Pilih Laman

Selasa, 4 Oktober 2016 | teraSeni~

Pertikaian antara Kurawa dan Pandawa, memang menjadi epos menarik yang tidak habis ditafsirkan. Malam itu (24/9) di Societet Militer Taman Budaya Yogyakarta, alih-alih menceritakan ulang cerita panjang kehidupan kerajaan Hastinapura, sang sutradara menempatkan fragmen perang sebagai sajian pertunjukan yang digelar di Indonesia. Kendati cerita yang diangkat tidak asing untuk para penonton—baik mengetahui dari cerita pewayangan ataupun TV series India setahun silam—, sebagai gantinya pertunjukan malam itu dikemas berbeda, baik dari segi artistik, estetik, ataupun tafsir cerita. Akhirnya, sebuah sajian pertunjukan hasil kolaborasi antar negara dan budaya telah berhasil memberikan pengalaman visual baru yang tidak hanya memanjakan mata namun turut tersemat pesan reflektif untuk para penonton.

mahabharata-Hiroshi Koike-teraSeni
Adegan Bisma terbunuh dalam
perang Kurusetra oleh Panah Arjuna,
dalam Mahabharata Part 3: Kurusetra War,
karya Hiroshi Koike
(Foto:www.facebook.com/koikemahabharatapart3)

Memukau memang kata yang tepat untuk mewakili impresi penonton setelah menyaksikan pertunjukan bertajuk Mahabharata Part 3: Kurusetra War, karya Hiroshi Koike dengan Hiroshi Koike Bridge Project (HKBP)-nya. Setelah dipentaskan di Kamboja (2013), India (2014), Jepang (2015), dan akan dihelat di Thailand (2017), Malaysia (2018), India (2019), dan keliling dunia (2020), proyek kolaborasi ini memang terbukti menjadi ruang penciptaan karya dengan basis antar budaya. Alih-alih Koike membawa adegan terstruktur untuk pertunjukan sehingga hanya dimainkan di kota tujuan, Koike justru merangkai kultur setempat untuk menjadi bagian di dalam setiap karyanya.

Di Indonesia, proyek ini bekerjasama dengan Teater Garasi dan Yayasan Kelola, dengan menampilkan sembilan seniman lintas negara, a.l: Indonesia (Gunawan Maryanto, Riyo Pernando, Sandhidea Narpati, Suryo Pranomo dan Wangi Indriya), Filipina (Carlon Matobato), Malaysia (LEE Swee Keong), dan Jepang (Koyano Tetsuro dan Shirai Sachijo). Dari perbedaan tersebut, alih-alih satu budaya mendominasi budaya lainnya, kolaborasi antar budaya ini justru terjalin dengan akrab nan harmonis. Dialog antar bahasa—bahasa Inggris, Melayu, Jepang, Filipina, Indonesia, bahkan turut dibagi lagi menjadi bahasa Sunda, serta bahasa Jawa dengan beragam dialeknya—yang diawal sempat mengganggu justru perlahan menjadi daya pesona dan membuat pertunjukan semakin variatif. Bahasa asing pun turut diterjemahkan dan dipancarkan pada dua sisi dinding yang berbeda, sehingga membuat pertunjukan berjalan khusyuk.

mahabharata-Hiroshi Koike-teraSeni
Adegan Pertempuran di Medan Perang Kurusetra
dalam Mahabharata Part 3: Kurusetra War
karya Hiroshi Koike
(Foto:www.facebook.com/koikemahabharatapart3)

Tidak hanya melakukan percakapan, keberagaman bahasa ini justru dieksplorasi pada bentuk yang lebih luas, yakni: dengan nyanyian, baik yang sifatnya kolektif dan bersamaan, hingga yang personal dan bergantian: nge-rap, serta eksplorasi kultural: nyinden. Hasilnya, pertunjukan semakin beragam dan terasa dekat dengan kultur penonton Indonesia. Terkait kultur Jawa, pertunjukan malam itu turut menautkan kebiasaan penonton akan adegan goro-goro dalam pewayangan lazimnya. Alhasil ketika adegan perang berlangsung, Gunawan Maryanto melakukan perbincangan jenaka dengan para penonton khayalnya adegan goro-goro. Selain berfungsi sebagai penanda akan adanya perang yang lebih besar, kemunculan Gunawan membuat alur cerita yang melulu soal perang menjadi tidak membosankan.

