oleh teraseni | Agu 2, 2017 | Uncategorized
Rabu, 2 Agustus 2017 | teraSeni.com~
Semenjak Fahrul Huda menghibahkan rumah gadangnya guna mengembangkan seni budaya bagi anak kemenakannya, rumah gadang pasukuan Pitopang itu memainkan fungsinya yang baru: ruang belajar. Anak-anak dari berbagai latar belakang, jenis kelamin dan kisaran umur mulai berdatangan. Di sana, mereka boleh melakukan apa yang mereka bisa dan maui. Menari, menggambar, menyanyi, memukuli talempong, membuat puisi. Semua itu mereka lakukan di sela-sela sekolah yang kini telah menjadi suatu kewajiban formal yang melelahkan dan telah menjadi demikian menghimpit serta menyita masa kanak-kanak mereka.
Awalnya rumah gadang itu adalah rumah bagi Komunitas Lembah Harau, komunitas seni budaya yang didirikan masyarakat Lembah Harau, yang diketuai oleh Fahrul Huda sendiri. Kini, komunitas itu bertambah luas dengan adanya Ruang Belajar Bintang Harau dan berinduk pada Yayasan Bintang Kidul, Yogyakarta—sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan alternatif di luar sekolah formal dengan konsentrasi pada kesenian, olahraga khususnya badminton, serta sains. Anak Yayasan Bintang Kidul tersebar di 5 kota di Indonesia yaitu di Pati, Jogjakarta, Bekasi, Padang, dan Lembah Harau Lima Puluh Kota.
 |
Penampilan Tari Pasambahan oleh Anak-Anak Bintang Harau dalam Pembukaan Ruang Belajar mereka (Foto: Roni Putra) |
Semua terjadi setelah selesainya Pasa Harau Art & Culture Festival pertama, sekitar setahun yang lewat. Sedikit banyak, festival itu telah membawa suatu kesadaran dan rasa butuh akan seni budaya dalam masyarakat Harau. Benih-benih yang telah ditanaman oleh Komunitas Lembah Harau, menemukan persemaiannya yang baru.
Penulis sendiri adalah salah seorang penyelenggara Pasa Harau Art & Culture Festival serta salah satu volunteer awal yang menginisiasi Ruang Belajar Bintang Harau. Ruang Belajar Bintang Harau diinisiasi berdasarkan pengamatan terhadap dua soal, pertama soal pendidikan, dan kedua soal kesenian, maka penulis sebut saja pendidikan kesenian.
Pertama, Pendidikan kesenian kita hari ini seolah tidak mendapat perhatian yang proporsional, pendidikan seni masih dianggap kurang penting bila dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Pengajaran kesenian di sekolah hanya (nampak) sibuk ketika sekolah itu mengikuti perlombaan-perlombaan seni budaya tertentu, setelah perlombaan usai maka kesenian di sekolah kembali sepi seperti lekuk ditinggal air. Kedua, kesenian tradisi kita, yang melulu hidup diantara konvensi dan modernisasi: antara ketakutan akan kehilangan nilai-nilai yang tradisional di satu sisi, dengan keharusan yang tradisional dalam merespon perkembangan teknologi informasi/modernisasi yang tidak terbendung di sisi lainnya.
Maka berdirilah Ruang Belajar Bintang Harau, yang berlokasi di Lembah Harau, Kanagarian Harau, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Ruang Belajar Bintang Harau bertujuan untuk menciptakan ruang berproses untuk menggali potensi anak-anak dengan membebaskan hasrat kreativitas keluar sekehendak hati mereka, dan dengan semangat tradisi, kemudian meramunya dalam sebuah struktur yang dinamakan kesenian, baik itu tari, musik, gambar, puisi, dan teater.
 |
Suasana Pertunjukan malam hari dalam Pembukaan Ruang Belajar Bintang Harau (Foto: Roni Putra) |
Setelah berproses latihan selama lebih kurang 7-8 bulanan, barangkali ada sebagian masyarakat Harau yang bertanya-tanya apa pula yang diperbuat oleh anak-anak dengan menyanyi dan menari di dalam sebuah rumah gadang saban sore hari? Sekiranya sudah selayaknya pula diberitakan kepada masyarakat apa yang telah mereka lakukan di ruang Rumah Gadang yang tak lagi ditinggali itu. Dan bertepatan dengan Hari Anak Nasional, Minggu 23 Juli 2017, dengan tajuk “Pendidikan Alternatif Sebagai Ruang Menimbun Pengalaman Bagi Anak-Anak Kreatif” Ruang Belajar Bintang Harau diresmikan beserta perpustakaan dan lapangan badmintonnya dengan menggelar pentas seni yang berisi pertunjukan tari, musik, drama, puisi, pantomime, pemutaran film, pameran foto, serta menggambar bersama dengan media triplek sepanjang 6,6 meter persegi.
Peresmian tersebut dihadiri oleh direktur Yayasan Bintang kidul Jogjakarta, konsultan Yayasan Bintang Kidul, serta jaringan Yayasan Bintang Kidul yang tergabung dalam jaringan Solibad (Solidaritas Badminton) Internasional. Para tamu disambut dengan Tari Pasambahan, para penari yang terdiri dari puluhan anak-anak Bintang Harau.Malam harinya, selesai sholat isya, penonton yang terdiri dari masayarakat, para orang tua dari anak-anak Bintang Harau, berdatangan memadati area pertunjukan (lapangan badminton) yang telah disulap sedemikian rupa. Instalasi lampu-lampu menerangi area, lampion-lampion yang dibuat dari songkok ayam yang dililit dengan kertas minyak dan digantungkan pada tripod yang dibuat dari bambu, disebar di area.
Pada Jam 20.30, rangkaian acara dilanjutkan, agak molor dari jadwal yang sudah ditetapkan dalam rundown. Pertunjukan dibuka oleh penampilan pantomime dari Sekolah Dasar Raudhatul Jannah Kota Payakumbuh. Pantomime yang dilakoni oleh Ibnu Zhafran Yakub dan Bagas Syah Perdana ini membawa warna tersendiri, pertunjukan dengan ciri khas make up yang serupa topeng itu diminati oleh penonton, sesekali gelak tawa buncah ketika mereka berhasil menebak dan menangkap adegan-adegan yang diperankan oleh pelakon.
 |
Permainan Talempong dan Gendang oleh Anak-Anak Ruang Belajar Bintang Harau (Foto: Roni Putra) |
Tepuk tangan riuh bercampur haru terdengar setelah anak-anak Bintang Harau membawakan lagu ciptaan mereka, lagu yang dibawakan dengan aransemen sederhana menggunakan alat musik pianika dan gitar akustik. Walau sederhana secara musikal, lagu ini muncul dari hasil olah pikir mereka sendiri atas alam yang menampakkan diri: lembah, sarasah, dan bukit batu, serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat Harau. Hingga petang menjelang bapak turun ke ladang//sementara para ibu menjerang rindu// kanak-kanak berlari tebing-tebing menari//senja pulang pada ibu dalam dekap rindu. Mereka seolah menyanyi mengiringi langkah orang tua mereka mendaki bukit memanen kerinduan.
Penonton yang hadir selanjutnya menyaksikan pertunjukan musik dan tari dari sanggar Puti Ambang Bulan dari jorong Sikabu Tanjung Haro Padang Panjang Kecamatan Luak, Kab. 50 kota. 4 orang anak masuk membawa kayu serupa stik, mendekati gendang yang tingginya hampir sama dengan mereka, meski masih kanak-kanak mereka tampak begitu tangguh. Adrenalin mereka terpacu mengikuti pola ritmis perkusi gendang yang mereka pukul, tampak kepala mereka mengangguk-angguk sesuai ritma gendang. Pola demi pola dimainkan, sesekali dimainkan dengan rampak.
Setelah memainkan komposisi perkusi kemudian mereka pindah ke instrumen talempong yang sudah disusun serupa ansamble. Ada talempong yang digunakan untuk melodi, ada yang hanya memainkan akord. Penonton bertepuk tangan mengikuti irama talempong. Tak lama kemudian para penari masuk, mereka menarikan kegembiraan kanak-kanak yang riang. Beranda Rumah Gadang dimanfaatkan untuk memamerkan beberapa foto proses kreatif anak-anak Harau, juga foto-foto masyarakat yang sedang memanen hasil sawah ladang, foto ibu-ibu yang sedang duduk didepan rumah bersama anak-anak mereka, foto anak-anak bermain layang-layang.
Dua film diputar malam itu dan sebuah video klip kreasi anak-anak Bintang Harau. Film pertama berjudul Bajuang, sebuah film produksi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta yang diproduksi di tahun 2014 yang berlokasi di Harau. Film ini menceritakan bagaimana perjuangan hidup Hasan dan ibunya setelah bapaknya meninggal dunia. Penghasilan ibunya sebagai ibu rumah tangga yang tidak seberapa tidak sanggup lagi membiayai sekolah Hasan, hingga Hasan tidak lagi bisa melanjutkan sekolahnya. Hasan, yang mewarisi keterampilan almarhum bapaknya dalam pacu itiak, permainan rakyat khas Kab 50 Kota, pada akhirnya bisa melanjutkan sekolahnya setelah itik kesayangannya yang diberi nama Buyung, yang dilatihnya sekuat tenaga, berhasil memenangkan perlombaan pacu itiak.
 |
Penampilan Pantomime Oleh Salah Seorang Anak Ruang Belajar Bintang Harau (Foto: Roni Putra) |
Film kedua berjudul Sekolah Bintang. Film yang diproduksi oleh Yayasan Bintang Kidul ini menceritakan bagaimana kehidupan Kampung Lapak (kampung pemulung di Bekasi). Anak-anak di Kampung Lapak hidup sehari-hari dengan sampah, rumah mereka seolah dibangun dari tumpukan-tumpukan sampah. Menjelang subuh mereka sudah bangkit dari tidur, memakai atribut pemulung, menyandang karung goni serta besi yang ujungnya berpengait lalu mulai berdinas, membolak-balik sampah sekiranya ada sesuatu yang bisa dijadikan uang untuk penyambung hidup.
Meskipun mereka terpisah dari kehidupan kampung lainnya, Kampung Lapak mempunyai tata kehidupan sendiri, mereka mempunyai sekolah sendiri yaitu sekolah lapak, sekolah tempat berbagi rasa, berbagi nasib, juga punya kegiatan olah raga berupa futsal, badminton, sehabis memulung sampah-sampah mereka berangkat sekolah (sekolah lapak), sorenya mereka berolahraga.
Moment yang paling mengharukan malam itu barangkali adalah ketika pemutaran video klip Bintang Harau. Lagu yang dibuat dari puisi penyair Payakumbuh Iyut Fitra yang berjudul Orang Lembah dengan musik yang diaransemen oleh Ruang Kreatif La Paloma itu menjadi hits setelah videonya diproduksi oleh anak-anak muda kreatif kota Payakumbuh, Payakumbuh ArtSpace.
