Pilih Laman

Ngetutke Rasa; Rasa Adalah Yang Utama: Hadiah Manis 60th PLTBK

Senin, 16 April 2018 | teraSeni.com~
D

ari satu titik, rangkaian cahaya mengarah ke kedelapan penari yang tengah berderap. Menatap tajam ke penonton dan arah datangnya cahaya, sesekali beberapa penari laki-laki berteriak lantang, menambah kesan garang. Bias cahaya tersebut menghasilkan bayangan di belakang para penari, seolah-olah mereka menjadi semakin banyak dan berenergi. Merespon permainan Purwanto Ipung dkk, kedelapan penari memperlihatkan wirama dan wiraga yang berkelindan satu sama lain. Alih-alih hanya menari, karya bertajuk Ngetutke Rasa ini menampilkan rasa kejawaan dengan tawaran konsep pertunjukan yang lebih segar dan kekinian. 

ngetutke rasa: teraseni.com
Tampak para penari menatap tajam kearah penonton
Foto: Guntur Moko
Dari tari kembali ke tari, mungkin frase yang tepat dalam merayakan hari jadi Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja (PLTBK) yang ke-60th. Perayaan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) ini menggelar sebuah pertunjukan tari bertajuk Ngetutke Rasa dalam bingkai acara bulanan PSBK, Jagongan Wagen. Karya yang digelar pada Sabtu, 24 Maret 2018 pada pukul 19.00 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja ini menampilkan koreografer dan penari muda berbakat, yakni: Pulung Jati Rangga Murti, Hermawan Sinung Nugroho, Anang Wahyu, Putra Jalu Pamungkas, Arjuni Prasetyorini, Nurul Dwi Utami, Indiartari Kussnowari, dan Paranditya Wintarni. Tidak hanya itu, pertunjukan tari ini turut menggandeng pemusik handal, seperti: Purwanto Ipung, Boedhi Pramono, Danang Rajiv Setyadi, Desti Pertiwi, Gaung Kyan Rennatya S., Fajar Sri Sabdono, dan Shandro Wisnu Aji Seputra. 
Sebelum pertunjukan, Djaduk Ferrianto turut memberikan ‘kuliah umum’ tentang sang ayah, Bagong Kussudiardja. Alih-alih hanya membicarakan kedirian, Djaduk turut mengulas teknik, karya, serta PLTBK. Dibahas dengan santai, Djaduk berhasil menyarikan pelbagai karya dari alm. Bagong Kussudiardja, yakni Ngetutke Rasa. Sebuah padanan terma yang ditemukan penggagas dan koreografer dari kumpulan arsip maestro tari, alm. Bagong Kussudiardja. Ngetutke Rasa dirasa tepat oleh Djaduk, penggagas, dan koreografer dalam merepresentasikan karya-karya ciptaan alm. Bagong Kussudiardja. Sari dari karyanya ini lantas dianggap dapat menjadi sebuah metode atau tawaran kesadaran dalam menciptakan karya tari, khususnya bagi generasi muda yang kerap tidak mengindahkan rasa dalam menciptakan karya tari. Alhasil, Ngetutke Rasa menjadi sebuah tawaran penting yang ditawarkan Djaduk Ferrianto, PSBK, dkk dalam menyikapi karya tari kini. 
ngetutke rasa: teraseni.com
Salah satu adegan dalam pertunjukan Ngetutke Rasa
Foto: Guntur Moko
Mencari Rasa Meraba Pertunjukan
Pertunjukan diawali tidak di arena pertunjukan, melainkan ruangan di sisi kanan penonton. Sebuah ruangan dengan pintu dorong dibuka dengan cepat, di dalamnya terdapat sejumlah delapan penari tengah melakukan pemanasan. Samar-samar terdengar gesekan alat musik cello membentuk tempo. Sementara itu beberapa dari mereka melatih kuda-kuda, beberapa dari mereka melatih etude tari Jawa, beberapa dari mereka berjalan sambil merenggangkan kaki mereka. Lalu mereka membentuk satu baris dengan tangan posisi tangan terlentang hingga menengadah. 
Alih-alih gerakan berbeda satu sama lain, gerakan kedelapan penari justru serupa satu sama lain. Setelahnya lampu padam, mereka tercerai berhamburan. Beberapa dari mereka berjalan perlahan, beberapa dari mereka mengendap-endap memasuki panggung. Bersamaan dengan itu, suara gamelan mulai terdengar lantang. Pada bagian awal ini, pertunjukan terasa menarik di mana prosesi latihan mereka menjadi bagian dari pertunjukan. Kendati hal ini bukan hal baru dalam pertunjukan kontemporer, namun memasukkan bagian latihan di ruang yang berbeda pada pertunjukan telah mencuri perhatian. Tidak hanya itu, pada bagian ini para penari telah menampilkan basis gerak tubuh tari Jawa dengan pelbagai eksplorasinya. 
ngetutke rasa: teraseni.com
Dalam kegelapan penari memasuki panggung
Foto: Guntur Moko
Gending Jawa mulai terdengar keras, mereka yang tengah mengendap-endap mulai memasuki panggung. Keempat penari laki-laki mulai menempel di dinding belakang panggung sebelah kiri dari penonton, sedangkan keempat penari perempuan mulai menempel di sisi sebaliknya. Menyisakan satu ruang kosong di panggung belakang bagian tengah dari penonton. Pada bagian ini, mereka mulai merayap dan bersandar di sisi panggung masing-masing, hingga memasuki ruang tengah secara bergantian. Pada pertunjukan ini eksplorasi gerak per gerak dari etude tari Jawa, tari modern, ataupun perpaduannya menjadi primadona. 
Bagian lain yang tidak kalah menarik adalah ketika upaya kreatif penggunaan lampu sorot laiknya penggunaan multimedia dalam pertunjukan-pertunjukan tari belakangan ini. Kedelapan penari mulai berdiri berbaris membentuk formasi, mereka mulai berderap dengan cahaya persegi menyinari mereka. Dampak dari permainan cahaya ini membuat bayangan dari para penari seakan semakin banyak. Dengan musik yang berderap dan energik, para penari seakan tampil semakin garang laiknya akan maju berperang. Sesekali mereka berteriak dan mengangkat tangan menambah kesan pertunjukan semakin menarik. Permainan bayangan ini kiranya menjadi terobosan penggunaan media yang sederhana namun berbuah maksimal. 
