Pilih Laman

Pra Sumatra; Serangkaian Prolog #2 (Dari Bujang Tungga Sampai Tambo Minangkabau)

Sabtu, 15 April 2017 | teraSeni.com~

Rahasia Loteng Rumah Dalam Cerita Bujang Tungga 
Loteng telah mengambil tempat yang spesial dalam kebudayaan orang Sumatra di masa lampau. Khususnya pada masyarakat-masyarakat budaya di wilayah yang pada masa kekuasaan Belanda sampai masa Orde Lama termasuk Sumatra Bagian Selatan. Karena suhu loteng yang stabil, orang menggunakan loteng sebagai museum tempat mengawetkan barang-barang pusaka; seperti naskah kuno dan benda keramat lainnya. Posisi loteng yang selalu pasti berada di atas kepala, membuat barang-barang pusaka itu pun tetap berada di tempat yang aman, terhormat dan tidak dilangkahi.  Sehingga status keramatnya bisa lestari.

Namun yang lebih istimewa adalah filosofi loteng. Dari loteng, masyarakat tradisional Sumsel menciptakan sejarah kebudayaannya melalui penghargaan atas “anak angkat” sebagai peletak dasar kebudayaan. Diceritakan dalam sebuah guritan orang suku Rejang, Bengkulu. Dahulu kala di daerah yang sekarang bernama Tambang Sawah, Seblat, ada sebuah kerajaan bernama Pinang Belapis yang diperintah oleh raja bergelar Ratu Agung.

Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.-teraSeni.com
Kurang Banang Sahalai, Kain Ndak Manjadi
Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.,
(50 x 50 cm
Acrylic, Crayon, Pencil di atas Kanvas, 2015)

Walaupun kerajaannya makmur sentausa, sang raja sendiri kerap bermuram durja lantaran pada usia yang sudah semakin uzur ia belum juga mempunyai seorang anak. Hampir setiap petang, kalau tidak lagi blusukan ala Jokowi keliling daerah, pekerjaan sang raja hanya melamun memandangi anak-anak yang bermain di pekarangan. Manakala diingatnya bahwa ia belum juga mempunyai seorang putra, semakin gundahlah hatinya. Kepada istrinya dinyatakannya kedukaan hatinya itu dan suatu ketika dinyatakannya pula niatnya untuk bertapa agar bisa memperoleh anak.

Singkat cerita, Ratu Agung pergilah berjalan ke negeri-negeri yang jauh. Ia mendatangi  tempat-tempat keramat di pulau Sumatra. Ia bertapa ke Minangkabau, Jambi dan bahkan ke pulau Jawa. Niatnya yang kuat itu akhirnya didengar oleh penguasa kayangan dan diwangsitkan kepada Ratu Agung kalau ia akan memperoleh seorang putra yang diturunkan dari kayangan. Gembiralah Ratu Agung.

Setelah kembali ke Pinang Belapis, sang raja pun menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan putra yang dijanjikan itu. Hari-hari menunggu dan memantapkan hati, hingga terdengar suara tangis bayi dari loteng rumah. Setelah diperiksa ke atas loteng, ternyata di situ ada seorang bayi laki-laki yang tubuhnya diliputi cahaya terang benderang. Ratu Agung pun menggendongnya turun, namun bayi itu meronta. Baru setelah istrinya yang menggendong, diamlah sang bayi itu. Sang bayi pun diberi nama Bujang Tungga.

Waktu demi waktu, Bujang Tungga tumbuh menjadi pemuda yang elok budinya, tangguh dan pemberani. Diceritakan pula, ketika berburu di Rimba Larangan, Bujang Tungga bertemu sejumlah bidadari kayangan mandi di telaga di tengah rimba itu. Ia mengambil pakaian salah seorang dari mereka. Dan karena sudah tak bisa pulang ke kayangan, mau tak mau ia memenuhi permintaan Bujang Tungga untuk diperistri. Mereka hidup bahagia sampai mempunyai seorang putra yang sehat dan lucu.

Suatu hari sang bidadari membersihkan loteng dan menemukan sebuah benda jatuh dari atas loteng. Ternyata itu adalah sebuah “seruling serdam” (buluh perindu) yang suaranya sangat indah. Bila diperiksanya, ternyata di situ tersimpan baju terbang sang bidadari. Sadarlah sang bidadari yang kini sudah menjadi ibu seorang anak itu, kalau sudah tiba saatnya ia kembali ke kayangan. Ketika mereka bertengkar, tak sengaja Bujang Tungga mengeluarkan kata-kata menghina:”engkau kutemukan dalam hutan belantara”. Mendengar itu sedihlah sang bidadari dan setelah mengenakan baju terbangnya, pulanglah ia kekayangan membawa putra satu-satunya.

Berbeda dengan cerita Jaka Tarub yang terputus setelah sang bidadari meninggalkan lumbung yang kosong, Bujang Tungga justru kemudian pergi kekayangan mencari anak istrinya dengan mengendara seekor burung garuda. Si garuda bersedia asal ia diberi makan seekor gajah sebagai bekal di perjalanan. Karena jauhnya perjalanan itu, gajah besar yang mereka bawa akhirnya habis sesampai mereka di pintu langit yang pertama. Bujang Tungga akhirnya memberikan kedua kakinya untuk makanan sang garuda.

Karena tak bisa turun dan berjalan lagi, berkatalah Bujang Tungga pada garuda tunggangannya kalau kakinya sudah habis untuk memberi makan. Betapa terkejut nenek garuda. Ia pun kemudian memuntahkan kaki bujang tungga lalu menyambungkan kembali. Jangan heran, di langit apa saja bisa terjadi. Pengorbanan Bujang Tungga tak sia-sia. Di langit itu ia bertemu anak dan istrinya, lalu membawa mereka ke Pinang Belapis.  Seperti yang kita harapkan, mereka hidup bahagia dan Bujang Tungga memerintah negeri Pinang Belapis dengan adil.

Kalau dicermati, loteng rumah, rimbo larangan, kayangan tampaknya adalah simbol dari tiga alam yang berbeda yang telah terpaut secara intim dalam keseluruhan cerita melalui perjalanan seorang anak angkat bernama Bujang Tungga. Hal ini dapat ditafsirkan, pemahaman terhadap keterpautan tiga alam itu baru terjadi setelah munculnya anak angkat dalam kerajaan Pinang Belapis. Sebab sebelum kedatangannya, belum pernah ada orang yang memasuki rimbo larangan dan kembali, apalagi sampai mempersunting bidadari dan bertamasya ke kayangan.

Memang keberadaan tiga alam ini tidaklah asing bagi kosmologi Melayu kuno. Orang Melayu kuno (jauh sebelum kemunculan agama-agama kitab seperti Hindu dan Budha) telah mengenal tiga alam yang disebut Tanah Julang (atas langit/kayangan), Tanah Kelam (bumi) dan Tanah Lirang (kerak bumi).  Penduduk negeri Pinang Belapis pun mungkin sudah mengenal pengetahuan tersebut, namun dalam cerita ini digambarkan simbol-simbol pengetahuan budaya tersebut tidak terjamah atau masih dianggap misteri. Akibatnya, selama beberapa waktu simbol-simbol budaya itu justru menjadi horor bagi kehidupan mereka.

Pada titik ini, kehadiran Bujang Tungga menyegarkan suasana, karena ia memberi inspirasi bagi karakter budaya baru yang kelak akan dilakoni oleh generasi penerus negeri Pinang Belapis. Karakter budaya itu adalah karakter penjelajahan dan semangat eksplorasi yang tinggi. Di dalam karakter budaya yang seperti ini, pemecahan misteri adalah tanda ilmu pengetahuan. Sebaliknya, menutup-nutupi pengetahuan itu dapat dinilai sebagai  tindakan korup. Masyarakat budaya yang seperti ini memerlukan “keterbukaan” sebagai pilar utama pranata budaya mereka. Orang Minangkabau mengungkapkannya dengan pepatah : hidup yang bersuluh matahari, bergelanggang mata orang banyak. Itulah hadiah terpenting seorang “anak angkat” bagi kebudayaan kita, eh, negeri Pinang Belapis maksudnya…

Tiuh Karangan
Zaman dahulu di tepian Sungai Umpu, dusun Tiuh Karangan, Way Kanan, Lampung. Istri Jumpang Keling sang kepala kampung, melihat seruas bambu terapung di atas sungai dan bergerak melawan arus. Ia mengambilnya, lalu menyimpannya di loteng rumah. Sejak itu, konon, rumah Jumpang Keling selalu benderang diterangi cahaya. Namun penduduk tidak mengetahui kalau cahaya itu berasal dari ruas bambu yang disimpan di loteng rumah.

Tak lama setelah itu, penduduk kampung memergoki seorang bocah laki-laki buruk rupa berpenyakit sedang mencuri padi yang dijemur. Terkejut karena kepergok itu, si bocah melemparkan butir-butir padi yang sudah digenggamnya. Ajaib, butir-butir padi itu berubah menjadi ratus harimau yang siap menerkam dan kebal senjata tajam. Jumpang Keling, sang kepala kampung akhirnya bertarung dengan harimau-harimau itu dan berhasil mengalahkan mereka. Setelah diselusuri, diketahuilah kalau si bocah buruk rupa itu adalah titisan Umpu Diwa Sebiji Nyata – Radin Jambat, yang lahir dari ruas bambu yang disembunyikan istri Jumpang Keling di loteng rumahnya. Umpu Diwa Sebji Nyata itu kelak bernama Umpu Putera Lima sakti yang dipercaya sebagai leluhur orang Tiuh Karangan dan ia sampai kini dipercaya masih menjaga keselamatan negeri-negeri di sepanjang sungai Way Kanan.

Sisi tragik dari cerita ini mungkin terletak pada tokoh sang istri kepala kampung, yang menyembunyikan rahasia di loteng rumah.  Sehingga Jumpang Keling tidak mengetahui kalau ia sudah mempunyai putra yang lahir dari seruas bambu. Namun penerimaan penduduk terhadap anak laki-laki yang lahir dari ruas bambu itu sebagai leluhur mereka menjadi bukti adanya pengaruh kuat “anak titipan atau anak angkat” dalam kebudayaan masyarakat di sepanjang Sungai Way Kanan.

Tanah Asal Minangkabau
Minangkabau dibangun dari sebuah tambo tapi juga didustai dengan tambo.  Dalam pembukaan sebuah tambo alam biasanya dikatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau berasal dari gunung Marapi.  Oleh karena sampai hari ini gunung merapi yang populer di daerah ini adalah gunung Marapi yang terletak di Padang Panjang, maka para penutur tambo sejak dari era kolonial hingga pasca kolonial ini mensugesti masyarakat bahwa memang gunung Marapi itulah yang dimaksud. Sementara daerah Pariangan yang terletak di lerengnya diklaim sebagai daerah pertama yang dihuni oleh niniek orang Minangkabau. Sementara darek (atau dataran tinggi) dan luhak diklaim sebagai sebagai negeri asal.

