Pilih Laman

Kamis, 14 Desember 2017 | teraSeni.com~

Tahun 2017 merupakan tahun kesebelas atas penyelenggaraan event jazz tahunan Yogyakarta, Ngayogjazz. Pergelaran yang telah lewat satu dekade perhelatannya ini perlu diancungi jempol. Pasalnya, tidak mudah menjaga konsistensi dan merawat semangat dalam menggelarnya. Hasilnya pun cukup dapat dirasakan, impresi positif dari penampil dan penonton bertubi-tubi muncul. Sebagaimana sebuah pergelaran, Ngayogjazz pantas ditunggu oleh penampil dan penonton, baik tingkat lokal, nasional, ataupun internasional.

Berbeda dengan penyelenggaraan festival musik jazz lain yang lazimnya diselenggarakan di gedung pertunjukan yang bonafit, Ngayogjazz dihelat di lapangan terbuka dengan kontur pedesaan. Alih-alih menetap, lokasi penyelenggaraan Ngayogjazz bersifat nomaden, selalu berubah dari satu desa ke desa lainnya. Pada tahun ini, Ngayogjazz diselenggarakan di Ds. Kledokan, Selomartani, Kalasan, Sleman.

Ngayogjazz 2017 - www.teraSeni.com
Panggung Merdeka Ngayogjazz 2017 dibuka
oleh penampilan musisi-musisi Omah Sogan,
kontingen dari Pekalongan Jazz Society
(Foto: www.facebook.com/ngayogjazz/)

Dihelat pada hari sabtu (18/11), Ngayogjazz 2017 menyediakan enam panggung yang tersebar di dusun tersebut. Pelbagai nama musisi Jazz, seperti: Begawan-Begawan Jazz Feffrey Tahalele and Friends, Bintang Indrianto – Gambang Suling Feat Bianglala Voices, Remi Panossian Trio, Nonaria ft. Bonita, dsbnya, ikut serta. Selain itu, pergelaran jazz ini turut mengundang beberapa nama musisi lintas genre, seperti: Endah N Rhesa, Gugun Blues Shelter, Tashoora, Rully Shabara, Mantradisi, dsbnya. Yang tidak kalah menarik, Ngayogjazz tidak pernah absen mengundang komunitas jazz daerah, seperti: Pekalongan Jazz Society, JES UDU Purwokerto, Jazz Ngisor Ringin Semarang, Komunitas Jazz Ponorogo Jazztilan, Komunitas Jazz Trenggalek, Komunitas Jazz Jogja, Fusion Jazz Community Surabaya, Komunitas Jazz Magelang, dsbnya. Susunan penampil yang kiranya utuh sebagai sebuah pertunjukan, baik secara kualitas, ataupun popularitas.

Dalam merekatkan relasi musisi dan penonton, Ngayogjazz mengangkat tema “Wani Ngejazz Luhur Wekasane”. Tema tersebut meminjam dari sebuah pepatah Jawa “Wani Ngalah Luhur Wekasane”, yang artinya “siapa yang berani mengalah akan mendapatkan kemuliaan.” Pepatah yang kiranya reflektif dan tepat dengan keadaan masyarakat Indonesia yang belakangan ini kerap beradu mulut, yang jauh dari akal sehat.

Tren Positif Ngayogjazz
Diawali dengan siang berawan, penonton perlahan berdatangan. Beberapa di antaranya memilih untuk datang tengah hari karena alasan tidak akan bertahan hingga larut. Maka dengan strategi datang awal diharapkan dapat melihat penampil terakhir pada sesi check sound. Beruntungnya, Ngayogjazz dikenal sebagai pergelaran yang cukup tegas dalam waktu, sehingga momok keterlambatan pertunjukan jauh panggang dari api. Pun jika terjadi ‘ngaret’ tidak akan memakan waktu lama, bahkan hujan sekalipun.

Hal ini tentu terkait dengan pengelolaan sumber daya, mulai dari infrastuktur seperti penataan pergelaran secara utuh, hingga suprastruktur, seperti sekertariat, stage manager,pranata suara, volunteer, juga para penjaja makanan yang dilibatkan—baik dari warga setempat atau penjual yang berpindah. Dalam hal ini, Ngayogjazz telah membuat ‘pakem’ positif dari mekansime pengelolaan sumber daya. Jika ingin sesumbar, bahkan aturan-aturan panggung dari teoritikus manajemen panggung, Stephen Langley pun bisa dikondisikan.

Ngayogjazz 2017 - www.teraSeni.com
Mrs. Holdingsky duta dari Jazztilan Ponorogo,
tampil dinamis dan menghangatkan
Panggung Ngayogjazz 2017
(Foto: www.facebook.com/ngayogjazz/)

Dari tren positif dalam pengelolaan sumber daya, khususnya manusia, namun ada hal yang perlu dicatat dalam pergelaran Ngayogjazz 2017. Di mana kerap terdengar keluhan penonton seperti, “suara di panggung Markas dan Gejog Lesung bocor”, “kok sound system di panggung Merdeka paling bagus ya?”, dan sebagainya. Jika hal ini memang dirancang untuk mengarahkan penonton ke panggung Merdeka sebagai panggung utama, maka itu sah-sah saja. Namun jika ide panggung utama dan sebagainya tidak dirancang, tentu hal ini perlu dipikirkan. Terlebih pembagian susunan penampil di tiap panggung telah terbagi secara baik. Sederhananya, penampil yang mempunyai popularitas disebar sedemikian rupa.