Di sini, penulis bisa melihat, para orang tua—yang sehari-hari sibuk bekerja—yang ikut menonton, seketika terenyuh begitu melihat anak-anak mereka berada dalam frame video yang diputarkan pada screen sebesar 3×4 meter sambil bernyanyi, bermain di pematang sawah, menyapa petani di sawah dan ladang, memperlihatkan alam Harau. Entah bagaimana, video itu seperti mengingatkan kembali akan senyum anak-anak mereka yang sering luput atau keceriaan remeh pematang sawah yang mampu membuat dua atau tiga air mata meleleh tanpa disadari. Sebelum ditutup dengan penampilan karya drama tari Gadis Harau, ada diantaranya penampilan beberapa reportoar tari dari anak-anak Bintang Harau, seperti Tari Panen, Tari Malapuak Niru, dan Tari Nirmala yang geraknya adalah hasil kreasi mereka sendiri.
Pada penghujung acara, sebuah drama tari dengan koreografer muda kota Payakumbuh Andi Porong, ditampilkan. Tari yang terdiri dari 3 bagian ini menceritakan masa kanak-kanak dengan para penari anak-anak ditandai dengan permainan-permainan masa kecil anak-anak, kemudian masa remaja yang ditandai dengan lonjakan puberitas, serta masa kedewasaan dimana gadis Harau mulai merenungkan kedirian mereka: apakah akan menjadi perempuan yang terkurung oleh lembah sarasah sebagai simbol tradisi atau memilih rantau sebagai simbol modernisasi, lalu dimana mereka akan menempatkan diri diantara keduanya.
 |
Penampilan Tari oleh Anak-Anak Ruang Belajar Bintang Harau (Foto: Roni Putra) |
Secara keseluruhan pertunjukan yang dihadirkan tentu sangat berkesan bagi semua penonton yang hadir malam itu. Diantara para orang tua tidak menyangka bahwasanya anak kemenakan mereka yang biasa malu-malu ternyata punya potensi besar dalam hal pengembangan diri melalui proses kreatif kesenian. Mereka mulai menyadari bahwa mereka punya generasi kreatif yang akan membangkit gairah seni yang selama ini terkubur dalam di Nagari Harau, anak kemenakan yang akan kembali menyemarakkan kampung nagari Harau dengan ekspresi kultural berupa permainan-permainan dan kreativitas-kreativita kesenian.
Satu hal yang dirasa mengganggu pada malam itu hanyalah soal penampilan luar saja. Di hampir semua reportoar, anak-anak menggunakan make up sangat berlebihan sehingga kesan anak-anaknya hilang dan mereka tampak seperti orang dewasa. Di luar itu semua, persoalan tetek bengek pertunjukan lainnya seperti lighting, blocking panggung, garis panggung antara penonton dan performer, penonton yang dilarang makan dan minum, atau ukuran-ukuran adiluhung lainnya bukanlah sesuatu yang menjadi persoalan di sini, karena mereka, penonton dan performer, hanya sama-sama ingin mengungkapkan ekspresi kehidupan, ekspresi pengalaman-pengalaman kreatif, sehingga kesenian menjadi penting sebagai media mempertemukan berbagai persoalan dalam masyarakat secara damai.
oleh teraseni | Jul 27, 2017 | Uncategorized
Kamis, 27 Juli 2017 | teraSeni.com~
“Sejauh mengenal lengger, saya seperti punya agama tersendiri. Ketika berdandan selayaknya perempuan, menari di hadapan penonton, itulah surga nyata yang saya rasakan.”
Ia mengenal tari dari panggung dangdut, kelas tiga SD—dan tak lama setelahnya berhasil menjuarai joget agustusan. Beranjak kelas empat, gerak Jawa Klasik mulai menertibkan tubuh egaliternya. Cerita pun segera berulang: Otniel kecil menjuarai tari gagahan tunggal tingkat kecamatan. Ketika menempuh kepenarian di SMKI Banyumas, meskipun sering bolos sekolah, ia sudah menari di Jakarta untuk perayaan Hari Baca Buku Sedunia. Pada bulan-bulan tertentu, Otniel remaja memang kerap kebanjiran job menari cucuk lampah; dari satu hajatan manten ke hajatan manten lainnya, dari satu kampung ke kampung lainnya, dari satu pelosok gunung ke pelosok gunung lainnya. “Sampai bosan,” selorohnya. Tapi ia senang menyaksikan dirinya bisa menjadi seorang remaja berpenghasilan. Secara halus, Otniel menolak kalau dikatakan gemar membolos. “Jaraknya jauh. Lagi pula, kelas sering kosong. Muridnya cuma delapan orang. Gurunya banyak yang sudah sepuh. Gimana lagi, satu-satunya SMKI (yang saat itu) berstatus swasta dari delapan SMKI yang ada di seluruh dunia.” Ia tertawa.
Semulai belia, Otniel dikenal multi talenta dan punya ketenaran. Selain menari, ia juga pandai menggambar, nembang macapat, bermain piano dan suling. Tapi sejak menyentuh gerak Jawa Klasik—meskipun pada akhirnya tak berselera dengan aura ke-adiluhung-an khas keraton raja-raja, ia merasa jiwanya hidup dari dan untuk tari. Bahkan, ketika masih SMP, telah ada bayangan ISI Surakarta di dalam benakya. Otniel remaja telah paham dan orang-orang di sekitarnya turut menyaksikan: anak muda yang ditinggal minggat bapaknya ketika masih berusia tiga tahun itu, kelak, akan menjadi penari kondang. Yang banyak orang tidak tahu: sang ibu, sebenarnya, ingin menyaksikan anak terkecilnya tersebut dewasa sebagai seorang pastur.
 |
Otniel Tasman,
Koreografer Tari Kontemporer
yang terinspirasi oleh Lengger Banyumasan
(Sumber Foto:
https://europalia.eu/files/image/
Otniel_Tasman__Arief_Budianto.jpg) |
Otniel Tasman, lahir tahun 1989, di desa Kedunguter yang tergolong sepi dari kesenian lengger. Ia tumbuh tanpa figur bapak dalam keluarga Kristiani yang religius. Tapi kakak lelaki tertuanya menjadi sosok pengganti yang, tentu saja, tak sepenuhnya berhasil memulihkan sebentuk nganga dalam dirinya. Sang ibu adalah seorang single parent untuk empat anak dan harus menanggung biaya kebutuhan hidup mereka dengan jerih payah. “Jadi, ya, kelimpungan,” kenang Otniel. Ia sangat mencintai perempuan itu, meskipun sempat ngambek tiga minggu karena tidak mendapat restu mendaftar sekolah di SMKI Banyumas (kini SMKN 3). Sikap keras kepala ini, di kemudian hari, memboyong bakatnya menuju jurusan tari ISI Surakarta dan panggung-panggung prestisius di Indonesia. Bahkan, pada usia yang relatif muda, ia telah mencicipi residensi seniman dan tour seni pertunjukan ke sejumlah negara.
Otniel remaja bergaul dalam dialeg panginyongan. Tapi “sejarah resistensi Banyumasan” dan “spiritualitas tlatah Jawa ngapak” mulai disadarinya, atau menjadi kesadaran baru, ketika ia sudah indekos di Solo—melalui sebuah peristiwa yang mungkin, bagi sebagian orang, tampak sepele: sebuah perkenalan dengan seseorang. Di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta, dalam acara Festival Kesenian Rakyat 2011, kali pertama ia bertatap mata dengan Dariah. Sosok yang agaknya, bagi Otniel, mewarisi sebuah persona untuk kerinduan manusia modern akan mitos. “Kharismatik,” kenangnya. “Selayaknya perempuan yang memang terlahir sebagai perempuan. Anggun, di usianya sekarang, yang telah di penjelang satu abad.”
Ada kekaguman yang dalam dan rasa percaya yang penuh, ketika disampaikannya kesaksian itu. Keakraban mulai terjalin selepas perjumpaan pertama mereka. Tapi Otniel yang dikenal periang, baru berani mencandai Dariah lima tahun kemudian. “Mbah, kamu ini sebenarnya laki-laki apa perempuan?” ujarnya. Spontan, dengan raut wajah yang mendadak tegang, sosok lengger lanang tersebut mengutarakan jawaban mengejutkan, “Wani piro?”. Sejak percakapan inilah, “inyong” dalam biografi bahasa Otniel, ia yakini sebagai “indhang” bagi karya-karya koreografinya. Di atas panggung, tubuh-tubuh yang ditampilkannya seakan-akan berkata, “Inyong saiki ngindhangi Mbok Dariah!” Tapi dalam kehidupan sehari-hari: Otniel Tasman adalah Otniel Tasman.
Dari sanalah, “ruh resistensi” yang sebelumnya tidak Otniel miliki, sedikit demi sedikit, mulai ia mengerti dan selanjutnya memberi sejenis “jurus negosiasi” untuk keterbelahan tubuhnya; antara dangdut, lengger, dan beyoncé. Ia mulai membaca kampung halamannya sebagai ladang kreatif yang terbuka dan terluka—oleh kolonialisme maupun penaklukan Mataram Islam. Ia menyimpan angan kuat mementaskan riwayat hidup Dariah. Seakan sedang meramu obat untuk memulihkan semacam kegugupan dan kegagapan, tradisi yang ramah dan rapuh itu, agar ia terkoneksi dengan modernitas dalam sebentuk pernyikapan-penyikapan yang rileks.
Semirip Otniel, Dariah mengadopsi figur bapak dari kakeknya semenjak berusia lima tahun. Ia terlahir sebagai bayi laki-laki di desa Somakaton, kecamatan Somagede, tak lama setelah meletus peristiwa Sumpah Pemuda. Dariah, yang memiliki nama kecil Sadam ini, tumbuh dalam situasi ekonomi keluarga yang jauh dari cukup. Dalam bayangannya, dengan menjadi seorang lengger, ia bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Sadam memang memperlihatkan ketertarikan pada kesenian lengger semulai bocah dan gemar rengeng-rengeng (bernyanyi dengan suara lirih) dalam aktivitas sehari-harinya. Tapi menjadi pelengger tidaklah seremeh menjadi artis sinetron di masa sekarang. Piawai dalam menari dan nembang, cumalah prasyarat teknis. Lebih dari itu, untuk memperoleh semacam “babtis kultural,” ada pengorbanan yang mesti ditanggung, yakni: hidup secara penuh-utuh sebagai sosok perempuan. Menjadi seorang pelengger, seperti memilih “sebuah via dolorosa,” dengan janji kesendirian pasti, pula relasi pertalikasihan yang terancam runyam.
Sadam kecil pergi ke berbagai tempat agar dirinya punya kesanggupan menjadi seorang lengger. Di tengah kecemasan dan perenungannya akan ketidakberuntungan nasib itu, sebuah panggilan gaib datang kemudian mengubah segalanya: bermula dari perjumpaannya dengan Kaki Danabau, (seorang musafir) yang mengatakan kepadanya, bahwa kelak, ia akan menjadi seorang pelengger yang masyur—pada suatu malam, Sadam mendengar “tuntunan aneh”. Ia mengikuti panggilan itu, berjalan menempuh jarak tak kurang dari 40 kilometer, tanpa tahu ke mana dan kapan suara tersebut akan memberi isyarat berhenti untuk langka kakinya. Tapi kemudian ia tahu: suara itu mengantarnya kepada makam Panembahan Ronggeng, di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang. Seusai pengalaman eksistensial inilah, Sadam mengganti namanya menjadi Dariah, sekaligus meresmikan dirinya sendiri sebagai lengger lanang—yang, 70 tahun kemudian, menjadi yang terakhir.
