Pilih Laman

Sosak; Karya Tari Tentang Bertahan dari Sesak Pertarungan Budaya

Jumat, 15 Desember 2017 | teraSeni.com~

Juli 2017 lalu di ISI Surakarta saya menyaksikan beberapa pertunjukan Tugas Akhir mahasiswa penciptaan tari ISI Surakarta. Ada satu karya yang menarik bagi saya, yaitu karya dengan judul Sosak dengan koreografer Riyo Fernando (dengan pembimbing: Eko Supriyanto). Sekilas melihat karya tersebut nampak seperti orang-orang yang melawan rasa sesak yang diakibatkan oleh asap. Banalnya lagi ketika saya mengetahui bahwa Riyo (koreografer) berasal dari Riau, saya semakin yakin karyanya terinspirasi oleh kebakaran hutan di Riau yang pernah memakan korban jiwa. Mungkin saja asap menjadi sumber inspirasi, namun saya melihat pertarungan dalam melawan asap; rasa sesak merupakan metafora yang ingin terus saya telusuri lebih dalam, karena saya meyakini bahwa dalam penciptaan karya tari, bentuk-bentuk tubuh terlatih dan penggunaan properti tidak hanya memunculkan impresi bagi yang melihatnya. Penciptaan karya tari seharusnya juga dapat memberikan pengalaman reflektif secara akurat, meski akurat dalam seni belum tenbisa kita bedah secara positivistik.

Karya Tari Sosak (Juli, 2017)
Koreografer: Riyo Fernando

Sosak, dalam pandangan saya merupakan karya yang berbicara tentang manusia-manusia yang berupaya bertahan dari asap-asap budaya asing yang terus menerus berusaha membuat manusia di Indonesia kehilangan oksigen (yang dalam karya Sosak dianalogikan sebagai budaya-budaya lokal). Asap-asap yang kini dikendalikan oleh kapitalis dalam arena pertarungan budaya membuat manusia-manusia menjadi terkontaminasi kemurnian budayanya. Maka untuk melindungi kemurnian budaya lokal tersebut, manusia-manusia itu sendirilah yang harus terjun ke dalam arena pertarungan budaya.

Representasi tubuh Sesak
 yang terjajah asap budaya asing
dalam arena pertarungan budaya

Pertunjukan ini dimulai dengan repetisi tubuh yang membungkuk dan suara sesak yang kian mengeras. Suara sesak bila direlasikan dengan gagasan Riyo di atas tadi merupakan representasi dari manusia-manusia yang mulai kehilangan oksigen. Kemudian di pertengahan terdapat sekumpulan manusia yang mulai bergegas melawan kesesakan karena asap (melalui repetisi-repetisi gerak yang dikembangkan dari salah satu gerak Melayu). Di bagian akhir pertunjukan, para penari membuka pakaian mereka yang telah kuyub dengan keringat, dengan pakaian basah itulah mereka melakukan gerak melawan asap-asap.

Repetisi tubuh yang membungkuk dan suara sesak yang kian mengeras
Secara dasar, pertunjukan ini memang seperti gerakan melawan asap yang telah mencemari udara yang dihirup oleh manusia. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa karya seni merupakan refleksi dari kehidupan yang mampu memberikan kesadaran kritis kepada siapa saja yang melihatnya. Begitu pula dengan karya Sosak ini, sederhana tetapi memiliki kedalaman tentang kehidupan.

Bila kita relasikan pilihan kreatif yang ditampilkan oleh Riyo pada awal pertunjukan, menampakkan tubuh sekumpulan orang-orang yang membungkuk. Tubuh yang membungkuk dapat direlasikan dengan kata sakit (Danesi, 2012), sehingga awal pertunjukan yang menampilkan tubuh membungkuk dan suara sesak dapar merepresentasikan rasa sakit manusia yang tidak lagi mendapatkan kesegaran-kesegaran yang dihadirkan melalui budaya lokal. Budaya-budaya lokal justru sering dielaborasi atau dikolaborasikan dengan budaya-budaya Barat yang penggunaannya sendiri sangat dipaksakan dan tidak berdasarkan kebutuhan dalam mengangkat budaya lokal. Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat Indonesia secara tidak langsung teracuni oleh budaya Barat.

Representasi tubuh yang berusaha
bertahan dari asap budaya asing

Kumpulan penari dan repetisi gerak tari Melayu
Pada bagian pertengahan karya ini terdapat sekumpulan penari yang melakukan repetisi tari Melayu. Repetisi-repetisi terhadap gerak tari Melayu merupakan penanda yang menampakkan adanya kegiatan dalam mempertahankan budaya lokal dalam kesesakan perang budaya yang terjadi di Indonesia.  Repetisi ini tidak hanya sekedar repetisi yang kita saksikan dalam pertunjukan tari Melayu pada umumnya. Repetisi ini sendiri merupakan penguatan terhadap budaya lokal, dimana penguatan-penguatan tersebut didukung dengan hadirnya lompatan-lompatan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Pina Bausch tentang repetisi gerak, “semakin sering suatu gerak diulang, maka akan membawa penari pada perbedaan hasil yang akan menentukan kualitas gerak” (Climenhaga, 2009) Budaya lokal juga serupa seperti repetisi, semakin sering ia dilakukan akan memberikan kualitas hasil yang memiliki nilai. Nilai inilah yang akan memperkuat manusia dalam menghadapi peperangan Budaya.

Representasi Tubuh Penguatan Budaya Lokal

Peperangan Budaya
Sekumpulan penari membuka pakaian mereka yang telah kuyub dengan keringat. Mereka mengibas-ngibaskan pakaian mereka  sembari menutupi mulut mencoba untuk mengurangi polusi asap yang ada di sekitarnya agar banyak udara bersih yang dapat dihirup kembali oleh manusia. Gerak mengibas-ngibaskan pakaian bila direlasikan dengan dengan konteks pertahanan budaya lokal merupakan kegiatan dimana orang-orang secara sadar melakukan pertarungan budaya dengan identitas mereka dalam budaya lokal. Hal serupa dikatakan oleh Van Peursen (Strategi Kebudayaan:1988) “kesadaran ini merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar dapat secara kritis menilai kebudayaan yang sedang berlangsung.”

Tubuh yang merepresentasikan
perlawanan pada arena
pertarungan budaya

Properti yang digunakan para penari merupakan pakaian mereka yang telah kuyub. Pakaian dapat direlasikan sebagai identitas budaya. Maka gerak di saat para penari mengibas-ngibaskan pakaian mereka merupakan momentum dimana mereka berusaha mengurangi asap-asap budaya asing yang semakin melumpuhkan budaya lokal di arena pertarungan budaya. Karena kelumpuhan dari budaya lokal akan berpengaruh pada nafas kearifan lokal yang ada di berbagai daerah negara Indonesia. Kemusnahan dari kearifan lokal sama dengan kemusnahan identitas sebuah daerah. Semakin banyak identitas daerah yang hilang, semakin samar pula identitas sebuah negara di hadapan negara lain.