Klaim negeri asal ini, pada gilirannya membawa konsekuensi adanya daerah-daerah yang disebut Rantau. Yakni daerah-daerah Pesisir Selatan. Juga ke bagian tengah, yakni daerah yang sekarang termasuk dalam wilayah propinsi Riau. Ke arah utara, rantau ninik orang Minangkabau itu diperluas hingga ke pantai barat Aceh dan Negeri Sembilan. Dalam tambo, batas Minangkabau itu malah meliputi seluruh alam ini: “sehingga ombak yang berdebur / sirangkak yang berdangkang / sehingga durian ditekuk raja / buayo putih dagu…” Anda bisa cari mana batasnya. Sebab semua ombak itu berdebur, semua raja umumnya gemar durian, semua kepiting ada cangkangnya…

Belum ada dokumen tertulis maupun bukti-bukti arkeologis yang dapat membenarkan tambo wilayah darek sebagai negeri asal yang tua itu. Kalau ditinjau dari segi peninggalan materi, satu-satunya wilayah darek yang telah dipastikan mempunyai peninggalan zaman batu purba hanyalah daerah Lima Puluh Koto. Bahkan tradisi-tradisi prasejarah orang Minangkabau mungkin hanya terdapat di wilayah ini.

Kebanyakan wilayah-wilayah darek, termasuk daerah yang pernah menjadi pusat-pusat kerajaan; seperti Dharmasraya, Batusangkar (Pagaruyung) justru ditopang oleh warisan kultur Hindu Budha yang baru berkembang sejak abad ke 7 hingga 14. Bahkan Pagaruyung baru mulai mencolok semenjak Babad Jawa membangun ilusi tentang adanya invasi Majapahit ke Sumatra pada kisaran abad 14 masehi. Terasa aneh, kalau darek yang warisan abad 14 itu justru menjadi negeri asal sementara banyak tempat di sekitarnya justru mempunyai peninggalan budaya yang lebih tua. Satu-satunya yang bisa disimpulkan adalah, tukang kaba kebingungan menerjemahkan tambo sebagai referensi sejarah. Mungkin karena kebingungan itulah, tukang kaba sebelum ataupun sesudah menutur tambo, biasanya mengelak dengan ungkapan: dusta orang kami tak serta.

Pra Sumatra; Serangkaian Prolog #1 (Dari Tradisi ke Banca Houlou)

Jumat, 14 April 2017 | teraSeni.com~

Dari Tragedi Ke Tradisi
Tragedi telah lama menjadi sumber imajinasi kebudayaan kita yang utama. Tak terkecuali di Sumatra. Sebagian besar mitologi tentang asal-usul suatu daerah di Sumatra, berawal dari adanya tragedi yang disebabkan oleh bencana alam. Dan kebudayaan dalam berbagai bentuknya diproduksi sebagai respon kepada tragedi itu. Bila tanah Minangkabau mulai dihuni saat bumi bersentak naik, laut bersentak turun, maka dalam mitologi asal-usul suku Enggano di Bengkulu, manusia pertama bernama Kamanipe yang menurunkan bangsa Enggano dan budaya-budaya sukunya, juga memulai kehidupan ini setelah kiamat air yang dahsyat menghancurkan bumi. Tragedi yang sama, dapat dijumpai dalam cerita-cerita lokal lain yang mendapat pembenarannya melalui rekaman-rekaman peristiwa geologi yang telah dipublikasikan para ahli.

Semua dongeng tentang asal-usul itu, membawa kita kepada satu pesan: orang Sumatra berpijak di atas satu luka yang sama, di atas patahan lempeng benua sepanjang 1900 km yang secara semu ditutupi oleh Bukit Barisan. Patahan yang sewaktu-waktu tak dapat lagi menahan bebannya, lalu dalam sekejap mengubur daratan besar ini ke petala bumi paling bawah. Realitas alam yang seperti ini mengilhami pula orang Sumatra untuk menemukan eksistensi kebudayaannya di dalam nilai-nilai batin yang merendah pada kekuatan alam itu. Dan sebagai suatu upaya untuk tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan. Secara ajaib, sikap rendah hati kepada kekuatan alam itulah yang menjelma menjadi kekayaan tradisi, kesenian, sastra dan menjadi sumber kehormatan martabat mereka.

Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.-teraSeni.com
Indak Lapuak Dek Hujan, Indak Lakang Dek Paneh
Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.,
(50 x 50 cm
Acrylic, Crayon, Pencil di atas Kanvas, 2015)

Peradaban Gua Sumatra Selatan
Sumatra Selatan, bukan lagi kandidat, tetapi telah dipandang oleh para ahli prasejarah sebagai pintu masuk peradaban tertua di Pulau Sumatra. Ekskavasi atas tinggalan-tinggalan prasejarah di kawasan ini menghasilkan usia kurang lebih 1 juta tahun. Yang paling populer mungkin situs Padang Bindu yang paling banyak memiliki tinggalan artefak dari masa yang sangat tua itu. Beberapa alat-alat batu dari zaman Acheulien seperti kapak genggam (hand axe), alat serpih serut gerigi (denticu/ated) dan kapak pembelah yang ditemukan di Padang Bindu, ditenggarai sebagai industri prasejarah tertua di Sumatra.

Menurut buku Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu (2006) adanya benda-benda ini menguatkan model yang secara menyeluruh diakui sebagai jalan migrasi dari benua Asia Tenggara menuJu pulau-pulau di tengah dan timur kepulauan Indonesia, seperti Jawa, Lombok, atau Flores. Selain itu, peradaban gua di Sumatra Selatan telah melengkapi unsur-unsur prasejarah pulau Sumatra secara umum. Pandangan bahwa pulau Sumatra tidak memiliki peradaban gua telah terbantah dengan sendirinya.

Belum diketahui hubungan yang kronologis dari masa prasejarah itu dengan pola-pola peradaban yang muncul berikutnya. Bagaimana misalnya persambungan dari masa industri batu kerakal sederhana ke monument-monument megalitik yang ada di situs Pasemah. Bagaimana pula rangkaiannya dengan budaya perunggu atau logam yang juga terdapat di situ. Artinya studi-studi tentang tinggalan peradaban klasik yang datang kemudian, masih akan berada dalam alur yang terpisah satu sama lain.

Situs Pasemah (Besemah), mulanya dikira sebagai warisan budaya pemujaan bernuansa Hindu. Namun pengkajian ulang oleh peneliti Belanda pada tahun 1932,  menghasilkan pemandangan yang berbeda. Monument-monument megalitik yang terdapat di kawasan ini lebih memenuhi unsur prasejarah daripada unsur budaya zaman klasik Hindu-Budha. Sementara tinggalan-tinggalan perunggunya ditenggarai memiliki hubungan dengan budaya Dongson Vietam dari kisaran masa 1500 SM.

Keberadaan situs Pasemah tentu menarik, karena telah mengubah fokus pembicaraan tentang budaya – budaya di daerah Sumatra Selatan yang selama ini identik dengan peradaban agama Budha yang secara politik eksis pada abad ke 7–10 masehi, masa kerajaan Malayu kuno dan Sriwijaya. Walaupun tidak ada petunjuk yang kuat dan pasti mengenai pusat dari kerajaan ini,  Palembang yang kini menjadi ibukota propinsi Sumatra Selatan, diusulkan oleh para ahli sebagai salah satu ibukota kerajaan Sriwijaya. Daya tarik Sriwijaya ini membuat kajian pada Sumatra Selatan melulu dihubungkan dengan pengaruh pengaruh pemikiran Hindu-Budha Sriwijaya. Walaupun kenyataannya pengaruh pemikiran Hindu-Budha itu hanya satu rangkaian saja di antara fondasi-fondasi pemikiran dalam kebudayaan masyarakat yang tersebar di wilayah Sumatra bagian selatan.

Kesimpulan mengenai usia peradaban megalitikhum Pasemah yang pertama dipaparkan oleh arkeolog Belanda Van der Hoop, dalam “Megalithic Remains in South Sumatra” kemudian merubah cara pandang itu. Pada masa kini, para ahli umumnya sepakat menyimpulkan bahwa peradaban megalitikhum Pasemah lebih dahulu eksis sebagai peradaban di wilayah Sumatra Selatan dan menjadi dasar pengembangan religi, pertanian, seni pada kebudayaan-kebudayaan sesudahnya.

Situs Pasemah juga menjadi pintu masuk untuk mempelajari hubungan budaya prasejarah Sumatra dengan budaya-budaya prasejarah yang terdapat di Sulawesi, dan Indonesia bagian timur.  Sehingga dalam konteks ini, menyebut Palembang sebagai “Bumi Sriwijaya” telah menjadi ketinggalan zaman. Sumatera Selatan ternyata memiliki misteri kebudayaan yang lebih luas dan lebih kaya untuk dikaji ketimbang membatasinya pada sekedar pengaruh Hindu-Budha.

Namun arkeologi hanyalah satu cara untuk mengetahui jejak peradaban  penghuni pulau Sumatra. Belakangan, kajian-kajian kebudayaan yang lebih komprehensif yang meliputi kajian bahasa, genetika, geologi, kosmologi dan ethnogeologi telah membuka cara pandang yang lebih baru lagi. Peran Selat Sunda sebagai satu-satunya lintasan internasional pada masa plestosen , tentu menempatkan daerah Sumatra Selatan sebagai kawasan penting bagi menyingkap hubungan-hubungan antara masyarakat pra sejarah. Keadaan ini terus berlangsung  sampai Selat Malaka terbentuk 9000 tahun lalu di permulaan masa holosen dan menggantikan Selat Sunda sebagai lintasan pelayaran internasional.

Dari faktor faktor prasejarah dan histori yang seperti itu, tak heran kalau Sumatra bagian Selatan semenjak dahulu sudah menjadi kawasan yang multi bangsa dan multi budaya. Hal ini pada hari ini dapat dilihat misalnya, dari kompleksitas struktur penanda identitas semacam sistem kekerabatan yang terdapat  di beberapa wilayah di Sumatra Selatan. Bila kebanyakan wilayah lain di Sumatra didominasi oleh satu struktur kekerabatan (Patrilineal atau matrilineal), maka di Sumatra Selatan, dua sistem penanda identitas itu eksis secara berbarengan.

Suku Semendo yang tersebar di sepanjang Pagaralam, Lahat dan Bengkulu, misalnya, menganut matrilineal dan eksis bersama suku-suku lain yang menganut patrilineal atau sintesa antara kedua sistem itu. Begitu pula dengan kompleksitas mitologi, folklore, seni, budaya pertanian, bahasa dan pengetahuan lokal yang membuka hubungan dengan budaya-budaya kepulauan paling tua seperti Kalimantan, Sulawesi dan pulau Jawa. Semua itu makin menempatkan arti vital Sumatra Selatan sebagai gerbang interaksi budaya-budaya Asia Tenggara yang telah dimulai sejak batu Pasemah mulai ditanam sebagai fondasi kebudayaan.

Emas Bancah Hulu (Banca Houlou)
Nama kuno Bengkulu dalam hikayat adalah Blambang Mujut. Dan konon, bertakluk kepada Pagaruyung. Dalam buku The History Of Sumatra, Bengkulu ditulis Banca-houlou yang mungkin berasal dari istilah bancah (rawa) hulu. Bukan Bangka-ulu seperti yang umum dimengerti orang. Kecuali jika bangka itu sama artinya dengan bancah.

Bengkulu, di samping julukan “Bumi Raflesia”nya, memiliki pula keunikan seni dan budaya. Terutama dari sisi keragaman budaya yang berkembang sebagai suatu hasil dari interaksi budaya-budaya Sumatera Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Aceh dan bahkan sejumlah unsur budaya yang datang bersamaan dengan kolonialisme Eropa. Oleh karena budaya-budaya Sumatra secara umum dapat dikelompokan menjadi budaya-budaya dataran tinggi ( pedalaman ) dan budaya-budaya pesisir, maka identitas budaya orang Bengkulu pun terbentuk dari interaksi antara budaya dari dataran tinggi dan budaya pesisir, khususnya Pantai Barat Sumatra. Walaupun beberapa wilayah pulau seperti Enggano, oleh karena terpisah samudera luas, mungkin lebih independen dalam beberapa sisi.  Karena tidak secara langsung bersentuhan dengan budaya-budaya major masyarakat Bengkulu daratan.