Keluarga menyambut tekad Sadam untuk menjadi pelengger dengan kerelaan, pun masyarakat. Orang-orang tak hanya memberinya restu, bahkan juga kekaguman dan rasa hormat. Karirnya yang memula di masa penjajahan Jepang, cepat melesat. Pada tahun 1945, ia telah memperoleh popularitas, telah diperebutkan banyak laki-laki; sedari yang “muda-bujang” sampai yang “jago-kapuk.” Kenyataan tersebut membuat masyarakat segera percaya, bahwa Dariah adalah tubuh yang “ketiban indhang”. Kepopuleran itulah, yang pada gilirannya, mengilhami Otniel untuk mementaskan persembahan karya tari berjudul Lengger Laut. Satu nomor produksi yang juga membuatnya memperoleh jangkauan antusiasme lebih luas dan memulangkan namanya sebagai salah seorang “putra Banyumas” yang punya sumbangsih—memicu kembali ramainya kesenian lengger. Di desa Otniel tinggal, pertunjukan lengger terakhir kali digelar tahun 1994.
Otniel, sebenarnya tak sekali pun tampil sebagai sosok perempuan di atas panggung di kampung halamannya. Semulai SD sampai SMA, ia selalu tampil sebagai penari laki-laki. Diceritakannya: tahun 2016 ia diminta mengisi acara agustusan di desanya, karena tetangga-tetangganya tahu, ia sudah melanglang buana ke mana-mana. “Terus saya putuskan menari lengger di depan mereka, untuk kali pertama. Setelah bertahun-tahun lamanya tak ada pertunjukan lengger,” ungkap laki-laki yang tengah menyiapkan studi masternya itu. “Yang membuat saya deg-deg-an, ekspresi mereka ketika menonton saya yang berdandan perempuan. Dan yang paling spesial: saya menari di hadapan ibu dan keluarga.”
Dalam pementasan itu, Otniel mendengar iringan musik seperti membangkitkan keringat dinginnya. Tapi ia mencoba iklas, berserah diri, menjauh dari semacam paranoia. Saat tubuhnya mulai menari, ia perhatikan satu per satu mata para penonton. “Mereka senyum-senyum,” ujarnya. “Dua kali saya amati mata dan senyum-senyum itu, sebelum merasa pasti bahwa mereka tak melihat saya dengan tatapan yang aneh, jijik, atau apalah yang terkesan negatif. Saya pun masih melihat rasa senang, bahagia, pada raut wajah mereka. Jadi, ya, make sure sajalah. Bahkan ketika turun panggung, mereka minta foto bareng dan berkata, tahun depan lagi ya, Niel. Rasanya senang sekali. Sejauh ini, perayaan agustusan tersebut menjadi salah satu momen terindah dalam karir kepenarian saya.”
Pengalaman tersebut memberi kelegaan tersendiri bagi Otniel dan semakin memantapkan konsep kesenimanan yang diusungnya. Selain, tentu saja: Lengger Laut—yang mendapat sambutan amat baik dari beragam kalangan dan berkesempatan tampil di banyak panggung prestisius. Di bulan Oktober nanti, tiga tahun setelah pementasan pertamanya, karya masterpiece itu dipastikan turut ambil bagian dalam gelaran (bienale) Europalia Festival 2017 yang memilih Indonesia sebagai tamu kehormatan. Indonesia menjadi yang pertama dari kawasan Asia Tenggara.
Lengger Laut, sebenarnya karya yang tertunda. Ketika angan itu datang, Otniel tak punya cukup uang untuk biaya penelitian dan tampilan pertunjukan yang ia bayangkan. Namun di tahun 2013, suatu kebetulan di Ancol – Jakarta, memberinya langkah alternatif. Tanpa sengaja, dijumpainya serombongan pengamen lengger asal Banyumas. Ia pun merasa terpanggil. “Miris,” keluhnya. Enam bulan kemudian, penceritaan yang berkembang melalui serangkaian riset sekaligus ziarah sejarah ini, tampil terolah di Teater Kecil ISI Surakarta—berjudul: Barangan. Dalam prosesnya, untuk sebentuk totalitas, Otniel sempat ikut ngamen di Malioboro bersama mereka, dan sempat mengalami pengusiran di situ.
Barangan adalah karya pertamanya yang secara khusus mengangkat tematik lengger Banyumas. Menurut pengakuan Otniel, pertunjukan yang diproduksinya untuk tugas akhir perkuliahan itu, mendapat sambutan sangat baik dari penonton. Segar dan berisi. Penggarapan karya tari yang, oleh sejumlah dosen dijadikan rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir lainnya tersebut, menjauh dari instrumentasi koreografis yang melulu menyandarkan estetika kepada komposisi gerak. Suatu tampilan yang cukup tipikal bagi produksi karya tari di lingkup pergaulan kreatif ISI Surakarta. Barangan menyaji napas yang lebih antropologis, dengan sentuhan dramatik yang komplit, gestur etnisitasnya egaliter, tanpa kehilangan corak morak kontemporer yang representif menampilkan sejenis kepiawaian akademis. Namun yang paling berharga dari semua itu adalah ini: jalan yang semakin terbuka untuk kemudahan mengakses dana demi “memboyong Dariah” ke atas pentas.
 |
Barangan,
Salah Satu koreografi karya Otniel Tasman
(Sumber Foto:
https://i.ytimg.com/vi/
OZmgNdS-LCw/maxresdefault.jpg) |
Bagi Otniel sendiri, jalur penting untuk memasuki narasi-narasi lisan kampung halamannya lebih dalam lagi adalah Dariah. Simpulan itu mulai dipahaminya ketika, pada tahun 2009, ia berjumpa Suprapto Suryodarmo. Salah seorang sesepuh dunia tari yang disegani itu menaruh ketertarikan khusus pada ketubuhan Otniel. Agustus 2016, Mbah Prapto melibatkannya sebagai salah satu penari untuk gelaran Srawung Candi Sakral di Goa Selomangleng, Kediri. Seusai pertunjukan bertajuk Lingga Kadewatan Mandala Selomangleng yang menampilkan “ritus penghayatan” atas sosok yang diambil dari Ardhanariswari, setelah melihat langsung dan menyentuh arca sebentuk patung itu, Otniel semakin yakin dengan “lelaku eksistensial” yang dalam falsafah Jawa terkenal dalam sebutan “nyawiji”.
Arca Andhanariswari merupakan persembahan sekaligus penjelmaan untuk Kertanegara, sosok maharaja kerajaan Singhasari yang dianggap berhasil mewujudkan rwa-binedha Siwa-Buddha sebagai “Sang Hyang Tunggal” ketika masa pemerintahannya. Hibriditas Ketuhanan ini menjadi bekal, cikal bakal, toleransi antar umat beragama yang memuncak di masa kerajaan Majapahit. Dalam kemewujudannya, patung itu berbentuk acyntia: setengah laki-laki (ardha: Bhatara Siwa) dan setengah perempuan (nari: Dewi Parwati)—dan dipahami sebagai kedua-duanya, tapi juga sekaligus bukan kedua-duanya. Bersifat ana-tan-hana, “keberadaan yang tiada” dan “ketiadaan yang ada”. Melalui perkenalannya dengan Ardhanariswari, Otniel kian mendekat dan semakin mengerti, bahwa sosok Dariah merupakan representasi kuat dan tepat atas metode mengolah diri (nyawiji), yang kini jarang dipercaya dan ditinggalkan banyak orang itu.
Sebab itulah, sebenarnya, Otniel agak tak nyaman apabila karyanya dianggap menitik-beratkan wacana (kesetaraan) gender. Menurutnya, “Melampaui itu.” Gagasan nyawiji merupakan sebuah proses, penghayatan hidup yang panjang, dan enggan mencukupkan antusiasme pada persoalan keberterimaan lingkungan sosial tertentu atas kedirian tertentu. Nyawiji merambah kebahagiaan melalui pokok-pokok pergulatan eksistensial yang tak hanya serius, tapi juga berlangsung terus-menerus. Pembacaan “jati diri yang tumbuh dari dalam” memang sudah semestinya tak berkenan menajami identitas tunggal, melainkan justru mengembalikannya kepada abstraksi; mendorong tapal batas ke tepi yang lebih luas untuk menjangkau sebentuk kebersamaan yang lebih leluasa. Bukan malah menebalkan atau menghapusnya. Sebuah resistensi dengan cara yang tak resisten. “Mungkin seperti Octopus, tubuh fluid yang meruang,” ujar Otniel. “Tapi yang sebenarnya lebih tepat: kelahiran baru.”
Seperti merawat pohon, ada keteduhan yang ditempuh untuk menampik kecurigaan masyarakat akan suatu bahaya kehadiran liyan. Tentu saja, bukan belaka soal orientasi seksual dan ekspresi indentitas arkaik, yang seringkali menjebak diri, dengan tampilan dan argumentasi politis yang agresif. Bagi Otniel, penyikapan semacam itu seharusnya sudah berlalu. Sebab dunia tradisi telah menyediakan cara-cara yang mutualistik. Berbagi ruang berarti datang melalui jalan negosiasi, tanpa resiko kehilangan “indeks-eksistenial”. Bhabha, seorang pakar poskolonial, menyebut jalan itu menuju “ruang ketiga”: ke-ber-antara-an, hibriditas diri. Kata Otniel, “Selarasnya kehidupan panggung dan sehari-hari. Yang terpenting, masyarakat di sekitar tidak resisten.”
“Nyawiji” adalah tentang mengolah keterbelahan. Kemeleburan indentitas yang bermula dari identifikasi diri oleh diri sendiri. Mungkin, mirip falsafah “manunggaling kawula gusti” dalam terapan antara diri dan diri yang lain. Dalam prosedural lelakunya, tentu berlangsung mondar-mandir, antara interioritas dan eksterioritas, antara apa yang disebut dengan jagad cilik dan jagad gedhe. Otniel sebenarnya mengadaptasi style resistensi ala Jawa ngapak. Penyikapan semacam ini telah ia tampilkan dengan lugas dalam salah satu karya tarinya yang merupakan fragmentasi kehidupan Dariah: No-She-He-Or-It. Bagi koreografer muda yang pernah mempertanyakan “konsep kesenimanan” Eko Supriyanto ini, kesaksian untuk Dariah taklah mencukupi apabila dipadatkan dalam satu judul penggarapan. No-She-He-Or-It merupakan yang ketiga, setelah Lengger Laut dan Penantian Dariah.
