oleh teraseni | Jan 18, 2018 | Uncategorized
Kamis, 18 Januari 2018 | teraSeni.com~
Setelah program Pasadatari pertama dihelat pada bulan Mei 2017 lalu, program tersebut kembali diselenggarakan pada bulan desember 2017 lalu. Masih dalam format yang sama, yakni ‘penggodokan’ para penari atau koreografer muda selama tiga bulan dengan presentasi akhir berupa showcase, ada yang berbeda pada showcase kali kedua ini. Jika pada showcase pertama menampilkan tiga karya dari tiga peserta program, maka pada showcase yang kedua ini Pasadatari menampilkan tujuh karya dari tujuh penampil yang berasal dari gabungan peserta Pasadatari—baik peserta kedua yang berjumlah dua orang dan peserta pertama berjumlah tiga orang—serta dua penampil asal Padangpanjang, Sumatera Barat.
‘Pentas gabungan’ ini lantas diberi tajuk Lingkar Tari sebagai ruang presentasi karya dari para koreografer muda yang menciptakan karya berbasis ‘pendampingan’. Pada showcase kedua yang diselenggarakan di Pendhapa Art Space pada kamis (21/12/2017), Pasadatari menampilkan Aprilia Sripanglaras, Yurika Melani, Irwanda Putra, Endang Setyaningsih, Agnes Pamungkas, Kurniadi Ilham, dan Siska Aprisia. Tidak hanya menampilkan karya, pertunjukan yang dihelat atas kerjasama antara Pendhapa Art Space dan Komunitas Senrepita ini turut menghelat diskusi bertajuk “Dari Gagasan ke Koreografi”, dengan penanggap utama kritikus tari, Sal Murgiyanto. Bertolak dari hal ini, kendati ketujuh penari tidak dapat mewakili semua penari muda Indonesia, namun dari pertunjukan ini rasanya kita dapat melihat ragam pola kerja para koreografer muda era milenial
Gagasan, Tubuh, dan Koreografi: Catatan Pertunjukan
Showcase kedua Pasadatari menampilkan empat karya pada sesi pertama, dan tiga karya tersisa pada sesi kedua. Keseluruhan karya tersebut ditarikan secara tunggal oleh para koreografernya masing-masing. Pertunjukan pertama diawali dengan sebuah karya yang terinspirasi dari pengalaman pribadi akan keadaan kuldesak atas dua pilihan hidup dari sang koreografer, yakni biarawati atau ibu. Perasaan kuldesak tersebut menjadi landasan berfikir Agnes Pamungkas dalam menyusun gagasan dan merangsang garap bentuk dari karyanya yang bertajuk Dilema. Di dalam karya tersebut Agnes turut berkolaborasi dengan penata musik, Harry Kristian Buana Tanjung.
 |
Agnes Pamungkas
dalam karyanya yang bertajuk Dilema
(Foto: Nanang Setiawan) |
Pertunjukan dimulai dalam cahaya panggung yang teram temaram. Seorang perempuan bersimpuh-menunduk dengan gerak yang tidak lazim di tengah panggung. Berkerudung Mantilla—kerudung khas umat Katolik—, tangannya mengepal menengadah laiknya genggaman tangan yang tengah berdoa. Perlahan pergelangan tangan tersebut bergerak memutar ke kiri dan ke kanan. Memberikan kesan khusyuk, sekaligus terpenjara. Dilatari bunyi lonceng yang bernada minor membuat kesan suram tak terhindarkan. Perlahan perempuan itu mulai bangkit dengan genggaman tangan yang tak terlepas. Lantas ia mulai mencondongkan tubuhnya ke depan dan belakang.
Beberapa saat berselang, tangan tergenggam tersebut perlahan tersilang di antara lutut penari. Lantas Agnes mulai bergerak mengayun dengan posisi tangan tersilang. Yang cukup menarik adalah eksplorasi gerak tangan tersilang ini menjadi etude atau dasar gerak dalam karya ini. Secara lebih lanjut persilangan yang dihadirkan Agnes memberikan impresi keterikatan atau keterpenjaraan.
Selanjutnya Agnes sengaja memberi perbedaan gerak yang signifikan di tengah karyanya. Kiranya hal ini menunjukkan bahwa ada dua hal yang ingin ia utarakan. Dan hal tersebut semakin jelas ketika Agnes menyiasati posisi Mantilla yang sebelumnya dikenakan di kepalanya menjadi di pinggangnya yang disiasati di tengah pertunjukan. Perubahan-perubahan yang sifatnya artistik tersebut kiranya menjadi tanda yang cukup eksplisit dalam memperlihatkan adanya perbedaan.
Di dalam karyanya, Agnes mengawali ‘tahap’ kedua ini dengan posisi unggat-unggit yang dilanjutkan dengan gerakan mengayun. Dua gerakan ini kiranya mengantarkan Agnes pada gerak menimang. Gerakan ini mengantarkan persepsi kita akan aktivitas seorang ibu yang tengah menggendong anaknya. Alih-alih ibu adalah tujuan akhir, gerakan menimang tersebut beralih menjadi gerakan yang justru mengikat tubuhnya, laiknya mencekik lehernya sendiri. Dalam hal ini, Agnes menunjukkan bahwa menjadi seorang ibu turut memiliki ‘keterpenjaraan’ tersendiri. Di mana terdapat tahap dimensi kebebasan yang turut terenggut.
Secara lebih lanjut, dua tahap ini menunjukkan adanya perasaan ‘keterkekangan’ yang sama. Hal ini lah yang kiranya mengartikulasikan kedilemaan yang dialami Agnes, sebagaimana tajuk dari karya tersebut. Alih-alih pertunjukan usai dengan dilema tanpa akhir, karya ini ditutup dengan gerakan berputar di tempat laiknya tarian Sufi. Dalam hal ini, Agnes Pamungkas seakan mengembalikan keterjebakannya kepada sang maha kuasa guna menuntunnya mendapatkan jawaban yang terbaik.
Lantas apa yang dapat dipetik dari karya Agnes? Sekiranya, kita dapat melihat gagasan dilema yang dialaminya direpresentasikan ke dalam karyanya. Kendati tidak ditunjukkan secara eksplisit, namun gerak-gerak yang dikoreografikan kiranya mengantarkan kita pada hal-hal bertautan dengan aktivitas biarawati dan ibu. Untuk aktivitas biarawati, Agnes memilih gerakan janggal namun tetap mempertahankan hal-hal yang kuat, seperti genggaman tangan serta bersimpuh. Sedangkan untuk memberikan impresi ibu, Agnes menggunakan etude gerak yang mudah diresepsi, yakni menimang.
Dalam hal ini, kiranya kita dapat melihat secuil kekuatan tari, di mana kepercayaan pada tubuh sebagai medium berbicara yang tidak sembarang janggal namun bermakna. Namun pada karya Dilema ini kiranya Agnes Pamungkas perlu memberikan perhatian lebih pada teknik dan pengembangannya. Hal ini kiranya menjadi kunci agar gagasan yang disampaikan dapat terartikulasikan dengan baik.
Selanjutnya showcase kedua ini menampilkan pemuda asal
Sumatera Barat yang tengah menempuh studi di Pascasarjana ISI Surakarta, Kurniadi Ilham. Dalam kerja kepenarian, Ilham mempunyai pengalaman tubuh yang cukup beragam, sebut saja kesertaannya menjadi penari dalam karya Nosheheorit dari koreografer Otniel Tasman atau Meniti Jejak dari koreografer Sherli Novalinda. Pada Showcase Pasadatari ini, Ilham menampilkan karyanya yang bertajuk AKA. AKA bercerita tentang saling silang tubuh silat yang dimilikinya. Di dalam karya tersebut, Ilham berkolaborasi dengan penata
musik, Mahamboro dan Jumaidil Firdaus.
 |
Kurniadi Ilham menampilkan
karyanya yang bertajuk Aka
(Foto: Nanang Setiawan) |
Bermandikan samar-samar cahaya, pertunjukan diawali dengan tubuh yang tengah menunduk. Perlahan tubuh tersebut mulai menegakkan ruas punggungnya, dengan posisi kedua lengan yang condong ke depan. Alih-alih tanpa tenaga, gerakan lengan yang condong tersebut justru menunjukkan intensitas tenaga yang lebih, laiknya menggeliat dengan tenaga. Dengan pola gerak yang serupa, selanjutnya ia mulai menggeliat dengan perlahan.
Beberapa saat setelahnya, Ilham turut menampilkan gerak silek Sumatera Barat hingga silat Jawa. Lantas basis gerak bela diri tersebut menjadi etude Ilham dalam mengeksplorasi gerak yang terinspirasi mulai dari gerakan kuda-kuda, posisi menyerang, bertahan, dan lain sebagainya. Silang-silang antar etude dan eksplorasi gerak inilah yang dihadirkan Ilham dalam pertunjukannya. Hal yang kiranya menarik dalam pertunjukan Ilham adalah basis gerak yang jelas, sehingga eksplorasi yang ia lakukan dapat terasa perkembangannya.
Hal lain yang cukup menyita perhatian pada karya Ilham adalah ketangkasan teknik yang ia punya. Dalam hal ini, ragam gerak silat dan silek yang dihadirkan dapat terbedakan secara bentuk. Namun kiranya yang perlu dicatat, Ilham perlu siasat dalam menghadirkan silat sebagai sebuah tarian. Dalam mewujudkannya, tidak hanya penghayatan saja yang kiranya diperlukan, tetapi pemahaman akan historis dan penggunaannya. Kiranya hal ini dapat membantu Ilham dalam memberikan penjiwaan atau rasa yang memperkuat tiap gerak bela dirinya.
Selain itu, Ilham perlu memberikan perhatian lebih pada gagasan yang ia angkat. Agar teknik tubuh yang cakap dapat bersinergis dengan gagasan yang tajam. Dalam hal ini, mempertajam gagasan dan terimpresi dalam karya tari memang tidak mudah, tapi jika melihat perbendaharaan ketubuhan Ilham yang cukup kaya, niscaya hal tersebut dapat dikejar olehnya.