Masih dengan penggunaan cahaya yang membentuk persegi di sisi belakang panggung, secara bergantian para penari laki-laki masuk perlahan ke dalamnya. Mulai dari mempertunjukkan organ tubuh, seperti kaki, tangan, badan, dan seterusnya, hingga menarikan gerak tari Jawa dengan karakter alusan ataupun gagahan. Setelahnya keempat penari mulai tersebar membentuk satu saf atau deret. Lalu mereka menggelinding (baca: roll depan) secara bersamaan ke arah depan panggung. Sementara fokus lampu berganti, keempat penari perempuan telah duduk terlebih dulu, sehingga keempat penari laki-laki menempati posisi di antara keempat penari perempuan lainnya. Suasana pertunjukan, baik lampu ataupun musik berganti dengan cepat, membuat impresi yang mengalun dan ‘sakral’. Selanjutnya mereka bergerak dengan karakter alusan dalam tari Jawa secara bersamaan. Sembari hal tersebut berlangsung, dari kursi penonton banyak terdengar nada terpukau. Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa tersebar gerak-momen yang mengandung spectacle di dalam karya ini. 
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa apiknya pertunjukan sempat terganggu dengan satu kesilapan yang justru tidak berasal dari penari. Adalah kesalahan teknis yang cukup mengganggu jalannya karya tari. Di mana ketika pada bagian menuju akhir pertunjukan—atau bisa saya terjemahkan klimaks walaupun pada tarian Jawa semisal Bedhaya tidak mengenal hal tersebut—, lampu secara tiba-tiba padam. Sementara musik masih berbunyi, penonton bingung dan mulai bertepuk tangan mengira pertunjukan usai. Sementara itu, di sisi depan panggung, seorang laki-laki dengan gestur kesal berdiri dan menunjuk-nunjuk kawanan operator tata cahaya. Hal ini tentu menjadi catatan buruk bagi kru tata cahaya PSBK yang sebenarnya telah melakukan pencahayaan dengan baik sejak awal pertunjukan. Untunglah lampu kembali menyala secara teram temaram, namun yang cukup disayangkan mood dari beberapa penari dan penonton telah terganggu. Kendati konsentrasi sudah terhambur, profesionalitas justru ditunjukkan oleh para penari dengan baik. 
Ketika lampu kembali menyala, para penari masih berjalan di tempat dengan gerak yang serentak. Lalu mereka kembali terpecah, Mawan dan Jalu bergerak bebas di bagian belakang kiri dari penonton; Paranditya, Indiartari, dan Nurul bergerak perlahan di bagian tengah panggung; sementara Pulung, Arjuni, dan Anang berdiri di sisi depan kanan penonton dengan gerakan eksploratif, di mana Pulung dan Anang bergerak melompat hingga menggeliat khas Jogja Body Movement, sementara Arjuni menunduk dan berderap. Tidak lama berselang, lampu perlahan meredup, tanda pertunjukan usai. 
Merasakan Kejawaan dari Ngetutke Rasa 
Rasa menjadi tawaran menarik dalam pertunjukan tari Ngetutke Rasa—sebagaimana yang disarikan penggagas dan penari dari pelbagai karya tari alm. Bagong Kussudiardja. Namun apakah rasa telah muncul pada pertunjukan tari yang digelar dalam rangka 60th PLTBK – PSBK tersebut? Bertolak dari pertunjukan tersebut ada beberapa hal penting yang terbetik, yakni: basis gerak tubuh para penari tidak ditanggalkan begitu saja, melainkan dieksplorasi secara lebih. Semisal Pulung, Anang, dan Jalu dengan gerak tubuh yang eksploratif, terlebih mereka aktif dengan Jogja Body Movement-nya; atau Mawan dengan tari Jawa tradisi gaya Yogyakarta yang kuat; dan lain sebagainya, dengan cakap ditampilkan dan ditempatkan pada pertunjukan ini. Dari kedelapan penari, persoalan teknik gerak—baik tradisi ataupun eksplorasi—mereka tidak perlu diragukan. Dalam hal ini, rasa memang adalah hal yang utama, namun teknik harus tetap terjaga. Persis yang terejawantahkan dari para penari di dalam karya ini. 
ngetutke rasa: teraseni.com
Tampak seorang penari sedang melompat
Foto: Guntur Moko
Selain itu, ihwal pola lantai, di mana para penari menyiasati dengan pola lantai yang rekat satu sama lain. Kendati mereka terpecah pada kelompok-kelompok kecil, namun mereka tetap menggunakan pola lantai jarak dekat antar satu penari dengan penari lain. Hal ini pun diejawantahkan pada beberapa alur dan gerak dari para penari. Di mana para penari membuat gerak berpola dengan tangan yang seragam, seperti: ketika para penari membentuk lingkaran dengan Anang di tengah-tengah mereka; atau tatkala ketujuh penari membungkuk dan berjalan kecil dengan Pulung di tengahnya, yang berbusung dada dengan menatap tajam; dan sebagainya. Hal ini menandakan adanya kesadaran pola lantai pada pelbagai gerak mereka. 
Tidak hanya itu, pola gerak dan pola lantai tersebut berkorelasi dengan kesadaran irama dalam tubuh penari. Kesadaran irama dapat dirujuk sebagai kesadaran gerak tubuh merespon bunyi, gerak menjadi tanda dalam bunyi, dan perkelindanan keduanya. Hal ini mengingatkan saya pada satu ‘formula’ untuk penari Jawa yang sublim, yakni Wiraga, Wirasa, dan Wirama. Bicara wiraga dan wirama, karya ini telah menunjukkan keduanya, sedangkan ihwal wirama, tidak muluk-muluk jika karya ini telah menuju ke arah tersebut. 
Bertolak dari catatan baik di atas, adapun catatan yang perlu diindahkan dari karya ini, yakni masih terasa terpotongnya pada beberapa bagian di dalam karya ini. Kendati hanya berporsi kecil, namun alangkah baiknya jika perpaduan ide antar kepala para koreografer atau penari dapat dilakukan dengan mangkus dan sangkil. Sebagaimana karya ini diciptakan dari delapan kepala penari—bahkan penggagas—yang terlibat, maka keseluruhan rangkaian gerak perlu dirajut dengan cakap. Kiranya, rajutan tersebut dapat didasarkan pada kepekaan rasa. Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa jahitan rangkaian gerak dari karya ini sudah terasa apik. Namun kiranya rangkaian antar gerak dapat dirajut dengan lebih cakap sehingga sawiji, greget, sengguh, ora mingguh dapat tercapai pada karya-karya tari baru.[]