Tubuh yang kehilangan suara
Dalam hubungan kausalitas, perlawanan akan terjadi bila ada salah satu pihak mengalami ketertindasan. Seperti itulah ekspresi tubuh yang ingin saya lihat dalam karya Sosak ini, akan tetapi beberapa tubuh tidak saya dapati memiliki bekas atau sejarah tentang pengalaman rasa sesak. Tubuh-tubuh tersebut, bagi saya terlihat sangat kuat dari awal pertunjukan hingga akhir. Saya menyebutnya tubuh-tubuh atraktif dengan sebuah teknik. Tentu saja pertunjukan dengan teknik yang terlatih akan memunculkan sebuah impresi, akan tetapi impresi saja tidak cukup. Pertunjukan tari seharusnya tidak hanya bekerja pada wilayah pukauan mata, akan tetapi mampu menggugah batin audiens melalui ekspresi. Sehingga secara tidak langsung mampu membawa audiens ke dalam wilayah kontemplasi. Namun demikian bukan berarti ekspresi itu tidak ada dalam pertunjukan Sosak. Tentu saya menangkap beberapa pesan yang coba dihadirkan melalui pertunjukan tersebut.

Sebagai penonton tentu saya memiliki harapan untuk melihat sebuah pesan yang dapat disampaikan kepada penonton dengan gugahan-gugahan ekspresi tubuh. Dalam hal ini (pendapat saya bisa saja salah) saya kurang melihat beberapa tubuh tersebut mengalami rasa sesak yang secara langsung menyerang dirinya—baik sesak karena asap secara harfiah atau sesak yang hadir karena budaya-budaya asing yang semakin membuat hidupnya tidak nyaman. Sehingga pemilik tubuh merasa sesak dengan budaya asing yang kian hari kian menjajah pikiran, batin dan tubuhnya.

Terlepas dari kekurangan (kritik) dalam pandangan saya yang sangat subjektif, tentu saya menangkap sebuah maksud yang akan saya tuliskan dalam penutupan tulisan ini. Bagi banyak orang, mungkin merasa kecewa pada akhir pertunjukan ketika melihat tubuh-tubuh yang bertarung di arena pertarungan budaya tersebut yang ditutup dengan suara-suara sesak dan kelelahan. Katakanlah lampu padam adalah simbol kekalahan, akan tetapi kekalahan tidak harus dimaknai sebagai rasa putus asa. Kekalahan atau kematian seharusnya mampu memberikan sebuah spirit untuk tetap memperjuangkan sesuatu. Maka untuk menegaskan makna perjuangan saya mengutip kalimat Emha Ainun Nadjib (64) tentang perjuangan, “Yang penting bukan apakah kita menang atau kalah, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga kalah pun bukan dosa, yang penting adalah apakah seseorang berjuang atau tak berjuang.”

Keterangan: Foto-foto di atas diambil dari koleksi foto Eko Crozher dan @aulianurrajut.

Lewat Satu Dekade Ngayogjazz

Kamis, 14 Desember 2017 | teraSeni.com~

Tahun 2017 merupakan tahun kesebelas atas penyelenggaraan event jazz tahunan Yogyakarta, Ngayogjazz. Pergelaran yang telah lewat satu dekade perhelatannya ini perlu diancungi jempol. Pasalnya, tidak mudah menjaga konsistensi dan merawat semangat dalam menggelarnya. Hasilnya pun cukup dapat dirasakan, impresi positif dari penampil dan penonton bertubi-tubi muncul. Sebagaimana sebuah pergelaran, Ngayogjazz pantas ditunggu oleh penampil dan penonton, baik tingkat lokal, nasional, ataupun internasional.

Berbeda dengan penyelenggaraan festival musik jazz lain yang lazimnya diselenggarakan di gedung pertunjukan yang bonafit, Ngayogjazz dihelat di lapangan terbuka dengan kontur pedesaan. Alih-alih menetap, lokasi penyelenggaraan Ngayogjazz bersifat nomaden, selalu berubah dari satu desa ke desa lainnya. Pada tahun ini, Ngayogjazz diselenggarakan di Ds. Kledokan, Selomartani, Kalasan, Sleman.

Ngayogjazz 2017 - www.teraSeni.com
Panggung Merdeka Ngayogjazz 2017 dibuka
oleh penampilan musisi-musisi Omah Sogan,
kontingen dari Pekalongan Jazz Society
(Foto: www.facebook.com/ngayogjazz/)

Dihelat pada hari sabtu (18/11), Ngayogjazz 2017 menyediakan enam panggung yang tersebar di dusun tersebut. Pelbagai nama musisi Jazz, seperti: Begawan-Begawan Jazz Feffrey Tahalele and Friends, Bintang Indrianto – Gambang Suling Feat Bianglala Voices, Remi Panossian Trio, Nonaria ft. Bonita, dsbnya, ikut serta. Selain itu, pergelaran jazz ini turut mengundang beberapa nama musisi lintas genre, seperti: Endah N Rhesa, Gugun Blues Shelter, Tashoora, Rully Shabara, Mantradisi, dsbnya. Yang tidak kalah menarik, Ngayogjazz tidak pernah absen mengundang komunitas jazz daerah, seperti: Pekalongan Jazz Society, JES UDU Purwokerto, Jazz Ngisor Ringin Semarang, Komunitas Jazz Ponorogo Jazztilan, Komunitas Jazz Trenggalek, Komunitas Jazz Jogja, Fusion Jazz Community Surabaya, Komunitas Jazz Magelang, dsbnya. Susunan penampil yang kiranya utuh sebagai sebuah pertunjukan, baik secara kualitas, ataupun popularitas.

Dalam merekatkan relasi musisi dan penonton, Ngayogjazz mengangkat tema “Wani Ngejazz Luhur Wekasane”. Tema tersebut meminjam dari sebuah pepatah Jawa “Wani Ngalah Luhur Wekasane”, yang artinya “siapa yang berani mengalah akan mendapatkan kemuliaan.” Pepatah yang kiranya reflektif dan tepat dengan keadaan masyarakat Indonesia yang belakangan ini kerap beradu mulut, yang jauh dari akal sehat.

Tren Positif Ngayogjazz
Diawali dengan siang berawan, penonton perlahan berdatangan. Beberapa di antaranya memilih untuk datang tengah hari karena alasan tidak akan bertahan hingga larut. Maka dengan strategi datang awal diharapkan dapat melihat penampil terakhir pada sesi check sound. Beruntungnya, Ngayogjazz dikenal sebagai pergelaran yang cukup tegas dalam waktu, sehingga momok keterlambatan pertunjukan jauh panggang dari api. Pun jika terjadi ‘ngaret’ tidak akan memakan waktu lama, bahkan hujan sekalipun.

Hal ini tentu terkait dengan pengelolaan sumber daya, mulai dari infrastuktur seperti penataan pergelaran secara utuh, hingga suprastruktur, seperti sekertariat, stage manager,pranata suara, volunteer, juga para penjaja makanan yang dilibatkan—baik dari warga setempat atau penjual yang berpindah. Dalam hal ini, Ngayogjazz telah membuat ‘pakem’ positif dari mekansime pengelolaan sumber daya. Jika ingin sesumbar, bahkan aturan-aturan panggung dari teoritikus manajemen panggung, Stephen Langley pun bisa dikondisikan.

Ngayogjazz 2017 - www.teraSeni.com
Mrs. Holdingsky duta dari Jazztilan Ponorogo,
tampil dinamis dan menghangatkan
Panggung Ngayogjazz 2017
(Foto: www.facebook.com/ngayogjazz/)

Dari tren positif dalam pengelolaan sumber daya, khususnya manusia, namun ada hal yang perlu dicatat dalam pergelaran Ngayogjazz 2017. Di mana kerap terdengar keluhan penonton seperti, “suara di panggung Markas dan Gejog Lesung bocor”, “kok sound system di panggung Merdeka paling bagus ya?”, dan sebagainya. Jika hal ini memang dirancang untuk mengarahkan penonton ke panggung Merdeka sebagai panggung utama, maka itu sah-sah saja. Namun jika ide panggung utama dan sebagainya tidak dirancang, tentu hal ini perlu dipikirkan. Terlebih pembagian susunan penampil di tiap panggung telah terbagi secara baik. Sederhananya, penampil yang mempunyai popularitas disebar sedemikian rupa.