Sebagai gambaran, tipikal budaya pedalaman/dataran tinggi yang cenderung agraris dan etnokratis ( dipengaruhi oleh satu pusat kuasa semisal kerajaan ) tercermin dalam budaya-budaya masyarakat yang mendiami daerah Rejang-Lebong, Serawai, Seluma dan juga Muko-muko. Keberadaannya bisa diselusuri berdasarkan pusat kuasa yang menjadi asal budaya itu. Di sisi lain, terdapat juga budaya-budaya migran yang lebih variatif dan tidak terlalu terikat pada satu sumber kuasa. Inilah yang kita jumpai di kota Bengkulu. Sementara pulau-pulau di busur depan pantai barat seperti pulau Enggano dapat dipandang sebagai suatu entitas budaya sendiri yang sekalipun mempunyai azas matrilineal yang mirip dengan Minangkabau, namun memiliki perbedaan tajam dari segi bahasa, arsitektur, maupun laku budaya masyarakatnya.

Kebinekaan semacam ini pada gilirannya menciptakan kreatifitas yang dinamis yang terwujud dalam aneka kesenian, sastra tutur dan tulis, ritual, seni kerajinan, serta kreatifitas lokal yang unik dan kaya. Masing-masing kreatifitas itu mempunyai ruhnya sendiri dan cara sendiri dalam menjaga eksistensi dan dinamikanya. Ini terlihat misalnya dari banyaknya suku bangsa yang terdapat di Bengkulu dan sejumlah bukti lain seperti masih tertinggalnya aksara Ka Ga Nga, seni ritual Tabot, seni kerajinan di Talang Leak, sastra tutur  dan sejumlah ritual pertanian.

Fenomena budaya semacam itu, tak lain tak bukan adalah akibat dari adanya pergesekan kultural yang intens yang mungkin terjadi semenjak abad-abad awal masehi, Namun mencapai puncak pergesekannya pada abad 13 hingga 17 masehi, saat dataran tinggi Bengkulu menjadi pusat penghasil komoditi emas yang merupakan komoditi paling dicari pada abad-abad tersebut. Gelombang para pemburu emas ini, pada gilirannya menciptakan komuni-komuni migran yang membentuk pemukiman-pemukiman penduduk di sekitar dataran Redjang, Lebong, maupun hingga ke wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pantai.
 
Kerajaan  Pagaruyung pada abad ke 13, merupakan perintis dari pengolahan penguasaan tambang emas di Bengkulu, yang akhirnya mengirimkan gelombang-gelombang besar utusan untuk membuka pemukiman di daerah-daerah yang mengandung logam mulia itu. Hal ini terekam dalam cerita asal-usul dusun dan mitos-mitos yang  terpelihara dalam masyarakat. Politik perdagangan Pagaruyung ini, pada gilirannya menjadi politik ekspansi kebudayaan melalui penguasaan atas kerajaan-kerajaan kecil yang ketika itu terdapat di Ranah Sikalawi ini. Setelah Pagaruyung, sejumlah kerajaan dari seperti Aceh dan Banten, juga ambil bagian dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi emas di Bengkulu. Komoditi emas ini baru mengalami penurunan semenjak pada abad 17, karena masyarakat telah beralih ke bidang perkebunan yang merupakan komoditi andalan perdagangan perusahaan-perusahaan Inggris yang memonopoli perdagangan masa itu.

Berdasarkan cerita-cerita rakyat tentang riwayat emas Bengkulu, selanjutnya perusahaan Belanda melakukan sejumlah penelusuran ke lokasi-lokasi bekas penambangan emas Pagaruyung itu. Dan kemudian mendirikan perusahaan pertambangan emas Redjang Lebong pada tahun 1898.  Karena penduduk di dataran tinggi Bengkulu umumnya tidak lagi melakukan penambangan emas, perusahaan-perusahaan Belanda terpaksa mencari kuli kontrak Cina dari Singapura dalam jumlah besar. Pemukiman-pemukiman kuli kontrak ini kemudian menjadi dusun yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Emas memang tak lagi menjadi primadona sejak awal abad 20 di Bengkulu. Namun warisan-warisan budaya yang ditinggalkan sebagai akibat dari gelombang migrasi para pencari emas sejak abad pertengahan masehi itu telah menjadi warisan budaya yang sangat berharga yang membentuk wajah budaya orang Bengkulu hari ini. Suatu wajah yang multi budaya, multi bahasa dan kaya akan sastra dan kesenian. Dari latar belakang yang seperti itulah energi seni dan kreatifitas budaya diciptakan

Kebo Iwa dalam Goresan Perupa Muda Bali: Pengorbanan Demi Nusantara

Kamis, 13 April 2017 | teraSeni.com~

Kolaborasi antara I Gede Arya Sucitra dan Agus Putu Suyadnya dalam Duo Art Exhibition yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta pada tanggal 21-28 Februari 2017 lalu mengambil tema “Kebo Iwa dalam Goresan Perupa Muda Bali: Pengorbanan Demi Nusantara”. Kedua seniman ini berasal dari Bali dan menempuh pendidikannya di ISI Yogyakarta dengan mengambil minat seni murni. Tema ini diambil karena sebagian besar masyarakat Bali menganggap bahwa sosok “Kebo Iwa” sering disamakan dan disejajarkan dengan Maha Patih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit. Kebo Iwa adalah seorang patih dan panglima kerajaan Bedaulu pada masa pemerintahan Sri Gajah Waktera yang bergelar Sri Astasura Ratna Bumi, yang berkuasa di Bali pada awal abad ke-14.

Sucitra menggunakan elemen warna putih secara dominan dalam setiap wujud karyanya. Ini mengintepretasikan sifat-sifat kebenaran dan pencerahan yang selalu diajarkan Kebo Iwa kepada nusantara. Sementara itu, Suyadnya memilih sifat-sifat hero yang dimiliki Kebo Iwa. Ini terlihat dari beberapa karyanya yang menggambarkan kekuatan, ketangkasan, dan kegagahan sosok Kebo Iwa dengan dilengkapi berbagai atribut perangnya berupa pedang dan seragam yang membuat Kebo Iwa terlihat lebih gagah dan kuat.

Sucitra dan Suyadnya dalam Duo Art Exhibition kali ini banyak menampilkan karya lukisan dan hanya beberapa karya yang diwujudkan dalam bentuk tiga dimensi. Mereka menggambarkan Kebo Iwa sebagai seorang guardian. Mereka juga mengeksplorasi lebih dalam dan menceritakan bagaimana Kebo Iwa membangun dan merawat nusantara
2
hingga menyatukan nusantara (Bali). Nilai-nilai pengorbanan dan kepahlawanan inilah yang diangkat dan menjadi ide dasar penciptaan karya dalam Duo Art Exhibition.

Lukisan I Gede Arya Sucitra-teraSeni.com
Memutih Menyatu Nusantara Pertiwi, I Gede Arya Sucitra, 200 × 150 cm, 2017
(Foto: Evan Sapentri) 

Karya I Gede Arya Sucitra ini adalah sebuah karya lukis yang dibuat dengan menggunakan cat akrilik. Ukurannya 200 × 150 cm dan dibuat pada tahun 2017. Dalam lukisannya kali ini, secara dominan Sucitra menggunakan warna hitam dan putih. Terlihat samar-samar beberapa objek yang hendak disampaikan seperti bukit/pegunungan dengan komposisi di tengah yang dibalut warna putih. Semakin landai Sucitra menerapkan warna putih sebagai wujud dari tanah yang berundak. Warna hitam digunakan sebagai warna langit dan tanah
3
dimana orang-orang berpijak dan bersatu.

Kombinasi dan pertemuan warna hitam dan putih ini kemudian dipadukan sehingga membentuk dimensi visual bagi pemirsa agar dengan mudah membedakan dan mengenali objek yang hendak disampaikan Sucitra. Goresan-goresan warna putih di bagian ujung kiri bawah mengimpresikan sebuah pohon dengan beberapa ranting di tengah dan sedikit daun yang menjuntai mengarah ke samping kanan. Sementara itu, untuk menonjolkan objek manusia yang sedang melakukan aktivitas membawa semacam senjata yang panjang, Sucitra memadukan warna hitam sebagai latarnya.

Terdapat ruang kosong di bagian atas. Sucitra sengaja memilih warna hitam sebagai warna langit dan simbol dari keadaan yang mencekam. Terlihat bahwa Sucitra memilih warna hitam sebagai latar yang berfungsi sebagai pengikat objek penting yang ditonjolkan Sucitra. Warna putih dengan goresan garis-garis tebal ke bawah, mengarah ke samping kanan dan kiri, ada yang tidak beraturan mewakili objek penting yang digambarkan Sucitra seperti bukit, manusia, dan pohon. Garis-garis horizontal di bagian tengah karya ini menggambarkan bidang tanah yang datar. Sucitra menerapkan garis-garis secara vertikal ketika menggambarkan kontur tanah yang berundak dan mengesankan bentuk tanah atau posisi yang lebih tinggi. Garis-garis lengkung terlihat ketika Sucitra hendak menggambarkan kondisi bukit di bagian tengah antara langit dan bidang tanah yang datar. Di bagian atas dimana orang-orang berkumpul ada dua garis tebal yang mengerucuk ke atas sebagai simbol kontur tanah yang menonjol.

Sucitra mencoba mengeksplorasi lebih dalam dengan tidak hanya menampilkan Kebo Iwo dalam perspektif fisik saja namun juga nuansa spriritualitasnya. Sucitra memilih objek Nusantara sebagai wujud representasi Kebo Iwo dalam menyatukan Nusantara (Bali). Keadaan genting ini dilukiskan Sucitra dengan memilih warna hitam pekat yang menumbuhkan persepsi duka mendalam, perasaan haru, sekaligus
4
semangat. Warna putih dijadikan “objek kunci” sebagai simbol kebenaran dan pencerahan sebuah ide dan konsep yang selalu didengungkan oleh Kebo Iwa dalam masa penaklukannya terhadap Majapahit. Perjuangan dan luasnya pengembaraan yang dipimpin oleh Kebo Iwa melewati batas-batas lembah maupun bukit. Bentuk dari pesatuan yang kuat dan kokoh digambarkan dengan sekerumunan orang yang terlihat bersatu padu dengan semangat membara membawa senjata dan selalu bersiap siaga.

Lukisan Agus Putu Suyadnya-teraSeni.com
The Guardian Series “Janji Sang Penakluk”,
Agus Putu Suyadnya, 200 × 200 cm, 2017
(Foto: Evan Sapentri) 

Karya Agus Putu Suyadnya ini merupakan karya lukis dengan ukuran 200 × 200 cm, yang dibuat dengan menggunakan cat akrilik pada tahun 2017. Sosok Kebo Iwa digambarkan tangan kanan dengan erat sedang memegang pedang berwarna putih keabu-abuan. Seekor
5
burung dengan kepala hingga leher berwarna jingga menghadap ke kanan, di bagian atas badan berwarna coklat kehitaman, dan di bagian bawah hingga kaki berwarna putih, terlihat sedang santai hinggap di tangan kiri Kebo Iwa. Warna hijau menyelimuti dari kepala hingga pundak Kebo Iwa lengkap dengan kedua gading putih yang melengkung ke depan. Warna coklat melekat pada tangan hingga kaki. Ikat pinggang berukuran besar berwarna coklat mengapit pada bagian perut.