Sedangkan pada nomor pertunjukan ketiga adalah penampilan dari peserta dari Pasadatari pertama, yakni Aprilia Sripanglaras. Masih dengan tajuk karya yang sama dengan showcase Pasadatari pertama, Aprilia menampilkan Kirig. Sebagaimana basis tubuh kepenarian Aprilia adalah tari Angguk, maka eksplorasi yang dilakukan bermuara pada kesenian tersebut. Hal yang cukup menarik dari Aprilia adalah cara kerja penciptaan yang bermuara dari praktik gerak. Lantas gerak yang Aprilia pilih adalah gerak khas kesenian Angguk, yakni Kirig. Berlandaskan kirig, Aprilia mengeksplorasi gerak dan menautkannya pada beberapa hal penting pada angguk, seperti pada pola tarian angguk hingga tahap trance. Dalam showcase kedua ini, Aprilia mempertunjukkan eksplorasi dan pengembangan dari showcase sebelumnya.
 |
Aprilia Sripanglaras menampilkan
karyanya yang berjudul Kirig
(Foto: Nanang Setiawan) |
Arena pertunjukan telah bertabur mahkota bunga berwarna merah muda, putih, dan merah yang tersebar melingkar. Sorot lampu pada area lingkaran tersebut membuat ambience pertunjukan terasa ‘sakral’. Kemudian seorang perempuan berbusana abu-abu dengan beberapa lonceng/bel yang terletak di pundak dan lengannya mulai bergerak perlahan. Sebagaimana Aprilia terinspirasi dari gerak kirig, maka pundak menjadi pusat getar dari pertunjukan ini. Alih-alih hanya menampilkan gerak kirig lazimnya, Aprilia mulai menampilkan eksplorasi getar lainnya secara bertahap, mulai dari beberapa bagian hingga sekujur tubuhnya. Selain itu, Aprilia juga menampilkan beberapa pola gerak Angguk yang disertai dengan eksplorasi getar dan menghadirkan fase penting pada Angguk, yakni trance.
Dalam karyanya Aprilia memilih bunyi yang ia produksi di atas panggung secara langsung. Bunyi tersebut berasal dari lonceng-lonceng yang terjahit di beberapa permukaan pakaiannya di setiap ia melakukan kirig. Namun agaknya lonceng tersebut membuat perhatian Aprilia terbagi menjadi dua. Dalam hal ini, Aprilia tergoda untuk mengkomposisi bunyi tersebut langsung di atas panggung. Jika hal ini sudah disiapkan sebelumnya maka pertunjukan akan menarik, tapi jika sebaliknya, agaknya rasa pertunjukan menjadi tidak utuh. Padahal seyogianya lonceng terebut digunakan sebagai medium dalam menebalkan gerak, bukan sebaliknya.
Hal yang kiranya menarik dari pertunjukan ini adalah konsistensi kirig yang dihadirkan oleh Aprilia. Secara lebih lanjut, tidak mudah menggetarkan pundak dan lengan secara konsisten dalam durasi yang panjang. Diperlukan teknik getar dan pengalaman kebertubuhan dalam mewujudkannya. Dalam hal ini, Aprilia telah mempunyai teknik tersebut—sebagaimana ia besar bersama kesenian Angguk. Namun yang menjadi catatan, eksplorasi getar yang dilakukan masih terbatas pada satu etude gerak saja. Selain itu, agaknya Aprilia perlu memberikan perhatian lebih pada penajaman gagasan.
Nomor keempat dari showcase ini bertajuk Feel Skizz, karya Endang Setyaningsih. Endang merupakan salah satu peserta dari program Pasadatari kedua. Dalam kerja koreografi, Endang kiranya telah mempunyai beberapa nomor pertunjukan ciptaannya. Di karya ini, Endang mengangkat persoalan yang sedang ia rasakan, yakni pengalaman bersama salah satu saudaranya yang mengalami skizofrenia.
 |
Feel Skizz,
karya Endang Setyaningsih
(Foto: Nanang Setiawan) |
Pengalaman keseharian bersama skizofrenia inilah yang lantas Endang ingin ungkapkan di dalam karyanya. Dengan cara tutur tari, lantas Endang menelaah atas fase yang dialami oleh saudaranya. Lantas ia mendapatkan tiga tarik ulur variabel yang lantas menjadi landasannya menari, yakni kesadaran, di antara, serta skizofrenia. Dalam mewujudkan karyanya, Endang berkolaborasi dengan penata musik, Gendra Wisnu Buana.
Diawali dengan posisi tertelungkup, Endang perlahan bangkit diselimuti cahaya. Menyerupai kayang namun tanpa tumpuan tangan, Endang mulai perlahan berputar dengan posisi yang semakin membungkuk. Setelahnya ia mulai berjalan dengan tatapan tajam laiknya mengintai. Menunjukan adanya kesadaran sekaligus waspada akan satu hal lain. Tidak lama berselang, perlahan laiknya sesuatu mendatangi dirinya hingga ia tak sanggup menguasainya.
Setelahnya, Endang menggunakan gerak level bawah untuk menggambarkan dunia yang ‘terbalik’. Endang memulai dengan gerakan-gerakan yang hampir serupa, hanya saja menggunakan eksplorasi gerakan level bawah. Pada gerakan di level bawah, Endang lebih menggambarkan ambiguitas dan kesadaran yang mulai asing, semisal pada gerakan menggeliat di lantai. Dalam memperkuat halusinasi tersebut, Endang menggunakan bedak sebagai medium dalam menebalkan geraknya. Alhasil setiap Endang bermain di level bawah, kesan asap selalu muncul di setiap ia bergerak. Pertunjukan diakhiri ketika Endang yang dengan ‘susah payah’ kembali bangkit, dan menatap nanar ke arah penonton.
Lantas apa yang dapat dinikmati dari karya Endang? Toh persoalan skizofrenia bukan hal baru dalam karya tari. Dalam hal ini, Endang mencoba memberikan satu perspektif akan skizofrenia dari apa yang ia rasakan ketika bersama saudaranya. Alih-alih mewujudkan ketakutan-ketakutan yang dialami kakaknya, Endang justru menunjukkan fase-fase yang dialami oleh orang yang menderita skizofrenia.
Namun kiranya Endang perlu memberikan perhatian lebih pada pendalaman gagasan dari fase yang ingin digambarkan. Pasalnya Endang telah mempunyai pengalaman tubuh dan teknik gerak yang cukup, sehingga Endang memungkinkan untuk mengeksplorasi dan membakukan etude dari gagasan yang ingin dikemukakan. Hal ini kiranya akan membantu penonton menikmati karya Endang dengan lebih tepat sasaran.
Karya selanjutnya bertajuk Kembara Rasa dari Siska Aprisia. Koreografer muda asal Pariaman, Sumatera Barat ini menampilkan karya yang berangkat dari empirisnya dalam menari, yakni tarik ulur antara tari yang ia pelajari di bangku sekolahan dan tari yang hidup bersama masyarakat tempat tinggalnya. Secara lebih lanjut, Siska memperlihatkan basis gerak tari yang berbeda, sekaligus irisan antara keduanya. Namun dalam tarian ini, silek cukup dominan sebagai sumber gerak.
 |
Karya bertajuk Kembara Rasa
dari Siska Aprisia
(Foto: Nanang Setiawan) |
Di dalam karya ini, Siska turut berkolaborasi dengan musisi, Jumaidil Firdaus. Hal yang cukup menarik, Jumaidil menggunakan gitar elektrik yang dimainkan secara langsung di dalam pertunjukannya. Alih-alih hanya mengiringi, Jumaidil mempunyai pengalaman yang serupa. Alhasil di karya tersebut, kiranya Siska dan Jumaidil berupaya mencari bersama menapaki perjalanan mereka masing-masing.
Suara gitar elektrik yang memecah hening pasca istirahat sesi pertama menuntun Siska mulai bergerak dengan beberapa etude silek yang dipunya. Penampilan Siska pada nomor pertama sesi kedua kiranya mencuri perhatian, baik secara impresi, gerak, musik, serta gagasan yang ia angkat. Hal lain yang cukup menarik adalah ketika Jumaidil memetik senar secara perlahan sementara Siska melakukan gerak silek sembari bernyanyi. Alih-alih gerak Siska menjadi tidak stabil, dengan nyanyian tersebut justru membuat gerak silek dan eksplorasinya menjadi semakin mendalam.
Dari apa yang dipertunjukkan Siska, kiranya ia cukup berhasil mengkristalkan perjalanannya menjadi variabel yang dapat dirasakan. Kiranya hal ini penting sebagai landasan berfikir dalam menciptakan karya. Walau tidak dihadirkan secara naratif, kiranya Siska dapat menghadirkan tarik ulur tersebut dalam tariannya. Pun satu hal yang perlu dicatat Siska adalah konsistensi dalam memberikan ‘rasa’ di setiap gerak laiknya ketika ia menari sambil bernyanyi di penghujung pertunjukan.
Nomor selanjutnya adalah karya dari Yurika Meilani yang bertajuk Rambu Rambut. Yurika turut mengangkat persoalan yang personal, yakni rambut. Dilahirkan dengan rambut ikal, Yurika mengalami dampak buruk dari konstruksi ‘perempuan’ yang ditanamkan sejak dini. Pelbagai upaya ia lakukan untuk melawan dan menyiasati, namun malang tak bisa ditolak. Nestapa niscaya teralami di masa remajanya. Berangkat dari persoalan tersebutlah Yurika mengeksplorasi apa yang dialami dan membuatnya menjadi sebuah karya.
 |
Karya Yurika Meilani
yang bertajuk Rambu Rambut
(Foto: Nanang Setiawan) |
Sebagai peserta dari program Pasadatari pertama, Yurika mengembangkan karya Rambu Rambut-nya di showcase yang kedua ini. Hal ini sangat terasa dari alur, gerak, hingga impresi yang diciptakan olehnya. Jika pada showcase pertama karya ini tidak menggunakan musik, maka di showcase kedua ini Yurika berkolaborasi dengan Adnan sebagai penata musik.