Lengger Laut merangkum biografi Dariah dalam sebentuk salutasi. Otniel memilih laut sebagai metafor untuk sang legenda lengger lanang. Kehadirannya adalah mata yang menatap dari luar. “Dalam perjalanan riset, saya melewati laut dan berhenti sejenak di sana. Dari kejauhan, laut itu (seperti Dariah): cemerlang. Ketika didekati, mung banyu (cuma air).” Ia tambahkan, “Ombak yang tampak indah, kadang dianggap membahayakan.” Ikonisasi Dariah memang membuatnya menjadi narasi megah. Tapi kesederhanaan dan keberartiannya dalam kehidupan sehari-hari yang seibarat air, “mung banyu”, kerap tak terlihat, tak dilihat. Lengger Laut merupakan “kronologi kehadiran” sosok Dariah pada tatapan publik; secara artistik lebih menguatkan tampilan arkaik lengger—juga dialog tubuh antara persepsi Otniel atas Dariah dan persepsi Otniel atas lengger itu sendiri. Sedangkan sisi tak terjamah Dariah yang seumpama air, “mung banyu”, merupakan kehadiran dari mata yang menatap dari dalam. Tatapan ini terpresentasi pada fragmentasi kedua: Penantian Dariah.
Popularitas yang dulu Dariah miliki tidak hanya mendatangkan suatu kemelimpahan, tapi juga menjadikannya objek dari tatapan negatif dan niat picik; memang tak mendapatkan antusiasme. Perihal penari lengger lain yang meredup di masa kejayaan itu, yang cenderung menaruh sinistik tertentu terhadap Dariah—meskipun mereka telah tahu, kesejatian seorang laut adalah jiwa yang berombak; memang tak mendapatkan antusiasme. Sejumlah laki-laki yang datang sukarela pada kekosongan hati Dariah, karena rasa penasaran, tak sedikit yang sekadar memberi harapan palsu atau merasa tak mendapat puas, lantas begitu saja meninggalkannya—setelah tahu: sebetapa pun mempesonanya Dariah, ia tetaplah seorang berkelamin laki-laki, atau seusai “percikan finansial” tak lagi cukup memberi basah; memang tak mendapatkan antusiasme. Dari narasi diri semacam itulah, Penantian Dariah memula.
 |
Lengger Laut,
Karya koreografi Otniel Tasman yang lain
(Sumber Foto:
http://salihara.org/sites/default/files/
18529885926_7ea687c8f4_h%20copy.jpg) |
Dalam fragmentasi kedua tersebut, Otniel menyaji “peristiwa menunggu” sebagai satu aktivitas sadar yang religius, filosofis. Ada kecemasan yang ditampilkan secara repetitif; bongkar-pasang brongsong gelung (wig hairstyle khas Jawa), kemben (kain khusus buat menutup dada), ngeliting (menyiapkan rokok secara manual), nginang (mengunyah selembar daun sirih, campuran kapur, biji pinang, dll)—untuk memperlihatkan “realisme magis” di bilik kamar, ketika Dariah bersiap menuju pentas. Juga adegan onani yang mengenapi pernyataan mengharukan atas sisi “manusia biasa” dalam diri seorang lengger lanang. Variasi raut wajah dan tubuh yang terus terdesak dan terpental ke sana ke mari menciptakan ritmik kesedihan berotot yang tertahan dalam semacam wadag. Penantian Dariah, mungkin sebuah melankoli yang asin dan biru. Sehampar rasa sabar yang luas untuk arus kepastian atau ketidakpastian yang misterius di kedalaman. Waktu seolah terus remaja dan berbisik kepada Dariah, “Ada yang akan tiba, entah apa, entah siapa.”
Lewat Penantian Dariah, Otniel seperti menggelar ruang percakapan antara “jagad cilik Dariah” dan “semesta Sang Pencipta”. Sebagaimana dirinya, ketika menjelang pentas dan teringat sosok religiuasitas ibunya. “Kalau soal itu, (relasi filosofis antara kehadirannya sebagai perempuan di atas panggung dan nilai-nilai Kristiani yang terlanjur dianutnya) terus saya gunjingkan dengan diri sendiri,” ungkap laki-laki yang kini bertindik dan mengecat rambutnya dengan warna pirang itu. Ditambahkannya, “Sejauh mengenal lengger, saya seperti punya agama tersendiri. Ketika berdandan selayaknya perempuan, menari di hadapan penonton, itulah surga nyata yang saya rasakan. Saya selalu meminta restu kepada Gusti Pangeran sebelum berpentas, atas apa yang saya jalani. Kalau mengingat-ingat hal itu, ya saya agak mbrebes mili (airmata yang mengalir mendahului kata-kata).” Dari pengakuan tersebut, sifatnya yang kocak, seakan-akan tak pernah ia miliki.
Bagi Otniel, jelajah kreatifnya atas Dariah adalah perjalanan untuk kesenimanan yang tak melulu mendambakan sorot kamera dan gemuruh tepuk tangan. Diakuinya, “Saya merasa seperti sedang menginvestigasi tubuh saya sendiri; menyadari proses apa saja yang telah saya lalui bersamanya, menemukan narasi-narasi baru, yang menjadi inspirasi dalam mengeksplorasi gerak untuk karya-karya tari saya selanjutnya.” Dari sosok Dariah, Otniel merasa menemukan cara jitu untuk terus bergerak maju menuju arena kontestasi identitas dalam ruang kultural yang telah terlajur modern, rasional, sekaligus chaotik. Tradisi Banyumas memberinya, “seblaka sesutane”—yakni semacam saran filosofis agar diri tampil sewajarnya, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Selaras antara apa yang bergumam dalam hati dan kata yang terucap lewat mulut. “Lengger itu tubuh yang sederhana,” ujarnya. “Lebih populis, lebih jujur. Tergerak dari sebuah pandangan dan bergerak untuk sebuah pandangan.”
Otniel, seperti indhang lengger yang berpetualang ke dunia baru untuk merasuki paham dan cara pandang orang, terhadap keterbelahan tubuh. Pula cara pandang diri sendiri dalam mengolah dan mengelolanya. “Nyawiji” serupa Dariah—yang meskipun di atas dipan tidurnya mungkin masih rebah sebuah kesepian yang kian tua, tapi di kaki teras selembar lantai tempatnya melatih bocah-bocah menari, ia tetap riang berbagi lirik-lirik pangkur bersama tetangga-tetangga yang nampak menyayanginya; melafalkan gegendingan lawas yang, ketika masa kejayaaan dan mudanya dulu, sanggup ia senandungkan dengan syahdu. Kini lidahnya gampang keseleo dan ingatannya kerap melorot menjangkau sejumlah pengucapan kata. Tapi tekad untuk terus menari, mengingat siapa dirinya dalam gerak lengger yang memberinya bahagia, belumlah rontok. Meskipun waktu telah dipenuhi uban dan pohon-pohon terlihat kian abu-abu. Dari kejauhan, suara mereka tidak jarang memperdengarkan tawa lepas, seperti juga tawa lepas Otniel yang pernah menggema di dinding-dinding sebuah area parkir.
September 2016, Jakarta adalah kepanikan di bawah mendung tebal. Suhu yang pengap, mesin-mesin mobil yang bergantian menyala, datang dan meninggalkan, kemudian terdengar redam dan udara terasa sedikit sejuk. Hujan menderas. Panorama gedung-gedung jangkung mulai memudar dalam derainya. Di smoking area yang cukup kumuh dan terlempar itu, di lantai sepuluh Grand Indonesia yang berwibawa, Otniel menyaksikan hujan seolah-olah sedang menyaksikan uap laut setelah matahari membakarnya. Dari mulutnya, asap rokok berkepulan dan percakapan semakin tipis. Dalam kesyahduan ekspresi alam, sesekali, tatapan matanya beralih: membidik mata orang lain yang sedang membidiknya.” Tatapan yang beralih itu, serupa sebuah pintu yang terbuka dari dalam.[]
oleh teraseni | Jun 29, 2017 | Uncategorized
Kamis, 29 Juni 2017 | teraSeni.com~
Dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, jarang dibicarakan oleh masyarakat luas. Khususnya dalam konteks hubungan saling menguntungkan yang dapat dibangun antara perguruan tinggi dan daerah, serta masyarakat, di sekitarnya. Tulisan ini merupakan sebuah usaha untuk melihat kemungkinan yang dapat dilakukan untuk mewujudkan harapan tersebut. Perhatian saya fokuskan pada keberadaan program master atau pascasarjana dalam bidang kebudayaan yang ada di beberapa perguruan tinggi di Sumatera Barat.
 |
Sketsa berjudul
“Anjungan Sumatera Barat
di Taman Mini Indonesia Indah,”
karya Body Dharma
(Sumber:
http://bodydharmasketsaindonesia.blogspot.co.id) |
Dalam sebuah diskusi yang cukup panjang di sebuah grup media sosial, banyak pandangan tentang keberadaan dan bertambah banyaknya program-program pascasarjana dalam bidang budaya di Sumatera Barat. Sebuah kenyataan yang harus disambut dengan suka cita, karena semakin banyak mahasiswa, pemikir, penelitian, dan karya-karya dalam bidang budaya di daerah ini. Produksi intelektual yang berlimpah tentu akan sangat membantu untuk mengatasi masalah-masalah social budaya, atau setidaknya menjadi bahan pertimbangan dalam program-program kebudayaan.
Bagi pemerintah dan masyarakat Sumatera Barat, keberadaan program-program pascasarjana ini tentu menjadi sumber baru dalam mengenal dan memahami kekayaan kebudayaan. Mau tidak mau, akan bertambah penelitian mengenai kebudayaan. Sebuah ranah pengetahuan yang menjadi kekuatan besar dalam sejarah intelektual di provinsi ini. Seperti yang telah ditunjukkan oleh para sastrawan, intelektual, jurnalis, politikus, ulama, diplomat, seniman, dan lainnya yang lahir dari daerah ini.
Harapan besar ini tentu saja akan menemukan wujudnya jika perguruan tinggi memiliki hubungan dialogis dan saling menguntungkan dengan pihak luar kampus. Proses pendidikan yang terjadi di dalam kampus harus membawa persoalan-persoalan dalam masyarakat. Tidak cukup dengan program formal seperti pengabdian masyarakat atau penelitian, namun yang lebih penting, menurut saya, dalam hal ini adalah publikasi, luaran hasil-hasil program tersebut. Publikasi dapat menjadi jembatan antara perguruan tinggi dengan masyarakat, dan jika memungkinkan dengan pihak ketiga yang akan menggunakan hasil-hasil penelitian.
Saya mencermati program pascasarjana karena pada tingkatan ini para pembelajar berhadapan dengan persoalan dan juga dikenalkan dengan kemampuan teoritis maupun metodologis untuk memecahkannya. Selama ini, produksi wacana, ilmu pengetahuan, dan proses pembelajaran di perguruan tinggi masih sangat terbatas sekali diakses oleh publik. Yang banyak menggunakannya, meskipun juga dalam jumblah yang masih belum banyak, adalah industri, lembaga pemerintah, dan juga lulusan yang menjadi tenaga ahli atau tenaga kerja yang mencerminkan hasil proses yang ada. Padahal, poros utama dari semua itu adalah perguruan tinggi yang harus memiliki pusat dokumentasi, perpustakaan, dan publikasi yang dapat menyediakan seluruh rekaman capaiannya untuk diakses.