Sementara itu, kedua tangan Kebo Iwa dibaluti kain berwarna coklat begitupun di kaki kanannya. Sepatu coklat keemasan yang terlihat sangat kuat dan kokoh melengkapi penampilan primanya ini ditengah-tengah hutan belantara. Pandangan mata yang tajam kedepan, badan yang sigap dan gagah, begitupun kedua tangan dan kaki yang besar dan berotot. Agar terlihat lekuk tubuh dan pergerakan Kebo Iwa yang gagah, Suyadnya menambahkan kain berwarna jingga yang terlihat terpasang melingkar di bagian pinggul Kebo Iwa. Tempat pedang berwarna putih pun juga telah disiapkan dan mengantung di bagian pinggul mengarah ke samping kiri. Garis-garis tebal mapun kecil berwarna putih kecoklatan digambarkan sebagai kayu atau akar yang menghalangi perjalanan Kebo Iwa di tengah hutan belantara. Sebagian besar bentuknya vertikal terutama dibagian belakang Kebo Iwa, sedangkan dibagian bawah tepat disebelah kaki Kebo Iwa kayu-kayu atau akar-akar pohon terlihat melilit dibagian kaki kanan dan kiri Kebo Iwa.

Kebo Iwa diimpresikan sebagai penjaga/palang pintu (guardian) terbentuknya nusantara (Bali). Suyadnya lebih mengedepankan sisi hero/kepahlawanan sang Kebo Iwa. Warna putih terpancar dibagian belakang Kebo Iwa. Ini menandakan bahwa Kebo Iwa sedang melakukan perjalanan pengembaraannya melewati beberapa ujian dan rintangan selama perjalanan dan semakin lama melangkah keadaan hutan belantara akan semakain gelap. Mata yang tajam tertuju kedepan dengan jelas membawa tujuan dan harapan Kebo Iwa dalam
6
menyatukan Nusantara (Bali).

Cengkraman tangan yang kokoh membawa pedang dibalut kain di kedua tangan dan kaki dibagian kanan melambangkan bahwa sosok Kebo Iwa sudah sering mengalami pengembaraan jauh menghadapi medan tempur apapun itu resikonya. Rasa sakit, luka, dan kepedihan hampir tak dirasakan oleh Kebo Iwa. Suyadnya sangat cerdik memberikan sentuhan visual dengan menambahkan kain putih yang membaluti kedua tangan, kaki kanan, dan dada, sekaligus sebagai simbol kekuatan akan rasa pedih yang dirasakan Kebo Iwa dalam mengarungi berbagai medan selama proses pengembaraannya itu. Ikat pinggang yang terlihat sangat kuat mengikat dan melekat dibagian perut sebagai pertahanan Kebo Iwa dalam melakukan pergerakan dan mobilitasnya selama pengembaraan.

Burung kecil yang selalu menemani perjalanannya itu dapat dijadikan sebagai teman dan sebagai pengintai musuh yang hendak mendekat. Ruang gerak kaki yang terlihat cekatan dengan dibalut dengan sepatu yang kokoh ditengah lebatnya hutan belantara. Suyadnya mengambarkan kaki kanan di depan dan kaki kiri dibelakang dengan posisi condong atau sedang membentuk posisi kuda-kuda, menandakan akan sigapnya sosok Kebo Iwa hingga memperhatikan detail setiap langkahnya. Postur badan yang sigap dan tegap dengan posisi tangan kanan yang memegang erat sebuah pedang sebagai simbol kesiapan sang Kebo Iwa untuk menjemput janji-janjinya. Sebuah sejarah yang menjadi akhir pergulatan antara patih kerajaan Bali dengan patih Gadjah Mada dari Majapahit yang bersumpah untuk menyatukan nusantara.

Duo Art Exhibition yang mengusung tema “Kebo Iwa dalam Goresan Perupa Muda Bali: Pengorbanan Demi Nusantara” ini bertujuan untuk memperkenalkan sejarah, budaya, dan ilmu pengetahuan mengenai Kebo Iwa yang sebagian besar masyarakat Bali menganggapnya sebagai mitos dan legenda yang diwariskan secara turun-temurun. I gede Arya
7
Sucitra dan Agus Putu Suyadnya yang sejatinya memang berasal dari Bali mempunyai ide dan konsep untuk mempekenalkan ke masyarakat umum melalui karya-karya lukisnya. Bagaimana sosok Kebo Iwa ini menempuh perjalanan spiritualitasnya hingga mengabdikan dan mengorbankan dirinya untuk Nusantara (Bali).

Sucitra dan Suyadnya menggambarkan sosok Kebo Iwa dengan penuh semangat dan kepahlawanan. Beberapa karya secara langsung dapat diindikasikan sebagai perwujudan Kebo Iwa dalam membangun dan merawat nusantara (Bali). Karya-karya dalam Duo Art Exhibition ini menunjukkan betapa kuatnya, kokohnya, dan gagahnya sosok Kebo Iwa dalam menghadapi berbagai ujian dan rintangan yang harus dilewatinya untuk mewujudkan janji-janji dan mimpi-mimpinya dalam menyatukan nusantara. Karya-karya yang dipamerkan ini juga mempresentasikan wujud dan upaya Kebo Iwa untuk memperkuat dan memperkokoh kekerabatan dan jaringan dalam membangun partner spirit of nusantara. Beberapa karya juga menggambarkan perjalanan dan upaya Kebo Iwa dalam menaklukkan Majapahit. Budaya asal (Bali) ini dijadikan contoh bagi Sucitra dan Suyadnya sebagai representasi kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran yang diwujudkan secara artistik dalam bentuk karya visual.

Perayaan yang Kehilangan Platform; Catatan Dari Perayaan Hatedu di Jember

Rabu, 12 April 2017 | teraSeni.com~

Halaman PKM Universitas Jember mengasah jatidiri melalui semacam nostalgia, Selasa, 28 Maret 2017. Menjelang maghrib yang mendung itu, kesibukan seputar seni pertunjukan kembali menghidupi sejarah “pusat kegiatan” pada tapal batas “formalisme kampus”—yang belumlah bosan mengidam-idamkan lestarinya skema hierarki sebagai suatu cara jitu menyembunyikan residu-residu antroposentrisme.

Saat hari berubah gelap, gedung yang konon telah mengalami sejumlah perbaikan itu, masih mempertontonkan serpihan adegan lama—setidaknya: lampu korslet dan terbawanya lumpur di alas kaki ke lantai beranda yang pada malam tersebut disulap menjadi semacam “panggung jelata” untuk pertunjukan pembuka: musikalisasi puisi oleh Jantung Teater. Sebentuk prolog yang memulai dirinya dengan mengaung dan agak narsis, “kau sendiri beranugrahkan nama teater”.

Perayaan Hatedu 2017 Jember- teraSeni.com
Salah Satu Adegan dari Pertunjukan
berjudul Anatomi Botol dalam rangkaian HATEDU Jember 2017
(Foto: Basith)

Perayaan hari teater dunia yang diprakarsai oleh sejumlah komunitas independen, juga unit kegiatan mahasiswa, dalam pangkuan Pawon Cerklacer tersebut, cukup berjarak dari kesan siap dan meriah. Pendeknya: cerklacer (suasana perkakas di dapur-dapur kampung). Meski begitu, pada hari pertamalah, jumlah penonton melampaui kapasitas gedung dan menyusut hampir separuhnya pada pentas-pentas berikutnya.

Kritik terkait kondisi apresiasi yang sebenarnya sudah cukup khas dan nyaris klasik tersebut, akhirnya diungkapkan oleh Abdo El Aziz. Katanya, “Coba cek, berapa orang yang kemarin tampil dan malam ini menonton.” Menurut salah seorang kawakan teater Jember yang cukup lama bergulat dan bersentuhan langsung melalui workshop dan penggarapan pemanggungan yang melibatkan lintas komunitas itu, semangat produksi dengan kebutuhan saling menonton belum berimbang. Dalam ungkapan lain, belum menjadi ruang perjumpaan yang meyakinkan antara “pernyataan gagasan” dan “perspektif kepenontonan”—bahkan buat keperluan “rumah tangga teater” pun, tidak.
Kukira, aspek kepenontonan ini cukup krusial—mengingat: asal-mula medan pergulatan pra-penggarapan (gagasan panggung) selalu meletakan seseorang sebagai “penonton” dan bukan penampil, dari “mengolah” dan bukan agresi, melalui pengalaman dan bukan keajaiban tanpa kesejarahan yang tiba-tiba rekah sebagai kehendak kreatif. Aspek inilah yang sesungguhnya menyediakan “momentum pembacaan” sekaligus alasan “mengapa branding hatedu menjadi perlu”, di Jember atau di mana saja.

Hari Pertama: Kegagapan Tubuh dan Kecanggungan Konseptual. 
Ruang yang hitam membuat lubangnya dengan cahaya. Sekotak layar menampilkan microsoft word. Putih, tapi sebenarnya kosong. Seseorang duduk di hadapan laptop. Kering, sepi emosi, dan mulai mengetik. Sampai sajian berakhir, inti yang ditunjukan tak berubah: membaca kata dan cerita. Hanya itu. Rekaman seriosa yang diperdengarkan hampir sepanjang durasi, terasa lemah syahwat. Pilihan konseptual yang kuat, berani, dan tidak populernya cerita yang tersaji di layar, seakan memaksa fokus harus memilih satu hal dan mengabaikan hal lainnya. Bahkan termasuk keberadaan aktor.

Dalam pertunjukan menulis tersebut, Kurusetra mengadopsi cerita pendek berjudul Menyusu Ayah. Tak ada interpretasi yang tampil. Cerita yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu itu, hanya ditulis ulang dengan sejumlah adegan salah ketik. Jemari aktor yang memerankan Nay, tokoh utama dalam cerita, cenderung memperlihatkan ketidak-akrabannya dengan keyboard. Pilihan yang mungkin tak perlu adalah ketika di akhir durasi muncul aktor yang mengembalikan kata sebagai monolog. Kehadiran ini meruntuhkan bangunan bisu huruf-huruf.

Satu-satunya kelemahan penting dalam pertunjukan ini, mungkin, motif digunakannya cerpen Djenar. Jika teks digantikan oleh cerpen Adam Ma’rifat-nya Danarto, pertanyaan-pertanyaan Mata Najwa, komentar-komentar dalam Lawyer Club, pidato Pasha Ungu, tweet SBY, puisi-puisi iklan, stiker promo jasa pembersih toilet, atau ramalan zodiak, agaknya tak memberikan keberbedaan berarti bagi konsep panggung yang telah ditampilkannya. Dramaturgi absen.

Savira S. Tasya, sutradara Nayla, mungkin kurang rinci dalam mengelaborasi cerpen yang ia adaptasi. Nalar penciptaannya seakan diperoleh dari luar teks, sehingga tak muncul interaksi atau keterhubungan kasat mata antara “cerpen yang sedang ditulis” dengan “tubuh aktor yang sedang menulis”. Taste feminisme yang tersimpan dalam cerita tidak mendapatkan bahasanya dengan tubuh. Sementara, latar yang dipakainya cenderung memperlihatkan imajiner seorang introvert atas ruang privat yang bebas dan traumatik.