Pertunjukan diawali tanpa penerangan, beberapa saat setelahnya sebuah cahaya menyorot ke sebuah kursi. Tak lama berselang cahaya mulai menyinari seorang perempuan yang tengah menunduk sambil mengibas-ngibaskan rambutnya dengan cepat. Dengan sekejap ia berdiri dengan tegak sambil menggelengkan kepalanya sambil terjatuh. Dinaungi musik laiknya suling yang ditiup melengking turut memberikan impresi mencekam. Dan impresi tersebut terjaga di sepanjang pertunjukan.
Dalam gerak, Yurika lebih mengandalkan gerak-gerak keseharian, baik distilisasi ataupun distorsi. Gerak dan eksplorasi tersebut lantas mengisi alur yang telah distruktur sebelumnya. Laiknya bercerita, Yurika menghadirkan ketakutan demi ketakutan yang dialaminya. Alih-alih terbebas, ketakutan itu justru mencekam dirinya, membuatnya tunduk dan tak bisa melawan. Dengan penggunaan isolasi berwarna merah yang ditempelkan di mulutnya, konstruksi atas perempuan cantik berambut lurus menggentayanginya. Di akhir pertunjukan Yurika terduduk di sebuah kursi, isolasi-isolasi ketakutan tersebut perlahan ia lepaskan. Ia tempelkan pada kaki-kaki kursi di tempat ia duduk. Secara lebih lanjut, Yurika mengartikan kursi tersebut sebagai tempat bernaung dan mengadu.
Bertolak dari hal tersebut, kiranya terjadi perubahan yang signifikan pada karya Yurika di showcase kedua ini. Di showcase pertama, eksplorasi Yurika berada di kekuatan tubuh sebagai medium ungkap, sedangkan di showcase kedua, Yurika mengeksplorasi lebih pada alur dan impresi pertunjukan. Dalam hal ini, alur ‘ketakutan’ yang cukup mendalam dan impresi mencekam berhasil ditunjukkan pada penampilannya. Namun kiranya Yurika perlu memperhatikan lebih pada eksplorasi gerak yang ditampilkan. Di mana ia tidak hanya mengisi alur, melainkan menghidupi alur dan struktur yang dibuat.
Pertunjukan terakhir pada showcase kedua ini adalah karya dari Irwanda Putra. Terinspirasi dari kegemarannya memelihara unggas, Putra tertarik lebih lanjut akan aktivitas pada sabung ayam. Bertajuk Sungkur, Sangkar, Singkir, Putra menghadirkan kontestasi seekor jago pada sabung ayam. Hal yang cukup menarik, Putra menautkan beberapa variabel dalam melandasi tarinya, yakni pertarungan dan tempat bernaung. Pertarungan dapat dilihat pada tersungkur dan menyingkirkan, sedangkan tempat bernaung pada sangkar.
 |
Irwanda Putra menampilkan karya
Bertajuk Sungkur, Sangkar, Singkir
(Foto: Nanang Setiawan) |
Sebagaimana Putra adalah peserta dari Pasadatari pertama, maka karya ini merupakan presentasi kali keduanya. Alih-alih berbeda laiknya karya Aprilia dan Yurika, Putra masih menggunakan pola yang sama. Hanya saja ia mengeksplorasi lebih pada gerak yang mengakibatkan penebalan pada karya tarinya. Berbeda dengan karya lainnya, Putra tidak menggunakan musik pada karyanya.
Diawali dengan posisi terlentang tak berdaya, Putra ingin menghadirkan seekor jago yang tengah terpuruk kalah tanding. Kendati terseok-seok, ia perlahan bangkit untuk kembali bertarung di dalam laga. Di dalam masa pemulihannya, Putra menautkan pada sangkar. Dalam hal ini sangkar menjadi ruang ‘pemulihan’ ketika unggas tersebut selesai bertarung. Secara lebih lanjut Putra menautkan sangkar sebagai bagian dari pertarungan yang ia angkat. Maka dalam gerak, Putra menampilkan gerak-gerak yang menunjukkan keadaan yang pulih. Setelahnya, Putra kembali mengambil sikap siap bertempur, laiknya melompat, menyerang, bertahan, dan sebagainya. Namun di akhir pertunjukan, Putra kembali menggambarkan keterpurukan. Di mana tubuhnya menegang, kejang-kejang, terengap-engap, hingga lampu padam.
Bertolak dari hal tersebut, kita dapat melihat bahwa orientasi Putra berada pada pertarungan Jago, mulai dari tersungkur hingga menyingkirkan. Alih-alih Putra menunjukan kemenangan di akhir laga. Putra justru memberikan impresi kekalahan, bahkan kematian dari sang petarung. Secara lebih lanjut hal ini dapat dilihat sebagai pernyataan bahwa pertarungan bukan hanya soal menang atau kalah, namun hal yang senyatanya terjadi, bertahan hidup atau terbunuh.
Sebagai penutup showcase Pasadatari, Putra telah memberikan sajian pertunjukan yang berorientasi pada tubuh dan teknik. Secara lebih lanjut, teknik gerak yang digunakan Putra sudah cukup baik—terlebih dengan eksplorasi gerak yang bertingkat dan kaya—, namun kiranya di beberapa titik gerak tersebut terasa terlalu tebal. Celakanya beberapa ketebalan gerak tersebut menenggelamkan apa yang ingin diungkapkan. Dalam hal ini, teknik dalam tari dapat berposisi laiknya pisau bermata dua. Di mana teknik akan membuat karya tari menjadi baik ketika dalam porsi yang tepat, begitupun sebaliknya, membuat karya tari menjadi ‘cerewet’ ketika dalam porsi yang berlebihan. Kiranya Putra perlu menimbang-nimbang hal tersebut.
Tujuh Karya; Beragam Tubuh dan Persoalan
Dari tujuh karya di atas, kiranya kita dapat melihat dimensi tari yang cukup beragam, baik dari teknik, gagasan, bentuk, struktur, koreografi, kepekaan karya, dan sebagainya. Beberapa penari berorientasi pada gagasan, beberapa lainnya berorientasi pada teknik, beberapa lainnya berorientasi pada artistik, dan seterusnya. Dalam hal ini tidak ada yang keliru dalam cara kerja dan perwujudannya. Pasalnya seorang koreografer mempunyai kecenderungan, pengalaman, pengetahuan, dan media ungkap yang berbeda-beda.
Namun apakah hal tersebut cukup? Dalam hal ini saya sangat setuju dengan pernyataan WS Rendra tentang, “apa artinya seni jika terpisah dari persoalan kehidupan”. Secara lebih lanjut, penata tari atau koreografer perlu menyoal terkait apa yang terjadi di masyarakat, dan dalam hal ini, sudut pandang personal bukan menjadi kesalahan. Justru dengan kesadaran dan pengalaman itulah kerap membuat koreografi dapat bicara lebih dengan cara tutur yang khas, yakni gerak tubuh. Kiranya hal cukup penting dicatat bagi para koreografer.
Pun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat catatan miring yang saya buat untuk ketujuh penari. Setiap catatan pun berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mesikpun demikian, saya cukup percaya bahwa mereka dapat ‘melunasi’ catatan-catatan tersebut. Berbekal pengalaman tubuh atas gagasan yang diangkat, kedekatan dengan persoalan kiranya akan membantu mereka menyadari apa-apa saja yang perlu dilakukan. Dengan tuntasnya kedalaman gagasan dan pernyataan, teknik yang tangkas akan membuat karya menjadi semakin utuh. Hal ini memang terkesan ideal, namun dengan usia mereka yang masih ranum, rasanya hal tersebut bukan hal yang terlampau sulit dikerjakan. Selamat bekerja![]
oleh teraseni | Jan 4, 2018 | Uncategorized
Kamis, 4 Januari 2018 | teraSeni.com~
Dalam gelap dan hening, bunyi petikan tune harmonik gitar elektrik terdengar memenuhi ruangan. Beberapa saat setelahnya, dari belakang panggung perlahan lampu backlight menyala dikuti oleh lampu kiri dan kanannya. Karenanya, tampaklah wajah siluet seorang perempuan yang berdiri tepat di tengah-tengah panggung, dan seorang laki-laki bergitar dengan alat peragat digital yang berada di sebelah kanan perempuan tersebut. Dengan berkostum dress biru, ia bergerak merespon bunyi, gerakannya serupa orang mengeja langkah, langkah sambil menginjit. Langkah itu terlihat ragu dan tidak sempurna benar.
 |
Kembara Rasa, s
ebuah pertunjukan kolaboratif
antara koreografer Siska Aprisia
dengan komposer Jumaidil Firdaus
(Foto: Roni Keron) |
Selang setelahnya, terdengar tema musikal yang lain, transformasi bunyi teknik oyak pada instrument saluang (Minangkabau). Bunyi itu diolah dengan effect reverse, semacam bunyi yang terdengar mundur atau berlawanan dengan bunyi aslinya. Sementara itu, Siska memperagakan gerak serupa orang yang sedang mendayung sampan, atau perahu. Ketika tempo musik semakin cepat, tarian merespon dengan gerak memutar lalu menjatuhkan badannya, dan musik terhenti untuk memulai bagian berikutnya.
Itulah sedikit gambaran dari pertunjukan Kembara Rasa. Sebuah nomor pertunjukan hasil kerja kolaborasi koreografer Siska Aprisia dengan komposer Jumaidil Firdaus. Mereka mempresentasikan premier karya tersebut dalam program Pasadatari, sebuah forum yang mengambil Lingkar Tari yang dilaksanakan di Pendhapa Art Space Yogyakarta, Kamis, 21 Desember 2017 lalu.
