Pilih Laman

Jumat, 13 Oktober 2017 | teraSeni.com~

Ada yang tidak biasa dari pertunjukan tari kontemporer bertajuk Der Bau karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring. Selain bertumpu pada praktik alih wahana dari karya sastra ke tari, karya yang diselenggarakan oleh Goethe Institut di Komunitas Salihara pada akhir bulan September (29-30) 2017 ini terbilang cukup berani. Pasalnya sang penari tunggal, Isabelle memutuskan untuk tidak mengenakan sehelai busana pun di dalam karyanya.

Namun pilihan Isabelle ini cukup matang dan beralasan. Ketelanjangan tubuh yang dipilih tersebut merupakan pengejawantahan atas interpretasinya pada karya sastra yang bertajuk “Der Bau” dari Franz Kafka. Karya yang dibuat oleh sang novelis Ceko pada tahun 1923-1924 tersebut membahas tentang tubuh dan sarang. Dalam hal ini, sarang terdiri dari jejak, harapan, keraguan, langkah yang terbuat dari tubuhnya sendiri. Sarang tersebut kelak menjadi bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari sang empunya tubuh.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Der Bau, Koreografi karya
Isabelle Schad dan Laurent Goldring
(Foto: Laurent Goldring)

Isabelle dan Laurent menginterpretasikan tubuh dan sarang ke dalam interaksi pertama antara tubuh dan ruang, yakni rahim. Rahim disadari sebagai ruang pertama yang dialami dan ditinggali tubuh. Bermula dari hal tersebut, pilihan Isabelle untuk menampilkannya tanpa busana menjadi masuk akal. Namun sensasi atas ketelanjangan bukanlah hasil akhir dari tafsir rahim, melainkan rahim sebagai ruang pertemuan tubuh dengan segala kompleksitasnya.

Dalam mengisi ruang, kerja koreografi Isabelle pun tidak menampilkan gerakan-gerakan indah, bahkan lebih banyak yang dimulai dari gerakan sederhana. Isabelle memilih gerakan-gerakan yang tidak lazim namun sarat makna—dengan teknik dan eksplorasi yang mendalam. Yang menarik, tiap gerak Isabelle mempunyai kepekaan visual yang ramah di mata. Secara lebih lanjut, Laurent Goldring berperan signifikan atas hal tersebut.

Dampak dari pilihan gerak, kepekaan visual, serta kedalaman tema lantas membuat ketelanjangan yang kerap diasosiasikan erotis dapat diubah. Dalam hal ini, Isabelle dan Laurent memberikan satu cara pandang alternatif dalam menerjemahkan ketelanjangan sebagai satu kesadaran media ungkap.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Dalam Der Bau, Isabelle dan Laurent
menginterpretasikan tubuh dan sarang ke dalam
interaksi pertama antara tubuh dan ruang, yakni rahim
(Foto: Laurent Goldring)

Selain pendalaman gagasan dan penelusuran kemungkinan gerak yang matang, karya Der Bau turut didukung oleh Emma Juliard pada penataan cahaya dan Peter Böhm dalam penataan suara. Emma Juliard mewujudkan gagasan Isabelle pada bentuk pencahayaan yang khas. Berbentuk persegi, kain berwarna kusam dipasang di langit-langit panggung. Kain tersebut membuat cahaya menjadi teram temaram, terkesan suram.

Sedangkan pada tata suara, Peter menggunakan sumber bunyi yang lebih dekat dengan keseharian, seperti suara guratan kapur, suara dengungan besi, hingga desiran ombak. Rangkaian suara yang merespon tiap gerak Isabelle ini lantas ditempatkan menyebar (baca: surround). Dampak dari penataan suara semacam ini membuat batas panggung dan arena penonton semakin kabur secara aural. Atas hal ini, tidak muluk-muluk jika mengatakan karya Der Bau ini hasil kerja antar bidang yang selaras.

Tubuh “Sarang” yang Menubuh
Diawali dengan pencahayaan yang temaram, Isabelle membungkuk di sisi belakang panggung. Kedua tangannya berpijak di kedua kakinya—persis orang kelelahan. Beberapa saat kemudian, ia menggerakan kedua bahunya secara perlahan. Dilakukannya berulang kali hingga bahunya bergerak pada tempo yang cepat tapi tak teratur. Setelah itu gerakannya berangsur melambat, dan mulai menggapai beberapa bagian kaki, seperti: dengkul, juga mata kaki. Yang menarik, terdengar suara kapur yang tergurat ke papan di tiap kali ia menyentuh kakinya, laiknya tata suara Peter Böhm merespon tiap gerak Isabelle.