Perayaan Hatedu 2017 Jember- teraSeni.com
Pertunjukan berjudul Badhokan
dalam rangkaian HATEDU Jember 2017(Foto: Yusrizal)

Kegagapan tubuh nampak lebih mencolok dalam Badhokan yang ditulis (?) dan disutradarai Abdo El Aziz. Keduanya mengalami problem senada dalam hal observasi ketubuhan yang memungkinkan dipinjam dan berbeda dalam hal konsekuensi pilihan konseptual. Jika Nayla lebih membutuhkannya tanpa pendisiplinan tubuh secara ketat (hanya sebatas aksen seorang “pesakitan”), maka Badhokan sebaliknya. Ia mesti menanggung metode tua: olah ketubuhan yang menangani ketersedian tegana untuk sekian durasi dan memberi otot-otot untuk gestur simbolis.

Pendayagunaan “tubuh ritus” untuk adegan kaotik perebutan makanan dan sedemikian rupa memainkan grouping dalam komposisi pose yang seakan telah menjadi “menu wajib” sang sutradara, akhirnya tampak tidak meyakinkan. Sejumlah tubuh agaknya telah berjarak dengan displin keaktoran tertentu dan telah didisiplikan keseharian lain: “tubuh pekerja”. Ini problem yang menarik buat membaca ulang, posisi sekaligus strategi, penghadiran “tubuh panggung”. Apakah melulu ide atau naskah yang menentukan tipikal ketubuhan? Tak mungkinkah alur itu berubah?

Vay Oktavia mengatakan, ia mengkondisikan lapar untuk penghayatan adegan. Aku tak yakin cara tersebut banyak membantu—mengingat: reaksi yang timbul akibat lapar tidaklah sejalan dengan “tubuh ritus” yang dipilih sutradara. Apakah kelaparan (atau kerakusan) mendorong “tubuh kontemporer” meminjam ulang memori otot ketika manusia masih sebentuk binatang yang lain? Tidakkah otak kita yang justru jauh lebih sigap mengingat nama-nama menu dan restoran, atau layanan delivery order?

Toshiki Okada, memperkenalkan satu pendekatan alternatif, yakni: memaknai ritual tubuh di lajur-lajur keseharian (termasuk kepegawaian) sebagai “laboratorium estetik”—dan berhenti mempercayai keringat dunia kerja sebagai karat yang mengeroposi tubuh. Dengan perpektif tersebut, maka gerak dalam kehidupan sehari-hari yang (seolah-olah) bukan bagian resmi dari seni pertunjukan kembali terintegrasi kepada sirkulasi kesadaran estetis. Cara ini, barangkali, akan mengembalikan “stilistika tubuh” sebagai “teknik” yang—meminjam ungkapan Melati Suryodarmo—tidak datang dari luar, melainkan ditemukan lewat kerja personal antara tubuh dan memori-memori luka yang dialaminya.

Studi Teater Jember yang dengan “agak nekad” mementaskan naskah Badhokan, barangkali perlu membaca ulang hubungan-hubungan antara tubuh-aktor dan gagasan kreatif yang akan dipanggungkannya. Juga, pengertian “studi” yang terkandung di dalam dirinya sendiri. Tentu saja, tak hanya mereka. Semua komunitas dengan kondisi habitat kreatif mirip Jember, yakni: hanya tersedia “energi sisa” bagi olah-teater—juga penting menerjemahkan tawaran wacana dari sutradara muda yang dianggap mewakili “generasi teater Jepang yang hilang” itu, secara kontekstual. Terutama bagaimana pembabtisan tubuh oleh kapitalisme global melalui profesi-profesi, atau “desakan kultural” yang membuat tubuh terkelupas dari pemahaman teater yang lazim, kembali mendapatkan “pernyataan” yang melampaui gimmick.

Hari Kedua: Kepolosan Eksperimentasi dan Absennya Permainan Teks.
Teater Angsa SMK 5 tampil di luar dugaan. Tidak seperti keumuman teater pelajar (di luar taste seorang pembina), mereka mementaskan reportoar Fermentasi Maling dengan cukup eksperimentatif. Alienasi dihadirkan nyaris total, kecuali beberapa momen yang terjembatani oleh kepolosan kaum remaja yang ingin menjangkau gagasan-gagasan besar. Nasionalisme, misalnya. Bermunculan kata-kata kasar yang keras dan adegan tabu (merokok) yang biasanya terlarang bagi pelajar. Penampilan mereka jauh dari kesan paktek didaktik.

Adegan meloncati kuburan, barangkali yang paling banal untuk menyatakan kematian negara dan—seperti yang kutakutkan setiap kali menonton teater pelajar; kehendak bangkit dengan menyanyikan lagu nasional. Selebihnya hanya teriak sana-sini, memakai telinga sebagai tong sampah olok-olok; bodoh, tolol, dsb. dan adegan bisu membaca (juga mnyobek) koran—yang membuat panggung terasa hambar, membuat jurang alienasi yang cukup kemarau, meskipun diliputi emosi kemarahan dan raut muka aktor yang sangat serius.

Akan tetapi, kejelasan mulai nampak dan kedalaman mulai menyentuh ketika para aktor itu membaca berita “orang hilang” di penghujung orde baru—dan di situlah letak menariknya: bagaimana tema romantik-politis ini sampai kepada mereka. Kata sutradara, “dari lagu Efek Rumah Kaca.” Ia beranggapan bahwa situasi semacam itu masih terjadi hingga saat ini.

Munculnya koran di atas panggung yang juga hadir dalam pertunjukan Badhokan, menempuh sasaran yang berlainan. Abdo El Aziz mengintegrasikan “trending hoax” dengan pemenuhan hasrat melalui komodifikasi kebohongan menjadi kebenaran dan kebenaran menjadi proposal politik. Fermentasi Maling memandang “media” sebagai alat, sekaligus strategi perampasan. Di titik ini, gagasan yang dibawakan Teater Angsa—dengan tak mulus—semakin gamblang, yakni: revisi definitif atas keberadaan negara sebagai kuasa yang terus mencuri hal-hal yang semestinya dimiliki oleh rakyatnya.

Teater Lebus menyajikan cerpen Agus Noor berjudul Kurma Kyai Karnawi, yang diadaptasi dengan rapi dan sentuhan komedis yang jauh lebih kuat oleh Dwiyoso. Intensitas kedua aktor terjaga dan setara. Gaya “teater rakyat” berhasil lepas dari kesan semata-mata menghibur atau terjebak pada klise, bahwa tontonan adalah tuntunan. Singkatnya, semua beres—kecuali satu: absennya permainan teks.

Ferick Sahid Persi, sutradara Teater Lebus, menggarap naskah adaptasi itu tanpa kenakalan untuk merespon isu-isu terkini. Misalnya, mengubah Kyai Karnawi dengan Dimas Kanjeng atau Rizieq Shihab, dsb. Atau mengganti kurma dengan syar’i roti. Seperti yang ia lakukan pada idiom-idom komedisnya—meskipun di beberapa pilihan, terlalu berani mengambilnya dari ruang pergaulan yang sangat terbatas. Absennya kenakalan tersebut membuat “muatan kritik” dalam kenaskahan yang dimainkan dengan “nyaris Gandrik” ini, gampang menguap bersama tawa penonton. Cenderung Opera Van Java ketimbang Sentilan-Sentilun.

Hari Ketiga: Kerja Arkeologis dan Terkelupasnya Eksotisme.
Sejak judul dan sejumlah cuplikan latihan di instastory, Anatomi Botol menyeretku pada satu judul ulasan Afrizal Malna untuk “Posthaste, 34 Tahun Teater Payung Hitam”: barang bekas, lepas, jatuh. Ada sebentuk kerja arkeologis, sebelum diboyongnya botol-botol ke atas pentas. Meskipun garapan ini memungkinkan dibawa ke arah perbincangan ekologi, tetapi penerapan kurasi yang memilih plastik sebagai jenis materi satu-satunya, agaknya memperlihatkan satu kecenderungan arah bidik yang berbeda. Ada kedekatan, intensitas interaksi, antara tubuh dan residu konsumerisme minuman yang coba dimaknai. Sebagaimana coca-cola yang kemudian menjadi diksi legendaris dalam perpuisian Indonesia. Jenis materi itulah, yang kukira, paling dekat dibandingkan logam atau kaca.

Teater Gelanggang memulai pertunjukannya di halaman (kemudian ke dalam gedung dengan transisi perpindahan ruang yang kurang tergarap). Gesekan botol plastik dan lantai aspal telah mengabarkan tawaran bentuk pemanggungan tak lazim. Suasana yang dikehendaki cenderung meneror, sehingga insiden aktor yang terpeleset tak mampu diselamatkan lewat improvisasi.
Dalam gedung, pertunjukan bergerak dari satu framen ke framen lain dengan batasnya yang gradatif. Di sepanjangnya, panggung mengalami metamorfosa makna melalui pola interaksi antara tubuh dan botol yang terus bergeser. Dari presentasi menuju representasi, dari alienasi menuju intimate, dari tubuh menuju simbol, dari realisme (monolog) menuju surealisme, dari anti-konsep menuju konsep.

Perayaan Hatedu 2017 Jember- teraSeni.com
Adegan yang lain dari Pertunjukan
berjudul Anatomi Botol dalam rangkaian HATEDU Jember 2017
(Foto: Halim Bahriza)

Gelanggang, mempertontonkan elemen-elemen seni pertunjukan nyaris komplit; gerak, kata, bunyi, cahaya, dll. (tanpa sentuhan teknologi) yang mereka tampilkan dan perlakukan di luar kebiasaan—dengan momen mencolok yang bergantian, terkadang bersamaan, dalam balutan “teater miskin” Grotowski. Untuk Anatomi Botol, “Poor Theatre” lebih cocok diterjemahkan sebagai “teater kumuh”, mungkin. Pemilihan dan perlakuan terhadap benda artistik, tata cahaya, tubuh, menjauh dari kegenitan seorang komposer yang mengubah aktor menjadi model dan menyulap panggung menjadi studio fotografi.

Fragmen pertama adalah dunia infantil. Tubuh dan ratusan botol menyajikan dengan kuat apa itu “teater kejadian”. Presentatif. Serupa performance art yang riang. Tak berupaya memoles sakralitas panggung dengan semacam kegawatan: tubuh dan botol saling bertukar posisi. Tak jelas lagi siapa sebenarnya subjek-objek pembuat peristiwa. Ada kalanya botol kena tendang. Ada kalanya tubuh jatuh terpeleset. Ada kalanya tubuh-tubuh menjelma botol itu sendiri. Pola pertautan tubuh dan botol yang berlangsung, mirip Exergie Butter Dance Melati Suryodarmo. Tentu saja, tanpa kontaminasi gagasan tubuh dewasa dan-atau kecanggihan mempertemukan kandungan semiotis benda-benda. Tepat di titik itulah, “rasa organik” bisa tercecap—di luar eksotisme, atau semacam eksotisme.

Bagian tersebut memberi “pengalaman menonton” paling penting, berhasil menjadi magnet fenomenologis dalam pertunjukan. Penonton mendapat momen ketiadaan untuk mengalami teater tanpa kesadaran teater. Juga para penampil. Ada kesaksian yang terasa “pertama kali” di situ. Sebuah dunia yang menegasi “pada mulanya adalah kata” dengan “inilah awal mula kata”. Infantilitas itu menyembuhkan pengertian “act-ing” dalam (realisme) teater modern yang seringkali tampil sebagai dekorasi kepura-puraan.