Kembara Rasa
Memasuki bagian berikutnya, panggung disinari lampu berwarna orange, pencahayaannya redap redup. Musik dimainkan dengan tempo agak cepat. Permainan looping gitar elektrik yaitu 4 pola ritma berbeda dimainkan berulang, terdengar serupa permainan interlocking pada ansamble talempong pacik (Minangkabau). Perlahan perempuan itu bangkit membiarkan dirinya lepas ke dalam gerak yang tampak tak terpola. Tanpa kesadaran gerak, dia seolah pasrah pada gerak tubuhnya sendiri, mengikuti musik yang secara grafik semakin naik. Oleh karenanya, bagian ini tampak sangat eksploratif. Adakalanya ia berputar-putar dari kiri ke kanan panggung, kembali ke tengah, lalu berputar lagi. Ia melepaskan ikatan rambutnya, sehingga tergerai-gerai dan tampak chaos dengan gerakan kepala yang diputar cukup cepat, lalu ia rebah dan musik kembali berhenti.
 |
Salah satu bagian dari
pertunjukan Kembara Rasa,
Siska Aprisia memperagakan
gerakan seperti mendayung,
sementara di belakangnya
Jumaidil Firdaus terus mengalirkan
melodi-melodi dari gitarnya
(Foto: Roni Keron) |
Bagian selanjutnya, saya kira bagian ketiga. Dimulai dengan sebuah dendang –penyebutan untuk nyanyian tradisi di Minangkabau. Dendang ini diselingi dengan bunyi pekikan gitar yang melengking dengan tempo yang sangat lambat. Penari bergerak serupa melepaskan diri dari sesuatu yang membelenggunya, kemudian menggerakkan tangannya serupa kepakan sayap burung-burung yang ingin lepas dari kemuakannya. Dengan ekspresi marah, tampak sedang melawan, ia mengepalkan dua tinjunya lalu diangkat ke atas, dia jatuh, lalu bangkit lagi, jatuh lagi, kemudian bangkit lagi.
Setelah serasa ada yang lepas dari pikirannya, dengan sangat tenang perempuan ini berjalan perlahan mengelilingi panggung, oleh karenanya saya sebagai penonton serasa ikut menerka-nerka gerak selanjutnya, seraya bertanya-tanya apakah pertunjukan ini sudah selesai. Lalu dengan sangat tenang pula pemusik memainkan melodi pentatonik Minangkabau yang natural tanpa soundeffect, dua nada dimainkannya membentuk melodi. Irama musik tersebut direspon dengan menggerakkan kaki serupa kuda-kuda dalam silat (Minangkabau). Sambil berdendang, tangan penari tersebut bergerak tegas saling besilangan serupa sebuah kemantapan untuk memulai sebuah pertarungan, namun ternyata itu malah menjadi akhir dari pertunjukannya.
 |
Kembara Rasa dalam sesi latihan,
Siska Aprisia dan Jumaidil Firdaus
terus mencoba
menakar rasa masing-masing
(Foto: Roni Keron) |
Membaca Bekal Pengembaraan
Kembara Rasa adalah sebuah karya pertunjukan kolaborasi tari dan musik. Selayaknya karya tari dan musik, tentu ia menandai dirinya dengan teks-teks berupa lelaku gerak dan bunyi, teks ini yang kemudian menjadi alat untuk menarasikan kisah pengembaraan tersebut. Lalu, bagaimana Kembara Rasa mengenali teks-teks tersebut?
Sepeti halnya bunyi, tubuh akan selalu dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang terindrawi. Pengalaman yang selalu bersinggungan dengan tubuh, atau bunyi, akan berkumpul dan mengendap dalam ingatan. Ingatan itu yang hendak dipanggil kembali sebagai pengisi buntie atau koper untuk bekal berkembara lebih jauh, lebih dalam ke rantau visual dan rantau bunyi yang maha luas ini. Maka, Kembara Rasa adalah semacam rekonstruksi atas itu. Pengalaman ketubuhan Siska Aprisia sebagai seorang koreografer sekaligus penari dan pengalaman musikal Jumaidil Firdaus sebagai seorang komposer sekaligus pemusik.
Meskipun Jumaidil dan Siska sama-sama dari Minangkabau, namun secara geo budaya mereka sangat berbeda. Secara geografis, Minangkabau terbagi dalam dua wilayah, mereka menamai dengan istilah darek (darat) dan pasisia (pesisir). Pembagian wilayah yang alamiah ini sangat mempengaruhi cara hidup, laku, dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Ihwal inilah yang kemudian mengendap menjadi “rasa”.
 |
Salah satu bagian
dari latihan Kembara Rasa
Siska Aprisia memperagakan
gerakan permulaan Silek Lu Ambek
Sementara di belakangnya
Jumaidil Firdaus
melantunkan dendang
(Foto: Roni Keron) |
Saya kira, idiom gerak mendayung menjadi sesuatu yang menarik disini. Katakanlah itu sampan atau perahu. Jika direlasikan dengan latar belakang koreografer yang dilahirkan dan besar di Pariaman – daerah pesisir Sumatera Barat (baca: Minangkabau). Tentu kebiaasaan-kebiaasaan pesisir ini sangat mungkin dibawa Siska ke dunia panggung. Sementara itu, Jumaidil, sebagai orang darek memilih saluang sebagai modal budayanya. Jum, mentransformasikan teknik dalam memainkan instrument saluang ke dalam instrument gitar. Secara historis memang saluang di Minangkabau berkembang pesat di daerah darek (darat). Meskipun Jumaidil merekayasa suara dengan penambahan effect bunyi, namun relasi historis tersebut menjadi mungkin sebagai senjata Jumaidil mengembarai jagat bunyi, rantau yang lain.
Dengan latar yang berbeda itu kemudian Jumaidil dan Siska membungkus pengalaman mereka memulai pengembaraan. Tampak kegagapan memasuki ranah yang asing. Bagi Siska, panggung tak ubahnya serupa pantai yang direklamasi. Ia takut akan semakin meningginya permukaan laut, dan ceruk-ceruk laut yang tertimbun, membuat ikan nelayan akan semakin jauh ke tengah laut. Gerakan-gerakan tak beraturan, berputar-putar, dan chaos menjadi pilihan bagi tubuhnya. Sementara Jumaidil cendrung adaptif, dimana transformasi masih menjadi kekuatan musikalnya. Bunyi-bunyi yang dibawanya dari kampung halaman masih tetap terdengar meskipun dalam gempuran digitalisasi media.
Perjalanan pengembaraan ini mesti tetap harus berlangsung. Mereka terus berdialog, menangkis kegilaan-kegilaan dalam perjalanan itu sendiri. Hingga satu saat mereka menyadari sesuatu. Barangkali mereka tidak membawa serta merta kampung halaman dalam diri. Kampung halaman yang juga sedang bertransformasi menjadi ranah yang asing.
Apakah dendang akan selalu ditangisi serupa ratap? Tetapi ratap bukanlah soal air mata, melainkan jalan menuju pulang, pulang ke dalam diri untuk menjemput yang tertinggal. Ihwal yang bagi Siska berarti bahwa Luambek, pertunjukan tradisional khas Pariaman itu, bukanlah permainan laki-laki saja. Baginya silat yang tidak saling bersentuhan itu adalah jalan menuju kepulangan untuk kembali berkembara.
Membaca Sisa Pengembaraan
Sejatinya hidup memanglah sebuah pengembaraan. Jika pengembaraan dimaknai sebagai rantau, dan rantau itu sendiri adalah sebuah pengembaraan, maka mustilah ada rumah tempat untuk pulang. Namun, jika rumah-rumah telah menjelma hotel berbintang, pusat-pusat perbelanjaan, maka kemana lagi tempat untuk pulang? Atau barangkali pengembaraan diperjauh.
Saya kira, itulah ihwal yang hendak diungkap dan diekspresikan oleh Siska dan Jumaidil melalui pertunjukan kolaboratif mereka: Kembara Rasa ini. Bahwa, jika semua yang pernah kita miliki telah habis terkikis oleh waktu, maka mungkin yang tetap tertinggal hanyalah rasa.
oleh teraseni | Des 31, 2017 | Uncategorized
Sabtu, 30 Desember 2017 | teraSeni.com~
Seorang putri priyayi memilih kabur dari rumah untuk menjalin cinta dengan seorang gento. Mendamba kepastian berumah tangga dengannya, namun sia-sia karena sang gento menolak dengan dalih trauma. Sebagai ‘pelarian’, sang perempuan menanam dan merawat bunga di halaman rumah kontrakannya. Di sela merawat taman bunganya, ia kerap berjumpa dengan seorang ustaz. Perlahan sang Ustaz mendekatinya dengan memberikan satu hal yang tidak pernah diberikan kepadanya, yakni masa depan dan kepastian.
Alih-alih cerita usai dengan kebahagiaan, ternyata ustaz tersebut adalah mantan rival seprofesi yang masih menyimpan dendam kesumat kepada sang gento. Berkalut dendam, sang ustaz berstrategi untuk membalas melalui sang perempuan tersebut. Di akhir cerita, bukan sang ustaz atau sang gento yang kelak membahagiakan sang perempuan, melainkan dirinya sendiri.
 |
Nis (Anisa Hertami) menggendong anaknya di akhir
pertunjukan Sekar Murka
(Foto: Ajie Wartono) |
Cerita di atas adalah potongan-potongan narasi dari pertunjukan teater yang bertajuk Sekar Murka karya Jaring Project pada sabtu (16/12). Dalam pertunjukan tersebut, cerita yang ditulis oleh Desi Puspitasari dan disutradarai Ibed Surgana Yuga, menampilkan pemain yang kiranya tidak asing di wajah perteateran dan perfilman, yakni Jamaluddin Latif (Rusman), Anisa Hertami (Anisa), dan M. Dinu Imansyah (Solihin). Tidak hanya itu, pertunjukan yang digelar di Padepokan Bagong Kussudiardja ini turut berkolaborasi dengan Ishari Sahida dan Ari Wulu sebagai penata musik, serta Roby Setiawan sebagai penata artistik.
Digelar dalam rangka Jagongan Wagen Edisi Desember 2017, pertunjukan ini tidak hanya bicara soal pembalasan dendam dan kepastian yang menggantung, namun turut menyiratkan satu hal penting, di mana perempuan mempunyai kuasa untuk melawan. Pertunjukan dengan cerita realis yang kiranya penting untuk lanskap kultural penonton Indonesia yang patriarkis.
Dari Harapan hingga Perlawanan
Anisa atau Nis adalah seorang perempuan terhormat dari keluarga priyayi. Pada mulanya ia hidup baik-baik saja, tinggal di dalam naungan keluarga yang tenang, dan tengah menyelesaikan studi di salah satu kampus ternama. Namun Nis memilih hal yang berlawanan, ia memilih tinggal di sebuah kontrakan kecil dan kabur dari rumah untuk menjalin cinta bersama seorang jago pukul (baca: preman), Rusman, atau kerap dipanggil Man.