Bicara penampil, hal yang paling spesial dari Ngayogjazz adalah pemeliharaan jejaring antar musisi Jazz di pelbagai daerah, seperti: Solo, Pekalongan, Purwokerto, Semarang, Ponorogo, Trenggalek, Jogja, Surabaya, Magelang, dsbnya. Pemeliharaan jejaring musisi Jazz daerah yang dibina oleh Ngayogjazz adalah nilai lebih dari pergelaran ini. Pasalnya, kita dapat mengetahui lebih lanjut terkait perkembangan musik Jazz tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil yang sebelumnya tidak terdengar. Kendati penampilan komunitas tersebut lazimnya digelar di awal dan tengah acara—entah karena alasan estetik atau popularitas—, pelbagai penampil justru mendapatkan hal langka, yakni pengalaman dan ruang.

Selain pengalaman personal bagi komunitas, Ngayogjazz disiapkan menjadi sebuah ruang yang tidak hanya mengakomodasi musik Jazz, melainkan memberikan pengalaman berbeda dalam menikmati Jazz. Pengalaman ini berasal dari ‘pesona’—atau ‘eksotika’ yang dimunculkan—dusun penyelenggara, mulai dari lanskap alam, rumah pedesaan, persawahan, jajanan kampung, termasuk warganya. Tentu warga kota besar akan gumun dibuatnya, dan ini akan menambah minat penonton di kemudian hari. Namun bagi mereka yang tinggal dengan kontur masyarakat ala kadarnya, hal ini tentu biasa saja. Hal yang justru membuat penonton yang telah terbiasa dengan lanskap geografis seperti itu adalah keriuhan penonton dan musik Jazz yang dipertunjukan.

Hal yang tidak kalah menarik dari Ngayogjazz adalah tersedianya booth yang terkait dengan musik. Mulai dari organologi Barat, perlengkapan sound, koleksi piringan hitam, kaset, hingga hal yang kerap dilupakan, buku musik. Ekosistem yang cukup utuh untuk sebagai sebuah pergelaran. Atas segala catatan di atas, perlu rasanya penyelenggara festival—khususnya yang mendapuk dirinya EO—seni budaya meneladaninya.

Apakah Masyarakat Benar ‘Tergarap’?
Salah satu pertanyaan yang kerap terlontar dari pergelaran Ngayogjazz adalah “Seberapa jauh masyarakat setempat terlibat pada pergelaran tersebut?” Hal ini cukup penting, pasalnya pergelaran bergengsi ini selalu berganti-ganti tempat perhelatan. Dampak langsung dari bergantinya tempat adalah pertemuan dengan masyarakat yang baru. Yang menjadi persoalan, bagaimana kedalaman keterlibatan tercipta ketika masa pelaksanaan hanya sekali saja?

Pada Ngayogjazz 2017, keterlibatan masyarakat yang paling eksplisit terdapat pada akses lahan dan pengelolaan parkir. Hal ini memang sangat jitu, pasalnya hanya masyarakat lah yang mengetahui secara strategis seluk beluk akses jalan di daerah tersebut. Alih-alih warga hanya terlibat di kasawan parkir, warga terlihat turut sibuk memantau keberlangsungan pergelaran, baik mengatur arus penonton di dalam dusun, ataupun menjajakan makanan.

Ngayogjazz 2017 - www.teraSeni.com
Sajian musik Gugun Blues Shelter
yang penuh energi menghipnotis penonton
di perhelatan Ngayogjazz 2017
(Foto: www.facebook.com/ngayogjazz/)

Namun, tidak dipungkiri bahwa warga setempat tidak memiliki peran khusus pada ranah estetika (baca: musik). Keikutsertaan warga lebih pada pelaksana pengelolaan saja. Dalam hal ini, alangkah elok jika turut mempertimbangkan keterlibatan tokoh budaya setempat untuk bersinergi. Semisal Ds. Kledokan yang telah akrab dengan aktivitas pelestarian budaya dan kesenian—seperti kelompok kesenian tradisional gejog lesung dan prajurit Bregada—dieksplorasi secara lebih. Semisal praktik kolaborasi atau penempatan pentas kesenian setempat yang lebih strategis—semisal di agenda malam—pada jadwal pergelaran.

Pasalnya, kiranya tidak ada satu dampak besar dari masyarakat terlibat—dalam hal ini dusun-dusun penyelenggara sebelumnya—yang berpartisipasi lebih pada jagad Jazz Yogyakarta. Di satu sisi penyelenggaraan yang tersebar akan menimbulkan rangsangan bagi setiap insan yang mendengar. Namun kiranya perlu dilihat lebih lanjut, rangsangan terhadap warga lebih pada rangsangan pengelolaan pergelaran atau musikal.

Bertolak dari itu semua, kita tetap perlu mengagumi dan mengapresiasi penuh kerja satu dekade lebih Ngayogjazz dalam melibatkan warga. Ngayogjazz menjadi satu anomali tersendiri bagi pertunjukan jazz ‘mewah’. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa Ngayogjazz telah menjadi role model bagi pergelaran dan festival jazz baru lainnya. Namun kiranya keterlibatan peran dan minat pada jazz dari warga perlu diupayakan lebih. Pasalnya, jangan sampai mereka yang terinspirasi dari Ngayogjazz dalam melibatkan warga justru hanya sebatas praktik penggunaan tempat karena alasan site spesific semata, persis kolonial yang datang ke lokasi jajahan, atau oknum yang berdalih kerja untuk rakyat namun hanya ‘mencaplok’ tanah warga.[]

Identity Project-Forum Aktor Yogyakarta; Pertanyaan Tentang Kesadaran

Sabtu, 11 November 2017 | teraSeni.com~

Seorang perempuan bergerak dengan salah satu lagu Radiohead: Lotus Flower. Kadang ia bergaya seperti seorang model, kadang ia juga bergerak  seperti  seorang penari. Makin lama perempuan tersebut menjadi begitu ekspresif hingga tibalah seorang lelaki berjalan menuju kamera dan mengambil gambar si perempuan dengan lampu flash yang menyala. Perempuan tersebut mendadak menjadi kaku, pemalu dan kikuk. Perlu waktu beberapa detik agar ia dapat menjadi netral. Si laki-laki dengan santai membuka pertunjukan mereka dengan perkenalan dan sedikit introduksi tentang realitas.

Identitas
Yudha (Sutradara dan penulis naskah) dan Puput, seperti itulah mereka memperkenalkan diri mereka. Mereka memulai percakapan tentang realitas dan media sosial. Percakapan itu mengarah kepada individu tertentu. Semula percakapan mereka terdengar seperti  “nyinyir”. Nyinyir itu tidak hanya didapati pada ranah obrolan kedua aktor.  Pada tampilan proyektor yang ditembakkan ke arah tembok—berupa obrolan grup line yang di-capture melalui handphone—juga terdapat sebuah kenyinyiran meskipun tidak terlihat nyata seperti yang digadang-gadangkan kedua aktor tersebut dalam obrolannya.. Namun seiring percakapan itu terus berlanjut, terdapat pertanyaan-pertanyaan berkualitas tentang identitas manusia-manusia penghuni dunia maya di hadapan realitas.