Keberhadiran botol mulai bergeser saat seorang aktor meniupkan kata hoax ke dalamnya dan bertubi-tubi botol-botol terlempar ke arahnya. Aktor lelaki yang kehilangan konteks telanjang dadanya itu, berpidato. Berisi ceracau, sindiran, protes. Sejak persoalan endemis akademika, ilmu pengetahuan, dan melebar dari satu konten ke konten lain melalui semacam improvisasi yang terkonsep. Di fragmen monolog ini muncul konsekuensi untuk merengkuh kembali apa yang disebut Afrizal Malna dengan “tubuh naratif yang harus memiliki rima dan lirisisme.”

Kebutuhan tubuh yang sama juga tampak pada fragmen lain yang mereka namakan “jerapa homo”.
Jarak panggung dan menonton menipis dan benar-benar terhapus saat salah seorang penonton dibawa ke atas panggung untuk memerankan seorang pakar. Sebuah kursi peyot dan patah di sejumlah bagian dipersembahkan untuknya. Monolog sang aktor kian kocak saat pertanyaan demi pertanyaan dijawab serampangan oleh sang pakar dan selalu diletakkan sebagai kebenaran dalam permainan “dramaturgi hoax” yang serius dan spontan.

Pergeseran kembali terjadi ketika “botol hoax” dimainkan sebagai telepon. Sepasang aktor bercakap-cakap juga dalam ujaran-ujaran spontan. Kata-kata disejajarkan dengan permainan jasa provider. Alat komunikasi menyejajarkan “kebenaran kata” dan “kebenaran promosi”. Dengan tafsir yang mungkin agak gawat: kata adalah genealogi hoax itu sendiri. Gelanggang nampaknya ingin memainkan anatomi kebenaran dan legitimasi sebagaimana pada suatu era pemerintah Cina memainkan lubang botol kecap.

Suasana berubah sureal dengan kemunculan sepasang manusia berkepala galon. Tubuh aktor segera menampilkan diskoneksi dan jalan buntu. Tubuh tari nampak tak cocok dengan teknik kehadiran yang dibangun melalui interaksinya dengan botol-botol. Tubuh “Jerapa homo” ini memakai lagi stilisika tubuh yang memulangkan “act” kepada “gimmick”, atau “kebohongan yang diterima”. Strategi yang sejak mula tampak tak punya tempat. Sebab tak muncul “usaha pembocoran” yang sempat didayagunakan dalam fragmen monolog.

Anatomi Botol menutup pertunjukan dengan mengulang framen pertama secara tak persis, tak penuh. Tubuh dewasa turut hadir dalam infantilitas yang seakan menjadi jurus pelarian. Kata-kata kembali memperoleh kejujuran dan nilai kebenaran melalui praktek kesadaran. Letupan-letupan ini menampilkan kekonyolan yang juga muncul dalam Fermentasi Maling – Teater Angsa. Infantilisme macet total dan menghilang, tepat ketika dari mulut salah seorang aktor menetas kata “pulang”.

Peringatan hari teater sedunia di Jember juga melibatkan beberapa komunitas rupa dan tamu dari luar kota. Diantaranya, live art & black-market oleh Pena Hitam Jember, healing music oleh Xamagata (Majalengka), monolog oleh Yadi Muryadi (Banjarmasin), dan experimental – post rock alternative Jovan Yudistira bersama sejumlah musisi muda Jember. Semenjak hari pertama sampai selesai jawaban yang kutunggu belum juga tiba: mengapa hatedu? Branding ini, agaknya, lumayan senasib dengan cerita pendek Djenar Maesa Ayu dalam pertunjukan Nayla. Tidaklah terlihat upaya “membaca rumah tangga teater Jember” atau “relasi-interaksi antara teater dan yang bukan (atau belum) teater”. Untuk menutup catatan menonton ini, aku ingin mengutip secara utuh, puisi Dendi Madiya yang ia tuliskan untuk turut merayakan hari teater sedunia.

CERBEUS DAN SEORANG SUTRADARA JENIUS
(puisi yang mengandaikan dirinya dihasilkan oleh tangan kepenyairan “R”)
—untuk menyambut Hari Teater Dunia 2017, meski terlambat—
Romeo!
tak cukupkah anjing-anjing itu menggigitmu
hingga dirimu pun berubah menjadi
anjing-anjing gembala dari Jerman
Romeo!
apakah tak ada beda antara
kekejaman dan ketajaman
keindahan dan kesunyian yang beku
Lihat anak kecil itu, Romeo!
tak adakah guna dan makna bagimu
firman teater pertama
“dilarang kau berpentas
bersama anak-anak dan para binatang!”
kau melibasnya habis, Romeo!
“dilarang kau membakar
segala sesuatu di atas panggung
apalagi grand piano itu”
Romeo!
kenapa kau tampil sekadar cameo
gerombolan itu tertunduk lesu
tersesat
perlahan mereka bunuh diri
melalui koreografi
sedang engkau bersembunyi
di balik performance art, Romeo!  
Jean!
teriak pemnajat dinding
pada ketinggian menara istana
ia lemparkan bola basket itu
ke atas panggung
yang ditingkahi dentuman
bebunyian Scot Gibbons
polaroid
penonton menarik kain putih
dengan ujung jari mereka
televisi berjatuhan
dari jendela-jendela menara
pecahannya
hampir mengenai
seorang pelukis pop-art
tanpa isi
tanpa isi
Caludia, Chiara
tanpa ini
dengan dingin
renungan filsafat
yang engkau pentaskan
engkau,
kelompok teater
yang memiliki filsuf
ia memotret penonton
sendiri
di depan VW kodok yang ringsek
ia menyusul bunuh diri
setelah menjadi orang suci
atau disucikan
lewat sebuah gestur
Romeo!
Kau bikin mereka
Menendang dinding-dinding itu

(buat Societas Raffaello Sanzio)

Pager Bumi: Mengurai Paradoksal Memahami Cikal Bakal

Selasa, 4 April 2017| teraSeni.com~

Belakangan ini tegangan hingga konflik antar kelompok kerap terjadi, dan tidak jarang berakhir dengan kekerasan. Pasalnya, mereka berdalih bahwa aturan kelompoknya bertumbukan dengan aturan kelompok lain, sehingga kata damai jauh panggang dari api. Terbetik dari konstelasi yang terjadi, Garin Nugroho berinisiatif membuat sebuah pertunjukan yang nyaman dilihat, tentu dengan pesan yang tidak kalah mendalam. Alih-alih mengambil variabel persoalan dengan wantah, Garin justru membawa unsur tradisi dengan latar belakang awal abad 19. Alhasil Garin mengajak penonton untuk menanggalkan pengetahuan dan mengedepankan pengalaman dalam mengalami cerita yang disusun olehnya.

Pager Bumi, karya Garin Nugroho-teraSeni.com
Pager Bumi, karya Garin Nugroho,
Sebuah gambaran tentang perjalanan manusia Jawa
(Foto: Aji Wartono)

Garin membawa kita pada zaman di mana cikal bakal kelompok dan pengaruhnya baru berkembang. Digambarkan dua pengaruh besar yang berkontestasi, yakni kolonial yang kapitalistik, sehingga perdagangan dan keuntungan menjadi target utama; dan [Garin menyebutnya dengan] ideologi dan agama baru dengan pelbagai cara. Singkat kata, Jawa terasa sangat membingungkan, bercampur baur tanpa kesadaran, hingga pada titik paradoks. Dan naasnya, dengan bangga kita memetik paradoksal tersebut tanpa daya kritis yang menyertainya.

Bertolak dari tatanan itulah, maka atas dukungan Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Garin membuat sebuah pertunjukan bertajuk Pager Bumi: Jalan Sunyi Manusia Jawa. Sebuah pertunjukan lintas disiplin, antara tari, musik, teater, dan beberapa konsep wayang serta film, atau sederhanya dapat ditautkan pada sendratari. Dalam merancang dan menyusun karya, Garin menggandeng beberapa seniman lain untuk berkerja-sama, yakni: Bimo Wiwohatmo pada koreografi, Ong Hari Wahyu pada artistik, Bagus Mazasupa pada musik, dan Retno Damayanti pada kostum.

Sedangkan dalam mewujudkan gagasan tersebut, Garin mengajak Cahwati (vokal) dan Eko Purnomo (musik); tiga penari utama: Nungki Nur Cahyani, Anter Asmorotejo, Anggono Kusumo, serta grup penari yang beranggotakan: Galih, Riana, Dita, Mayong, Ayu, Acintyaswati. Dipertunjukan di Pendhapa Art Space, Yogyakarta pada hari sabtu (25/3), pertunjukan juga dihelat di Brisbane, Australia pada tanggal 1 April. Pergelaran sendratari ini merupakan pertunjukan pertama dari tetralogi yang akan dibuat oleh Garin.

Pager Bumi, karya Garin Nugroho-teraSeni.com
Salah Satu Adegan dalam Pager Bumi, karya Garin Nugroho
(Foto: Aji Wartono)

Kembali pada cerita yang disusun, Pager Bumi ini menceritakan perjalanan sekelompok manusia yang ditujukan untuk mencatat pelbagai perubahan yang terjadi di tanah Jawa. Diwujudkan dengan seorang Ksatria Islam Jawa—dimainkan oleh Anter—, sang Istri—dimainkan oleh Nungki—serta hewan penjaga (baca: anjing)—dimainkan oleh Anggono. Dalam perjalanannya, para pejalan tersebut menemukan pelbagai pagar—baik yang terwujud ataupun nirwujud—untuk pelbagai hal, dan kerap bergesekan. Bertolak dari cerita inilah, Garin membawa penonton berandai-andai guna mengurai parodksal yang kini terasa semakin gamang.

Pager Bumi: Perayaan dan Pertikaian
Bunyi ritmis kendang terdengar mengagetkan dari belakang bangku penonton. Seorang pemusik dengan mengenakan topeng merah memainkan kendang dengan riang memecah keheningan. Berjalan perlahan mengarah ke arena pertunjukan menarik perhatian. Setibanya di arena pertunjukan, ia menghela nafas, menghentikan permainannya. Alih-alih diam, ia justru berteriak lebih lantang “Arak-arakan yo.” Sontak dari sebuah pintu di sisi kanan arena, satu rombongan keluar bergantian. Menyambut panggilan sang pemusik, rombongan yang berjumlah duabelas orang—sembilan penari serta tiga pemusik— turut menari dan bernyanyi membuat suasana semakin gegap gempita.

Seorang perempuan pembuka jalan membawa persembahan, di belakangnya turut disusul oleh sang Ksatria, istri dan hewan penjaga, serta diikuti oleh enam penari berbusana seragam menari dengan riang. Enam penari ini cukup memberikan efek yang ramai, terlebih mereka bergerak dengan menggunakan pecut—lazim digunakan Jaranan—dengan diputar-putarkannya ke segala arah. Belum lagi, Cahwati sang sinden yang seakan membawa persembahan mengisyaratkan adanya arak-arakan. Terbetik dari hal tersebut, arak-arakan dipertunjukan, namun bukan hanya soal ramai yang diciptakan, namun terbetik nuansa perayaan.