Pertunjukan diawali dengan adegan janggal, Nis tengah berbicara dengan taman bunganya laiknya berimajinasi tentang merawat buah hati. Dengan wajah sumeringah, Nis dengan sabar meladeni ‘anak-anak’ yang tengah bermain. Di sela Nis berimajinasi, Rusman memandangnya dari luar pagar. Dengan senyum, Man perlahan masuk ke halaman berbunga. Namun karena terlalu asik, maka Nis tidak menggubris.
Beberapa saat setelahnya, Man mulai menggoda Nis. Mengetahui Man telah datang, Nis pun terkejut. Mereka mulai membicarakan tentang kehidupan mereka. Percakapan tersebut diakhiri dengan adu mulut tentang cita-cita Nis berkeluarga dan mempunyai anak. Berdalih trauma, Man menolak dan mengajak Nis berfikir rasional dan teguh pada pernjanjian mereka di awal hubungan, tak memiliki anak.
 |
Nis (Anisa Hertami) duduk termangu
setelah ditinggal Man yang marah
dalam salah satu adegan Sekar Murka
(Foto: Ajie Wartono) |
Pada adegan awal tersebut, Anisa Hertami telah memberikan impresi yang cukup baik tentang citra perempuan Jawa yang santun dan halus. Sedangkan Jamal berhasil memberikan impresi akan preman yang cuek dan tak tahu aturan. Namun penonton agaknya tidak dapat menangkap dengan cepat atas banyaknya informasi yang ingin diberikan, mulai dari kehidupan Nis, Man, cinta mereka, hingga harapan mereka. Dampak dari tebalnya informasi membuat pertunjukan yang berbasis teks atau naskah ini menjadi tidak langsung mencuri perhatian. Hal ini terlihat dari awal rayuan Jamal kepada Anisa yang terasa kaku. Jamal dirasa baru mendapatkan mood-nya pada bagian rayuan di tengah percakapan mereka. Setelahnya Jamal bermain dengan penjiwaan dan keaktoran yang baik.
Setelah perdebatan antara harapan berkeluarga menyeruak, Man pergi dengan amarah meninggalkan Nis, sedangkan Nis hanya duduk termangu. Dalam kesedihan tersebut, muncul seorang laki-laki berpakaian muslim (baca: baju koko dan sarung). Ia adalah Solihin atau Hin, seorang ustaz yang peramah dan riang. Hin bertemu Nis selepas pulang beribadah di mesjid. Membawa gitar kecil, Hin mulai menggoda Nis dengan beberapa lagu-lagu dangdut yang kini tengah naik daun, seperti lagu Sayang yang dipopulerkan oleh Via Vallen, atau Bojo Galak yang dinyanyikan oleh Pendhoza. Berbeda dengan Man, rayuan Hin lebih akrab dengan penonton muda—yang saat itu dominan di bangku penonton. Oleh karena itu, “masuk”-nya Hin ke dalam pertunjukan menjadi lebih efektif dan cepat.
 |
Hin merayu Nis dengan iming-iming keluarga bahagia
dalam salah satu adegan Sekar Murka
(Foto: Ajie Wartono) |
Dalam rayuannya, Hin merayu Nis dengan iming-iming keluarga bahagia. Hin melawan semua prinsip Man dalam membina hubungan. Oleh dasar pertengkaran besar sebelumnya, keteguhan Nis pada Man perlahan goyah. Nis mulai berandai-andai dan membandingkannya dengan Man. Tidak disangka, ternyata Man mengetahui adanya perjumpaan antara Nis dan Hin. Pertengkaran kembali menyeruak, namun Man kukuh mengatakan bahwa Hin tidak jauh lebih baik darinya, Hin hanya laki-laki yang berlindung pada jubah agama. Nis mulai menimbang-nimbang atas apa yang dikatakan Man, terlebih Hin adalah mantan rival seprofesi dari Man.
Setelahnya Nis kembali berjumpa dengan Hin, mereka menanyakan beberapa soal terkait masa lalu keduanya. Bermodal kabar burung, Nis mulai menerka-nerka apa yang terjadi dengan Hin. Ternyata naas dialami Hin, ia batal menikah karena terjadi sesuatu yang buruk pada sang calon istri. Namun Hin terus meyakinkan Nis, bahwa ia telah berubah dan tidak berkeinginan menengok kembali ke masa lalunya.
Persoalan pun semakin meruncing ketika Man mendatangi Nis yang tengah berbincang dengan Hin. Beradu mulut hingga perkelahian antara Hin dan Man pun tidak dapat terhindarkan. Yang cukup mengenaskan, beberapa bunga yang dirawat oleh Nis rusak oleh karena perkelahian kedua laki-laki tersebut. Nis yang awalnya histeris tidak lagi dapat menahan diri. Akhir dari perkelahian, Nis menodongkan arit ke leher Man yang tengah memenangkan perkelahiannya dengan Hin. Nis menjadi sangat murka bak kesetanan.
 |
Nis yang mencintai bunga-bunga, dan Man kekasihnya
yang menolak menihahinya
(Foto: Ajie Wartono) |
Persoalan semakin memuncak di beberapa adegan setelahnya, kebun Nis porak poranda. Man dan Hin kembali bertengkar hebat saling menunding atas perusak kebun Nis. Namun tiada jalan keluar mereka peroleh, justru babak belur mereka dapat. Pertengkaran yang digambarkan dalam pertunjukan ini pun dibuat berlevel, dari adu mulut yang digambarkan dengan Man bersender pada sebuah dinding dan Hin di sisi gelap lainnya; baku hantam di belakang Nis yang digambarkan dengan siluet; serta baku hantam persis di depan Nis. Hal ini memberikan impresi persoalan yang memuncak.
Di satu adegan pertengkaran tanpa penyelesaian akan siapa yang membuat taman bunga Nis rusak, mereka kembali menuding satu sama lain di depan Nis. Perlahan semua kenyataan terungkap, di mana Hin memang ingin membalaskan dendamnya kepada Man melalui Nis. Mengetahui bahwa Man tidak ingin memiliki anak, maka Hin mengambil kesempatan strategis, memberikan harapan akan keluarga yang tidak hanya memberikan keturunan, namun ditambah dengan bumbu-bumbu agama.
Laiknya rindu, dendam kesumat Hin harus lunas terbayar. Pasalnya, selain rival seprofesi, kegagalan pernikahan yang dialami Hin ternyata ulah dari Man. Calon istrinya dihamili, hingga menjadi gila. Kegeraman Hin memuncak, cita-cita yang direncanakannya hancur seketika. Maka membuat Man mengalami hal serupa adalah hal yang harus dilakukan, dan Nis menjadi medium yang paling cocok untuk mengabulkannya.
Namun, cerita tidak usai begitu saja. Alih-alih cerita memenangkan Man atau Hin dalam mengambil hati Nis, pertunjukan justru menjadi sangat menarik ketika kemurkaan Nis memuncak. Dengan tatapan mata yang tajam, rambut tak beraturan, dan tangan yang mengepal, Nis membubarkan pertengkaran Hin dan Man dengan kenyataan yang tidak pernah dibayangkan kedua laki-laki tersebut.
Di mana Nis telah mempunyai anak dari Man, tapi karena mengetahui Man tidak ingin mempunyai anak, maka Nis kabur dari rumah dan Man atas alasan skripsi. Oleh karena itu Nis merawat taman bunga untuk melampiaskan kerinduannya merawat sang anak yang dititipkan kepada sebuah keluarga. Pun Nis awalnya mempunyai harapan untuk mengubah prinsip Man, namun semakin hari semakin pupus. Mengetahui hal tersebut, Man lunglai tak berdaya. Sementara itu, Nis mempertanyakan janji-janji paslu “menerima apa adanya” kepada Hin. Hin yang sangat membenci Man, tidak akan mungkin merawat anak dari darah daging musuhnya. Hin diam termangu dibuatnya.
Namun Nis tidak bertujuan meminta perlindungan, baik dari Man ataupun Hin. Mengetahui bahwa menunggu Man adalah sia-sia, dan Hin hanya datang karena dendam, maka memperjuangkan diri sendiri merupakan jalan paling realistis untuk Nis. Di akhir cerita, Nis menggendong anaknya, bersama rangkaian bunga yang tumbuh begitu besar, tanda cintanya kepada sang buah hati.
 |
Nis menantang Man yang tidak berani
untuk menikahinya
(Foto: Ajie Wartono) |
Dalam adegan-adegan akhir, Anisa berhasil memerankan sosok Nis dengan baik. Sederhananya, Anisa telah menghidupkan citra dari sosok Nis dengan memberikan impresi perubahan yang sekejap dan signifikan dari perempuan priyayi menjadi sosok yang sebaliknya, bahkan beringas. Namun yang cukup menarik, apakah gimik kermurkaan perempuan priyayi memang telah tergambarkan dengan utuh? Tentu ini pilihan, tetapi mengelola kemurkaan halus dan tenang yang menusuk a la Jawa mungkin bisa menjadi pertimbangan.
Sedangkan jika bicara keaktoran, tidak ada tanggapan lebih lanjut selain kualitas Jamal dan Dinu yang dapat menghidupkan cerita dengan sangat baik. Jamal dengan cara tutur yang santai dan meyakinkan dapat memberikan impresi preman yang kuat hingga lemah—tunggang langgang dibuat oleh seorang perempuan. Dinu dengan cara tutur yang serius namun jenaka, membuat pertunjukan menjadi berwarna dan menghibur. Belum lagi, letupan-letupan emosi Hin yang dimainkan Dinu juga menarik dalam penjiwaan. Pertukaran dialog antara Jamal dan Dinu kiranya membuat pertunjukan semakin menarik dan artikulatif. Sedangkan Anisa, sebagaimana ia akrab dengan dunia perfilman, kiranya dapat memberikan sentuhan keaktoran yang berbeda dari dua sebelumnya. Kiranya keaktoran masing-masing penampil tidak dapat dibandingkan satu sama lain, karena ketiga penampil justru membuat Sekar Murka menjadi satu sajian yang utuh.