Bicara penampil, hal yang paling spesial dari Ngayogjazz adalah pemeliharaan jejaring antar musisi Jazz di pelbagai daerah, seperti: Solo, Pekalongan, Purwokerto, Semarang, Ponorogo, Trenggalek, Jogja, Surabaya, Magelang, dsbnya. Pemeliharaan jejaring musisi Jazz daerah yang dibina oleh Ngayogjazz adalah nilai lebih dari pergelaran ini. Pasalnya, kita dapat mengetahui lebih lanjut terkait perkembangan musik Jazz tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil yang sebelumnya tidak terdengar. Kendati penampilan komunitas tersebut lazimnya digelar di awal dan tengah acara—entah karena alasan estetik atau popularitas—, pelbagai penampil justru mendapatkan hal langka, yakni pengalaman dan ruang.

Selain pengalaman personal bagi komunitas, Ngayogjazz disiapkan menjadi sebuah ruang yang tidak hanya mengakomodasi musik Jazz, melainkan memberikan pengalaman berbeda dalam menikmati Jazz. Pengalaman ini berasal dari ‘pesona’—atau ‘eksotika’ yang dimunculkan—dusun penyelenggara, mulai dari lanskap alam, rumah pedesaan, persawahan, jajanan kampung, termasuk warganya. Tentu warga kota besar akan gumun dibuatnya, dan ini akan menambah minat penonton di kemudian hari. Namun bagi mereka yang tinggal dengan kontur masyarakat ala kadarnya, hal ini tentu biasa saja. Hal yang justru membuat penonton yang telah terbiasa dengan lanskap geografis seperti itu adalah keriuhan penonton dan musik Jazz yang dipertunjukan.

Hal yang tidak kalah menarik dari Ngayogjazz adalah tersedianya booth yang terkait dengan musik. Mulai dari organologi Barat, perlengkapan sound, koleksi piringan hitam, kaset, hingga hal yang kerap dilupakan, buku musik. Ekosistem yang cukup utuh untuk sebagai sebuah pergelaran. Atas segala catatan di atas, perlu rasanya penyelenggara festival—khususnya yang mendapuk dirinya EO—seni budaya meneladaninya.

Apakah Masyarakat Benar ‘Tergarap’?
Salah satu pertanyaan yang kerap terlontar dari pergelaran Ngayogjazz adalah “Seberapa jauh masyarakat setempat terlibat pada pergelaran tersebut?” Hal ini cukup penting, pasalnya pergelaran bergengsi ini selalu berganti-ganti tempat perhelatan. Dampak langsung dari bergantinya tempat adalah pertemuan dengan masyarakat yang baru. Yang menjadi persoalan, bagaimana kedalaman keterlibatan tercipta ketika masa pelaksanaan hanya sekali saja?

Pada Ngayogjazz 2017, keterlibatan masyarakat yang paling eksplisit terdapat pada akses lahan dan pengelolaan parkir. Hal ini memang sangat jitu, pasalnya hanya masyarakat lah yang mengetahui secara strategis seluk beluk akses jalan di daerah tersebut. Alih-alih warga hanya terlibat di kasawan parkir, warga terlihat turut sibuk memantau keberlangsungan pergelaran, baik mengatur arus penonton di dalam dusun, ataupun menjajakan makanan.

Ngayogjazz 2017 - www.teraSeni.com
Sajian musik Gugun Blues Shelter
yang penuh energi menghipnotis penonton
di perhelatan Ngayogjazz 2017
(Foto: www.facebook.com/ngayogjazz/)

Namun, tidak dipungkiri bahwa warga setempat tidak memiliki peran khusus pada ranah estetika (baca: musik). Keikutsertaan warga lebih pada pelaksana pengelolaan saja. Dalam hal ini, alangkah elok jika turut mempertimbangkan keterlibatan tokoh budaya setempat untuk bersinergi. Semisal Ds. Kledokan yang telah akrab dengan aktivitas pelestarian budaya dan kesenian—seperti kelompok kesenian tradisional gejog lesung dan prajurit Bregada—dieksplorasi secara lebih. Semisal praktik kolaborasi atau penempatan pentas kesenian setempat yang lebih strategis—semisal di agenda malam—pada jadwal pergelaran.

Pasalnya, kiranya tidak ada satu dampak besar dari masyarakat terlibat—dalam hal ini dusun-dusun penyelenggara sebelumnya—yang berpartisipasi lebih pada jagad Jazz Yogyakarta. Di satu sisi penyelenggaraan yang tersebar akan menimbulkan rangsangan bagi setiap insan yang mendengar. Namun kiranya perlu dilihat lebih lanjut, rangsangan terhadap warga lebih pada rangsangan pengelolaan pergelaran atau musikal.

Bertolak dari itu semua, kita tetap perlu mengagumi dan mengapresiasi penuh kerja satu dekade lebih Ngayogjazz dalam melibatkan warga. Ngayogjazz menjadi satu anomali tersendiri bagi pertunjukan jazz ‘mewah’. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa Ngayogjazz telah menjadi role model bagi pergelaran dan festival jazz baru lainnya. Namun kiranya keterlibatan peran dan minat pada jazz dari warga perlu diupayakan lebih. Pasalnya, jangan sampai mereka yang terinspirasi dari Ngayogjazz dalam melibatkan warga justru hanya sebatas praktik penggunaan tempat karena alasan site spesific semata, persis kolonial yang datang ke lokasi jajahan, atau oknum yang berdalih kerja untuk rakyat namun hanya ‘mencaplok’ tanah warga.[]