Selanjutnya, dialog mulai dibuka oleh sang sinden dengan memperkenalkan diri dan rombongan yang datang sebagai pewarta keliling. Seketika suasana hening, dan para penari mulai berlutut dengan perlahan. Dialog dimulai dengan menarasikan tentang bumi yang gonjang-ganjing, dengan keadaan yang tidak baik-baik saja. Di sela pembicaraan, enam penari yang tengah berlutut mengenakan sebuah penutup kepala ala topi Dolalak. Narasi tadi berhenti pada sebuah terma “arak-arakan”. Kembali seketika mereka menari dan menyanyi dengan semangat menampilkan arak-arakan.

Setelah arak-arakan usai, seorang penari laki-laki—memerankan anjing—berjalan perlahan menuju ke arah depan arena, ia mulai berkelakar bahwa dirinya adalah sang Pager Bumi yang siap menjaga dari pelbagai halang rintang. Laki-laki tersebut pun mulai berucap sambil menuju para enam penari tadi. Turut menggoda sambil menerangkan atas kejadian yang terjadi. Setelahnya mereka kembali menari, namun di satu saat semua penari terhenyak, sementara laki-laki tadi masih terus menari. Mulai tersadar ia berucap “lah kok mandeg!”. Lantas mereka kembali menari.

Kembali pada dialog, istri dari ksatria [diperankan oleh Nungki] mulai berdialog dengan nada lirih menyangangkan pelbagai keadaan, dan mengenang beragam peristiwa. Ia berbalik badan dengan memunggungi penonton, membuka perlahan pakaian yang dikenakan, hingga kemben tersisa. Sang istri mendekati sang Ksatria dan membuka perlahan bajunya. Seketika ia mulai kembali menari. Perempuan menari dengan tenang hingga mempercepat gerak namun ritmik. Sedangkan sang Ksatria bergerak dengan gagah nan agresif. Sementara enam penari lainnya melepas topi disisipi sesekali dengan kosagerak tari.

Sang Ksatria berkelakar “Iki Jaman Opo!” dengan nada yang marah, dinaungi kendang dengan ritmik yang semakin cepat. Setelahnya ia kembali disambut dengan arak-mengarak. Berbeda dengan sebelumnya, enam penari lainnya kini menari dengan kipas. Sedangkan penari yang memerankan anjing mengambil sikap gerak layaknya raksasa (baca: buto). Di sisi yang berbeda ksatria dan istri berjalan perlahan ke arah belakang panggung. Mereka perlahan menggenakan topeng jawa, sedangkan sang istri turut berambut tangkai padi kering—gabah. Sedangkan sang hewan turut berganti wajah dengan topeng yang lain, sehingga ia bergerak layaknya manusia, tidak seperti sebelumnya, menyerupai anjing.

Pager Bumi, karya Garin Nugroho-teraSeni.com
Ksatria Islam Jawa dan sang Istri
dalam Pager Bumi, karya Garin Nugroho
(Foto: Aji Wartono)

Alunan musik terasa lebih tenang, mereka menari dengan perlahan, gerakan tari—mengacu ke alusan—dan terasa ajeg. Ksatria dan istri menari halus dalam gerakan yang serupa dan serentak, disertai dengan gerak serempak dari para penari. Di sisi kiri mereka, sang hewan peliharaan yang telah berubah rupa menari dengan liar membuat kontras pertunjukan semakin jelas. Tidak hanya itu, sang ksatria turut bertikai dengannya. Beragam gerak perkelahian yang distilisasi, bergulingan, hingga saling berjatuhan satu sama lain divisualkan. Berkenaan dengan adegan ini, ksatria merapal kata layaknya mantra. Adegan ini sangat simbolis atas pertikaian dua kelompok tanpa akhir, yang terjadi hanya karena berbeda nilai acuan. Seraya terusik satu sama lain. Dengan adegan pertikaian, kesan chaos tersemat ke benak penonton.

Di akhir pertikaian, sang ksatria berkelakar “duh Gusti, kenapa seperti ini.” Datang menyambangi sang Istri mendatangi merapal keluh menyayangkan peristiwa. Perkelahian tak kunjung usai, sang istri ksatria mendatangi mereka untuk melerainya. Perlahan sang ksatria mendekati sang laki-laki tadi, menarik topeng dari wajah tanpa rupa walau terasa sulit. Perlahan terlepas, mereka mulai tersadar satu sama lain. Nuansa sekamin harmonis ketika para penari mulai bernyanyi lirih dan menari secara bersamaan. Di tengah tarian, sang ksatria berkelakar bahwa perlu ditegakkan pager jiwa dengan pager bumi jawa [di malam itu, seakan semesta menyambut, petir terdengar menggelegar]. Lalu mereka—tiga penari tadi—berlutut dan menyembah, sedangkan enam penari perempuan lainnya menembakan peluru ke udara. Samar-samar lampu padam, tanda telah usai pertunjukan.

Memagari dengan Toleransi
Pada awalnya pertunjukan terasa membingungkan, terlalu banyak arak-arakanan, terlalu banyak perayaan, dan terlalu banyak kemeriahan. Seraya terus mencari apa yang ingin dikatakan dari pertunjukan sendratari tersebut ketika pertunjukan berjalan. Namun kesan yang didapatkan seakan berbeda ketika menyaksikannya hingga usai pertunjukan. Di mana arak-arakan telah menjadi penanda atas sebuah peristiwa, mulai dari arak-arakan penyambutan, arak-arakan perlawanan, arak-arakan modernisasi, arak-arakan penaklukan, arak-arakan nilai baru, hingga arak-arakan pematokan tanah-tanah industri pertanian baru.
 
Dalam hal ini, secara tersurat arak-arakan dapat dimaknai sebagai penanda perayaan atas penerimaan akan hal baru, sedangkan secara tersirat kita dapat mendapatkan nilai ‘kejawaan’ justru dari arak-arakan. Mengapa demikian? Pasalnya, Garin tidak secara jelas meletakan berada di mana letak kejawaan yang dimaksud, terlebih jika melihat susunan penampil yang berbeda asal. Tentu pilihan tersebut dapat ditafsir-ganda (multi-interpretation), dengan dimaknai sebagai perjalanan, dan juga dapat dimaknai sebagai petanda akan jawa yang bergelimang pengaruh hingga berliput paradoks.

Pager Bumi, karya Garin Nugroho-teraSeni.com
Para pemusik dalam Pager Bumi, karya Garin Nugroho
(Foto: Aji Wartono)

Secara lebih lanjut, Garin turut memberikan gambaran jawa yang berbeda. Jawa alternatif. Jawa yang tidak merujuk kekuasaan adiluhung tertentu, namun tetap terasa jawa dengan adanya arak-arakan dan beragam kosagerak tari. Hal ini pun diamini oleh sang koreografer, Bimo Wiwohatmo, bahwa gagasan utama dari pertunjukan ini adalah bedoyo, namun perkembangan cerita gerak tidak menempatkannya lagi pada bedoyo atau bedayan, melaikan Pager Bumi itu sendiri. Alhasil dalam gerak tari pun, gerak-gerak tarian Jawa tetap menginspirasi para penari untuk bergerak walau tanpa pola lantai dan pola gerak yang telah terpakem.

Dalam arti, Garin berkerjasama dengan Bimo Wiwohatmo membebaskan pakem gerak mereka ke sebuah gaya tarian rakyat yang lebih bebas. Dalam pola lantai pun, Bimo akhirnya merujuk pada pola simpingan pada wayang, dan mempertemukan antara satu penari dengan penari lainnya di tengah layaknya di depan sebuah kelir. Sedangkan pada kemampuan penampil, tidak perlu meragukan Cahwati dalam olah suara, nuansa jawa sangat erat terasa, dan alunan musik olahan Bagus juga cukup baik mengiringi. Dan dalam kepenarian, Anter dan Nungki bermain dengan cukup cakap, sedangkan Anggono lebih menyita perhatian. Jika bicara enam penari lainnya, [walau tidak semua] basik kepenarian tari klasik dari para penari tetap terasa, sehingga kurang terasa lepas ketika bergerak ala tari rakyat, dolalak. Pun tidak dipungkiri keenam penari bermain dengan cukup apik dalam porsi dan kesinergisannya dalam karya.

Tidak hanya itu, dalam karya Pager Bumi ini, Garin dkk turut mengandalkan pelbagai permainan simbol. Mulai yang terwujud, antara lain: pecut, topeng, kacamata, kipas, pistol, gabah, dan properti lainnya, hingga yang nirwujud, antara lain: gerak-gerak yang tersusun dalam pertunjukannya. Permainan simbol tersebut sekiranya dapat memberikan tanda adanya perayaan, persembahan, perebutan, hingga penyesalan. Dan simbol tersebut terasa saling menyulam satu sama lain benang merah pertunjukan yakni: Cipta lawang karsa kawujud saka Bumi Jawa.

Bertolak dari itu semua, kendati pertunjukan terasa sangat ramai, semoga para penonton dapat menyadari pesan yang ingin disampaikan, bahwa masyarakat jawa perlu melakukan jalan sunyinya untuk mengenali diri dengan kejawaannya, bukan dengan pelbagai hal baru yang memekakkan mata dan terkadang tanpa makna. Sulit sekiranya, namun perlu rasanya dicoba untuk masyarakat kita yang semakin lapar kuasa.[]

Dalam Nikmat Puisi “Gigi Palsu”: Pengalaman Membaca Puisi Riki Dhamparan Putra “Mencari Kubur Baridin”

Sabtu, 1 April 2017 | teraSeni.com~

Tulisan berikut  ditulis oleh Bambang Q Anees, seorang penyair dan penulis buku filsafat untuk anak muda, yang bekerja sebagai Pengajar filsafat di UIN Sunan Gunung Jati Bandung. Tulisan ini dibuat sebagai Pengantar untuk sebuah Diskusi dalam Peluncuran Buku Kumpulan Puisi berjudul Mencari Kubur Baridin, karangan Riki Damparan Putra. Mengingat sudut pandang serta gaya penulisannya yang khas, Redaksi teraSeni menerbitkannnya kembali untuk pembaca. Semoga bermanfaat. 


Saya sungguh tak mengenal Riki Dhamparan Putra. Juga puisinya, karena saya sudah lama tak membaca puisi. Semacam tirakat telah lama saya lakukan, menjauhi puisi bila ia masih dituliskan sebagai kata-kata saja, atau serumpun gagasan yang dibubuhi saus metafora dengan banyak taburan rima.

Puisi, dalam pahamku yang sederhana, seharusnya lebih dari kata-kata saja. Bila hanya barisan kata-kata, iklan lebih pintar memintal kata-kata. Bila serumpun gagasan, politisi ahlinya –dengan sesekali menampilkan hasil statistik hitung cepat. Puisi lebih dari itu.
Apakah iman itu terlalu berlebihan? Mungkin tidak!