Identity Project-Forum Aktor Yogyakarta-teraSeni.com
Puput dan Yudha
mendiskusikan percakapan grup line,
Salah Satu Adegan dalam Identity Project
Forum Aktor Yogyakarta
(Foto: Agathon Hutama)

Percakapan itu terus berlanjut ke arah identitas diri. Kedua aktor tersebut terus beradu argumen tentang identitas diri si subjek yang kian bias karena media sosial. Selain itu, pertunjukan ini juga melibatkan penonton secara langsung untuk ikut berpartisipasi dalam asumsi-asumsi yang sedang mereka bangun. Mana kah identitas kita sesungguhnya?  Identitas yang kita bangun di dunia maya atau identitas yang ada dalam realitas sosial?

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti ditujukan kepada penonton, dan secara tidak langsung mengajak penonton menyelam ke dalam pengalaman reflektif yang dihadirkan oleh pelaku seni (baik aktor atau sutradara). Melalui momentum ini saya teringat ujaran Jacob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni (2000) bahwa, “karya seni yang baik tentu saja harus mampu memberi pengalaman reflektif kepada siapa saja yang melihatnya, sehingga daya gugah yang dihasilkan dapat mengantarkan penonton pada perubahan”

Banyak orang berlomba-lomba mencitrakan dirinya dalam sebuah postingan di media sosial, sebagai contoh instagram.  Setiap postingan seakan-akan menjadi puzle bagi pemilik akun instagram untuk membangun identitas mereka, meskipun identitas itu sendiri adalah citraan yang dibuat dengan tujuan masing-masing dari pemilik akun.  Kira-kira itulah point yang ingin disampaikan dalam pertunjukan Identity Project, produksi Forum Aktor Yogyakarta, yang berpentas di tiga kampus di Yogyakarta pada pertengahan Oktober 2017 lalu. Identity Project ingin membawa penonton pada fase kesadaran diri di hadapan media sosial.

Identity Project-Forum Aktor Yogyakarta-teraSeni.com
Yudha menjelaskan perihal tubuh
yang didewasakan kamera
Adegan lainnya dalam Identity Project
Forum Aktor Yogyakarta
(Foto: Agathon Hutama)

Tentang Kesadaran
Pertunjukan Identity Project produksi Forum Aktor Yogyakarta tidak hanya mengajak penonton pada titik kesadaran identitas dalam kepungan media sosial dimana seseorang bisa mengatakan sebuah kalimat atau berada dalam sebuah peristiwa yang berbeda antara realitas dan media sosial. Di tengah-tengah pertunjukan kedua aktor  tersebut menyuguhkan fenomena tentang tubuh-tubuh yang didewasakan oleh kamera. Tubuh yang dewasa karena kamera merupakan tubuh yang secara sadar dapat mendeteksi bahwa si pemilik tubuh sedang dalam pengawasan kamera.

Kesadaran tersebut tidak hanya muncul  secara tiba-tiba seperti yang dibahas dalam psikoanalisis (contoh: ketika seseorang sedang berfoto selfi sehingga ia mengatur posisi tubuh, wajah bahkan senyum agar mendapatkan hasil yang baik. Kesadaran ini sendiri justru lebih mengacu pada bagaimana sikap tubuh seseorang di hadapan kamera, secara spontan tubuh itu sendiri akan berubah menjadi sangat teratur dan tertata di hadapan kamera.

Dalam petunjukan ini, yang dimaksud dengan tubuh bukanlah badan (secara biologis) yang bersifat fisik dan terbatas ruang geraknya.  Akan tetapi, tubuh yang dimaksud di sini merupakan tubuh secara keseluruhan yang melekat pada diri manusia, mulai dari mental, jiwa, pikiran, rasa, prilaku, bahasa, penampilan, simbol dan aktifitas sosial lainnya. Tubuh secara keseluruhan ini mendadak menjadi dewasa bila dihadapkan dengan kamera, karena dalam kehidupan sosial saat ini kamera telah menjadi mata kedua bagi masyarakat sosial itu sendiri.

Kamera dapat berelasi secara langsung dengan media sosial karena masyarakat masa kini bisa dengan mudah memposting hasil gambar ke media sosial. Hal ini tidak hanya terjadi pada orang-orang dewasa. Seperti virus, pendewasaan tubuh karena kamera ini juga menyerang anak-anak. Dengan sangat mudah mereka meniru hal-hal yang dilakukan orang-orang dewasa. Seperti yang terjadi pada Puput, tubuhnya mendadak menjadi dewasa (teratur dan selalu ingin nampak baik).

Pada akhirnya melalui pertunjukan Identity Project dapat disimpulkan bahwa manusia yang telah dikepung oleh media sosial harus memiliki kesadaran dan sangat paham resiko-resiko apa saja yang akan di hadapinya. Identity Project merupakan pertunjukan yang tidak hanya mempertanyakan tentang realitas, akan tetapi bagaimana realitas itu sendiri. Terlepas dari semua asumsi dan fakta  yang coba dihadirkan dalam pertunjukan Identity Project, pertunjukan ini berhasil  mengantarkan kita pada kesadaran diri. Kesadaran yang akan membentuk tentang identitas kita di media sosial.

Lagu Puisi Lubuk Hati Bicara; Panorama Masa Lalu dalam Jalinan Rupa dan Nada Untung Basuki

Jumat, 20 Oktober 2017 | teraSeni.com~

“Mari kita bersama-sama berada dalam ruang angan-anganku”

Demikian sepenggal kalimat ajakan yang dilontarkan oleh Untung Basuki kepada hadirin dalam ruang pagelaran lagu puisi, Senin malam, 2 Oktober 2017 di Pendhapa Art Space Sewon Bantul. Untung Basuki mengajak hadirin yang berada di arena pagelaran untuk masuk ke dalam dimensi waktu masa lampaunya. Masa lampau Untung Basuki ketika dalam proses kerja kreatif untuk menghadirkan karya lagu puisi-puisinya. Setting panggung yang dibuat meniru kamar tidur Untung Basuki di masa muda, memberi efek visual yang melengkapi romantisme masa lampau seorang Untung Basuki. Pergelaran ini semacam “rekonstruksi”, reka ulang peristiwa-peristiwa kebertubuhan Untung Basuki. Mencoba merefleksikan kembali jengkal demi jengkal pengalaman hidup yang pernah dilaluinya.

Untung Basuki Lagu Puisi Lubuk Hati Bicara-teraSeni.com
Senin malam, 2 Oktober 2017 di Pendhapa Art Space,
Untung Basuki mencoba merefleksikan kembali
jengkal demi jengkal pengalaman hidup
yang pernah dilaluinya
(Foto: Rakhmat)

Untung Basuki dan Ruang Angan-angannya
Karya-karya lagu puisi Untung Basuki merupakan hasil respon dari apa yang ia lihat, dengar, rasakan dari dalam diri dan lingkungan. Karya lagu puisi yang membicarakan tentang dirinya sendiri juga menjadi media untuk membicarakan wacana kritis atas konstelasi sosial politik pada masa itu. Lagu puisi yang tercipta atas intuisi dan digarap melalui daya musikal seorang Untung Basuki. Ia berujar bahwa lagu puisinya diciptakan berasal dari “lubuk hati”. Lubuk hati yang menghadirkan lapis-lapis estetis kemudian memberi efek perasaan kepada penikmatnya.

