Pilih Laman

Sabtu, 11 November 2017 | teraSeni.com~

Seorang perempuan bergerak dengan salah satu lagu Radiohead: Lotus Flower. Kadang ia bergaya seperti seorang model, kadang ia juga bergerak  seperti  seorang penari. Makin lama perempuan tersebut menjadi begitu ekspresif hingga tibalah seorang lelaki berjalan menuju kamera dan mengambil gambar si perempuan dengan lampu flash yang menyala. Perempuan tersebut mendadak menjadi kaku, pemalu dan kikuk. Perlu waktu beberapa detik agar ia dapat menjadi netral. Si laki-laki dengan santai membuka pertunjukan mereka dengan perkenalan dan sedikit introduksi tentang realitas.

Identitas
Yudha (Sutradara dan penulis naskah) dan Puput, seperti itulah mereka memperkenalkan diri mereka. Mereka memulai percakapan tentang realitas dan media sosial. Percakapan itu mengarah kepada individu tertentu. Semula percakapan mereka terdengar seperti  “nyinyir”. Nyinyir itu tidak hanya didapati pada ranah obrolan kedua aktor.  Pada tampilan proyektor yang ditembakkan ke arah tembok—berupa obrolan grup line yang di-capture melalui handphone—juga terdapat sebuah kenyinyiran meskipun tidak terlihat nyata seperti yang digadang-gadangkan kedua aktor tersebut dalam obrolannya.. Namun seiring percakapan itu terus berlanjut, terdapat pertanyaan-pertanyaan berkualitas tentang identitas manusia-manusia penghuni dunia maya di hadapan realitas.

Identity Project-Forum Aktor Yogyakarta-teraSeni.com
Puput dan Yudha
mendiskusikan percakapan grup line,
Salah Satu Adegan dalam Identity Project
Forum Aktor Yogyakarta
(Foto: Agathon Hutama)

Percakapan itu terus berlanjut ke arah identitas diri. Kedua aktor tersebut terus beradu argumen tentang identitas diri si subjek yang kian bias karena media sosial. Selain itu, pertunjukan ini juga melibatkan penonton secara langsung untuk ikut berpartisipasi dalam asumsi-asumsi yang sedang mereka bangun. Mana kah identitas kita sesungguhnya?  Identitas yang kita bangun di dunia maya atau identitas yang ada dalam realitas sosial?

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti ditujukan kepada penonton, dan secara tidak langsung mengajak penonton menyelam ke dalam pengalaman reflektif yang dihadirkan oleh pelaku seni (baik aktor atau sutradara). Melalui momentum ini saya teringat ujaran Jacob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni (2000) bahwa, “karya seni yang baik tentu saja harus mampu memberi pengalaman reflektif kepada siapa saja yang melihatnya, sehingga daya gugah yang dihasilkan dapat mengantarkan penonton pada perubahan”

Banyak orang berlomba-lomba mencitrakan dirinya dalam sebuah postingan di media sosial, sebagai contoh instagram.  Setiap postingan seakan-akan menjadi puzle bagi pemilik akun instagram untuk membangun identitas mereka, meskipun identitas itu sendiri adalah citraan yang dibuat dengan tujuan masing-masing dari pemilik akun.  Kira-kira itulah point yang ingin disampaikan dalam pertunjukan Identity Project, produksi Forum Aktor Yogyakarta, yang berpentas di tiga kampus di Yogyakarta pada pertengahan Oktober 2017 lalu. Identity Project ingin membawa penonton pada fase kesadaran diri di hadapan media sosial.

Identity Project-Forum Aktor Yogyakarta-teraSeni.com
Yudha menjelaskan perihal tubuh
yang didewasakan kamera
Adegan lainnya dalam Identity Project
Forum Aktor Yogyakarta
(Foto: Agathon Hutama)

Tentang Kesadaran
Pertunjukan Identity Project produksi Forum Aktor Yogyakarta tidak hanya mengajak penonton pada titik kesadaran identitas dalam kepungan media sosial dimana seseorang bisa mengatakan sebuah kalimat atau berada dalam sebuah peristiwa yang berbeda antara realitas dan media sosial. Di tengah-tengah pertunjukan kedua aktor  tersebut menyuguhkan fenomena tentang tubuh-tubuh yang didewasakan oleh kamera. Tubuh yang dewasa karena kamera merupakan tubuh yang secara sadar dapat mendeteksi bahwa si pemilik tubuh sedang dalam pengawasan kamera.

Kesadaran tersebut tidak hanya muncul  secara tiba-tiba seperti yang dibahas dalam psikoanalisis (contoh: ketika seseorang sedang berfoto selfi sehingga ia mengatur posisi tubuh, wajah bahkan senyum agar mendapatkan hasil yang baik. Kesadaran ini sendiri justru lebih mengacu pada bagaimana sikap tubuh seseorang di hadapan kamera, secara spontan tubuh itu sendiri akan berubah menjadi sangat teratur dan tertata di hadapan kamera.

Dalam petunjukan ini, yang dimaksud dengan tubuh bukanlah badan (secara biologis) yang bersifat fisik dan terbatas ruang geraknya.  Akan tetapi, tubuh yang dimaksud di sini merupakan tubuh secara keseluruhan yang melekat pada diri manusia, mulai dari mental, jiwa, pikiran, rasa, prilaku, bahasa, penampilan, simbol dan aktifitas sosial lainnya. Tubuh secara keseluruhan ini mendadak menjadi dewasa bila dihadapkan dengan kamera, karena dalam kehidupan sosial saat ini kamera telah menjadi mata kedua bagi masyarakat sosial itu sendiri.

Kamera dapat berelasi secara langsung dengan media sosial karena masyarakat masa kini bisa dengan mudah memposting hasil gambar ke media sosial. Hal ini tidak hanya terjadi pada orang-orang dewasa. Seperti virus, pendewasaan tubuh karena kamera ini juga menyerang anak-anak. Dengan sangat mudah mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang-orang dewasa. Seperti yang terjadi pada Puput, tubuhnya mendadak menjadi dewasa (teratur dan selalu ingin nampak baik).

Pada akhirnya melalui pertunjukan Identity Project dapat disimpulkan bahwa manusia yang telah dikepung oleh media sosial harus memiliki kesadaran dan sangat paham resiko-resiko apa saja yang akan di hadapinya. Identity Project merupakan pertunjukan yang tidak hanya mempertanyakan tentang realitas, akan tetapi bagaimana realitas itu sendiri. Terlepas dari semua asumsi dan fakta  yang coba dihadirkan dalam pertunjukan Identity Project, pertunjukan ini berhasil  mengantarkan kita pada kesadaran diri. Kesadaran yang akan membentuk tentang identitas kita di media sosial.