Program-program pascasarjana dalam bidang kebudayaan, yang menjadi perhatian saya, di Sumatera Barat sudah cukup banyak. Di Universitas Andalas, beberapa fakultas memiliki program monodisiplin seperti di FISIP (sosiologi dan antropologi), FHUKUM (ilmu hukum), FIB (sastra, linguistik, kajian budaya, dan sejarah). Sementara di UNP terdapat beberapa kajian ilmu dengan basis pendidikan. Di UIN Imam Bonjol juga telah ada beberapa program studi, khususnya dengan pendekatan keagamaan yang sangat diperlukan di Sumatera Barat. Studi kajian dan penciptaan seni di ISI Padangpanjang turut melengkapi kebutuhan pada kajian-kajian kebudayaan. Beberapa program studi yang berbasis multi disiplin juga telah ada, misalnya kajian wilayah atau sosial ekonomi pedesaan.
Dari gambaran sederhana mengenai persebaran dan keberagaman program-program pascasarjana di atas, tantangan besarnya adalah bagaimana membuat sebuah atau beberapa program yang dapat memaksimalkan peran penting perguruan tinggi, khususnya program studi magister dalam bidang kebudayaan, bagi masyarakat atau daerah. Dari diskusi yang telah berlangsung di sebuah grup yang disinggung di awal tulisan ini, setidaknya ada dua hal penting yang dapat dilakukan. Pertama adalah adanya pertemuan ilmiah reguler. Dalam pertemuan reguler ini mahasiswa dan dosen dari berbagai perguruan tinggi dan prodi di atas dapat menyampaikan hasil-hasil kajian, berbagi pandangan atas kasus-kasus penting, hingga masukan-masukan yang berarti dalam penelitian yang sedang dilakukan. Bisa jadi kegiatan seperti ini dapat dinaungi oleh sebuah konsorsium bidang ilmu dan pemerintah daerah.
Hasil-hasil dari pertemuan ilmiah reguler ini dapat diteruskan pada kegiatan kedua, yaitu penerbitan jurnal atau majalah akademis. Jurnal atau majalah akademik ini dapat membantu ketersebaran hasil-hasil kajian atau penelitian, yang dapat membantu masyarakat luas untuk memahami kebudayaan dan segala kekayaan budayanya. Hanya dengan cara yang reguler dan terus menerus seperti inilah kita dapat membangun kesadaran akan pentingnya kebudayaan. Namun patut disadari, usulan program seperti ini akan membawa kerja pada kondisi yang sunyi, meskipun penting. Karena itu, alas utamanya adalah kesadaran untuk membangun kebudayaan dalam waktu yang lama, membutuhkan kesabaran, tidak populer, dan kadang ancaman masalah pendanaan.
Saya kira, masyarakat, dan bila mungkin pemerintah, Sumatera Barat memerlukan program seperti ini. Dan saya juga mengira para pengelola program studi pascasarjana yang saya singgung di atas akan dapat mempertimbangkan usulan ini. Kalau sudah ada perhatian dan pemahaman yang sama, langkah selanjutnya saya kira, lagi-lagi, akan semakin ringan untuk ditempuh.
Demi kedjajaan kebudajaan.
oleh teraseni | Jun 9, 2017 | Uncategorized
Jumat,9 Juni 2017 | teraSeni.com~
Zaenal Arifin adalah seorang pelukis kelahiran Bandung, 12 April 1955. Kehidupan Arifin sebagian besar dihabiskannya di Sumatera Utara. Arifin pernah menempuh pendidikan sarjananya pada program studi Seni Rupa Murni di STSRI ASRI Yogyakarta. Sampai saat ini Arifin masih rutin berkarya dan mengikuti beberapa pameran yang di selenggarakan di Indonesia maupun di luar negeri. Pameran bertajuk “Laku” (Laku diambil dari kata lakune (Jawa), perilaku, atau tingkah laku) ini merupakan wujud eksistensi Arifin sebagai seorang seniman, bukan semata-mata hanya untuk mencari ketenaran dalam hidup melainkan bagaimana Arifin mampu memindahkan nilai-nilai dan perilaku-perilaku positif yang disampaikannya dalam pameran “Laku” melalui sentuhan artistik ke dalam lukisannya yang Ia sebut sebagai lukisan ‘realis surealis.’
Pada pameran yang bertajuk Laku ini, Arifin menampilkan 25 karya lukis. Lukisan ini sebagian besar di buat dengan menggunakan cat akrilik dan mix media di atas kanvas berukuran ± 100 cm – 200 cm. Arifin memilih tembok sebagai latarbelakang karya di setiap lukisannya yang merupakan cerminan perubahan bagi Arifin. Tembok bisa dikatakan sebagai benda yang memisahkan antara ruang dan waktu. Tembok sebagian besar terbuat dari beberapa material pendukung seperti bata (tanah liat), batako, adonan semen dan lain-lain. Layaknya sebuah kehidupan di dunia ini, tembok dijadikan sebagai simbol peradaban umat manusia, simbol perubahan-perubahan yang terjadi di dunia ini, simbol tempat bercermin diri, introspeksi diri, simbol perjalanan hidup dan pengembaraan hidup manusia. Tembok juga bisa dikatakan sebagai pembatas, pelindung, dan merupakan salah satu elemen penyusun sebuah ruang atau gedung. Tentu dalam setiap penggembaraan hidup di dunia akan selalu mengalami perubahan diri karena dipengaruhi banyak hal bisa dari faktor sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik dari sebuah negara. Berikut ini akan dibahas tiga lukisan yang cukup merepresentasikan tema “Laku” yang hendak disampaikan Arifin kepada apresiannya.
 |
Gambar 1: Zaenal Arifin, Wajah Tua pada Tembok
Mix media di atas
kanvas, 175 cm × 195 cm, 2016
(Dokumentasi pribadi, 13 April 2017)
|
Karya Zaenal Arifin di atas merupakan karya lukis dengan ukuran 175 cm × 195 cm yang dibuat dengan menggunakan mixed media tahun 2016. Karya lukis ini diberi judul “wajah tua pada tembok”. Lukisan ini adalah gambaran mengenai potret dirinya di masa depan. Arifin meletakkan potret dirinya di bagian paling depan Art room Tahunmas, ini tentu menjadi hal yang sangat simbolik karena ketika pengunjung datang, hal pertama yang dilihat adalah lukisan potret diri Arifin. Dalam karya lukis ini digambarkan sosok Arifin berambut panjang, berkumis, dan berjenggot panjang. Kedua bola mata tajam menatap ke depan dilengkapi dengan kerut wajah menandakan umur kulit yang semakin tua. Potret diri ini bisa dikatakan sebagai lukisan hitam putih. Walaupun potret diri ini digambarkan secara tidak utuh oleh Arifin, bagi saya ini sudah cukup mewakili kesan, pesan, dan makna yang hendak disampaikan Arifin kepada khalayak umum.
Menariknya adalah hampir di setiap karya lukis yang Ia buat, Arifin selalu menuliskan kata-kata yang dapat menjadi ruh guna menghantarkan ikatan batin antara sang seniman, aura karya lukis, dan penikmat. Pada potret diri ini, Arifin menuliskan kata “Next” tepat di atas dahinya. Next (bahasa Inggris) yang berarti selanjutnya, yang berikutnya. Bisa dikatakan Arifin ingin menunjukkan dan mengatakan bahwa inilah Aku yaitu seseorang yang masih mempunyai tujuan hidup, Aku yang selalu akan berbenah diri untuk mencapai dan meraih angan-anganku, Aku yang akan selalu bersabar, bercermin diri, tetap bijaksana dalam mengambil keputusan disetiap dan sekecil apapun langkahku ke depan sebab Aku sudah banyak merasakan betapa pahitnya hidup ini, dentuman, dan sakitnya pengalaman hidup ini. Pertanyaannya adalah mengapa tembok dijadikan latarbelakang di setiap karya lukisnya kali ini? Tentu ini sangat menarik untuk ditafsirkan.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lalunya itu, akhirnya Ia menyadari bahwa begitu banyak anugerah dan hikmah yang bisa dipetik. Tuhan tidak pernah diam dan tidur. Aku hanya manusia yang sama dengan manusia lain yang selalu mengalami perubahan. Muncul pertanyaan lagi disini, perubahan seperti apakah yang dimaksud Arifin?. Tembok merupakan cerminan perubahan bagi Arifin. Tembok bisa dikatakan sebagai benda yang memisahkan antara ruang dan waktu. Tembok sebagian besar terbuat dari beberapa material pendukung seperti bata (tanah liat), batako, adonan semen dan lain-lain. Layaknya sebuah kehidupan dalam dunia ini, tembok dijadikan simbol peradaban umat manusia, tembok dijadikan sebagai simbol saksi bisu perubahan-perubahan apapun yang terjadi di dunia ini, tembok dijadikan sebagai simbol tempat bercermin diri, intropeksi diri, tembok dijadikan sebagai simbol perjalanan hidup atau pengembaraan hidup manusia. Tembok juga bisa dikatakan sebagai pembatas, pelindung, dan merupakan salah satu elemen penyusun sebuah ruang atau gedung. Tentu dalam setiap penggembaraan hidup di dunia akan selalu mengalami perubahan diri karena dipengaruhi banyak hal bisa faktor sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik dari sebuah negara.
Saya menangkap bahwa Arifin mempunyai konsep besar yang Ia rancang dan siapkan sedari lama. Bagi penikmat yang tidak secara seksama memperhatikan setiap lukisan ini pasti akan susah dan sukar untuk menerjemahkan apa sebenarnya yang hendak Arifin sampaikan. Korelasi antara potret diri dan tembok inilah yang dijadikan Arifin sebagai dualitas dalam hidup. Ada rasa senang dan sedih, ada siang dan malam, ada perubahan baik dan buruk, ada sesuatu yang ditinggalkan dan akan ada proses yang selalu berkelanjutan, ada ruang dan waktu, ada masa lalu dan ada masa sekarang, ada kontekstualisasi yang berlaku dulu dan sekarang. Secara tegas Arifin memilih warna primer seperti biru dan merah (cenderung tua) yang dijadikan alat untuk menyuarakan rasa dalam menyematkan setiap intuisi, ilusi, dan pesan sang seniman kepada pembaca. Arifin mencoba mendekonstruksi bahwa tidak selamanya warna primer dianggap sebagai warna mentah. Baginya justru yang sederhana, mentah, atau warna dasar (warna primer) sejatinya mempunyai power relation yang sangat kuat dan dahsyat yang dijadikan konduktor untuk menghantar sinyal yang akan ditangkap kepada setiap penikmat pameran ini.
 |
Gambar
2: Zaenal Arifin, Monyet di-Uwongke
Akrilik di atas kanvas, 300 cm × 200 cm,
2012
(Dokumentasi pribadi, 13 April 2017) |
Karya Zaenal Arifin di atas merupakan karya lukis yang dibuat dengan menggunakan cat akrilik pada tahun 2012. Judul dari lukisan ini adalah Monyet di-Uwongke dibuat dengan ukuran 300 cm × 200 cm. secara umum pemilihan warna dalam lukisan ini adalah jingga dan coklat. Warna jingga terlihat pada warna bata di dinding, sedangkan warna coklat dipilih untuk menggambarkan objek monyet yang direpresentasikan sebagai perjalanan evolusi seorang manusia. Dalam karya lukis di atas disuguhkan 7 buah objek (monyet) yang menjadi pusat perhatian yang hendak ditunjukan dan disampaikan Arifin kepada audience. Ditambahkan juga beberapa objek manusia dan hewan yang digambarkan secara samar-samar dalam karya lukis ini. Menariknya adalah Arifin menggambarkan objek (monyet) yang diwujudkannya ke dalam 7 buah perjalanan evolusi ini, namun pada akhir evolusi ini Arifin masih tetap menunjukkan tubuh objek sebagai “monyet” bukan manusia, tentu ini menjadi sesuatu yang sangat menarik karena secara langsung karya ini tidak berkorelasi dengan judul karya yang Arifin disampaikan.