Menjadi Perempuan Masa Kini
Nis perempuan Jawa tulen yang halus dan tenang memilih kabur dari rumah untuk seorang pujaan hati. Sebagai putri seorang priyayi, kabur dari rumah adalah sebuah keberanian. Hal ini tentu memperkuat sosok Nis sebagai seorang perempuan yang dibesarkan pola asuh priyayi, yang resisten atas kehidupannya. Bahkan dalam memilih pasangan, lazimnya anak priyayi akan mendapatkan keluarga priyayi lainnya, Nis justru menginginkan cinta dari seorang preman. Dalam hal ini, tentu Nis sudah menjadi priyayi yang ‘mengkhawatirkan’. Hal-hal yang tidak ada di bayangan keluarga priyayi, Nis terobos. Hal ini menjadi poin keberangkatan Nis sebagai perempuan yang berbeda.
Namun Nis tetap digambarkan sebagai perempuan yang halus. Selain dengan cara tutur yang perlahan dan tenang, taman bunga yang ia rawat dengan kasih sayang setidaknya dapat diartikan sebagai sisi keperempuanan Nis. Walau taman bunga di sini adalah metafora kasih sayang Nis untuk anaknya yang ia titipkan. Dalam hal ini dapat dilihat sebagai cara Nis melampiaskan keinginan merawat sang buah hati, sekaligus mengelabui Man akan pilihan yang ditentukan oleh Nis.
Alih-alih Nis diam mengalah, Nis ‘melawan’ dengan cara diam yang halus. Membesarkan anak tanpa persetujuan Man adalah satu perlawanan utama dari Nis, sedangkan perlawanan halus dimulai sejak Nis memperlihatkan imajinasinya akan anak kepada Man; percakapan yang tidak jarang diakhiri pertengkaran; hingga batas sabar Nis yang putus dibuat pertengkaran yang berbuah rusaknya taman bunganya. Hal itu saling sengkarut sebagai upaya perlawanan Nis pada Man.
Hal ini tentu tidak terbayangkan sebagai sebuah kenyataan, oleh karena itu juga rekan Jaring Project menyebut sosok di dalam cerita sebagai tokoh rekaan. Namun kiranya irisan-irisan atas kehidupan perempuan sedikit-banyak tersingkap, di mana perempuan kini dalam keadaan yang semakin beragam dan kompleks. Pembacaan ini pun sebenarnya bukan hal yang baru, Sapardi Djoko Damono di tahun 2013 mengeluarkan Namaku Sita. Sebuah puisi panjang yang memberikan reorientasi atas cerita Rama Sinta. Damono menggambarkan perasaan sedih Sita ketika Rama memintanya membakar diri sebagai wujud kesucian setelah penculikan. Damono dengan cerdik menggambarkan hancurnya perasaan Sita, yang sekaligus menjadi impuls kesadaran bahwa perempuan harus kuat dan melawan.
 |
Man bertarung dengan Hin
dalam salah satu adegan Sekar Murka
(Foto: Ajie Wartono) |
Berikut adalah potongan puisi Damono (2013:55), “Sita nama saya, ya, Sita nama saya/setiap hari mengendarai motor/agar tidak terlambat sampai di kantor./Tak tahu lagi di mana suami saya/mungkin ia tidak ingin merdeka/dari penjara aksara di Buku Purba/menyalakan api yang sia-sia. Dalam hal ini, Sita dihadirkan sebagai perempuan kekinian yang melawan sihir Rama yang tidak sadar akan kehidupan kini—tenggelam dengan dogma dan impian fana. Sederhananya Rama tidak kontekstual dengan konstelasi kini.
Hal ini kiranya sesuai dengan pertunjukan Sekar Murka, pertunjukan dengan cerita yang sudah jarang tergarap oleh kelompok teater kini, tentang cerita percintaan. Kendati demikian, Jaring Project tidak memberikan narasi romantis a la Hollywood, melaikan irisan-irisan cerita cinta yang pahit. Yang kiranya berasal dari akumulasi persoalan masyarakat.
Bertolak dari itu semua, pertunjukan ini kiranya telah memberikan satu kesadaran di mana perempuan mempunyai suara. Perempuan tidak seperti yang kerap digambarkan tidak berdaya, yang kerap dimunculkan hanya sebagai pelengkap cerita, atau menjadi objek penderita. Di sini perempuan menjadi subjek dari pemegang keputusan di antara sosok-sosok maskulin dengan versinya masing-masing, yakni Man sang preman dan Hin sang ustaz. Dalam hal ini kiranya pertunjukan Sekar Murka memberikan cara pandang yang setara atas gender guna menyingkap simpul-simpul problematika yang berlapis di tengah masyarakat kini. Di mana semua mempunyai suara, maka semua harus setara.[]
oleh teraseni | Des 29, 2017 | Uncategorized
Jumat, 29 Desember 2017 | teraSeni.com~
Perlahan seorang laki-laki paruh baya berbusana putih, melangkah ke atas panggung. Berwajah muram, ia duduk termangu di depan sebuah kain putih yang tergantung. Meratap gusar tanpa bicara, diam namun terpancar kegelisahan. Beberapa saat setelahnya, ia melangkah ke arah datangnya kepulan asap. Lantas menghilang bersamaan dengan kepulan asap yang terurai perlahan. Selang beberapa saat, dua pantomimer muncul bergantian. Mereka memeragakan aktivitas yang berbeda hingga pada akhirnya menyatu. Setelahnya mereka menelusuri jalan menuju ke sebuah ‘gerbang.’ ‘Gerbang’ menuju ‘dunia’ Jemek Supardi.
 |
Jemek Supardi mengenakan riasan wajah khas pantomime
dalam adegan awal karyanya Ngilo Githok
(Foto: Eko Susanto) |
Jemek Supardi, pria kelahiran tahun 1953 ini merupakan seorang seniman yang dikenal sebagai pantomimer. Sejauh ini, Jemek lah yang kiranya paling konsisten menyuarakan suara dan pendapatnya melalui seni pantomim. Atas kesenimanannya, Jemek kerap diundang oleh pelbagai pihak, salah satunya adalah Fabriek Fikr 2 di Colomadu, Surakarta, setahun silam. Di acara site spesific yang diinisiasi Sardono W. Kusumo tersebut, Jemek merespon ruang pabrik dengan cakap dan reflektif.
Lantas kegundahan untuk kembali berkarya merebak pada benak pantomimer senior ini. Alhasil sebuah pertunjukan bertajuk Ngilo Githok dipentaskan pada kamis (7/12) di Pendhapa Art Space, Bantul, Yogyakarta. Diselenggarakan oleh Sanggar Seni Kinanti Sekar, pertunjukan tersebut turut menggandeng beberapa nama, seperti Broto Wijayanto dan Asita Kaladewa sebagai penampil; Guntur Nur Puspito sebagai penata bunyi; Warto Ibrahim, Kristanto, dkk sebagai penata artistik, Dian Santyas sebagai penata kostum, dan M. Shodiq Sudarti sebagai sutradara dari pertunjukan tersebut.
Sebagaimana khas pertunjukan pantomim dari Jemek Supardi yang reflektif, Ngilo Githok dimaknai sebagai upaya cermin diri untuk menyelami makna berkehidupan, terlebih bagi masyarakat kini yang kerap lupa asal, diri, juga sosial. Melalui Ngilo Githok, Jemek berupaya mengajak kita bercermin secara mendalam, untuk melihat apa yang ada di setiap diri manusia namun tidak terlihat secara kasat mata.
Menyelami Dunia Jemek Supardi
Jemek Supardi mengawali pertunjukan dengan cukup sederhana. Duduk terdiam dengan gelisah, sesekali kepalanya menunduk atau menengadah. Beberapa saat setelahnya, ia mulai merias wajah dengan make-up berwarna putih—laiknya wajah pantomimer. Tidak terburu-buru, Jemek mengusap wajahnya secara perlahan. Sesekali ia memandang tajam ke penonton, dan seketika wajahnya berimpresi muram. Setelah semua permukaan wajahnya berwarna putih, ia berjalan menghilang bersama kepulan asap. Tanpa melakukan banyak gerak tubuh dan ekspresi wajah, Jemek dapat merangkai rasa gundah di benak penonton dengan baik.
 |
Broto membawa lilin dalam salah satu adegan
Ngilo Githok, karya Jemek Supardi
(Foto: Eko Susanto) |
Beberapa saat kemudian, seorang pantomimer, Asita, muncul di depan panggung bagian kanan. Berpakaian rapih juga berdasi laiknya pekerja kantoran, Asita mempantomimkan pelbagai aktivitas, mulai dari mengetik, menulis, dengan beragam kompleksitasnya. Dalam hal ini Asita turut membawa persoalan harian para pekerja kantoran, yakni kesibukan.
Setelahnya perhatian diarahkan pada pantomimer lain, Broto, yang berdiri di sisi kiri dari Asita. Alih-alih serupa, Broto berpakaian lurik dengan bawahan sarung laiknya orang yang tengah bersantai di rumah. Broto mempantomimkan hal yang sebaliknya dilakukan Asita, yakni aktivitas rumahan, mulai dari menggosok gigi, menjaga burung perkutut, juga duduk bersantai.
Dalam hal ini, M. Shodiq Sudarti telah memberikan kontras yang jelas. Tidak hanya ditujukan untuk memperlihatkan perbedaan aktivitas, interaksi tersebut turut menunjukan perbedaan ruang. Secara lebih lanjut, hal ini dapat dibaca sebagai dunia yang beragam, tidak tunggal.
 |
Jemek Supardi menyalakan lilin-lilin di depan
cermin-cermin yang memenuhi panggung Ngilo Githok
(Foto: Eko Susanto) |
Dengan beragam aktivitas yang dipantomimkan, baik Asita dan Broto, masing-masing adegan diakhiri dengan kesan kebosanan. Hal yang cukup menarik, mereka setelahnya bertukar ruang. Hasilnya mereka cukup terlihat gagap dan asing satu sama lain. Oleh karena bertukar ruang dan peran tidak membuahkan hasil, maka mereka menyetujui untuk mencari hal yang diidealkan secara bersama-sama.