Diawali dengan lagu puisi berjudul Lepas-lepas, kemudian Pakde (panggilan akrab kami) masuk mengelilingi arena pagelaran menggunakan sepeda onthel. Lalu ia naik di atas panggung, dengan senyum khas dan perawakan yang tidak muda lagi, namun tetap energik , Pakde menyapa hadirin yang mayoritas adalah teman-teman “seperjuanganya” dengan ramah. Pergelaran yang komunikatif dan tidak terkesan formal melarutkan hadirin dalam suasana yang santai dan penuh dengan kebersahajaan. Malam itu Pakde tidak sendirian di atas panggung, ia ditemani oleh beberapa sahabat-sahabatnya antara lain Navika Pramestya dan Picul Siwi Asmara. Bersama Vika, Pakde menyanyikan lagu puisi berjudul Ingin Ku Gambar, sedangkan bersama Picuk Siwi Asmara, Pakde membawakan lagu puisi berjudul Hutan Pinus.

Untung Basuki Lagu Puisi Lubuk Hati Bicara-teraSeni.com
Untung Basuki mengajak hadirin
untuk masuk ke dalam dimensi waktu masa lampaunya,
ketika ia menciptakan karya lagu puisi-puisinya

(Foto: Rakhmat)

Sebagai seorang seniman dengan latar belakang pendidikan seni rupa dan pernah menimba ilmu sastra dan teatrikal di Bengkel Rendra, karya-karya lagu puisi Untung Basuki memiliki karakteristik yang unik, salah satunya yaitu warna suara pakde Untung yang kental dengan dialek Jawa, menghadirkan intonasi dan artikulasi yang medog. Susunan nada-nada lagu terkesan sederhana, tidak berkutat pada teknik vokal atau permainan gitar yang rumit, lirik-lirik dengan bahasa yang lugas namun tetap terasa puitis salah satunya dalam penggunaan metafora-metafora didalam sajaknya. Pembawaan  musikal yang “apa adanya” menyiratkan “kesederhanaan” Untung Basuki dalam kesehariannya, tercermin juga dalam karya-karyanya.

Karya-karya lagu puisi Untung Basuki merupakan olahan kreatif atas aktivitas ide dan imajinasi seorang perupa. Pertunjukan Untung Basuki dan lagu puisinya terbaca bak “rupa nada”, ibarat lukisan yang melantunkan nada-nada. Lukisan yang lazimnya dinikmati oleh pandangan mata, menjadi lukisan auditif yang tak tertangkap oleh visual, yang terletak dalam bayang-bayang imajinasi. Penggambaran panorama imajinatif dan interpretatif sebagai respon pengalaman diri, kemudian diwujudkan dalam karya lagu puisi. Penciptaan karya musik melalui kacamata seorang perupa dengan bekal estetisnya, menghadirkan elaborasi ide-ide musikal yang nampak dalam salah satu lagu berjudul “Ingin Kugambar”.

Penulis membaca lagu tersebut sebagai ruang “negosiasi” diantara ide/gagasan dan gambar, antara ide dan gambar tersebut terdapat ruang kreatif, ruang kerja kreatif  seorang Untung Basuki untuk menghadirkan lagu puisi. Entah siapa yang ia ingin gambar, entah siapa yang ia imajinasikan. Entah terealisasi atau tidak, karya berupa gambar dari sosok subyek yang ingin Pakde gambar, yang jelas ada satu harapan yang ingin diungkap dalam lagu ini, sebuah harapan besar yang tersirat pada akhir liriknya yaitu “Matanya tajam menembus, masa depanku, basuki.. basuki.. basuki.. basuki”.

Sally Dansgezelschap Maastricht: Dari Ballet Ke Ihwal Kekinian

Kamis, 19 Oktober 2017 | teraSeni.com~

Pertunjukan tari kontemporer dari Sally Dansgezelschap Maastricht (SDM) digelar di beberapa kota Indonesia, seperti Yogyakarta (7/10), Surakarta (9/10), dan Jakarta (11/10). Erasmus Huis berhasil menghadirkan di Indonesia kelompok tari kontemporer yang telah malang melintang menghasilkan 30 karya dalam rentan waktu tiga dekade. Bekerja sama dengan Warta Jazz, kelompok pertunjukan yang digawangi Stefan Ernst dan Ronald Witjens ini digelar di Pendhapa Art Space, Bantul, Yogyakarta.

Tarun ini pertunjukan SDM diberi tajuk Performance Skyline, merujuk salah satu judul repertoar baru yang menjadi repertoar terakhir dalam pertunjukan tersebut. Pertunjukan yang berhasil menghadirkan tarian karya baru berbasis tari tradisi (baca: ballet), terdiri dari empat repertoar pertunjukan, yakni “The Golden pas de Deux” karya Stephen Shropshire; “It just Happens for a Reason” karya Luis Ricardo Pedraza Cedrón; “Alone Together” karya Patrizio Bucci; serta karya “Skyline” karya Stefan Ernst, Itzik Galili, Roy Assaf.

Performance Skyline Oleh Sally Dansgezelschap Maastricht-teraSeni.com
Pertunjukan tari kontemporer
Sally Dansgezelschap Maastricht
digelar di Pendhapa Art Space Yogyakarta
7 Oktober 2017
(Foto: Aji Wartono)

Hal yang menarik, empat repertoar pertunjukan tersebut menyoal hal yang tidak jauh berbeda, yakni kehidupan sehari-hari—soal-soal yang kerap diangkat oleh koreografer tari kontemporer. Interpretasi masing-masing koreografer dari tersebut lantas berpadu dengan kosa gerak ballet. Terlebih, “Setiap koreografer dan penari mempunyai basis ballet yang kuat”, ungkap Stefan Ernst (pimpinan SDM). Dalam hal ini, Ballet menjadi cara tutur untuk menyampaikan sebuah gagasan.

Namun yang menarik, nuansa dan kedalaman yang masing-masing koreografer buat tidak seragam. Selain terkait dengan interpretasi yang secara sendirinya berbeda, hal ini tentu terkait dengan berbedanya basis ballet yang mereka pelajari. Dalam hal ini, ballet tidaklah tunggal. Terdapat perbedaan pada fokus gerak serta kedalaman, antara ballet Jerman, ballet Perancis, dan seterusnya. Hal ini tentunya mempengaruhi habitus dari koreografer yang berasal dari negara yang berbeda-beda pula. Lantas mereka bertemu serta menghasilkan karya di SDM, membuat ballet menjadi bervariasi baik secara sumber penciptaan, kosa gerak, serta orientasi penonton.

Ballet yang Beraneka
Pertunjukan diawali dengan repertoar tari berpasangan bertajuk The Golden Pas deDeux, karya koreografer, Stephen Shropshire. Dalam ballet, terma Pas de Deux memang tidak asing. Terma tersebut merujuk pada tari ballet berpasangan. Shropshire—sebagai koreografer—ingin mewujudkan esensi dari tari berpasangan tersebut melalui karya koreografinya.

Pada pertunjukan ini, kedua penari menggunakan pakaian ballet yang lebih modern, yakni hanya pakaian berwarna hitam yang merekat pada tubuh, baik penari perempuan ataupun laki-laki. Repertoar pertama ini didominasi sifat gerakan ballet pada umumnya, yakni levitasi. Kosa gerak ballet pun terasa utuh, baik melompat, berjinjit, berputar, menggendong penari lain, yang merujuk pada gerak-gerak menawan secara visual.

Sebagai repertoar pertama, rasanya tepat SDM membuka pertunjukan dengan memberikan keindahan visual ballet. Hal ini tentunya memberikan pondasi referensi yang tegas antara ballet yang ansih dengan tari kontemporer berbasis ballet. Dalam karya tersebut, kedua penari dapat memberikan nuansa ballet yang kental dengan gerakan-gerakan eksplorasi atas kosa gerak ballet yang dikelindankan dengan gerak keseharian. Namun porsi gerak keseharian tidak terlalu dominan pada repertoar pertama.