Pada karya ini objek (monyet) pertama, kedua dan ketiga terlihat membungkuk. Terlihat langkah kaki objek (monyet) kedua secara cepat melangkah dengan jangkauan gerak kaki yang lebar. Objek (monyet) ketiga memperlihatkan bahwa langkah kaki yang lebih santai. Pada objek (monyet) ke empat yang berada tepat di tengah-tengah seolah-olah menjadi pembatas. Postur tubuh digambarkan tegap dan sigap dengan pandagan mata ke depan. Untuk objek (monyet) kelima ini menjadi objek terbesar dalam karya lukis ini, sedangkan untuk objek keenam dan ketujuh digambarkan postur tubuh yang semakin pendek dimana objek ketujuh dilengkapi dengan payung yang dipegang erat di tangan kirinya. Terlepas dari objek (monyet) yang hendak ditunjukkan lebih dominan dalam karya lukis ini, Arifin juga menunjukkan secara implisit mengenai latarbelakang tempok yang dilukiskan dengan retakan-retakannya.
Saya menangkap impresi bahwa pada dasarnya Arifin ingin memperlihatkan kehidupan dan peradaban manusia dari zaman pra-sejarah hingga saat ini. Bagi Arifin menggunakan metafora objek (monyet) dianggap paling tepat untuk menjelaskan dan mewakili dari sifat-sifat atau perilaku yang kecenderungan mirip dengan manusia. Selama perjalanan pengembaraan umat manusia melewati kehidupan yang selalu berubah-ubah setiap zamannya, Arifin kemudian mempertanyakan ketika zaman terus berubah dan melaju cepat, apakah sifat, sikap, laku (perilaku) manusia juga berubah. Secara fisik memang manusia mengalami perubahan dan perkembangan, tapi apakah ini sejalan dengan perubahan dan perkembangan perilaku manusia yang menjadi lebih arif dan bijaksana atau justru sebaliknya. Ketika wujud evolusi akhir dari perkembangan itu digambarkan sebagai objek (monyet) yang memegang erat payung di tangan kirinya.
 |
Gambar 3: Zaenal Arifin, Refleksi
Mix media di atas kanvas,
200 cm × 200 cm, 2016
(Dokumentasi pribadi, 13 April 2017)
|
Pada karya ketiga di atas yang berjudul Refleksi, Arifin memilih Burung Elang sebagai simbol pengembaraannya selama hidup dalam mencari jati diri. Warna kuning keemasan memenuhi sekujur tubuh sang elang dengan hempasan sayap yang lebar siap menaklukkan jagat raya dan siap berperang dengan kencangnya dentuman angin. Karya ini dibuat dengan ukuran 200 cm × 200 cm pada tahun 2016, dengan menggunakan mix media di atas kanvas. Karya ini jauh berbeda dengan beberapa karya sebelumnya, karena Arifin seolah-olah membuat kesan cermin sebagai media yang digunakan untuk refleksi diri pada tembok, yang kemudian karya ini diberi judul refleksi.
Cermin berfungsi sebagai pantulan, pemantul, atau wahana yang dijadikan sebagai subjek untuk berdialog, bercermin diri, mempertanyakan sejatinya diri, dan melihat antara hitam dan putihnya diri ini. Arifin mengajak kita untuk berdialog dengan “bayangan”. Konteks yang hendak dibangun adalah bukan persoalan Burung Elang yang gagah melayang mengelilingi dunia itu, namun sejatinya adalah bagaimana sebenarnya kita dapat memaknai hitam dan putih, sedih dan senang, baik dan buruk, dan perjalanan hidup serta pengembaraan diri yang nantinya diharapkan kita mampu merefleksikan semua itu dalam berproses maupun berperilaku dalam hidup.
Arifin juga menambahkan kesan seperti awan dan bukit-bukit berwarna hitam yang terlihat jelas dalam karya ini. Arifin juga ingin menunjukkan betapa kelamnya pengembaraan hidup ini melewati liku-liku perjalanan yang berat. Arifin mencoba berdiskusi dengan diri mengenai apa yang dilewatinya, apa yang dirasakannya melalui karya ini. Arifin juga menginginkan bahwa audience tahu akan syarat makna dan pesan yang hendak disampaikan dengan cara melihat dan mengamati secara seksama, bukan semata-mata yang terlihat dengan mata, namun yang terlihat oleh batin itu mempunyai ruh dan kekuatan yang lebih dahsyat. Saya melihat bahwa Burung Elang yang berwarna kuning keemasan ini sebagai representasi Arifin untuk menunjukkan indahnya dunia nyata dan mewahnya dunia ini hingga terkadang kita melupakan “bayangan” yang dijadikan Arifin sebagai tolak balik dari dunia nyata yang penuh dengan kebencian. Perilaku manusia yang selalu berubah ke arah yang negatif, menjauhkan dari rasa kebersamaan, toleransi, dan saling menghormati inilah yang dijadikan Arifin sebagai proses untuk merefleksikan dan mempertanyakan jati diri dan konsep diri untuk lebih memperhatikan dan merubah perilaku kita ke arah yang lebih positif lagi.
oleh teraseni | Jun 1, 2017 | Uncategorized
Kamis, 1 Juni 2017 | teraSeni.com~
Pelbagai cara dalam membahas tentang isu kemanusiaan dilakukan, mulai dari dialog yang verbal, hingga penulisan yang literal. Cara tersebut merujuk pada satu haluan yakni mendistribusikan sebuah narasi tertentu. Namun tidak dapat disangkal bahwa terkadang dua cara tersebut membeku di dalam persebarannya ke masyarakat, bahkan cukup lumrah jika narasi tadi dibiarkan hilang begitu saja. Alih-alih mengalah pada keadaan, kehadiran seni justru menjadi sebuah terobosan dalam menyampaikan isu-isu tersebut dengan cara yang berbeda. Dengan ragam seni, seperti: lukisan, instalasi, performance art, teater, musik, tari, dan sebagainya, sebuah isu dapat tersampaikan ke penonton tidak hanya dengan logika dan etika saja, melainkan turut melibatkan estetika.
 |
Repertoar bertajuk Sadako,
ditarikan tunggal oleh koreografernya sendiri
Valentine Nagata-Ramos.
|
Kiranya hal tersebut tercermin dari pertunjukan yang bertajuk Sadako dari Valentine Nagata-Ramos—seorang koreografer dari Uzumaki Company. Sebuah pertunjukan tari kontemporer yang digelar di Jakarta (16/5), Bandung (18/5), dan Auditorium LIP Yogyakarta, sabtu (20/5) dari seorang koreografer Perancis dengan mengangkat kisah Sadako Sasaki. Kisah dari seorang anak berusia 12 tahun yang meninggal karena leukimia yang dideritanya. Namun tidak sesederhana itu, penyakit tersebut dikenal sebagai penyakit bom atom. Pasalnya ketika berumur dua tahun, sebuah bom atom jatuh di kota di mana ia tinggal, Hiroshima. Sadako dapat bertahan hidup hingga sepuluh tahun setelahnya.
Yang tidak kalah pilu adalah cerita bagaimana ia bertahan hidup. Sebagaimana Asia Timur mempunyai kearifan lokal yang beragam dan hidup bersama masyarakat, maka di Jepang terdapat sebuah legenda yang dipercaya, bahwa “barang siapa dapat membuat seribu origami berbentuk burung bangau, maka permintaannya akan terkabul.” Sadako yang bertekad sembuh lalu membuat seribu origami, layaknya legenda yang ia percayai. Namun malang tidak dapat ditolak, ajal menjemput lebih cepat, belum genap 1000, Sadako menghembuskan nafas terakhirnya ketika ia baru membuat 644 origami burung bangau.
Alih-alih duka melanda, teman sepermainan dan sesekolahnya tidak tinggal diam. Mereka melanjutkan menggenapkan origami yang dibuat Sadako hingga usai. Lantas 1000 origami burung bangau yang telau usai dibuat disemayamkan bersama jenazahnya. Cerita pilu ini bukan sekedar cerita biasa, tidak hanya menceritakan perjalanan hidup seorang anak yang menderita sakit, melainkan tersemat simbol harapan yang luar biasa. Usut punya usut, paska kematian Sadako, legenda origami burung bangau ini menjadi simbol perdamaian.
 |
Valentine Nagata-Ramos dalam salah satu adegan repertoar bertajuk Sadako |
Bertolak dari cerita inilah, seorang koreografer dengan basis tubuh hip hop dan butoh terinspirasi membuat sebuah repertoar dengan menggunakan nama sang anak, Sadako. Namun sebagaimana seni tidak hanya mempresentasikan dengan wantah atas cerita tertentu, di sini Valentine mengambil cerita tentang perjalanan hidup dari masa kecil hingga menuju dewasa. Untuk tetap mengingatkan kita pada Sadako, lantas Valentine menyertakan origami burung bangau berukuran besar dan dua buah sandal jepang di setiap pertunjukannya.
Pertunjukan Enerjik Berbalut Emosi
Pertunjukan dibuka dengan penampilan dari lima penari hip hop Indonesia, yakni Steven Russel, Eriza Trihapsari, Mario Avner Francis, Dheidra Fadhillah, dan Michael Halim. Dengan mempertunjukan sebuah repertoar hasil dari residensi kreasi lima penari tersebut yang telah dilakukan di Jakarta sejak tanggal 13 hingga 15 Mei, silam.
Diawali dengan panggung tanpa cahaya, suara deru ombak samar-samar terdengar. Dengan cahaya yang teram-temaram, lima penari berpakaian casual mulai memasuki panggung. Mereka bergerak secara senada dengan ragam kosagerak hip-hop dan break dance. Beberapa kosagerak dasar hip hop mereka tunjukan secara bersamaan. Setelahnya suara mendengung terdengar keras, mereka terpecah ke segala arah. Sementara suara nada tinggi dari tuts piano mulai berbunyi bergantian namun perlahan, dua penari di sisi kiri, dan tiga penari di sisi kanan panggung [jika dilihat dari bangku penonton].
Di sisi kiri, seorang laki-laki dengan basis tubuh break dance mulai bergerak secara simultan, kosagerak flares hingga baby spins ia lakukan. Sementara penari perempuan datang menghampiri tiga penari di sisi kanan. Lantas ia menaiki punggung salah seorang penari laki-laki yang tengah terpelungkup. Tidak lama berselang, suara kendang terdengar, seorang penari perempuan tadi menggerakan tangannya layaknya gerak tari Jawa. Pelbagai gerak seperti: ngiting, ukel, dan ragam eksplorasinya ia tunjukan.