The Dance of Silence a.k.a Tarian Keheningan: Sebuah Catatan Proses

Selasa, 03 April 2018 | teraSeni.com~

Paul Valery, seorang pelopor estetika modern – tulis ST.Sunardi (2012) dalam artikel “Re-edukasi Tubuh Lewat Tari” – pernah mengatakan; “Manusia adalah salah-satu binatang yang melihat dirinya hidup. Pengalaman melihat dirinya paling jelas ia temukan dalam gerak tubuh sekuensial yang terjadi dalam tari. Begitulah ia melihat tari sebagai seni paling menggairahkan. Dalam seni tari, orang bisa belajar banyak hal tentang fenomena hidup itu sendiri”.
Paul sendiri – masih kata ST.Sunardi, bukanlah seorang penari. Ia lebih dekat dengan dunia sastra, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada tari. Demikian juga saya, yang tidak bisa menari, tahu sastra hanya sedikit, dan tak pandai menahan kekaguman pada dunia tari. Berbekal pengetahuan yang sedikit itulah saya kemudian tertarik melakukan intertekstualitas. Apalagi ketika mengalami sebuah momen yang jarang saya alami: menjadi penonton tunggal dalam pagelaran yang tidak biasa. Sebuah pengalaman – atau kesempatan, bila boleh dikata demikian, yang tentu saja tidak saya lewatkan begitu saja. Paling tidak dengan mencatatnya, saya bisa mengamankan pengalaman itu dari erosi waktu: ingatan.
Isi dari sebagian catatan itu – yang kemudian tampak dalam tulisan ini, sebenarnya adalah sebuah upaya untuk menangkap momen pertunjukan di balik pertunjukan. Suatu proses, di mana perhatian kritikus seni pertunjukan biasanya tertuju pada titik kulminasi sebuah pagelaran dalam tata artistik panggung yang sempurna belaka. Alih-alih menandai dan menakar titik kulminasi itu, saya lebih tertarik untuk menulis momen proses yang membutuhkan konsistensi dan disiplin luar biasa dari para pelaku kesenian itu, tanpa sama sekali mengurangi estetika pertunjukan sebagaimana ketika mereka tengah mementaskannya. 
bedhaya:teraseni.com
penari mengikuti bunyi musik dari dalam diri
Foto: Rio Belvage
Bermula dari suatu hari ketika saya dihubungi oleh kawan lama untuk main ke tempatnya. “Si Thenk” – demikian ia dikenal. Seorang seniman yang sejak tahun 98 hingga kini telah puluhan kali menjadi artis dan sutradara seni pertunjukan. Ia tinggal di Yogyakarta, dan beberapa tahun belakangan sempat menghilang dari hiruk-pikuk seni pertunjukan. Kebetulan dulu saya pernah mengulas pagelaran teater yang disutradarainya, yang kemudian diterbitkan dalam jurnal Kajian Seni di Program Pengkajian Seni Pertunjukan UGM. Dan pada malam kali itu, setelah lama tak berjumpa, tiba-tiba saya sudah menjadi penonton tunggal dari ide liarnya yang lain. 
Usut punya usut, rupanya ia sedang mengagendakan sesuatu. Sebuah seni pertunjukan yang sebenarnya beberapa kali telah dipentaskan. Nama pertunjukan itu adalah Tari “Bedhaya Banyu neng Segara” – yang dalam terjemahan bahasa Indonesia kurang lebih dapat diartikan sebagai “Tarian Air di Lautan”. Sebuah tarian yang mulanya terbilang sakral, ia didesakralisasi dengan membuat Bedhaya versi sendiri, dan menampilkannya di ruang-ruang publik, seperti di trotoar di pinggir jalan, di warung kopi, bahkan institusi pendidikan sekolah dasar pun juga tak luput dari kunjungan pementasannya. 
Pesan simboliknya bagi saya jelas sekali, dalam konteks sosiologi ruang bernama Yogyakarta, pada saat dimana-mana kesenian tradisi telah umum dikapitalisasi dan dikemas menjadi momen-momen pertunjukan eksklusif, maka dengan ide liar Si Thenk dan kepiawaian penarinya, estetika seni tradisi itu kemudian dapat diakses dan menyambangi banyak orang. Tentu ini konsep yang menarik, yang berbeda dengan pola umum yang berlaku dalam dunia seni pertunjukan, di mana biasanya penontonlah yang akan mengunjungi pertunjukan dan bukan sebaliknya. Oleh sebab itu jika diterjemahkan, tidak berlebihan kiranya menyebut kerja kesenian semacam ini sebagai usaha mengembalikan identitas Jogja sebagai “Kota Budaya” pada makna definitifnya. 
bedhaya:teraseni.com
terasa sekali suasana hening dari ekspresi penari
Foto: Rio Belvage
Walaupun tidak tahu banyak mengenai dunia tari selain unsur semiologisnya, namun malam itu saya merasa beruntung bisa menikmati pertunjukan itu. Bagi saya ini adalah sebuah pagelaran yang memukau. Terlebih ketika mereka sedang unjuk kebolehan menari, keheningan hadir dalam arti yang literal, yakni suatu pagelaran dengan iringan suara jangkrik dan serangga lain yang saling mengisi, di mana momen itu justru menyuguhkan daya tarik tersendiri bagi lelaki yang secara tak terduga tengah berada di sarang penari. Sesekali nuansa mistik hinggap lalu hilang, menyisakan jejaknya pada gerak tubuh penari yang gemulai membius menghanyutkan, di mana mau tak mau membawa saya sepersekian detik memasuki alam dongeng Ahmad Tohari tentang Srinthil dalam “Ronggeng Dukuh Paruk”: “Di halaman rumah.., tidak seperti biasa, pentas kali ini tanpa nyanyi atau tarian erotik.., semua orang tahu permainan kali ini bukan pentas.., biasa (Tohari, 2011:45)”. 
Akan tetapi tentu saja pagelaran pada malam itu berbeda dengan gaya Ronggeng saat menari. Sebab dalam catatan sejarah geopolitik kesenian Jawa abad 19 dan 20, Ronggeng, Tayub, lebih hidup dan dihidupi oleh lingkungan masyarakat yang bermukim di luar Vorstenlanden, di luar jangkauan kekuasaan negaragung atau adat-istiadat keraton, yang selanjutnya hal tersebut sedikit banyak memberi pengaruh pada gaya kinetik tubuh, membuat tarian menjadi lebih “merdeka”, cenderung blak-blakan, erotik, dan tanpa sungkan-sungkan misalnya, nyawer selembar uang dengan menyelipkan ke sela gunungan dada si penari. Sementara di lingkungan Vorstenlanden, pemandangan yang dijumpai cenderung sebaliknya. Tarian mengikuti pakem yang halus. 
Ritme gerakannya lamban, mengikuti alunan gamelan yang mendayu – hingga hal itu menarik minat sastrawan yang lahir di wilayah Jawa bagian utara, di luar Vorstenlanden, Pramoedya Ananta Toer, untuk ikut nimbrung dengan gaya sarkastiknya. Di dalam karyanya yang berjudul “Bumi Manusia”, Pram melihat kedudukan gamelan di lingkungan elit feodal Jawa berelasi dengan watak sesungguhnya dari orang Jawa: “Gamelan itu sendiri lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias – merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menerjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran..” – bersifat eksklusif, dan kerap dianggap sebagai citra dari seni “Adiluhung”. 
Kemapanan citra Adiluhung itulah yang digebrak oleh pagelaran di mana saya bak mendapat karcis VVIP gratis sebagai penonton tunggal pada malam itu. Tanpa kehadiran pengrawit dan irama gamelan yang disindir Pram, keheningan menyublim menjadi alunan musik tersendiri yang memenuhi ruang tempat penari berunjuk kebolehan. Dengan lampu sanggar yang padam sebelah karena kabelnya rusak sehingga membuat sebagian ruang terang dan yang lain temaram, sama sekali tidak mengurangi penghayatan penari dalam menggerakkan tubuhnya. Di bawah komando kolektif yang tak kasatmata bernama “rasa”, tatapan mata dan air muka mereka berada pada satu titik fokus yang seirama dengan gerakan tubuhnya. Seolah mereka sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran saya. Sembari sesekali koreografer berjalan di sela para penari membenarkan gestur tubuh, tak henti-hentinya pagelaran beberapa menit itu menebar aura magnetik (yang bila saja si penari mau usil sedikit dengan melempar tatapan pada lawan jenis dalam tarian semacam itu, tak ada jaminan yang dipandang tak bakal kelabakan panas-dingin susah tidur tiga harmal). 
Itulah yang saya jumpai saat memenuhi undangan kawan lama, main ke Padepokan SangArt. Sebuah latihan yang rupanya rutin dilakukan dan lokasinya tak jauh dari Kali Gajahwong – di mana masih dalam geografi ruang yang sama, yakni di tepi sungai itu, enam belas tahun silam ST.Sunardi juga pernah menulis proses kreatif pelukis Affandi berjudul “Suara Sang Kala di Tepi Gajahwong”. Saya membayangkan, mungkin inilah transformasi “Suara Sang Kala di Tepi Gajahwong” itu. Dulu lukisan, kini tarian.