Performance Skyline Oleh Sally Dansgezelschap Maastricht-teraSeni.com
Repertoar kedua bertajuk
It Just Happens for a Reason
karya Luis Ricardo Pedraza Cedrón
dalam Gelaran tari kontemporer
Sally Dansgezelschap Maastricht  
(Foto: Aji Wartono)

Sedangkan repertoar kedua bertajuk It Just Happens for a Reason karya Luis Ricardo Pedraza Cedrón. Yang menarik dari karya kedua adalah sang koreografer menarikan tunggal karyanya secara langsung. Alhasil mulai dari konsepsi, pembawaan, nuansa, hingga gerak yang dikoreografikan berasal dari sang koreografer secara langsung.

Di awali dengan seorang laki-laki (baca: Cedrón) berpakaian kasual berjalan dari arena penonton. Perlahan menaiki panggung, ia melepas sepatunya. Kemudian sekejap ia bergerak berbeda, dimulai dengan berlari kecil, mendekap, berputar, hingga lompatan-lompatan tinggi ala ballet. Berbeda dengan karya sebelumnya, karya dari Luis Cedrón ini berorientasi pada gagasan, kombinasi gerak, hingga pakaian yang lebih kekinian.

Di Indonesia, beberapa kecenderungan seperti penggunaan pakaian, sturktur pertunjukan di awal dan akhir—khususnya keterkaitan dengan penggunaan artistik (baca:sepatu)—hampir dapat dipandankan dengan karya Sherli Novalinda dengan karyanya yang bertajuk “Meniti Jejak”.

Kembali pada karya, secara gagasan, Cedrón ingin mengajak penonton merespon kehidupan sehari-hari yang divisualkan melalui gerak-gerak ballet. Dalam hal ini Cedrón memang mempunyai basis tubuh ballet yang matang, namun alih-alih mewujudkan setiap gerak ballet, Cedrón melakukan pelbagai kombinasi geraknya dengan gerak-gerak modern dan gerak keseharian.

Performance Skyline Oleh Sally Dansgezelschap Maastricht-teraSeni.com
Repertoar bertajuk Alone Together
karya Patrizio Bucci, membawa gagasan
yang mendalam atas tubuh,
yakni kesendirian dalam kebersamaan 
(Foto: Aji Wartono)

Kombinasi tersebut menjadi sangat menarik secara visual, di mana gerak yang dipertunjukan tidak hanya merujuk pada praktik stilisasi gerak, melainkan memperlihatkan distorsi gerak tubuh. Hal ini menjadi semakin selaras dengan pilihan Cedrón menggunakan pakaian kasual dalam pertunjukannya.

Pada repertoar ketiga, pertunjukan bertajuk Alone Together karya Patrizio Bucci. Karya kontemporer ini membawa gagasan yang mendalam atas tubuh, yakni kesendirian dalam kebersamaan. Karya ini dapat dibaca dan ditautkan pada persoalan kini yang tidak terbatas pada kultur, sosial, ataupun teritori, semisal pada praktik penggunaan gawai oleh keluarga Indonesia, dan sebagainya. Karya ketiga ini membawa gagasan yang universal dan melulu berulang. Gagasan tersebut lantas berpadu-padan dengan kosa gerak ballet—khususnya tari berpasangan—dengan orientasi pada kekuatan.

Karya ketiga ini ditarikan oleh seorang penari laki-laki berbadan tegap dan berotot (Pedro Ricardo) yang mempunyai kosa gerak ballet yang baik dan seorang perempuan berambut bondol (Amy Greene). Pada karya ketiga, gerakan diawali dengan gerak individu dan eksplorasi—baik gerak ataupun ruang—, namun setelahnya interaksi gerak yang diciptakan lebih beragam dan mendalam, seperti ketika laki-laki menangkap perempuan yang melompat lalu memutarkan tubuhnya di dalam dekapannya, penari perempuan yang bercangkung bertumpu pada dengkul sang laki-laki, dan sebagainya.

Sedangkan pada repertoar terakhir adalah pertunjukan puncak yang bertajuk Skyline. Sebelum dimulai, Stefan Ernst mengungkapkan bahwa karya tari tersebut baru diluncurkan beberapa minggu sebelum kedatangannya ke Indonesia. Karya ini menceritakan tentang rasa cinta dari lima individu yang berbeda. Secara lebih lanjut, karya ini menceritakan tentang pertemuan, perbedaan, kepercayaan, kebersamaan, dan cinta. Karya tersebut dicipakan oleh Stefan Ernst, Itzik Galili, dan Roy Assaf.

Berbeda dengan tiga karya sebelumnya, Skyline diawali dengan porsi kosa gerak ballet yang lebih tersirat. Sedangkan gerakan keseharian lebih mempunyai porsi yang lebih banyak. Karya ini lebih wantah dalam pesan, di mana ditandai dengan tiga buah kertas yang bertuliskan Everything You Want Is On Other Side of Fear pada awal pertunjukan, dan Everything You Want is Love di akhir pertunjukan, direntangkan oleh tiga dari lima penari terlibat. Maksud hati tulisan tersebut menambah kesan mendalam pada koreografi yang telah disusun, tulisan tersebut justru membuat pertunjukan menjadi hambar.

Performance Skyline Oleh Sally Dansgezelschap Maastricht-teraSeni.com
Repertoar terakhir bertajuk Skyline,
berkisah  tentang rasa cinta
dari lima individu yang berbeda 
(Foto: Aji Wartono)

Tidak hanya itu, gagasan yang ingin disampaikan agaknya terasa terlalu berlapis. Dalam hal ini gagasan yang membentuk cerita bukan menjadi soal, namun sisipan atau lapisan cerita yang berlebih membuat tingkat sublim pertunjukan menjadi penuh resiko. Dan malam itu, resiko tersebut harus ditanggung mereka. Tidak hanya itu, beberapa gerak yang dikoreografikan untuk menyusun gagasan tersebut seraya terasa mentah, dengan rangkaian alur yang agak dipaksakan.

Usut punya usut, terjadi beberapa penyesuaian dan perubahan pada repertoar Skyline ini, ungkap Stefan Ernst. Penyesuaian tersebut cukup banyak, seperti: seperti durasi pertunjukan yang semestinya 59 menit dipotong menjadi 20 menit; artistik yang semestinya tembok yang kelak dieksplorasi; serta beberapa alur yang dirasa beresiko jika dipertunjukan di Indonesia; dan sebagainya. Atas dasar inilah, segala dugaan menjadi benar. Namun seyogianya, hal tersebut dapat diatasi, seperti orientasi panggung yang dilakukan beberapa hari sebelumnya, riset orientasi penonton, hingga pengaturan ulang alur yang termanifestasikan pada gerak.

Ambil Baiknya Buang Buruknya
Kita dapat menuduh bahwa SDM tidak ‘siap’ pada repertoar Skyline, karya yang digadang-gadang oleh mereka. Namun perlu dicatat, kerja memeras karya yang berdurasi panjang menjadi terbatas, dan layak dipertontonkan itu juga kerja yang perlu diapresiasi. Semisal, kita perlu mengapresiasi beberapa gerak yang memang inspiratif, seperti ketika seorang penari berjalan di antara dengkul penari lainnya, simbol gerak dari ‘kerjasama’, seorang penari menjatuhkan diri ke keempat penari lainnya, simbol gerak dari rasa ‘percaya’, serta beberapa gerak lainnya turut terbentuk dengan pesan-pesan serupa.