Isabelle yang tengah menggerakan tangannya dengan cepat mulai mengambil selembar kain berwarna hitam. Lantas kain panjang tersebut ia gerakan di antara tubuhnya, ke atas dan ke bawah. Kelamaan, ia membuat sebuah pola gerakan lingkaran yang dikibaskan ke wajahnya. Lalu ia merentangkan kain tersebut menutupi keseluruhan tubuhnya. Ia berjalan ke arah depan panggung dengan kain tertutup dan kembali berjalan mundur menggelar kain tersebut hingga ke area belakang panggung.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Der Bau, dipentaskan oleh Goethe Institut 
di Komunitas Salihara, 29 dan 30 September 2017(Foto: Laurent Goldring)

Di belakang panggung, ia mulai bergerak dengan putaran tangan yang lebih besar. Kain tersebut ia biarkan terjatuh, sementara gerakan tangannya tetap memutar. Setelahnya ia kembali membungkuk, mengambil kain dengan warna yang sama di sisi kiri panggung dan mulai menggerakannya. Alih-alih serupa, ia menggerakan kain tersebut dengan pola gerak yang berbeda. Ia kibaskan ke kiri dan kanan membentuk pola silang berjalan ke depan panggung, dan berjalan mundur.

Setelah itu, kain tersebut ia jatuhkan dengan posisi tubuh tegap dengan tangan direntangkan ke atas dengan wajah yang menengadah. Secara cepat rambutnya ia urai dan menggeliat di tempat. Kendati ia bergerak dengan pola gerak yang lebih bebas, namun ia tetap melakukan gerakan yang berulang. Tata suara pada kain kedua ini didominasi oleh suara dengungan besi.

Kemudian ia membungkuk mengambil kain berwarna abu-abu yang terletak di bagian belakang panggung. Tidak jauh berbeda, ia mengibaskan kain tersebut dengan pola yang berlainan pula. Jika lainnya digerakan di bagian depan tubuhnya, pada kali ketiga ini kain tersebut digerakan di bagian belakang tubuhnya—laiknya orang menggenakan selendang. Ia berjalan maju ke arah panggung, dan kembali mundur ke area belakang panggung. Kembali kain ia lepaskan, dengan gerakan laiknya menggenggam kain, ia melangkah ke bagian kanan panggung secara perlahan. Tata suara pada bagian ketiga ini adalah suara desiran ombak yang terdengar sayup-sayup.

Di sisi kanan panggung ia kembali menarik sebuah kain berwarna cokelat. Berbeda dengan eksplorasi pada tiga kain sebelumnya, ia memeluk kain tersebut sembari berjalan ke depan panggung. Kemudian ia menghempaskan kain tersebut ke tanah sembari melakukan eksplorasi gerak tangan dan perut. Alih-alih diletakan di tengah panggung serupa dengan kain lainnya, kain keempat ini ia letakan di sisi kanan depan panggung.

Setelah meletakan kain tersebut, ia menarik kain cokelat lainnya yang berukuran lebih besar. Tidak seperti sebelumnya, ia menggelar kain tersebut dan membuat gelombang—laiknya ombak. Ia letakan kain tersebut sembari ia berjalan di atas kain yang tengah ia rentangkan. Kemudian ia menarik kain tersebut dan kembali menggendong kain tersebut kemanapun ia pergi. Tata suara pada dua kain cokelat ini merupakan hasil kombinasi dari suara kapur, dengungan besi, serta ombak.

