Kamis, 13 Oktober 2016 | teraSeni~
Cuaca kurang bersahabat sedari sore, sampai malam di hari Jum’at 12 Agustus 2016. Hujan deras, ditambah tiupan angin terasa mengkerutkan setiap tulang persendian di kota dingin Padangpanjang. Namun, masyarakat seni pertunjukan Sumatera Barat, khususnya ISI Padangpanjang dihangatkan oleh dua nomor pertunjukan tari kontemporer yang berjudul Tonggak Raso karya koreografer Ali Sukri (Sukri Dance Theatre-Padangpanjang, Sumatera Barat) dan tra.jec.to.ry karya koreografer Eko Supriyanto (EkosDance Company-Solo, Jawa Tengah).
![]() |
Tari tra.jec.to.ry karya koreografer Eko Supriyanto (Ekos Dance Company-Solo, Jawa Tengah). (Foto: Denny Cidaik, 2016) |
Dua nomor karya ini ditampilkan di Gedung Hoerijah Adam ISI Padangpanjang. Pertunjukan ini sendiri terselenggara melalui kerjasama dengan lembaga penyelenggara pertunjukan antara lain ISI Padangpanjang-Sumatera Barat, Taman Budaya Jawa Tengah-Surakarta, Universitas Muria Kudus-Jawa Tengah, dan NuArt Sculpture, Bandung-Jawa Barat. Juga, didukung oleh Kementerian Pariwisata Republik Indonesia dan Bakti Budaya Djarum Foundation.
Terdapat tiga hal menarik dari kegiatan pertunjukan yang dilakukan Ali Sukri dan Eko Supriyanto ini, yaitu: (1) gagasan yang bertolak pada kekuatan silat tradisional yang terdapat di Minangkabau dan Jawa; (2) kekuatan di dalam melakukan ekplorasi, elaborasi terhadap motivasi gerak tubuh, ruang dan properti; dan (3) kualitas karya yang mampu membaca strategi terhadap kebutuhan pasar tari kontemporer Internasional. Kebutuhan ini, mengutamakan kekuatan visual-artisitik melalui pengolahan spektakel yang memukau, estetis, bahkan eksotis.
Secara teknis, Ali Sukri dan Eko Supriyanto sebagai koreografer sangat peka di dalam mentransformasikan gagasan tubuh-nya kepada masing-masing penari. Sehingga, semua penari yang terlibat di dalam karya Tonggak Raso dan tra.jec.to.ry secara teknis, memiliki penguasaan atas tubuhnya sendiri. Sebagai penonton, saya melihat ada kekuatan yang sama, dilakukan oleh para penari Tonggak Raso dan tra.jec.to.ry. Kesamaan tersebut terlihat melalui fleksibelitas tubuh, ketajaman gerak, motivasi gerak, kekuatan pada kuda-kuda kaki, termasuk pada aspek akrobatik yang menarik perhatian penonton.
Penguasaan ruang, menjadi pondasi dasar koreografi di dalam karya Tonggak Raso dan tra.jec.to.ry. Sehingga, karya ini melahirkan bentuk dan gaya yang berbeda. Karya tra.jec.to.ry dominan memanfaatkan floor plan horizontal, tetapi karya Tonggak Raso justru mengeksplorasi ruang secara vertikal dan horizontal. Pola rampak terlihat dominan di dalam karya Tonggak Raso dan tra.jec.to.ry. Hampir secara keseluruhan, dua karya ini menggunakan motivasi gerak yang rampak, rapih, teratur sehingga minim sekali pola gerak personal, maupun gerak improvisasi.
Karya tra.jec.to.ry terlihat menggunakan properti yang minimalis yaitu kain. Sementara, karya Tonggak Raso terlihat dominan memanfaatkan enam buah properti berupa cermin yang dikonstruksi dalam berbagai komposisi, mencipta berbagai kolase peristiwa di atas panggung. Secara konseptual, karya tari Tonggak Raso dan tra.jec.to.ry tidak hanya sekedar mengekspose, bahkan mengkomparasikan primordialisme gerak silat dari masing-masing kebudayaan (Minang dan Jawa).
Namun, terdapat hal yang paling signifikan di dalamnya, yaitu membendung
derasnya laju kebudayaan kita (Timur), secara sadar–atau tidak, telah
bertransformasi kepada gaya hidup (life style) manusia urban yang cenderung individual, konsumeristik dan hedonistik. Situasi serupa itu, tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan saja,
tetapi generasi muda di pedesaaan mayoritas sudah ‘berlagak’ layaknya
seperti orang-orang kota. Era Milenium yang niscaya atas
industrialisasi, liberalisasi, teknologi-informasi yang bersumber pada
kebudayaan luar (Barat-Eropa), telah merubah pola pikir, prilaku
generasi muda saat ini. Barangkali, inilah mengapa di dalam karya tari
Tonggak Raso mengedepankan penting-nya sebuah tiang penyangga, sehingga
kebudayaan timur-nusantara tidak terjebak pada manipulasi kebudayaan
Barat atau Eropa. Bukan berarti menolak, tetapi harus ada filter di
dalamnya.
![]() |
Tari Tonggak Raso karya koreografer Ali Sukri (Sukri Dance Theatre-Padangpanjang, Sumatera Barat) (Foto: Denny Cidaik, 2016) |
Begitu juga, karya tari tra.jec.to.ry memberikan pemahaman tentang lintasan atau arah yang ingin dituju manusia di dalam mencapai sasaran kehidupan. Teknik muncul penari, di awal pertunjukan yang melakukan teknik rolling ke depan mengitari area panggung sebagai penanda terhadap lintasan atau arah kehidupan yang repetitif, tidak jelas, bahkan absurd, belum mencapai sasaran yang diinginkan. Barangkali, begitu yang ingin disampaikan Eko Supriyanto (Eko Pece) di dalam karya tra.jec.to.ry-nya.
Barangkali, ini hanyalah tafsir atas amatan saya terhadap dua karya tari Tonggak Raso dan tra.jec.to.ry ini. Karena kebenaran sebuah karya seni, sejatinya adalah milik masyarakat penonton-nya. Dua karya ini, memiliki benang merah yang sama dalam merespons persoalan realitas-sosial. Begitu banyak persoalan yang ‘blunder’ dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini. Maka, dibutuhkan perisai kebudayaan untuk menjaga kedaulatan, integritas, yang mampu ‘membalut’ tubuh kebudayaan kita, mampu ‘bercermin’ mencermati eksistensi kebudayaan kita, dan mampu mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milik kebudayaan kita, atau apa sebenarnya? Agar kita tidak menjadi republik ‘blunder’.
Sesi pertunjukan di Padangpanjang, memang telah usai. Namun, perisai kebudayaan ini terus berlanjut di Taman Budaya Jawa Tengah-Surakarta (tanggal 06 September 2016), Universitas Muria Kudus-Jawa Tengah (tanggal 08 September 2016), dan NuArt Sculpture Park, Bandung-Jawa Barat (tanggal 10 September 2016). Semoga, dalam pertunjukan selanjutnya-masih menjaga, apa yang seharusnya kita jaga!