Secara lebih lanjut, Stefan menyatakan bahwa orientasi SDM memang lebih kepada pesan-pesan sosial yang disematkan pada gerak. Dengan demikian, cukup jelaslah jika SDM membuat karya untuk banyak usia. Dalam hal ini, karya SDM dibuat berdasarkan negosiasi antara gagasan tari dan orientasi penonton yang akan disajikan—dalam hal ini usia. Namun SDM tidak wantah mewujudkan tari kontemporer untuk penonton anak-anak dengan sikap atau visual seperti anak-anak, melainkan mencari jalan tengah yang lebih berat ke ranah estetik.

Performance Skyline Oleh Sally Dansgezelschap Maastricht-teraSeni.com
Repertoar terakhir bertajuk Skyline,
tampil sebagai penutup Pergelaran tari kontemporer
Sally Dansgezelschap Maastricht 
 di Pendhapa Art Space Yogyakarta
(Foto: Aji Wartono)

Begitupun dengan Skyline, harapan Stefan di dalam repertoar ini dapat memberikan rasa cinta yang beraneka ragam, baik, ras, kultur, sosial, ekonomi, usia, serta jenis kelamin. Maka diwujudkan lah kelima penari yang mewakili asosiasi tertentu satu sama lain. Semestinya, Skyline dapat memberikan satu pengalaman baru untuk masyarakat kita, yang tidak hanya berwarna secara visual, melainkan secara pendalaman gagasan yang matang. Dan mungkin hal tersebut dapat dipetik jika repertoar Skyline dipertunjukan utuh.

Bertolak dari itu semua, SDM telah memberikan referensi gerak ballet yang menarik. Mereka telah memberikan secuil dari cakrawala ballet yang luas. Dari SDM, kita juga perlu telusuri atas sikap mereka dalam mengimani tari kontemporer yang berbasis tradisi. Di mana mereka dapat mewujudkan tari kekinian tanpa meninggalkan tradisi mereka—walau hanya tersisa nuansa tradisi sekalipun. Negosiasi-negosiasi tersebut lah yang menarik untuk diamati. Hal yang kiranya cukup akrab dengan beberapa koreografer tari kontemporer di Indonesia.[]
           
                     

Der Bau: Tubuh yang Meruang dan Ruang yang Menubuh

Jumat, 13 Oktober 2017 | teraSeni.com~

Ada yang tidak biasa dari pertunjukan tari kontemporer bertajuk Der Bau karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring. Selain bertumpu pada praktik alih wahana dari karya sastra ke tari, karya yang diselenggarakan oleh Goethe Institut di Komunitas Salihara pada akhir bulan September (29-30) 2017 ini terbilang cukup berani. Pasalnya sang penari tunggal, Isabelle memutuskan untuk tidak mengenakan sehelai busana pun di dalam karyanya.

Namun pilihan Isabelle ini cukup matang dan beralasan. Ketelanjangan tubuh yang dipilih tersebut merupakan pengejawantahan atas interpretasinya pada karya sastra yang bertajuk “Der Bau” dari Franz Kafka. Karya yang dibuat oleh sang novelis Ceko pada tahun 1923-1924 tersebut membahas tentang tubuh dan sarang. Dalam hal ini, sarang terdiri dari jejak, harapan, keraguan, langkah yang terbuat dari tubuhnya sendiri. Sarang tersebut kelak menjadi bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari sang empunya tubuh.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Der Bau, Koreografi karya
Isabelle Schad dan Laurent Goldring
(Foto: Laurent Goldring)

Isabelle dan Laurent menginterpretasikan tubuh dan sarang ke dalam interaksi pertama antara tubuh dan ruang, yakni rahim. Rahim disadari sebagai ruang pertama yang dialami dan ditinggali tubuh. Bermula dari hal tersebut, pilihan Isabelle untuk menampilkannya tanpa busana menjadi masuk akal. Namun sensasi atas ketelanjangan bukanlah hasil akhir dari tafsir rahim, melainkan rahim sebagai ruang pertemuan tubuh dengan segala kompleksitasnya.

Dalam mengisi ruang, kerja koreografi Isabelle pun tidak menampilkan gerakan-gerakan indah, bahkan lebih banyak yang dimulai dari gerakan sederhana. Isabelle memilih gerakan-gerakan yang tidak lazim namun sarat makna—dengan teknik dan eksplorasi yang mendalam. Yang menarik, tiap gerak Isabelle mempunyai kepekaan visual yang ramah di mata. Secara lebih lanjut, Laurent Goldring berperan signifikan atas hal tersebut.

Dampak dari pilihan gerak, kepekaan visual, serta kedalaman tema lantas membuat ketelanjangan yang kerap diasosiasikan erotis dapat diubah. Dalam hal ini, Isabelle dan Laurent memberikan satu cara pandang alternatif dalam menerjemahkan ketelanjangan sebagai satu kesadaran media ungkap.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Dalam Der Bau, Isabelle dan Laurent
menginterpretasikan tubuh dan sarang ke dalam
interaksi pertama antara tubuh dan ruang, yakni rahim
(Foto: Laurent Goldring)

Selain pendalaman gagasan dan penelusuran kemungkinan gerak yang matang, karya Der Bau turut didukung oleh Emma Juliard pada penataan cahaya dan Peter Böhm dalam penataan suara. Emma Juliard mewujudkan gagasan Isabelle pada bentuk pencahayaan yang khas. Berbentuk persegi, kain berwarna kusam dipasang di langit-langit panggung. Kain tersebut membuat cahaya menjadi teram temaram, terkesan suram.

Sedangkan pada tata suara, Peter menggunakan sumber bunyi yang lebih dekat dengan keseharian, seperti suara guratan kapur, suara dengungan besi, hingga desiran ombak. Rangkaian suara yang merespon tiap gerak Isabelle ini lantas ditempatkan menyebar (baca: surround). Dampak dari penataan suara semacam ini membuat batas panggung dan arena penonton semakin kabur secara aural. Atas hal ini, tidak muluk-muluk jika mengatakan karya Der Bau ini hasil kerja antar bidang yang selaras.

Tubuh “Sarang” yang Menubuh
Diawali dengan pencahayaan yang temaram, Isabelle membungkuk di sisi belakang panggung. Kedua tangannya berpijak di kedua kakinya—persis orang kelelahan. Beberapa saat kemudian, ia menggerakan kedua bahunya secara perlahan. Dilakukannya berulang kali hingga bahunya bergerak pada tempo yang cepat tapi tak teratur. Setelah itu gerakannya berangsur melambat, dan mulai menggapai beberapa bagian kaki, seperti: dengkul, juga mata kaki. Yang menarik, terdengar suara kapur yang tergurat ke papan di tiap kali ia menyentuh kakinya, laiknya tata suara Peter Böhm merespon tiap gerak Isabelle.

Isabelle yang tengah menggerakan tangannya dengan cepat mulai mengambil selembar kain berwarna hitam. Lantas kain panjang tersebut ia gerakan di antara tubuhnya, ke atas dan ke bawah. Kelamaan, ia membuat sebuah pola gerakan lingkaran yang dikibaskan ke wajahnya. Lalu ia merentangkan kain tersebut menutupi keseluruhan tubuhnya. Ia berjalan ke arah depan panggung dengan kain tertutup dan kembali berjalan mundur menggelar kain tersebut hingga ke area belakang panggung.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Der Bau, dipentaskan oleh Goethe Institut 
di Komunitas Salihara, 29 dan 30 September 2017(Foto: Laurent Goldring)

Di belakang panggung, ia mulai bergerak dengan putaran tangan yang lebih besar. Kain tersebut ia biarkan terjatuh, sementara gerakan tangannya tetap memutar. Setelahnya ia kembali membungkuk, mengambil kain dengan warna yang sama di sisi kiri panggung dan mulai menggerakannya. Alih-alih serupa, ia menggerakan kain tersebut dengan pola gerak yang berbeda. Ia kibaskan ke kiri dan kanan membentuk pola silang berjalan ke depan panggung, dan berjalan mundur.