Tidak lama berselang, pencahayaan semakin gelap dengan suara ombak yang semakin besar. Dua laki-laki orang berbadan tegap berjalan ke tengah panggung. Mereka menarik kain kain-kain tersebut, lalu menggelarnya satu per satu, mulai dari cokelat, hitam, hitam, serta abu-abu. Sementara kain digelar oleh kedua laki-laki, Isabelle menari di antara kain yang tergelar. Di kain terakhir, Isabelle telah tertelungkup. Yang cukup disayangkan, pergerakan kedua laki-laki tersebut justru menggangu kehadiran Isabelle kendati cahaya telah dibuat samar-samar.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Der Bau, Koreografi yang berangkat
dari novel Franz Kafka, yang membahas 
tentang tubuh dan sarang
(Foto: Laurent Goldring)

Kain telah tergelar dengan rapi, pencahayaan kembali membaik. Perlahan ia menarik kain-kain tersebut dengan gerak tubuh yang menggeliat. Keempat kain tersebut ditarik oleh Isabelle menuju ke dirinya. Lantas Isabelle mulai merayap, berputar, berguling hingga setiap lekuk tubuhnya tertutup kain menyerupai bahan yang membuntal. Yang menarik, kerap kali penonton tidak dapat menduga posisi tubuh Isabelle secara jelas ketika ia berputar.

Setelahnya ia kembali berguling ke satu sisi dan ke sisi yang lain untuk beberapa saat. Hingga pada akhirnya ia terdiam di tengah panggung. Seketika lampu padam dengan kombinasi bunyi yang semakin nyaring. Lampu kembali menyala, hanya tersisa kain yang tergulung berada di tengah panggung. Tanpa tubuh di dalam kain tersebut, atau dapat dibaca sebagai tubuh yang telah menyatu. Integral!

“Sarang” yang Niscaya Berulang
Ketelanjangan, gerak yang tidak indah, pencahayaan yang suram, dirasa cukup membuat penonton mengerenyitkan dahi di dua hari pentas. Banyak dari penonton yang berekspektasi lebih dan pulang dengan wajah tidak tenang (gusar hingga wajah berfikir). Namun Isabelle dan Laurent agaknya menyengajakan hal tersebut. pasalnya dari hal tersebut pelbagai macam dialog di dalam diri terjadi. Salah satunya adalah tubuh telanjang yang tidak melulu dianggap sebagai objek eksotik atau erotik, tubuh telanjang dapat ditautkan sebagai tubuh anatomis, historis, sosial, ataupun kultural.

Terkait dengan hal ini, pemaknaan karya menjadi sangat beragam. Hal ini pun memang tidak dapat ditampik oleh Isabelle. Kendati ia hanya menautkan interaksi tubuh dan ruang yang terinspirasi rahim, namun pelbagai ruang yang ia bangun dapat dibaca sebagai ruang dan tubuh yang beragam. Seperti halnya kain yang dapat diterjemahkan sebagai kompleksitas atas interaksi tubuh dan ruang, mulai dari urusan sosial, hingga kultural. Secara lebih lanjut, rahim dapat diartikan sebagai ‘kelahiran’ yang tidak melulu secara biologis, tetapi dapat bersifat sosial, politik, kultural dan pelbagai kontekstual lain hasil dari dialog tubuh dan ruang.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Isabelle Schad, sang penari tunggal,
memutuskan untuk tidak mengenakan
sehelai busana pun di dalam karyanya Der Bau
(Foto: Laurent Goldring)

Hal ini dapat ditautkan dengan apa yang dimaksud Kafka dengan sarang yang hidup dan menyatu pada tubuh. Sarang sebagai ruang tubuh yang terbentuk karena interaksi, maka jejak, bau, harapan, dan sebagainya terbaca sebagai hal yang paling sederhana terbentuk sebagai bagian dari tubuh. Secara lebih lanjut, sarang pada tubuh dapat didekati dengan konsepsi habitus milik Pierre Bourdieu. Di mana kerja habitus menyimpan pelbagai macam modal yang bertarung pada medan (field) atas hasil praktik pada trayektori, baik individu ataupun kolektif. Di sinilah ‘sarang-sarang’ kita terbentuk.

Bertolak dari hal tersebut, hasil percakapan tubuh dan ruang inilah yang diangkat oleh Isabelle dan Laurent. Hal yang kiranya remeh, namun selalu dan terus terjadi pada tubuh manusia, baik dulu, kini, atau masa depan. Sebuah kesadaran bahwa ‘sarang-sarang’ akan terus terbentuk bersama sang empunya interaksi, manusia. Ya sederhananya, interaksi itu memang berarti.[]

*Penulis hadir atas undangan Goethe-Institut Indonesia.