Sementara seorang lainnya mendatangi dengan menggeliat, sesekali ia melakukan kosagerak dasar break dance hingga teknik flares. Dua orang penari lain menggeliat turut mendekati, hingga mereka bergerak serupa dan seirama. Selanjutnya mereka membentuk formasi lingkaran, sementara satu di antaranya melakukan windmills, hand hops, hingga flares. Empat penari lainnya bergerak dengan basis eksplorasi hip hop mengikuti pola bunyi.
Tidak lama berselang, tiga penari berjalan meratap ke arah penonton. Sementara satu lainnya perlahan mengikuti dari kejauhan hingga berdekatan. Sedangkan satu penari lainnya melakukan gerak jalan perlahan di tempat terpisah dari empat penari lainnya hingga melakukan head spin. Kelima penari tersebut menari dengan enerik disertai tempo yang cepat. Alhasil tarian nomor pertama ini sarat dengan gerakan cepat, menyerupai semangat akrobatik.
Pada adegan selanjutnya, mereka terpecah, sepasang laki-laki dan perempuan berada di sisi belakang kiri panggung dan sisi depan kanan panggung, sedangkan satu orang tersisa menari di tengah panggung. Dua pasang penari tadi bergerak cukup unik, di mana laki-laki berposisi duduk, sementara penari perempuan melangkah dengan beralaskan kaki laki-laki pasangannya. Sang penari perempuan berjalan memutari laki-laki. Lantas satu penari tersisa menghampiri, memberikan langkah baru bagi perempuan untuk berjalan ke arah yang berbeda. Begitupun dengan pasangan penari di sisi depan. Setelahnya laki-laki tersebut kembali di tengah, ia melakukan flares hingga lampu pertunjukan padam. Repertoar pertama usai.
 |
Penampilan lima penari hip hop Indonesia
yakni Steven Russel, Eriza Trihapsari,
Mario Avner Francis, Dheidra Fadhillah,
dan Michael Halim |
Repertoar kedua bertajuk Sadako. Ditarikan tunggal oleh koreografernya secara langsung, Valentine Nagata-Ramos. Dalam cahaya yang berangsur terang, sehelai kertas berbentuk origami burung bangau tergeletak di tengah panggung. Valentine yang tengah duduk bersila menatap tajam ke arah origami tersebut. Alih-alih nuansa yang dibangun tegang, Valentine justru melakukan gerak mengejutkan, yakni dengan melakukan hand hops—berdiri bertumpu pada satu tangan dengan kaki di udara—dan melakukan gerakan head spin—memutar tubuh yang bertumpu pada kepala—dengan durasi yang tidak sebentar. Memberi impresi bahwa pertunjukan akan seperti apa, terlepas dari teknik yang dimiliki akan tari hip hop penari sangat baik.
Tidak lama berselang, Valentine berjalan menuju ke arah penonton. Namun tidak berjalan dengan laku yang lazim, ia justru mengeksplorasi gerak hip hop sebagai kosagerak di setiap rangkaian gerak dalam tarinya. Setelahnya ia kembali menghampiri tempat di mana origami tersebut diletakan. Namun perlu diingat, setiap gerak yang ia lakukan selalu mengandung unsur hip hop, sehingga eksplorasi atas gerak hand hops, elbow hops, flares, windmills, headspins, baby spins, tidak jarang terlihat. Valentine lalu membuka perlahan origami burung tadi hingga berbentuk lembaran. Lantas ia bersimpu di atas kertas tersebut dengan ditemani suara dengung.
Dengan raut wajah ragu, ia berjalan mundur secara perlahan. Kemudian lampu sekejap padam, dan posisi Valentine seakan sedang berjalan menjaga keseimbangan layaknya di ketinggian. Sementara lampu secara banal menyala, menghempaskan bias cahaya secara semena-mena, seakan mengisyarakatkan sebuah tanda akan sebuah perjalanan. Sekian menit ia bergerak, Valentine masih dengan gerak eksploratif dengan tingkat teknik yang sulit. Tersemat impresi bahwa stamina yang dimiliki Valentine dalam menari luar biasa stabil. Pasalnya ia tidak nampak kelelahan, cara pernafasan yang ia lakukan pun menunjukan pola latihan yang terstruktur, sehingga Valentine sudah sangat baik dalam mengatur nafas demi nafas di tiap geraknya.
Valentine bisa sangat mudah melangkah ke segala arah dengan pelbagai gerak eksplorasi yang bertumpu pada basis tubuh hip hop-nya. Kendati ia menari tunggal, ruang pun terasa terisi dengan gerak yang ia lakukan seorang diri. Nuansa akrobatik pun tidak dapat disangkal dengan banyaknya ragam gerak berputar, headspin, flares, windmills, dan sebagainya. Alih-alih hanya menunjukan ketangkasan teknik tubuh dan eksplorasi gerak yang ia rangkai mengisi cerita perjalanan Sadako.
Di adegan selanjutnya, ditandai dengan alunan lirih ‘shakuhachi’, suling bambu Jepang, semua terjadi berkebalikan. Valentine diam termangu menutup tubuhnya dengan kertas origami tadi. Pada adegan ini eksplorasi kesunyian tubuh sebagai bentuk kebiadaban manusia menjadi poin yang utama. Dalam momen inilah Valentine bergerak secara perlahan, menggeliat dengan tempo yang lambat, sebuah jalan eksplorasi dari butoh Jepang. Sesekali ia mengurai rambutnya, dengan melipat kertas dan memeluknya ke sisi panggung yang berbeda. Sekejap impresi akan nuansa pertunjukan berubah signifikan.
Dengan nuansa yang berbeda, gerakan enerjik tidak lagi terlalu dominan. Valentine lebih banyak mengeksplorasi gerakan merayap perlahan, tetapi yang menarik adalah sesekali ia tetap menyisipkan gerakan hip hop menyerupai hand hops, flares atau baby spins. Alhasil butoh yang diwujudkan Valentine tidak ansih layaknya para seniman butoh, seperti Kazuo Ohno, Min Tanaka, atau Akaji Maro, melainkan butoh dari Valentine Nagata-Ramos. Dalam hal ini, semangat dan metode butoh dalam mengekspresikan sesuatu hal itulah yang digunakan Valentine dalam menghadirkan Sadako di atas panggung.
Alunan shakuhachi yang membuat suasana menjadi tenang tersebut lantas menjadi latar belakang ketika Valentine membuat origami burung bangau secara perlahan. Setelah origami burung terbentuk, lantas raut wajah Valentine berbinar. Ia memandang dengan tenang, hingga akhirnya ia menghempaskannya ke udara. Setibanya origami burung bangau mendarat di tanah, lampu pertunjukan meredup, pertunjukan selesai.
Ketika Timur Berbalut Barat dan Sebaliknya
Terbetik dari repertoar Sadako, tersemat banyak poin yang dapat dipetik, di antaranya adalah kerja koreografer dalam mengelindankan basis tubuh tari yang dimiliki oleh seorang atau sejumlah penari. Secara lebih jelas, perkelindanan tari Timur dan tari Barat dari seorang penari, serta bagaimana mengolahnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini penari Indonesia—peserta residensi—dengan basis tubuh hip hop dan basis tubuh tari tradisi Indonesia, serta Valentine dengan basis tubuh hip hop dan pembelajarannya atas butoh. Maka di sinilah peran Valentine dapat dicermati.
Dari repertoar pertama, nampak kerja Valentine tidak terlalu berat pada teknik, terlebih kelima penari memang sudah mempunyai basis tubuh hip hop dan break dance. Namun yang menarik adalah kerja Valentine dalam menyusun gerak yang tidak hanya menarik untuk dipandang, namun memberikan alur yang baik.
Implikasinya adalah penonton tidak merasa bosan ketika menyaksikannya. Lalu yang menarik, Valentine tetap ingin memasukan tubuh tradisi di dalam repertoar pada hasil residensi tersebut, terlihat dari beberapa gerak penari perempuan dengan basis gerak tradisi Indonesia, yakni tari Jawa. Namun sebagaimana residensi dengan durasi waktu kilat, repertoar pertama telah mewakili dua kebudayaan, namun belum menyatu. Kedati demikian, setidaknya pembelajaran untuk menegosiasikan dua kebudayaan tersebut dalam satu tarian dapat dipelajari dari Valentine.
Alih-alih serupa, hal tersebut tidak terjadi di repertoar selanjutnya, Sadako. Repertoar kedua merupakan tingkat lanjut dari pola negosiasi yang ia terapkan layaknya di repertoar pertama. Dalam arti, repertoar kedua terasa preposisi dan ideal dalam saling-silang budaya, hingga pilihan gerak dalam sampaikan gagasan. Pasalnya, Valentine telah mencampurkan tari hip hop dan butoh dengan cukup representatif. Di mana ketangkasan dan teknik tubuh Valentine akan hip hop dan break dance yang ia punya, sudah tinubuh. Secara lebih lanjut, Valentine sudah dapat memilih dan menempatkan gerakan hip hop di dalam repertoarnya dengan tepat. Selanjutnya, Valentine turut mengeksplorasi kosagerak hip hop dan kosagerak butoh di dalam tariannya.
Sebagaimana kosagerak yang diwujudkan Valentine sarat dengan kemampuan fisik, maka kesan yang didapat dari repertoar Sadako memang berangkat dari kepiawaian fisik Valentine. Dalam hal ini, kerap timbul kerancuan yang perlu diartikulasikan, pasalnya pesona tubuh fisik kerap kali menenggelamkan pesan yang ingin disampaikan sang koreografer. Penonton akhirnya terlalu sibuk menikmati dan mengartikan gerakan per gerakan, tetapi lupa ketika gerak tadi menjadi kesatuan. Alhasil hal fisik bukan berarti nirmakna, dalam tari justru visual yang terlihat dapat menyulam imaji dan menyampaikan gagasan tertentu.
Selanjutnya, ketangkasan fisik hip hop seakan lebur ketika bertemu dengan butoh. Namun Valentine tidak wantah mencampurkan butoh dan hip hop, melainkan hanya menyisikpan sesekali pada waktu (timing) yang rasanya penting. Impresi yang muncul adalah percampuran butoh yang berpusat pada detil gerak dengan tempo lambat, menyatu dengan hip hop yang detil dengan tempo cepat. Permainan detil dengan tempo yang berubah menjadi sebuah keistimewaan yang dihadirkan.
Alhasil memesona merupakan terma yang tersemat pada pertunjukan tersebut, namun [sekali lagi] bukan karena Valentine adalah penari Barat dan berjenis kelamin perempuan, melainkan ia dapat menunjukan kerja serius dari kepenarian dan koreografi yang terwujud di karyanya. Ia nampak tidak main-main dengan budaya yang ia emban, gagasan yang ia angkat, dan karya tari yang ia pertunjukan. Menurut hemat saya, ini adalah etos kesenimanan yang perlu dicontoh.