Setelah itu, kain tersebut ia jatuhkan dengan posisi tubuh tegap dengan tangan direntangkan ke atas dengan wajah yang menengadah. Secara cepat rambutnya ia urai dan menggeliat di tempat. Kendati ia bergerak dengan pola gerak yang lebih bebas, namun ia tetap melakukan gerakan yang berulang. Tata suara pada kain kedua ini didominasi oleh suara dengungan besi.

Kemudian ia membungkuk mengambil kain berwarna abu-abu yang terletak di bagian belakang panggung. Tidak jauh berbeda, ia mengibaskan kain tersebut dengan pola yang berlainan pula. Jika lainnya digerakan di bagian depan tubuhnya, pada kali ketiga ini kain tersebut digerakan di bagian belakang tubuhnya—laiknya orang menggenakan selendang. Ia berjalan maju ke arah panggung, dan kembali mundur ke area belakang panggung. Kembali kain ia lepaskan, dengan gerakan laiknya menggenggam kain, ia melangkah ke bagian kanan panggung secara perlahan. Tata suara pada bagian ketiga ini adalah suara desiran ombak yang terdengar sayup-sayup.

Di sisi kanan panggung ia kembali menarik sebuah kain berwarna cokelat. Berbeda dengan eksplorasi pada tiga kain sebelumnya, ia memeluk kain tersebut sembari berjalan ke depan panggung. Kemudian ia menghempaskan kain tersebut ke tanah sembari melakukan eksplorasi gerak tangan dan perut. Alih-alih diletakan di tengah panggung serupa dengan kain lainnya, kain keempat ini ia letakan di sisi kanan depan panggung.

Setelah meletakan kain tersebut, ia menarik kain cokelat lainnya yang berukuran lebih besar. Tidak seperti sebelumnya, ia menggelar kain tersebut dan membuat gelombang—laiknya ombak. Ia letakan kain tersebut sembari ia berjalan di atas kain yang tengah ia rentangkan. Kemudian ia menarik kain tersebut dan kembali menggendong kain tersebut kemanapun ia pergi. Tata suara pada dua kain cokelat ini merupakan hasil kombinasi dari suara kapur, dengungan besi, serta ombak.

Tidak lama berselang, pencahayaan semakin gelap dengan suara ombak yang semakin besar. Dua laki-laki orang berbadan tegap berjalan ke tengah panggung. Mereka menarik kain kain-kain tersebut, lalu menggelarnya satu per satu, mulai dari cokelat, hitam, hitam, serta abu-abu. Sementara kain digelar oleh kedua laki-laki, Isabelle menari di antara kain yang tergelar. Di kain terakhir, Isabelle telah tertelungkup. Yang cukup disayangkan, pergerakan kedua laki-laki tersebut justru menggangu kehadiran Isabelle kendati cahaya telah dibuat samar-samar.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Der Bau, Koreografi yang berangkat
dari novel Franz Kafka, yang membahas 
tentang tubuh dan sarang
(Foto: Laurent Goldring)

Kain telah tergelar dengan rapi, pencahayaan kembali membaik. Perlahan ia menarik kain-kain tersebut dengan gerak tubuh yang menggeliat. Keempat kain tersebut ditarik oleh Isabelle menuju ke dirinya. Lantas Isabelle mulai merayap, berputar, berguling hingga setiap lekuk tubuhnya tertutup kain menyerupai bahan yang membuntal. Yang menarik, kerap kali penonton tidak dapat menduga posisi tubuh Isabelle secara jelas ketika ia berputar.

Setelahnya ia kembali berguling ke satu sisi dan ke sisi yang lain untuk beberapa saat. Hingga pada akhirnya ia terdiam di tengah panggung. Seketika lampu padam dengan kombinasi bunyi yang semakin nyaring. Lampu kembali menyala, hanya tersisa kain yang tergulung berada di tengah panggung. Tanpa tubuh di dalam kain tersebut, atau dapat dibaca sebagai tubuh yang telah menyatu. Integral!

“Sarang” yang Niscaya Berulang
Ketelanjangan, gerak yang tidak indah, pencahayaan yang suram, dirasa cukup membuat penonton mengerenyitkan dahi di dua hari pentas. Banyak dari penonton yang berekspektasi lebih dan pulang dengan wajah tidak tenang (gusar hingga wajah berfikir). Namun Isabelle dan Laurent agaknya menyengajakan hal tersebut. pasalnya dari hal tersebut pelbagai macam dialog di dalam diri terjadi. Salah satunya adalah tubuh telanjang yang tidak melulu dianggap sebagai objek eksotik atau erotik, tubuh telanjang dapat ditautkan sebagai tubuh anatomis, historis, sosial, ataupun kultural.

Terkait dengan hal ini, pemaknaan karya menjadi sangat beragam. Hal ini pun memang tidak dapat ditampik oleh Isabelle. Kendati ia hanya menautkan interaksi tubuh dan ruang yang terinspirasi rahim, namun pelbagai ruang yang ia bangun dapat dibaca sebagai ruang dan tubuh yang beragam. Seperti halnya kain yang dapat diterjemahkan sebagai kompleksitas atas interaksi tubuh dan ruang, mulai dari urusan sosial, hingga kultural. Secara lebih lanjut, rahim dapat diartikan sebagai ‘kelahiran’ yang tidak melulu secara biologis, tetapi dapat bersifat sosial, politik, kultural dan pelbagai kontekstual lain hasil dari dialog tubuh dan ruang.

Der Bau, Koreografi karya Isabelle Schad dan Laurent Goldring-teraSeni.com
Isabelle Schad, sang penari tunggal,
memutuskan untuk tidak mengenakan
sehelai busana pun di dalam karyanya Der Bau
(Foto: Laurent Goldring)

Hal ini dapat ditautkan dengan apa yang dimaksud Kafka dengan sarang yang hidup dan menyatu pada tubuh. Sarang sebagai ruang tubuh yang terbentuk karena interaksi, maka jejak, bau, harapan, dan sebagainya terbaca sebagai hal yang paling sederhana terbentuk sebagai bagian dari tubuh. Secara lebih lanjut, sarang pada tubuh dapat didekati dengan konsepsi habitus milik Pierre Bourdieu. Di mana kerja habitus menyimpan pelbagai macam modal yang bertarung pada medan (field) atas hasil praktik pada trayektori, baik individu ataupun kolektif. Di sinilah ‘sarang-sarang’ kita terbentuk.

Bertolak dari hal tersebut, hasil percakapan tubuh dan ruang inilah yang diangkat oleh Isabelle dan Laurent. Hal yang kiranya remeh, namun selalu dan terus terjadi pada tubuh manusia, baik dulu, kini, atau masa depan. Sebuah kesadaran bahwa ‘sarang-sarang’ akan terus terbentuk bersama sang empunya interaksi, manusia. Ya sederhananya, interaksi itu memang berarti.[]

*Penulis hadir atas undangan Goethe-Institut Indonesia.