Kandungan Narasi Perut Ibu dalam Mother Earth

Senin, 26 Maret 2018 | teraSeni.com~

Pada cahaya yang temaram, empat orang perempuan dengan gumpalan besar di perutnya menari dengan seragam. Sedangkan di bagian belakang panggung terbentang layar dengan sorotan video yang beraneka ragam. Setelahnya tersorot ke layar, wajah bayi ketika di dalam perut sang ibu laiknya gambar dari ultrasonografi (baca: USG). Perlahan denting demi denting piano dimainkan dengan lirih, sementara seorang perempuan menggeliat dan bergerak acak di tengah bentangan layar terpampang.

Alih-alih terpisah satu sama lain, setiap gerakan dari perempuan dengan gumpalan di perutnya tersebut direspon persis oleh video mapping. Dari pertautan disiplin seni tersebut, karya yang menyoal relasi antara ibu dan anak ini telah memanjakan mata dan menghibur penonton kebanyakan.
klirdotnet: teraseni.com
Tampak empat penari dengan gumpalan besar di perutnya
Foto: kelirdotnet
Secuil peristiwa di atas merupakan potongan pertunjukan dari karya kolaborasi bertajuk Mother Earth yang diselenggarakan pada 13 Maret 2018 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri (PKKH UGM) Yogyakarta. Pertunjukan yang diwujudkan sebagai jawaban dari rasa kegundahan Mila Rosinta (koreografer) atas anggapan sulitnya perempuan berkarya pasca melahirkan. Secara lebih lanjut, Mila bemaksud menautkan rasa ego dari sang ibu terhadap anaknya. Hal ini ditautkan guna memperlihatkan ekspresi kasih sayang dari seorang ibu terhadap anak.

Atas dasar itulah, Mila memformulasikan perjalanan kehamilan hingga melahirkan menjadi sebuah karya. Salah satu fase kehidupan manusia, laiknya rites of passage atau ritus peralihan yang diartikulasikan oleh seorang etnografer-folkloris, Arnold Van Gennep. Selanjutnya, inisiatif pertunjukan ini terjalin ketika Mila bertemu praktisi yang bernasib tidak jauh berbeda, Luise Najib—penyanyi dan pencipta lagu. Dengan Luise, gagasan membuat pertunjukan tersebut terealisasikan.