Akhir perjalanan mereka berada pada satu ruang sempit, di mana tujuan akhir dari segalanya adalah sebuah ‘gerbang’ yang terkunci. Asita ataupun Broto berupaya membukanya namun sia-sia yang hanya didapat. Hingga pada satu titik, mereka telah ‘siap’—ditandai dengan pergantian busana putih yang dikenakan oleh mereka—dan perlahan melangkah masuk ke dalam ‘gerbang’ tersebut.
Sesampainya di dalam, terlihat banyak lilin tergeletak acak yang masing-masing berhadapan dengan sebuah cermin. Susunan ‘lilin bercermin’ itu membuat panggung semakin menawan. Di sebuah sisi, terlihat sosok Jemek yang tengah menyalakan lilin tersebut satu per satu. Merasa penasaran, Broto dan Asita mendekati arah cahaya tersebut. Alih-alih hanya menonton, Broto dan Asita mulai membantu menyalakan hingga semua lilin memancarkan sinarnya.
 |
Jemek Supardi membawa salah satu lilin yang ia nyalakan
untuk menyalakan lilin yang lain dalam Ngilo Githok
(Foto: Eko Susanto) |
Sementara itu, Jemek berjalan ke arah kain putih yang tergantung. Ia berusaha membukanya, tetapi kain tersebut tidak kunjung terbuka. Lantas atas bantuan Broto dan Asita, kain tersebut terbuka, di dalamnya terdapat sebuah cermin besar. Mereka mencoba untuk berkaca bersama.
Setelahnya, mereka turun ke arena penonton menyebarkan cermin secara acak. Seusai berinteraksi dengan penonton, mereka kembali ke panggung. Lantas terdengar suara yang entah darimana asalnya seraya berkata, “Ngilo.. Ngilo.. Ngilo..”. Mereka termangu duduk membelakangi cermin hingga lampu perlahan pada, tanda pertunjukan usai.
Beragam Tafsir Menguak ‘Misteri’
Jika bertolak pada cerita, tentu tarik ulur terdapat pada perbedaan ruang antara Asita ataupun Broto yang merujuk pada satu ruang lain, yakni Jemek. Dalam hal ini Jemek menjadi simbol ajakan reflektif—bercermin diri—dari pelbagai latar belakang dan keadaan. Aktivitas yang kerap dilupakan di tengah konstelasi manusia kini.
Namun atas pertunjukan Ngilo Githok. tafsir implisit lainnya, baik terkait ataupun sebaliknya, turut muncul. Seperti, keikutsertaan dari dua kolaborator pantomimer yang turut tampil pada pertunjukan tersebut. Hal ini dapat dianggap sebagai upaya regenerasi. Di mana Jemek ingin menunjukan bahwa banyak wajah pantomim baru, di antaranya Asita dan Broto. Hal ini turut terwujud dalam peran Asita dan Broto yang sebenarnya lebih dominan ketimbang Jemek sendiri. Bahkan Asita dan Broto lebih menunjukan gerak dan gesture yang lebih tersurat.
Namun Jemek mungkin lupa bahwa karakternya terlalu kuat dan mengikat. Pasalnya, dengan gerak tubuh dan gesture yang sederhana, Jemek justru menyita lebih perhatian. Tidak hanya terkait nama besar, namun hal ini terkait dengan karakter yang dibangun oleh Jemek selama ini. Hal ini turut dibaca scholar pertunjukan, Richard Schechner, sebagai double negative. Double Negative dapat diartikan sebagai Me-Not Not Me, atau yang diterjemahkan dengan saya yang bukan-bukan saya.
Sederhananya, Jemek melakukan pantomim, dan ia mempantomimkan sosok yang berbeda dari dirinya. Namun dari praktik pantomimnya, ia membentuk sebuah karakter tertentu yang mengikat pada dirinya. Jika orang menyaksikan pertunjukan pantomim, maka penonton secara sadar akan mengatakan bahwa ini pantomim Jemek, dan—kerap kali—hanya Jemek yang dapat melakukannya. Dan itu kiranya terjadi pada pertunjukan tersebut, di mana gerakan Jemek yang minimalis justru memberikan impresi yang sama—bahkan lebih—kuat dari dua pantomimer lainnya.
 |
Tiga Pantomimer bercermin, di hadapan cermin besar
dalam Ngilo Githok, karya Jemek Supardi
(Foto: Eko Susanto) |
Oleh karena kekuatan karakter Jemek yang kuat, pertunjukan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya Jemek untuk come back atau ‘turun gunung’ dalam jagad seni pertunjukan, khususnya pantomim. Ngilo Githok bisa saja diterjemahkan sebagai balasan atas absennya Jemek dari pentas tunggal selama ini. Harapannya, kita dapat melihat pentas-pentas tokoh pantomim senior ini pada tahun-tahun mendatang.
Bertolak dari hal ini, Jemek memang tidak muda lagi, namun pantomim adalah dirinya. Maka, niscaya ia bersama pantomimer-pantomimer lain akan terus berupaya membangun iklim pantomim ke depan. Dalam hal ini, perlu kiranya kita dukung pelbagai upaya mereka. Dengan begitu, pantomim dapat terus menawarkan pertunjukan reflektif-reflektif lainnya. Penting kiranya hal tersebut untuk manusia-manusia Indonesia yang semakin egois dan individualis.[]
oleh teraseni | Des 28, 2017 | Uncategorized
Kamis, 28 Desember 2017 | teraSeni.com~
Pasar Keroncong Kotagede merupakan sebuah festival musik keroncong yang diadakan di Kotagede Yogyakarta. Festival musik tahunan yang digelar untuk ketiga kalinya ini kembali digelar pada sabtu 9 Desember 2017. Acara ini diadakan di sekitaran Pasar Kotagede, terdapat tiga panggung yakni Panggung Loring yang terletak di utara Pasar Kotagede, Panggung Sopingen yang terletak di depan Pendopo Sopingen, dan Panggung Kajengan yang terletak di utara Masjid Perak. Pengunjung dimanjakan dengan berbagai sajian keroncong yang dibawakan oleh 14 orkes keroncong.
Filosofi Pasar dan Keroncong
Pasar bagi masyarakat Yogyakarta bukanlah hanya sekedar tempat untuk kegiatan jual beli semata, namun lebih dari pada itu pasar juga merupakan tempat menjalin tali silahturami satu sama lain. Proses tawar menawar yang terjadi di pasar tradisional mengandung nilai-nilai budaya karena melalui peristiwa tersebut masyarakat akan saling berkomunikasi dan mengenal satu sama lain. Pasar merupakan ruang publik di mana masyarakat dari berbagai kalangan dapat bertemu dan berinteraksi.
Di era mileneal ini hal tersebut hampir pudar terutama pada masyarakat urban. Semakin banyaknya pasar-pasar modern (mal) bahkan toko online menjadi alasannya. Berbeda dengan pasar tradisional, pada pasar modern (mal) hampir tidak terjadi nilai-nilai interaksi sosial layaknya yang terjadi pada pasar tradisional.
 |
Ya Pasar, Ya Keroncong
(Sumber: Facebook Pasar Keroncong Kotagede) |
Musik keroncong dapat diasumsikan sebagai perilaku sosial karena pada prinsipnya seniman musik keroncong berkarya untuk orang lain bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dalam sebuah peristiwa berkesenian khususnya seni musik akan selalu terjadi interaksi antara penampil dengan audiens maupun audiens dengan sesama audiens. Kita semua tentu telah merasakan efek dari era digital di mana akses internet yang serba mudah menjadikan kurangnya komunikasi satu sama lain.
Sebagai contoh, perilaku sosial masyarakat masa lalu dan masa kini telah mengalami banyak perubahan. Pada masa lalu warga banyak berkomunikasi dengan warga lainnya karena akses internet belum semudah saat ini sehingga untuk mencari informasi mereka akan banyak bertanya kepada warga sekitar. Berbeda dengan era digital saat ini yang segalanya serba gadget sehingga intensitas komunikasi antar warga menurun.
Penyatuan dua konsep pasar dan keroncong merupakan ide yang sangat baik. Publik seakan diingatkan mengenai sebuah kegembiraan yang akan dialami melalui peristiwa komunikasi antar sesama. Dalam acara tersebut semua merasakan kegembiraan yang sama, tidak ada eksklusifitas untuk kelompok audiens tertentu, tidak terdapat kursi-kursi VIP. Seluruh lapisan masyarakat dapat mengambil bagian dalam pesta “hajatan” yang diadakan oleh rakyat untuk rakyat ini.
Keroncong dan Semangat Guyub
Yogyakarta merupakan kota yang terkenal dengan keramahan, sopan santun atau unggah-ungguh, serta kebersamaannya atau sering disebut dengan istilah guyub. Hendaknya nilai-nilai tersebut tidak hilang tergerus perkembangan zaman yang serba digital ini. Media sosial kini telah menghilangkan nilai-nilai sopan santun maupun nilai-nilai kebersamaan karena tanpa interaksi yang nyata seorang individu memiliki kebebasan berekspresi yang kurang dapat terkendali.
Keroncong sebagai warisan budaya merupakan sarana guyub untuk saling berinteraksi dan mewujudkan empati sosial secara nyata. Melalui guyubnya interaksi sosial akan dapat membangun persatuan, seperti tagline yang diusung oleh Pasar Keroncong Kotagede 2017 yakni “Gotong Keroncong Bebarengan.” Ditilik dari segi kalimatnya, tagline tersebut merupakan plesetan dari: gotong royong bebarengan. Gotong royong kini telah memudar di kalangan masyarakat, melalui tagline tersebut akan menumbuhkan kembali semangat gotong royong.
 |
Tidak Terdapat Sekat-Sekat
Eksklusifitas Antar Penonton
(Sumber: Facebook Pasar Keroncong Kotagede) |
Keroncong sebagai musik warisan budaya dan semangat guyub masyarakat Yogyakarta merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang telah dikemas secara apik dalam Pasar Keroncong Kotagede. Hal yang cukup menarik adalah karena sebagian besar penampil maupun pengunjung merupakan masyarakat generasi muda.
