks cat, untuk mencoba menggambarkan keberagaman penduduk kota Medan dengan berbagai budaya , suku, dan agama. Husin, lalu ingin mengangkat teks masker, sebagai ungkapan tubuh yang sudah tidak lagi mendapatkan udara yang baik. Teks masker ini muncul, disebabkan oleh persoalan lingkungan yang sudah semakin rusak. Terlebih lagi di tempat asalnya Husin, di mana selalu terjadi pembakaran hutan yang kemudian berganti dengan kebun-kebun sawit.
Dari empat teks material yang ditawarkan itu: closet, ayunan, cat, dan masker, dengan segala kemajemukan tafsirnya, forum diskusi kenudian menyepakati judul karya Batas. Pemberian judul Batas ini, mencoba untuk menginterpretasikan dinding-dinding imajiner, perihal sekat dan tanpa sekat. Menurut kami, segala ruang kini sudah demikian mudah tampak dengan jelas, semua pandangan telah dapat menembus dinding-dinding pembatas. Akibatnya, jauh tampak dekat dan dekat tampak jauh.
Pada dua hari kemudian (3 dan 4/10/2016), diskusi terus berjalan untuk memantapkan proses latihan, pengaplikasikan ide dan gagasan, penyusunan metode penciptaan, dan perancangan capaian akhir yang ingin dihasilkan. Dari proses latihan yang dijalankan, penciptaan karya bersama Batas ini ternyata harus mengalami perubahan dan bongkar pasang pada teks, plot/alur, penokohan, dan bahkan pilihan tempat pertunjukan. Tempat pertunjukan yang awalnya disepakati di dalam gedung pertunjukan, kemudian berubah menjadi di luar gedung. Kami menggunakan tempat penonton sebagai stage. Di sisi lain, kami kemudian menyepakati bahwa karya bersama ini diciptakan tanpa sutradara. Setiap peserta harus memberikan masukan dan saran terhadap peserta yang lainnya dalam mengolah tubuh dan teks.
![]() |
.Hasan, Husin, Rasyidin Wig Maru, Siska Aprisia , Agus Susilo, dan Lukman Hakim, dalam karya berjudul Batas, Medan Contemporary Art Festival (MCAF) #3 |
Perubahan kemudian terjadi pada berbagai teks. Ayunan yang saya tawarkan, misalnya, kemudian dimaknai sebagai tempat tidur. Wujud ayunan bahkan kemudian berganti dengan terpal putih berukuran tiga kali delapan meter. Sementara itu secara plot/alur, kami menempatkan bahwa saya adalah satu-satunya penampil perempuan. Karena itu saya lalu ditempatkan untuk muncul pada adegan awal. Saya disepakati akan mengerakkan tubuh-tubuh Sumatera melalui basis tarian yang ada di setiap daerah di Sumatera. Saya mewujudkannya dengan bergerak secara tak beraturan, dari gerak tortor yang tiba-tiba dapat menjadi semacam gerak zapin, kemudian beralih menjadi ulu ambek. Intinya, seluruh gerak tarian tradisi Sumatera bercampur menjadi satu dalam gerakan saya.
Sementara itu, lima orang laki-laki yang telah on stage di awal, dengan berbagai macam posisi tertidur bergerak setelah terdengar bunyi detak jantung. Tubuh-tubuh itu bergerak mengikuti bunyi detak jantung, namun tiba-tiba tak beraturan, menjadi tubuh-tubuh yang sakit, terkontaminasi, bahkan telah terdistorsi. Kemudian kelima tubuh laki-laki itu bergerak menuju barisan penonton yang lebih tinggi. Di perjalanan tubuh-tubuh itu menjadi labil, paradoks, timpang, meskipun tubuh-tubuh itu tetap bergerak secara ril. Tidak lama berselang, tubuh-tubuh itu kemudian mengeksplor closet dengan berbagai macam gerak, berbagai aktifitas yang bisa dilakukan di closet. Sesuai kenyataannya kini, di closet tubuh-tubuh itu dengan bebas mengakses internet, chatting, video call, foto selfie, bermain game, dan nonton. Di closet pula, tubuh-tubuh itu minum, makan, berhubungan sex dan lain sebagainya.
Setelah melakukan banyak aktifitas, tiba-tiba seorang laki-laki mengenakan kepala anjing, kemudian menggonggong yang diikuti laki-laki lain yang bergerak menyerupai anjing. Laki-laki yang mengenakan kepala anjing tetap bergerak seperti manusia biasanya. Setelah itu, saya, tokoh perempuan disekap, ditutupi matanya oleh para anjing. Keempat para anjing mengangkat closed menuju terpal, lalu menurunkannya tepat di tengah terpal. Kemudian mempersilahkan laki-laki yang mengenakan kepala anjing duduk, bagaikan sang raja yang dikawal oleh para anjing. Di sanalah adegan diakhiri.
Dari hasil proses karya bersama, panitia kemudian mengundang pengamat untuk membaca proses atau bentuk yang telah dihasilkan. Hari keempat proses karya bersama ini mendapat pembacaan dari Forman (Teater Q). Beliau menyarankan agar perlunya transisi untuk menjadi utuh, dan konsen pada tubuh. Kemudian pengamat kedua, Ayub (aktor senior), mengkritisi bahwa dinamika tubuh masih belum terlihat. Di hari kelima, panitia mendatangkan satu orang pengamat lagi, sekaligus pengamat terakhir pada pada proses karya bersama ini. Yondik (sutradara teater) mengatakan bahwa di awal adegan, karya ini sangat menarik. Namun terputus, karena tidak ada korelasi dan tubuh-tubuh personal sepertinya hanya mengejar bentuk. Dari pembacaan oleh pengamat, menjadi bahan evaluasi dan perbaikan oleh peserta.
Kemudian sampailah pada gelar karya bersama yang dipresentasikan pada hari sabtu (8/10), sore pukul 15.00 wib dan malam hari 20.00 wib. Sore hari gelar karya diapresiasi oleh pelajar, sedangkan pada malam harinya diapresiasi oleh kalangan umum, mahasiswa, seniman, dan budayawan. Pada malam harinya, presentasi karya bersama ini berbeda dengan penampilan di sore hari. Pada malam hari, tokoh laki-laki disirami cat dengan berbagai macam warna, sedangkan disore harinya tokoh laki-laki telah mencat tubuhnya sebelum on stage di atas terpal.
Dari presentasi karya bersama yang diberi judul Batas, pada event MCAF #3 dengan tema Rekonstruksi Esok dalam Tubuh Sumatera ini, saya mengambil beberapa pembelajaran dan kesimpulan, terutama dari hasil diskusi dan komentar dari para apresiator. Pelajaran itu diantaranya ialah bahwasanya proses karya bersama ini masih merupakan bentuk kecil atau sebagai embrio dari proses karya bersama para penggiat teater Sumatera. Disadari, bahwa kekuatan aktor-aktor yang berasal dari berbagai daerahnya masing-masingnya belum terlihat secara maksimal dalam karya ini. Meskipun begitu, proses karya bersama ini setidaknya telah dapat berjalan lancar dan membangun solidaritas yang baik dan menyenangkan. Kami sadari pula secara bersama, bahwasanya karya bersama ini belumlah usai.