kelirdotnet:teraseni.com
Sebuah adegan perempuan menggendong anak
Foto: Kelirdotnet
Alih-alih hanya menampilkan gerak tari dan latar suara dari Mila dan Luise, pertunjukan ini melibatkan pelbagai praktisi seni antar bidang, yakni: Gardika Gigih (Pianis) dengan alunan yang menyihir; Lia Pharaoh (Make Up Artist) dengan polesan wajah yang berkarakter; Jenny Subagyo (Hair Stylist) dengan penataan rambut yang mempertebal karakter penampil; Manda Baskoro (Fashion Designer) dengan tata busana yang menawan; Rio Pharaoh (Fotografer) dan Yogo Risfriwan (Videografer) dengan foto dan video yang berkualitas guna material video mapping; Kokoksaja (Visual Artist) dengan rangkaian visual yang menawan; Gading Paksi (Stage Manager) yang mengawal pertunjukan dan menyulap PKKH dengan cakap; dan Mila Art Dance dengan beberapa penarinya, di antaranya: Rizka YP, Krisna Bening, Radha Puri, dan Valentina Ambarwati, yang telah menari dengan penuh energi. Sebuah pertunjukan tari yang kolaborasi dengan pertautan antar bidang seni yang cukup lengkap. 
Pengorbanan Ibu dalam Pertunjukan 
Pertunjukan diawali dengan sebuah tayangan trailer dari pertunjukan Mother Earth yang beberapa hari sebelum pertunjukan telah disebarkan melalui aplikasi instagram di dalam gawai. Tayangan tersebut ditembakkan pada sebuah lembar kain yang membujur sisi belakang panggung. Setelahnya dengan cahaya yang temaram, dua orang dengan perut bergumpal (baca: hamil) berjalan dari sisi yang bersebarangan. Bertemu di satu titik mereka bersimpuh, salah satu di antaranya mulai bersenandung dan bernyanyi. Sementara itu, di akhir lantunan, empat orang lain memasuki panggung dengan perlahan. Mereka membentuk pola berjalan yang saling berlawanan. Sedangkan di belakang panggung, layar terbentang menampilkan video mapping berhiaskan bintang dengan api yang membara berada di tengah panggung. Setelahnya, satu orang di antara mereka terpisah dari kelima orang lainnya. 
Kelima orang tersebut mulai berjalan beriringan ke sisi kiri penonton. Berdiri bersampingan, mereka mulai bergerak seirama dan serentak, mulai dari memegang perut, mengarahkan perutnya ke sana dan kemari, menggeliat, hingga mengerang demi menahan sakit. Sementara itu, layar menampilkan wajah bayi laiknya di dalam kandungan, persis dengan teknik diagnosa pemgambilan gambar melalui ultrasonografi (baca: USG). Pada adegan ini, Mila dkk berupaya memunculkan impresi kesakitan dengan gerakan kesakitan dan erangan kesakitan. Hal yang cukup disayangkan, motif kesakitan justru terasa terhambur jika disandingkan dengan video mapping yang telah gamblang menunjukkan gambar bayi. Dalam hal ini, Mila sebenarnya dapat menambahkan kedalaman—atau bahkan penyederhanaan—gerak pada satu hingga dua motif kesakitan saja. 
Selanjutnya seorang di antaranya mulai terpisah dan berpindah ke bagian tengah pada belakang layar video mapping. Ditemani rangkaian denting yang tercipta oleh Gardika Gigih, Mila menari dengan pelbagai eksplorasinya, mulai dari keadaan perut bergumpal (baca: hamil) hingga menghilang (baca: melahirkan). Setelahnya Mila merayap dari bawah layar ke depan layar terbentang, wajahnya bak berbahagia telah melahirkan seonggok tubuh yang lain. 
Cahaya pun perlahan meredup, Mila menghilang dalam gelap. Sedangkan empat penari lain muncul pada sudut yang lain.
Kemudian, Video Mapping mulai perlihatkan sebatang pohon kering berukuran besar. Sementara empat penari lainnya mulai bergerak berayun lesu, dengan tangan berjuntai. Pohon berangsur tumbuh dengan kemuculan Mila, dan keempat penari lainnya mulai saling melemparkan kendi secara berpola. Setelahnya, Mila berdiri pada salah satu kendi di bagian tengah panggung, sedangkan tiga kendi lainnya terletak di atas kepala, dan di kedua tangannya dengan posisi menengadah. Dari tubuh Mila, ditariknya empat ranting pohon yang terbentang ke empat arah berlawanan. Pada akhir adegan tersebut, Mila diangkat oleh keempat penari ke udara dan membanting salah satu kendi ke bagian depan panggung. Secara tersurat, Mila ingin mengartikulasikan relasi antara ibu dan anak yang saling terikat satu sama lain.

kelirdotnet: teraseni.com
Empat orang penari mengangkat seorang lainnya dengan kendi diatas kepalanya
Foto: Kelirdotnet

Pada adegan berikutnya, Mila kembali masuk ke dalam panggung dengan seorang balita berada di pelukannya. Sedangkan empat penari lainnya menggendong satu sama lain, berupaya menunjukkan kedekatan dan kasih sayang. Alih-alih terus berlanjut, sang balita dipisahkan dari sang ibu (baca: Mila), laiknya pergi dan tak kembali. Merespon keterpisahan itu, dengan berwajah cemas, Mila berteriak dengan sendu. Di sisi yang lain, keempat menari menggendong sang bayi. Satu hal yang cukup menarik adalah ketika sang bayi mulai menangis karena kaget mendengar suara teriakan yang justru direspon penonton dengan tawa. Pada akhirnya sang bayi kembali ke dalam pelukan ibunya. Sementara itu keempat penari keluar dari panggung disusul oleh Mila dan balitanya. 