Fenomena ini tentunya merupakan suatu hal yang sangat baik karena masyarakat generasi muda adalah sasaran efektif untuk menanamkan nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu, di tangan para generasi muda lah musik keroncong akan terus dapat terjaga eksistensinya hingga masa mendatang. Semoga Pasar Keroncong Kotagede dapat senantiasa ada setiap tahunnya sebagai representasi kearifan lokal masyarakat Yogyakarta.
oleh teraseni | Des 16, 2017 | Uncategorized
Sabtu, 16 Desember 2017 | teraSeni.com~
Tubuh Sebagai Simbol
Moertri Purnomo meyakini bahwa bahasa gerak bukan sekedar merangsang artis untuk-berkomunikasi tanpa bicara, tetapi seseorang harus mampu menelorkan ide denga simbol, lambang, sinyal, aktivitas, bisnis, gestur, dan ekspresi yang pas, dilakukan dengan menggunakan teknik dan dasar laku tertentu yang mengakibatkan orang lain bisa menangkap arti ataupun makna sesuatu yang akan disampaikan dengan jelas meskipun beberapa saat harus berpikir (Kedaulatan Rayat, April 1985). Ukapan dari salah satu sesepuh pantomimer Jogja diatas dapat menjadi jembatan masuk untuk memahami tubuh Jemek Supardi lebih jauh dalam karyanya Ngilogithok.
 |
Jemek Supardi menyalakan lilin
dalam karyanya Ngilogithok,
Kamis 7 Desember 2017, di Pendopo Art Space
(Foto: Ajie Wartono) |
Kita tahu Jemek telah lama menjadi figur, tokoh, mitos dunia pantomime Indonesia yang telah malang melintang dalam dunia pertunjukan. Ia telah menelurkan banyak karya hampir sepanjang hidupnya baik pementasan di panggung ; jalanan, ruang publik, tempat pembuangan sampah, sungai, kuburan, kereta, di atas folklift, dan di dalam tong penuh berisi lem panas, dan banyak lagi. Sosoknya bagi dunia seni pertunjukan meninggalkan banyak cerita misteri, lucu, aneh, menjengkelkan, unik, nakal, liar, penuh dengan kejutan, Jemek tiba-tiba bisa muncul dimana dan kapan saja dengan berbagai tema, gaya, improvisasi, kolaborasi, serta penyikapan ruang yang spotanitas. Tak mengherankan jika keistimewaan aksi-aksi spontanitas dan ide orisinalitas manggungnya, seperti salah satu karyanya berjudul Badut-Badut Republik atau Badut-Badut Politik’ yang bermain di atas ‘Folklift’ berjalan, yang suatu ketika menurut Garin Nugroho mampu memecah kebuntuan konsep ‘Panggung Bergerak’ yang kala itu sedang diperdebatkan oleh seniman seperti Sardono W Kusumo dan Putu Wijaya.
Sekelumit cerita tubuh-tubuh tak terduga Jemek di masa lalu yang selalu tampil di depan untuk dan atas nama pantomim. Ternyata ada yang berubah dalam karya-karyanya saat ini. Seperti Kamis 7 Desember 2017, di Pendopo Art Space, pukul 19.30 WIB Jemek bersama Aktor pantomim Broto Wijayanto dan Asita mementaskan karyanya Ngilogithok. Tubuh Jemek rasanya lebih sangat senti mentil. Narasi yang tersurat dari tubuh yang tergambarkan secara ‘simbolis’ seperti sedang-bergerak menuju jauh ke dalam hal subtil pada dirinya. Tubuh dan gerak pantomim Jemek yang atraktif menjadi semacam ‘hanyut dalam kesunyian’ tidak banyak aktivitas, bisnis, gestur, hanya sinyal-sinyal kecil yang muncul dari ekspresi wajah, tatapan nanar dan kosong, gerak tangan yang hampa dan lintasan-lintasan keluar masuk panggung.
Melihat tubuh mimer Jemek tanpa sejarah sama juga kehilangan konteks narasi utuh atas ide dan gagasannya tampil malam itu. Setidaknya seperti apa yang ditulis dalam buku ‘Wajah Pantomim Indonesia’ ide-ide karya Jemek Supardi biasa selalu berangkat dari pengalaman dan kegelisahan dalam kehidupan keseharian yang sangat ‘Orisinal’ sekaligus personal yang sedang dialaminya. Tampaknya secara simbolis ada yang sedang berubah dari narasi tubuh Jemek, nampaknya perubahan tersebut telah dimulai sejak tahun lalu. Lewat karyanya ‘Napas’ 1 September 2016 di Taman Budaya tahun lalu, ia melakukan pentas ‘ruwatan’ menyambut kelahiran cucu pertamanya dan menyatakan akan meninggalkan masa lalunya. Tampaknya dulu aksi-aksi pentas pantomim Jemek lebih banyak mengkritik hal-hal di luar diri. Namun semakin ke sini tampaknya ia semakin melakukan kritik terhadap diri (ke dalam).
Bangunan Peristiwa
“Kita memiliki mata, namun mata kita tidak bisa melihat wajah kita secara jelas tanpa cermin” (penggalan awal sinopsis Jemek Supardi)
Jemek naik panggung, ia lalu duduk di kursi pojok belakang, mengenakan pakaian putih tanpa make up. Kemudian perlahan mulai berdandan mengolesi wajahnya dengan bedak Body Painting berlatar belakang bundaran putih menggantung seperti bakpau. Sementara sisi lain sekitar dirinya penuh tertata seratusan kaca pengilon kecil dengan lilin-lilin. Musik mengalun, berdampingan dengan suara-suara mesin kamera para pemburu gambar panggung dan Gun Smoke. Selesai berdandan Jemek berdiri kemudian jalan berlalu keluar panggung, menghilang.
 |
Asita dan Broto Wijayanto, dua pantomimer muda
beraksi dalam Ngiloghitok
(Foto: Ficky Sanjaya) |
Pantomimer lain, Asita dan Broto Wijayanto sedari awal berjongkok berada di depan bawah panggung ketika jemek sedang berdandan. Setelah Jemek keluar, Asita bergerak layaknya orang yang tengah sibuk bekerja di kantor. Sedang Broto menjadi orang Jawa yang suka ‘leyeh-leyeh’. Keduanya tampak ingin menampakkan sosok manusia keseharian dalam wujudnya yang ‘realis’ dari penegasan karakter kostum keseharian yang mereka kenakan (baju hem, celana kain, dasi dan baju surjan, celana komprang serta sarung). Meski gerak-gerik tubuh ciri khas pantomim mereka tidak dapat dikata realis (karikatural, mimik ekpresif, dan penuh gerak-gerak stilir dan patah) tubuh Asita yang atletis dan lentur, tampak ‘datar’. Padahal, dengan kecakapan dan kemampuan tubuh yang dimiliki tersebut, sepertinya gerak-gerak melebihi “tiruan” mampu dijangkau.
Sementara Broto tampil ekpresif dan detail, kefasihan tubuhnya memusatkan tenaga pada gerak-gerak visual pantomimik dan improvisasi sungguh bening dan meyakinkan. Kecenderungan-kecenderungan dalam caranya bermain itulah yang selanjutnya menjadi tipikal bagi siapa saja yang sering melihatnya tampil. Lagi, gerak-gerik kedua pantomimer ini diiringi musik ilustratif yang terkadang artifisial (musik dan gerak berkesinambungan berkecenderungan menjelas-jelaskan suasana yang sudah jernih).
Kedua aktor tersebut banyak bergerak mendominasi pertunjukan. Menyusun narasi gerak cerita ‘keseharian mereka’ secara bergantian. Mereka kemudian merajut cerita pertemuan, keluar rumah dan berjumpa disebuah kota dengan bis yang entah. Menuruni dan menaiki tangga, menyusuri cuaca dan bergantian memasuki pintu demi pintu imajiner. Kedua pantomimer meganti kostumnya serba putih, sebelum membokar satu pintu terakhir untuk masuk menuju Jemek yang sedari tadi telah masuk dan nencoba menyalakan lilin yang ada diatas panggung.
Pertunjukan menjadi sentimentil sebab Jemek tampaknya tidak banyak bergerak berpantomim. Secara gestur ia lebih banyak diam bersembunyi dibalik sinyal dan simbol, melalui gerak-gerik kecil ekpresi wajah dan pose, juga secara biasa mulai menghidupan lilin-lilin satu-persatu di depan puluhan kaca pengilon kecil. Asita dan Broto turut membantu menyalakan. Jemek memainkan cahaya dari pantulan ligthing yang mengenai dua kaca yang dipegannya bergantian. Suasana gerak-gerik pemain di atas panggung dengan komposisi cahaya lilin yang menyala silih berganti, sungguh puitis seperti sajak liris dari irama lagu ‘Hujan Bulan Juni’ Sapardi Joko Damono.
 |
Asita sibuk bekerja di kantor, sedang Broto
suka ‘leyeh-leyeh’ dalam Ngiloghitok
(Foto: Ficky Sanjaya) |
Ketika lilin menyala seluruhya, Jemek membawa beberapa kaca dan dibagikan kepada penonton. Ketika kaca sampai ketangan para penonton, suara lirih ajakan ngilo menggema dari dalam sound. Kaca masih terus dibagikan dibantu Asita dan Broto, Lampu penoton kemudian menyala, penonton saling melihat, ada yang spotan langsung berkaca, ada hanya berdiam. Namun ajakan ngilo terus menggema hingga akhir pertunjukan.
Puncaknya sebuah kain putih disingkap, muncul kaca pengilon berukuran besar dimana Jemek awal sebelumnya duduk berdandan. Para pemain bermain sebentar dengan bayangan dari anggota tubuhnya yang mucul dikaca, sebelum akhirnya berpose diam, cahaya benderang menerang seluruh aktor dan kemudian redup dengan cepat.
Rangkaian pertunjukan yang kurang-lebih 60 menit tersebut didukung oleh Sanggar Seni Kinanti dan Pendopo Art Space, melibatkan stuktur produksi lengkap meliputi sutradara : M. Shodiq Sudarti, penata bunyi : Guntur Nur Pusputo, Artistik: Warto Ibrahim, duo Teguh dan Tholi, Erfianto Wardana, Sound Uta, Gendon, dan Blass Grup, Kostum : Dian Santyas, dan dibantu oleh bebera crew panggung.
Sedayu 7 Desember 2017