Tidak hanya menampilkan adegan perang semata, Koike turut mempertunjukkan beberapa dialog yang dirasa penting, seperti: ketika Drupadi dipermalukan oleh Kurawa; pernikahan Abimanyu dan Utari; negosiasi Arjuna, Duryudana, dan Krisna; hingga pertemuan Dewi Kunti dan Karna sebelum perang. Disusun dengan alur maju mundur, pertunjukan tidak terasa menjemukan, terlebih dengan beragam artistik unik yang sederhana, namun terlihat elegan. Pemilihan warna dan simbol akan artistik pun semakin memanjakan mata ketika bermandikan cahaya. Seperti ketika adegan flashback, di mana penggunaan dua kain panjang yang membujur dan berombak, layaknya tanda akan imajinasi sangat tepat mewakili. Tidak hanya itu, penggunaan topeng dalam beberapa karakter membuat sembilan penampil berlipat ganda di panggung pertunjukan.

mahabharata-Hiroshi Koike-teraSeni
Strategi Visual dalam kesatuan artistik Mahabharata Part 3: Kurusetra War
karya Hiroshi Koike
(Foto:www.facebook.com/koikemahabharatapart3)

Selain pada artistik dan alur, perhatian turut tertuju pada gerak para pemain. Gerak kolektif yang seragam, dengan gerak yang tidak biasa, seperti ketika berperang, mereka memeragakan gerak menaiki kuda secara seragam dan serentak. Belum lagi ketika Kurawa dan Pandawa berperang, di mana kedua pasukan saling-silang melakukan gerakan bersiap menyerang satu sama lain secara serempak. Dalam adegan perkelahian pun banyak gerak yang terdistorsi layaknya adu fisik, seperti adegan berkelahi satu lawan satu antara Arjuna dan pasukan Duryudana; dan gerak perang yang distilisasi dengan kosagerak tari, seperti ketika Arjuna beradu-panah dengan Bisma. Terkait gerak tari, Koike memang mengkonotasikan perang sebagai tari kematian, sehingga rasanya tepat jika gerak tari berkelindan banyak di pertunjukan tersebut. Pada sisi suara, selain terdapat produksi suara dari para penampil, turut banyak diciptakan alunan bunyi yang dramatis menunjukan pelbagai adegan penting, seperti ketika Arjuna meniup sangkala (terompet kerang), hingga seruling bambu Jepang menandakan di tiap bagian flashback. Komposisi suara yang tercipta berjalan selaras selama pertunjukan berlangsung.

Bertolak dari karya yang bersumber dari epos Mahabharata, pergelaran malam itu tidak hanya mempertunjukan praktik teater semata, namun turut berkelindan pelbagai aspek seni lainnya, seperti: tari, musik, seni rupa, juga sastra. Walau tanpa celah, harapannya, semoga pertunjukan seni lintas disiplin yang memukau secara visual dan suara tidak hanya melenakan semata, namun pesan dari cerita dapat tetap tersampaikan. Di mana perang bukan soal menang atau kalah, namun tentang korban manusia yang berjatuhan. Hal yang masih sangat lumrah terjadi, tidak hanya di Indonesia namun di pelbagai bagian dunia lainnya. Alhasil agaknya tepat gambaran Koike di awal dan akhir pertunjukan, bahwa jangan-jangan manusia tidak lebih beradab dari sekumpulan primata yang ribut hanya karena berebut pangan.[]