Dalam menutup karya, dengan cahaya yang temaram, suara denting piano dari Gardika Gigih kembali terdengar. Sementara itu Luise yang memeluk balitanya menyanyikan sebuah lagu yang bertajuk Winter’s Fault. Konon lagu ciptaannya ini telah dibuatnya sejak 2012, namun baru pertama dinyanyikan di depan umum pada pertunjukan tersebut. Sambil terus bernyanyi, ia melangkah dari sisi kanan panggung berjalan meratap hingga ke luar panggung. Impresi mendalam terasa pada bagian ini. Sementara itu seorang perempuan lainnya dengan balita di dalam pelukannya berjalan lirih memasuki panggung dari bagian belakang. Perlahan dilangkahkannya kaki hingga ke area depan panggung, menatap dengan wajah penuh keyakinan. Pertunjukan usai.

kelirdotnet: teraseni.com
tampak seorang perempuan serupa sedang menyanyi untuk anaknya
Foto: Kelirdotnet

Pertunjukan Menghibur dan Narasi Tanggung 

Riuh rendah tepuk tangan penonton menyelimuti suasana seusai pertunjukan Mother Earth dilangsungkan. Ratusan penonton yang memadati PKKH UGM turut memberikan apresiasinya, mulai dari pujian, salam, dan swafoto mengalir ke penampil dan penyelenggara. Sebagai sebuah pertunjukan, pujian harus dilayangkan ke tim Mother Earth atas keberhasilan pengelolaan, manjerial, dan perwujudan gagasan di atas panggung. Secara lebih lanjut, tim Mother Earth secara sistematis—dengan promosi dan publikasi—telah berhasil mendatangkan target penonton, bahkan melebihi kapasitas—yang akhirnya banyak penonton tidak mendapatkan tiket dan mendaftar waiting list. Tidak hanya itu, kiranya penonton turut terpuaskan secara visual, baik sulapan artistik panggung dari Gading Paksi dkk dan pesona video mapping dari Kokoksaja yang memanjakan mata. Sangat menghibur! 
Namun, terdapat hal lain yang kiranya menarik, di mana banyak penonton justru pulang dengan wajah sumeringah dan canda tawa, padahal pertunjukan berisikan narasi tentang pengorbanan ibu dan perjalanan fase kehamilan hingga melahirkan. Lantas, apakah pesan atau gagsan pertunjukan tersampaikan dengan baik? Tentu semua mempunyai jawabannya masing-masing, tapi dalam karya ini ada kiranya yang perlu ditilik lebih lanjut: pertama, karya kolaborasi seyogianya menempatkan setiap bidang pada porsi yang sesuai—baik secara penamaan ataupun kerja pertunjukan. Dalam hal ini, Mila sebagai inisiator—baik sadar ataupun sebaliknya—muncul sebagai aktor utama, sedangkan porsi kolaborator lain terasa tidak terlalu kokoh dalam pondasi pertunjukan. 
Untuk penamaan, hal ini cukup terlihat dengan pernyataan penyelenggara di buku program, yakni: “Inilah saatnya membuat ruang baru dalam berkarya. Dengan mengajak beberapa seniman dari berbagai lintas disiplin seni yang disatukan menjadi sebuah pertunjukan tari , diharapkan dapat menambah khasanah baru bagi bagi pertunjukan seni Indonesia”. Dalam hal ini, penyelenggara berhasil mewujudkan keterjalinan lintas disiplin dalam ruang kekaryaan, namun penyelenggara agaknya perlu lebih ketat menerapkan praktik kolaborasi, atau praktik kerja bersama. Alhasil kesan yang muncul adalah pertunjukan tari yang berkolaborasi dengan bidang lain, yang seyogianya telah berkelindan tanpa embel-embel bidang tertentu, yakni “pertunjukan kolaborasi”. 
Jika sudah selesai dengan konsepsi di atas, kiranya tim penyelenggara dapat memformulasikan ‘isian’ pertunjukan dengan mendalam. Semisal dengan menimbang dan mencari motif dan gerakan tari yang tidak terlalu wantah—terlebih telah terbantu dengan adanya kolaborator lain, semisal peran video mapping yang cukup kuat. Selain itu dalam struktur pertunjukan, dalam karya ini penyelenggara menyulam sebuah cerita yang terstruktur dan dramatik. Hal ini memang membantu penonton membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada setiap adegan, namun agaknya pilihan lain, semisal post dramatic dapat menjadi pilihan tim penyelenggara untuk memberikan kejutan dan ketidakterkiraan impresi pada penonton. 
Sedangkan dalam mewujudkan pertunjukan, turut diperlukan gagasan yang matang. Dalam hal ini, penggagas perlu memperjelas konsep ataupun gagasan yang melatarbelakangi karya tertaut. Penyematan terma Mother dan Earth, kiranya belum terlalu diresapi dalam pemaknaan dan pengejewantahannya. Semisal di dalam buku program tertulis “Mother Earth adalah personifikasi umum alam yang fokus pada aspek-apsek pemberian kehidupan dan memelihara alam dengan mewujudkannya dalam bentuk ‘ibu’.” Dari kutipan tersebut, penyelenggara memang telah menautkan konsep bumi dan ibu, namun penyelenggara perlu memberikan pemaknaan baru atas padanan terma tersebut. Alhasil, tampak jelas apakah karya tersebut merepresentasikan perempuan—yang dirayakan beberapa hari sebelum pertunjukan, yakni 8 Maret—, ibu—yang dirayakan 22 Desember—, bumi—yang dirayakan 22 April—, ataupun yang lain.

kelirdotnet: teraseni.com
para penari dan kendi
Foto: Kelirdotnet

Bertolak dari catatan tersebut, ada hal yang perlu diapresiasi baik selain pengelolaan dan manajerial, yakni modal awal pertunjukan yang dilandasi dari kegelisahan. Dalam hal ini, mewujudkan kegelisahan menjadi sebuah pertunjukan bukanlah soal yang mudah di mana diperlukan tekad, semangat, dan tenaga untuk mewujudkannya—terlebih pertunjukan kolaborasi. Pasalnya kegelisahan dimiliki semua orang, namun belum tentu semua orang berani mewujudkannya. Dengan begitu, padanan semangat—laiknya yang dimiliki penyelenggara—dan kedalaman pertunjukan—catatan tertaut—dapat diracik guna memberikan pertunjukan yang tidak hanya menghibur, namun mencerahkan.[]

Dancing in Place 2018: Unjuk Aksi Koreografer Muda Asia Tenggara (Bagian 1)

Sabtu, 10 Februari 2018 | teraSeni.com~

Pada awal tahun 2018, terdapat sebuah pertunjukan tari di negeri tetangga, Malaysia, yang rasanya sayang untuk dilewatkan. Pasalnya terdapat sepuluh karya koreografer Asia Tenggara yang dipertunjukkan dalam sebuah pergelaran bertajuk Dancing in Place 2018. Alih-alih hanya menampilkan karya tari jadi, pertunjukan tersebut turut menampilkan karya kolaborasi terutama antar koreografer muda lintas negara.