Bertolak dari karya ini, kendati bermula dari gerak, rasanya seni tari bukan hanya presentasi gerak semata, namun cara lain untuk mengapresiasi, bahkan sebagai wujud doa—yang dalam tarian ini ditujukan untuk Sadako. Maka atas apa yang dilakukan Valentine, saya percaya bahwa Sadako selalu tersenyum ketika repertoar tersebut dipertunjukan.
oleh teraseni | Apr 23, 2017 | Uncategorized
Minggu, 23 April 2017 | teraSeni.com~
Para penonton dan penikmat karya seni di Kota Makassar dan umumnya Sulawesi Selatan sebentar lagi akan memiliki kesempatan menyaksikan satu gelaran karya seni yang menarik. Pertunjukan bertajuk “Siri Bola/Balla” yang ditulis dan disutradarai oleh Muhajir, akan hadir di Dusun Tanatakko, Desa Alatengae, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pada tanggal 29 April 2017 mendatang. Karya seni pertunjukan yang mengangkat konsep teater eksperimental ini, pada bulan Maret 2017 lalu, telah digarap ke dalam bentuk film eksperimental berbasis etno documentary. Berikut ini, teraSeni.com akan menyajikan 5 alasan, mengapa pertunjukan “Siri Bola/Balla” yang diproduksi di bawah bendera Tanayya Art Production ini, layak ditunggu kehadirannya.
 |
Suasana Latihan
Pertunjukan “Siri Bola/Balla
(Foto: Muhajir)
|
1. Berkerangka Seni Akademik: Dibimbing Para Pakar Seni Pertunjukan
Hal pertama yang layak dicatat dari Siri’ Bola/Balla,’ yang secara harafiah berarti harga diri rumah ini adalah bahwa karya ini juga merupakan ujian kesarjanaan Magister Seni pada Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Minat Studi Penciptaan Teater di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Karenanya, Muhajir, sutradara dan penulis karya pertunjukan ini, yang juga akan menjadi mahasiswa teruji dalam ujian itu nanti, dalam penggarapannya dibimbing oleh salah seorang tokoh terkemuka teater Indonesia, yakni N. Riantiarno, sutradara dan pimpinan Teater Koma Jakarta. Selain itu, karya ini akan diuji oleh guru besar Seni Pertunjukan ISI Surakarta, yakni Prof. Pande Made Sukerta, S.Kar. M.Si, dan Direktur Pascasarjana ISI Surakarta sendiri, Dr. Aton Rustandy Mulyana.
 |
Salah Satu Adegan
dalam Film “Siri Bola/Balla
(Foto: Muhajir) |
Konsep yang ditawarkan Muhajir pada pertunjukan ini, dan dengan demikian akan diuji, adalah gabungan antara konsep teater eksperimental dan teater pemberdayaan. Penggabungan ini sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu eksperimentasi tersendiri yang layak ditunggu: berhasil atau tidak? Lebih jauh melalui karyanya, Muhajir sang pengkarya bermaksud memaknai ulang peristiwa Siri’ Bola/Balla’ sebagai suatu pembelajaran tentang konsep hidup oleh masyrakat Bugis-Makassar melalui penyikapan ruang-ruang rumah sebagai perwujudan identitas diri. Muhajir melalui karya ini mencoba membangun kolaborasi antara konteks kekinian dengan peristiwa tradisi yang masih dekat dengan kehidupan masyarakat, yakni tradisi mappalette’ bola (pindah rumah). Melalui metafora rumah panggung tradisional yang dimaknai sebagai simbol siri’ (harga diri) keluarga dalam kebudayaan universal, karya ini mencoba menghadirkan makna “siri’ sebagai konsep kontrol diri, dan bukannya justru sebagai pemecah belah. Siri’ Bola/Balla,’ adalah pertunjukan yang menggambarkan tentang perjalanan dan perjuangan mencapai harga diri rumah, harga diri manusia.
2.Berangkat Dari Tradisi: Menggali Papasang To Riolo (Pesan Leluhur)
Sebagaimana sudah sedikit tergambarkan dalam uraian di atas, pengkarya melalui karya ini selain bermaksud memasyarakatkan seni pertunjukan kontemporer, juga bermaksud merespon kekayaan seni dan budaya yang ada di lingkungannya, dengan berangkat dari tradisi nenek moyang Bugis-Makassar. Aktivitas membangun rumah dan pindah rumah merupakan salah satu wujud kebudayaan tradisi yang masih hidup, terkhusus di Sulawesi Selatan. Bagi Muhajir, tradisi membangun dan pindah rumah ala masyarakat Bugis-Makssar ini adalah budaya yang khas dan sekaligus kaya nilai. Terdapat banyak bentuk kesenian masakini yang mungkin dibangun dengan menggali nilai ungkapan dan isi yang berbeda dari peristiwa interaktif membangun rumah panggung. Selain sebagai pencitraan, peristiwa itu merupakan ekspresi dari akumulasi proses berfikir, perenungan dan penghayatan, yang kemudian diwujudkan menjadi benda seni yang bernilai fungsi yakni “Rumah Panggung”.
 |
Adegan dalam Kelambu
dalam Film “Siri Bola/Balla
(Foto: Muhajir) |
Dari pertunjukan rekonstruktif peristiwa membangun rumah panggung ini, semangat kolaborasi akan coba dihadirkan kembali, guna merefleksi ingatan-ingatan masa lalu akan semangat kebehinnekaan yang terwujud dalam peristiwa membangun Rumah Panggung Bugis-Makassar. Dengan cara itu, para partisipan Siri’ Bola/Balla,’ dapat merenungi dan mengejawantahkan Papasang To Riolo (Pesan leluhur) yang sarat nilai etika dan moral guna mencapai Siri’ yang hakiki, kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari di masa kini, utamanya menyegarkan kembali makna kebersamaan dan gotong-royong yang hari ini perlahan memudar oleh berbagai kepentingan dan politik SARA yang mendominasi, dan melahirkan keegoisan yang akut.
3. Berbasis Komunitas: Melibatkan Masyarakat dan Berbagai Pihak
Peristiwa Siri’ Bola/Balla’ yang bernuansa etnik ini melibatkan berbagai elemen masyarakat dari berbagai status sosial dan etnik. Tidak saja itu, proses penciptaan pertunjukan ini juga bersifat multidisiplin, yang melibatkan personil dari berbagai disiplin ilmu, seperti arsitektur, antropolog, sejarawan, sosiolog dan lain sebagainya. Jangkauan pemain dalam pertunjukan ini berkisar ratusan orang, karena melibatkan masyarakat lokal, mahasiswa, seniman, serta pemerintah desa. Produksi Siri’ Bola/Balla,’ juga dirajut bersama berbagai lembaga, antara lain oleh Pascasarjana ISI Surakarta, Tanayya Art Production, Masyarakat Dusun Tanatakko, Desa Alatengae, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Cabang Kabupaten Maros, dan mendapat dukungan materil maupun jasa dari Institut Seni Budaya Indonesia Sul-Sel, Forum Pemuda Desa, Teater Kampus FSD UNM, Teater Kita Makassar, Aco’ Dance Company Makassar, Element Creative Makassar, Ida El Bahra Management, Café Er Colin Maros, Ka-Ga-Nga-Ngka’ Sound, Pararang Community, MEC Indonesia, Sanggar Seni Katangka, Sanggar Batara Maru’, dan Join Production Solo, Walasuji, dan Lego-lego Institute.
 |
Prosesi Menegakkan Tiang
Salah Satu Adegan yang akan tersaji dalam Pertunjukan “Siri Bola/Balla
(Foto: Muhajir) |
Pertunjukan Siri’ Bola/Balla’ ini juga akan akan digelar secara kolaboratif, yang bagi Muhajir merupakan satu tanggapannya dalam menyikapi era globalisasi di mana berbagai relasi-relasi sosial budaya mulai retak, tak terkecuali di kalangan seniman, budayawan, maupun masyarakat luas. Namun situasi itu secara tak langsung juga telah meningkatkan jejaring interdependensi di antara seniaman-seniman, baik secara nasional maupun pada tataran antar-benua yang terasa semakin sempit dan padat ini. Hal itu memungkinkan para seniman dari bangsa dan suku bangsa berbeda untuk saling bertemu guna melahirkan karya-karya seni pertunjukan kolaboratif, dengan membangun konsep-konsep konstruksi simbolik, kontekstual, esensial dan memiliki makna universal. Semangat kolaborasi semacam itulah yang pada dasarnya telah lama diwariskan oleh nenek moyang Bugis-Makassar melalui peristiwa membangun rumah panggung Bugis-Makassar. Pemahaman kolaborasi yang diusung dan ingin ditularkan dalam kegiatan ini pada dasarnya sangatlah sederhana, yakni bertemunya orang-orang dari berbagai kalangan, dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dari berbagai status sosial, suku agama dan ras untuk bergotong royong, bekerjasama demi satu tujuan.
4. Berorientasi Teater Eksperimental: Dari Film Menuju Pertunjukan
Sebagaimana sudah dikatakan, sebelum akhirnya menjadi karya seni pertunjukan seperti nanti akan dipergelarkan, sebelumnya pada Maret 2017 lalu, materi-materi karya ini telah lebih dahulu digarap ke dalam bentuk film eksperimental berbasis etno documentary. Kini, tantangannya adalah bagaimana memindahkan semua itu menjadi peristiwa pertunjukan
teater yang memberi pengalaman baru bagi para partisipan. Tema yang diusung karya Siri’ Bola/Balla’ ini adalah (membangun harga diri rumah) sebuah tema yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Bugis-Makssar. Dengan menggunakan metafora peristiwa pindah rumah dan membangun rumah panggung sebagai visual utama pertunjukan, karya pertunjukan ini akan mencoba menggambarkan berbagai fenomena sehari-hari, untuk mengelaborasi berbagai persoalan, antara lain konflik-konflik, ketakutan dan traumatik. Melalui eksplorasi atas prosesi tradisi membangun dan memindahkan Rumah Panggung, Siri’ Bola/Balla,’ mencoba mewakili berbagai perasaan yang sering dialami anggota masyarakat, untuk selanjutnya memberikan penawaran bagaimana seharusnya menyikapi berbagai persoalan yang muncul dari keberagaman etnik yang sering menjadi pemicu konflik.
 |
Proses Latihan dan Shooting
Film dan Pertunjukan “Siri Bola/Balla
(Foto: Muhajir) |
Berangkat dari tradisi nenek moyang yang diolah menjadi pertunjukan berdasarkan konteks kekinian, Siri’ Bola/Balla,’ menawarkan untuk membangun rumah bagi segala etnik. Naskah dan pertunjukan yang akan di hadirkan ini akan memberi gambaran tentang kesahajaan dalam perjuangan hidup, perjuangan untuk mencapai Siri’ (harga diri). Menjaga Siri’ mempertahankan harga diri yang diwujudkan dalam peristiwa teks pertunjukan dengan visual pengadegangan hijrah dan membangun tiang rumah panggung persaudaraan sebagai simbol siri’ (harga diri) keluarga segala etnik. Ekperimentasi utama Muhajir adalah membangun peristiwa pertunjukan yang akan digelar di ruang-ruang terbuka, di dalam kawasan kampung. Artinya, peristiwa pertunjukan yang akan dikonstruksi Muhajir akan diuji dalam lingkungan alaminya. Berhasilkah Muhajir membangun setting pertunjukan yang memiliki fungsi ganda, yang dapat menantang imajinasi
penonton, di samping menantang Muhajir sendiri untuk menyikapi ruang-ruang kampung dan ruang-ruang tradisi.