Mencari Kubur Baridin, Riki Damparan Putra-teraSeni.com
Mencari Kubur Baridin,  Buku Kumpulan Puisi
yang merangkum 55 karya puisi Riki Damparan Putra
yang diciptakan tahun 2004 hingga 2014,
diterbitkan oleh Penerbit AKAR, Yogyakarta, 2014

Riki Dhamparan Putra, paling tidak telah menghidupkannya. Ia berpuisi tidak dengan menuliskan dirinya melulu, biasanya tentang kisah cinta atau rasa sunyi yang dianggap perlu dikasihani orang lain. Ia bermain-main, seperti kucing yang begitu asyik mengejar ekornya yang oleh entah siapa digantungi plastik. Begitu asyik, berputar-putar, menghadirkan kata dengan kesegaran baru. Lihatlah puisi yang dijadikan pengisi cover belakang buku ini:

“kepadaMu yang memiliki semuanya
Berilah sajakku jalan
Biarlah ia mengepul serupa sup hangat di meja makan
Ia ingin menjadi bagian dari keluarga.
Menjadi nenek, menjadi burung kakak tua.
Sajakku ingin tertawa
ia ingin bahagia dengan gigi palsu
yang telah lama menggigitnya”

Bait ini terambil dari puisi berjudul “Memasak Daging Kurban”. Sebuah puisi yang mengisahkan kesakralan ritual menyembelih sapi atau kambing untuk dibagikan pada seluruh umat manusia. Daging itu dimakan, menjadi bagian dari manusia – sang khalifah Allah. “Hanya melalui manusialah aku bisa menyatu dengan Tuhan” demikian ucap kacang polong dalam sajak Rumi ketika tukang masak menanyai keriangannya di tengah didih air kuah sayuran. Ya, daging-daging kurban itu akan menyatu dengan manusia, lalu melalui manusia, sapi atau kambing itu akan bermuka-muka dengan Tuhan, begitu ujar Rumi.

Riki menafsir dengan forma serupa. Tentu penyair tak cukup kaya untuk berkurban, ia hanya punya puisi. Puisilah hartanya, binatang ternaknya, tunggangannya ke surga, maka puisilah yang harus dikurbankan. Hari ini aku membaringkan sajak – sajakku /di antara hewan kurban /Sajak – sajak manis dan sedih /Sajak – sajak yang pilih kasih. /Aku menjagalnya. Dengan ridha Tuhan…Dan sesudah itu Riki berdoa agar sajaknya diberi “jalan”, “kesempatan””, memohon ampunan dan diterima dalam ketuaan usianya, “menjadi nikmat”, “menjadi berkat”.

Dalam doanya ini, sajak mengembara menjadi segala sesuatu: dari yang profan (“sekadar menjadi bagian dari gigi palsu yang telah lama menggigit nenek”) sampai yang sakral. Sajak itu dibiarkan pergi dan akan kembali seperti Nabi Musa (Biarlah aku dikembalikan/ serupa sungai-sungai mengembalikan bayi-bayi), menjadi bagian  dari kisah Nabi Yusuf (…ke sumur dalam di tengah hutan/yang didasarnya seorang bocah nyaris beku) dan Nabi Yunus, meronta seperti Ismail, dan kemudian:

Kalau di sini suara hujan masih tersedu
Kalau di sini bumi masih merintih untuk melahirkan
Seorang yatim piatu
Biarlah sajakku menjadi ayah ibu

Riki begitu leluasa bermain-main, tanpa harus menjadi mantra atau rentetan bunyi yang melenting-lenting seperti bola pantul. Seperti bola pantul yang ringan, kata disajikan begitu saja seperti sebuah canda: ia ingin bahagia dengan gigi palsu/ yang telah lama menggigitnya. Gigi berfungsi untuk menggigi(t), namun justru pada baris-baris ini gigilah yang digigit. Hahaha entah apa yang terbangun antara sajak dan gigi palsu dalam imajinasi Riki:

Kalau gigi palsu nenek dicabut
Sajakku  akan ompong
Lebih baik biarkan
Toh gigi juga
Toh ia telah banyak membantuku
untuk mengunyah banyak jenis makanan
(Gigi Palsu)

Sajak mungkin sejenis mulut ketika ia sudah tua, yang tetap membutuhkan “pengganjal” seperti “gigi palsu” agar ia terus berfungsi. Tapi apakah “gigi palsu” itu bagi “mulut” sajak?

Beberapa Canda Yang Lain
Bait ini merupakan akhir dari puisi “Ikan Asin”, tentang peleburan “air dengan garam”, air kecil dengan air sungai, atau samudera, atau menguap jadi hujan.

O kata
O duka
Tolonglah aku berakhir dari rahasia
yang tak perlu ini
(“Ikan Asin”)

Puisi ini mengingatkan kisah sufi tentang boneka garam yang menanyakan asal-usulnya pada lautan, lalu lautan menyerunya untuk masuk. Boneka itu masuk dan badannya berkurang digerus air. Tapi ia masih juga bertanya ihwal siapa dirinya, diminta masuk lagi. Ia terus bertanya, sampai ia berbentuk sebutir garam saja. Dan lautan terus menyerunya masuk, sampai tak ada tanya lagi dari garam itu. Riki menulis” Seperti ikan asin/ Di tubuhku  mungkin terlalu banyak garam/jadi gampang larut di air/padahal musuhku bukan air/…”

Pada puisi “Cerita-cerita dari Padang Gembala”, Riki bermain-main dengan tembang yang konon karya Sunan Kalijogo “Ilir-ilir”, ia juga memainkan kisah pisang di antara kura-kura dan monyet pada “Kisah-kisah di Kebun Pisang”. Di Bali ia mengalami Hari Nyepi. Itu pun dimainkannya: Nyepi itu orang asing di Ubud (”Memasak Ubud di hari Nyepi”), ia pun menuliskan upacara Ngaben dengan jenaka:

kata kerja seusai ngaben
buang abu
bawa pulang abu
cuci tangan dengan air mumbang
mandi jangan lupa

itu untuk buang sial
agar kartu – kartu di meja tidak mati
di tangan kita
(“Belajar Bahasa Indonesia di Hari Ngaben”)

Ngaben yang sakral itu dari mata Riki jadi sesuatu yang berbeda. Ia dipenuhi benda-benda yang tidak lagi sebagaimana adanya: mati-matian orang menyelenggarakan upacara kematian ini, iba-ibaan (kenapa?) mungkinkah kata sifat dari ngaben adalah pesta, maka tak ada iba yang sebenarnya, cuma iba-ibaan yang ada.  Ngaben meminta peserta untuk melakukan (kata) kerja: buang abu dan mandi, agar hidup lebih beruntung dan mujur seperti kartu-kartu (saat judi) tidak mati di tangan kita.

Riki tak hendak menertawakan upacara sakral, ia lebih tepat sedang menertawakan dirinya. Ia merefleksi apa yang ditemukannya, dengan apa yang dialami jiwanya secara jujur. Nyepi yang 24 jam bergelap-gelapan, baginya keriuhan menyiapkan makanan dan orang asing. Saat ia menaiki tangga candi (mungkin Borobudur) yang dipenuhi “mitos” bahwa semakin ke atas akan ditemukan pencerahan bermuka-muka dengan Yang Sakral, ia menulis Apakah yang aku tau/Bahkan di ruang yang paling hening aku/ tak dapat mendengarmu (“Menapak Tangga Candi”).

Pada peristiwa lain, Riki menunjukkan kejujurannya di hadapan Tuan Ma (nama bagi Bunda Maria di Larantuka).

Bukan sekali ini aku bertemu airmata
Bukan sekali ini aku tertegun mendengar igau
para pendoa
Tapi milikmu membuatku buta
Serupa palung tersembunyi
Tenagamu menjelma arus yang menyeretku
ke pulau – pulau penuh hantu

Pengalaman religiousitas Riki terbaca pada pertemuan dengan Patung Bunda Maria ini, ia menemukan dirinya fana (rapuh) di hadapan Bunda Maria, sebab:seorang lelaki bukanlah siapa-siapa//seperti juga diriku/memerlukan ibu untuk bisa mengenal/ huruf mengenal nama/ benda-benda (“Tuan Ma”).

Di Mana Bumi Dipijak Di situ Langit Dipuisikan
Ada kesan yang tertangkap pada sebagian besar puisi bahwa Riki begitu menikmati perjalananya. Ia yang mengembara ke banyak tempat, tak cuma sampai ke Bali, ia juga pernah mengembara sampai ke Indonesia Timur. Semua daerah yang diinjaknya menjadi bahan dasar bagi puisinya, tak hanya eksotisme pemandangan namun juga dongeng mitos daerah itu. Jadilah puisi-puisi yang mengandung sejumlah alam dan dongeng dari “langit” yang berbeda-beda.
Alam terbentang bukan sekedar pemandangan, namun pengajaran.

Aku ingin kau mengerti betapa panorama yang hijau ini
Tak ubahnya penipu di mataku
(“Cerita Bodoh”)

Ia bertemu Lorojongrang, bertemu Baridin dan Suratminah di Cirebon, bertemu Dirah di Bali – di samping Nyepi, Ngaben, pemahat dan patungnya, dan kota: sebuah tiang kilometer berdebar/seperti musuh menunggu musuh (“Di Sebuah Tiang Kilometer”). Di Yogya ia bertemu Ida (mungkin Ida dari puisi Chairil), Engku Marijan, Pak Suryanto. Di NTT ia bertemu dengan Uis Pah dan Pah Nitu, di Tasikmalaya ia bertemu Acep Zamzam Noor yang sibuk memelihara ikan. Semua tempat dikunjungi dan langit dijunjungnya:

Sebab begitulah aku belajar
Terbiasa menerima
Umpama kapal
Tak lama-lama di dermaga
(“Selat Solor”)

Kemudian Jakarta, penyair ini menemukan dunia yang berbeda. Tak ada alam yang sungainya mengalirkan jalan ke surga, Jakarta tak menyiapkan gantungan bagi penumpang yang yang terpaksa berdiri dalam buskota, dan kata-kata ikut payah berhening/penyair pun tak punya waktu untuk terus merasa asing(“Bus Dingin”), Jakarta adalah “petilasan monyet”: di mana monyet-monyet tumbuh dan bertempur/ untuk menjadi cerita sehari-hari yang tak bermakna// ia tak mengatakan apa-apa/ aku tak mengatakan apa-apa (“Petilasan Seekor Monyet”)

Puisi Hanya Ihwal Alamat
Apakah puisi bagi Riki?  Tak perduli betul apa jawabannya. Yang penting ada kenikmatkan baru dalam membacanya. Bahasa Minang yang indah, bercampur dengan cara doa teman-teman Nasrani,diselingi  dengan deskripsi situasi dan peristiwa yang lincah dan nakal, sudah cukup memberikan jawaban ihwal keapaan puisi. Riki seperti tak peduli betul pada maksud, pada teleologis dari puisi. Ia hanya meniti kata-kata saja, sesekali dapat makna sangatlah mungkin, kerapkali hanya bertemu suasana, itu pun tak apa.

Mungkin cerita sedang mencari benangnya sendiri
..
Lantaran kisah ini bukan lagi tentang manusia
Tapi tentang alamat
(“Cerita Petang”)

Alamat apakah? Mungkin alamat itu adalah : sebuah pondokan/tabuh bedug dan salawat/ menjaga kampung/ dari kepunahan (“Dari Serambi”). Mungkin juga alamat yang membuat kita tak lupa pada laut, alamat yang mengundang kita ke pesta: semua itu agar kau senang/bersenang-senang/ selamanya (“Lamahala”).

Jika penyair mati
Laut ini akan dilupa bersamanya
Misal pun punah
Isyarat tak terbaca
Sedang pulau pulau yang terik
akan tampak seperti kuburan matahari
yang terapung di tengah
gelombang buta

Jadi apakah “gigi palsu” bagi mulut sajak?  Mungkin “gigi palsu” itu adalah kisah mitos dan masa lalu dari nenek. Puisi harus terus menjadi bagian dari kisah, mitos, dongeng yang berserakan di langit pulau-pulau negeri ini. Dan Riki terus menyebarkan “gigi plasu” itu pada sejumlah besar puisinya. Kini kita tahu, “gigi palsu” itu memang penting agar nenek tetap digigit dan bisa menggigit. Terimakasih Riki!