Ditampilkan selama dua hari, 13 dan 14 Januari 2018 di Rimbun Dahan , Kuang, Malaysia, program ini berhasil berkat kerjasama Rimbun Dahan dan MyDance Alliance . Dari Indonesia, tercatat empat koreografer yang turut serta, yakni: Otniel Tasman, Siko Setyanto, Citra Pratiwi, dan Fadilla Oziana.

Selain dimaksudkan untuk ruang presentasi dan kolaborasi, kiranya kegiatan tersebut turut menjadi ruang interaksi, bernegosiasi serta bertukar pikiran satu sama lain dalam menciptakan karya tari. Proses tarik ulur ini kiranya cukup penting untuk mengetahui dan memahami lebih lanjut atas peta orientasi dan dimensi tari dari negara-negara di Asean yang terlibat.

Dalam pengkaryaan, alih-alih dibatasi dalam menciptakan karya, para koreografer muda tersebut justru diberikan kebebasan tidak hanya secara gerak, namun dari mengusung ide, konsep pertunjukan hingga perwujudan karya. Hal lain yang cukup menarik adalah para kolaborator turut merespon pelbagai ruang di area pertunjukan yang berbeda satu sama lain. Di sisi lain, adapun hal yang kiranya menjadi catatan, adalah durasi pengerjaan karya yang terbilang cukup singkat. Hal ini kiranya dapat menjadi pisau bermata dua, di mana karya kolaborasi dapat berhasil terjalin dengan cakap atau sebaliknya, mengecewakan.

Karya Kolaborasi dan Ragam Orientasi Tari Asia Tenggara

Sepuluh karya tercipta dipentaskan pada sore hari—pukul 15.00 waktu setempat—di kedua hari pertunjukan. Hal yang cukup menarik, sepuluh karya dibagi menjadi dua sesi yang masing-masing berisikan lima karya dan dipentaskan dalam waktu yang bersamaan. Tidak hanya itu, penonton dibagi menjadi dua kelompok yang menonton pada masing-masing sesi. Setelah kelompok penonton A menonton sesi A dan kelompok penonton B menonton sesi B, lantas mereka bertukar tontonan. Hal ini merupakan strategi dalam mengakali area pertunjukan yang tersebar dan terbatas. Dalam kesempatan tersebut, saya menonton pertunjukan sesi B terlebih dahulu ketimbang sesi A.

Karya pertama dari sesi B adalah pertunjukan bertajuk “Undertow”, karya Eli Jacinto. Eli Jacinto adalah direktur artistik sekaligus pendiri sekolah tari balet, modern dan kontemporer, TEAM Dance Studio, Filipina. Di karya ini, Eli bereksperimen dengan basis modern, folk, balet, dan jazz sebagai representasi dari kultural yang dimiliki Filipina. Karya tersebut ditarikan oleh Jacqui Jacinto dan Joelle Jacinto, dengan penata suara Zoë Keating.

Eli Jacinto-teraseni.com
Jacqui Jacinto dan Joelle Jacinto
Foto: Michael HB Raditya

Dipertunjukan di sebuah kolam, seorang penari mulai bergerak senada dengan gelombang di tepian. Di sisi terjauh, seorang penari lain mulai memasuki kolam. Ia berenang perlahan menuju ke penari lainnya di tepian. Sesampainya di tepian, alunan yang didominasi gesekan dawai biola dan cello terdengar samar-samar. Kedua penari tersebut lantas mulai bergerak secara bersamaan, berirama, dan teratur. Diawali dengan bergerak seragam, kedua penari lantas saling bergerak beriringan hingga merespon satu satu sama lain. Hal yang cukup menarik dari karya ini adalah akumulasi gerak yang dihadirkan kedua penari terasa matang dan proporsional antar referensi gerak balet, modern, hingga kontemporer. Padanan tersebut membentuk satu etude yang khas, semisal perkelindanan antar gerak levitasi ala balet dengan gerakan-gerakan menggeliat, dan seterusnya.

Dalam penguasaan ruang pertunjukan, eksplorasi gerak dan pola lantai dalam karya ini terbilang cukup cair. Kedua penari dapat memberikan impresi kebaruan walau menggunakan basis gerak yang telah ajeg, yakni balet. Pertunjukan ditutup dengan satu penari mengayun di tempat, sedangkan penari lainnya kembali masuk ke dalam air. Dalam durasi pertunjukan yang berlangsung sekitar 10 menit ini, kiranya karya “Undertow” dapat menyampaikan gagasan filosofis dengan gerak yang cukup cakap, yakni perasaan kesementaraan dari sebuah keadaan.

Karya kedua bertajuk “Pla(y)nes”, karya kolaborasi dari salah satu koreografer Indonesia, Siko Setyanto (Indonesia) dan Al Bernard Garcia (Filipina). Tajuk karya ini mempunyai dua makna yang tarik ulur, antara playness dan planes. Kemenduaan makna ini membuat karya ini menjadi lebih longgar dalam ruang penafsiran. Usut punya usut, dalam gagasan penciptaan Siko dan Al merujuk pada konsep pertunjukan yang tidak muluk-muluk. Di mana karya ini diarahkan pada gagasan atas permainan, perjumpaan, dan persahabatan antar kedua koreografer.

Tidak hanya itu, merujuk penuturan Siko, karya ini diawali dengan hal yang cukup sederhana, perjumpaan dan kesenangan mereka. Alhasil impresi karya tersebut laiknya mereka tengah bermain-main. Pun tidak jarang penonton mengerenyitkan dahi ketika menyaksikannya, namun bagi saya karya ini menyimpan gagasan menarik atas pertunjukan sebagai sebuah permainan, laiknya Luiz Hetinga dengan Homo Ludens-nya.

Pertunjukan diawali dengan gumaman Siko. Selanjutnya Siko laiknya mengetuk dan membuka sebuah pintu dari bangunan imajiner dari Al. Mereka pun bercakap-cakap satu sama lain. Hal yang cukup menarik, mereka menggunakan bahasa mereka masing-masing, bahasa Jawa dituturkan oleh Siko, dan bahasa Filipina diucapkan oleh Al. Semisal urip dilakoni nganggo dungo (hidup dijalani dengan doa), dan lain sebagainya.

pla(y)nes-teraseni.com
Salah satu adegan pertunjukan ke dua
Foto: Michael HB Raditya

Selanjutnya mereka terhenti, dan menuju ke area penonton untuk meminta operator memainkan musik. Penonton pun mempunyai beragam respon, mulai dari tertawa, kebingungan, ataupun asik menyaksikan. Secara lebih lanjut, karya ini mengajak penonton untuk berfikir tentang batas antara pertunjukan dan yang bukan. Hal ini tentu menarik dalam pengembangan gagasan dalam karya tari. Terlebih ketika musik telah dimulai, mereka bergerak laiknya tengah melakukan pemanasan. Kemudian mereka mulai bergerak dengan basis tubuhnya masing-masing, Al dengan baletnya serta Siko dengan tari tradisi Surakarta dan modern-nya.

Perbedaan bahasa dan persilangan komunikasi ini menjadi satu pesona tersendiri dalam karya “Pla(y)nes” ini. Walau menurut pengakuan Siko, kata-kata yang diucapkan keduanya tidak dirancang bahkan tidak terkait satu sama lain. Namun yang cukup menarik, alih-alih mengandalkan persilangan bahasa, mereka justru menunjukkan bahwa komunikasi mereka sesungguhnya adalah melalui tubuh. Di mana gerakan saling merespon satu sama lain menjadi perwujudan komunikasi yang menyimpan persamaan dan perbedaan, sekaligus.

Karya ketiga dari sesi ini bertajuk “Cendrawasih” (Birds of Paradise). Berbeda dengan karya lainnya, karya ini merupakan karya jadi dari Alla (Malaysia), lulusan program magister tari University of Malaya—kini ia mengajar di beberapa tempat. Karya ini terinspirasi dari tari klasik Malaysia, Timang Burung dan Asyik. Secara gerak, karya ini menirukan gerak burung dengan eksplorasi cerita laiknya burung di habitatnya. Ditarikan oleh sang koreografer dan dua penari lainnya: Lily Terindah dan Munirih Jebeni, karya ini kiranya memperlihatkan karya penciptaan yang berasal dari cerita rakyat setempat.

Pertunjukan diawali dengan ketiga penari yang tengah bergantungan di atas pohon dengan selembar kain. Diiringi alat musik petik, laiknya sape, mereka bergerak menyerupai burung, mulai dari gerakan terbang, terbang ke sarang, dan berjungkir balik, hingga mereka kembali ke atas pohon. Bagi saya, pertunjukan ini terasa wantah dan banal. Dalam hal ini, saya tidak menyoal referensi dan stimulasi karya yang berasal dari burung Cenderawasih, pun juga tidak soal dalam struktur pertunjukan, namun yang menjadi soal justru terletak pada eksplorasi gerak yang dilakukan. Di mana tidak ada pengayaan dan pengembangan yang signifikan.

Bird of Paradise-Teraseni.com
Sebuah adegan menirukan kepakan cendrawasih
Foto: Michael HB Raditya

Sederhananya, mereka hanya memindahkan aktivitas Cendrawasih ke atas ruang pertunjukan, tanpa adanya interpretasi yang matang. Hal ini yang kiranya membatasi koreografer dalam melihat kemungkinan-kemungkinan lain, semisal interpretasi yang lebih kritis pada gagasan yang mereka usung, seperti “burung cendrawasih berasal dari surga dan pergi ke dunia hanya untuk mati”. Pada akhirnya mereka juga terbatasi dalam pengayaan konsep pertunjukan, semisal post-dramatic dalam struktur tari mereka. Kendati dari seluruh karya, sejauh ini karya ini merupakan karya terlemah, namun di luar itu semua, ada satu hal yang dapat dipuji, yakni kesadaran dalam mengangkat kearifan lokal.

Selanjutnya, karya dari koreografer asal Banyumas, Indonesia, Otniel Tasman yang berkolaborasi dengan koreografer asal Malaysia, Chai Vivan. Karya kolaborasi mereka bertajuk “Escape”. Berbeda dengan karya-karya lainnya, pemilihan lokasi terbilang cukup unik. Di mana arena pertunjukan dibatasi pagar berkawat dengan bentuk bangunan laiknya tempat jajan, seperti kantin.

Escape-teraseni.com
Salah satu adegan dalam tari yang berjudul Escape
Foto: Michael HB Raditya

Pertunjukan diawali dengan tergeletak sebuah gundukan berplastik hitam teronggok di atas meja. Dari kejauhan terdengar suara teriakan kata-kata kasar secara berulang dengan nada kesal. Seorang laki-laki berambut palsu dengan kacamata hitam—yang adalah Otniel—berjalan ke kerumunan. Melihat ke penonton, ia masih mengulang teriakannya sembari perlahan menaiki tangga memasuki area berpagar. Kemudian, Otniel mendekati plastik hitam tersebut, perlahan plastik tersebut mengeluarkan cucuran air berwarna merah yang dibayangkan sebagai darah. Keluar seketika seonggok tubuh menggeliat dari plastik tersebut—yang adalah Vivan. Melihat hal tersebut, Otniel menjauh dari meja tersebut hingga pada akhirnya mereka saling berinteraksi satu sama lain. Tidak lupa Otniel turut mendendangkan lagu sambil menarikan beberapa etude tari Lengger.

Selanjutnya Otniel melilitkan kain di bagian tubuh Vivan, dan mereka saling tarik menarik antar satu dengan yang lain. Sementara Vivan telah terikat, Otniel membalik meja tersebut dan mulai mengambil cat warna. Meja yang berdiri tegak laiknya papan mulai ia respon. Alih-alih bergerak laiknya pelukis lazimnya, Otniel menggoreskan pelbagai warna tersebut dengan gerakan-gerakan Lengger.

Sementara itu, Vivan tengah berusaha melepaskan ikatan yang dililitkan oleh Otniel. Selepas menorehkan guratan di papan tersebut, Otniel mengambil sebuah lipstik dengan latar lagu laiknya musik cha-cha. Sedangkan Vivan telah berhasil melepaskan ikatan yang ada pada dirinya. Melihat Otniel tengah asik sendiri, ia menaiki tangga dan berusaha melarikan diri dari cengkraman sang megalomania. Pertunjukan usai.

Bertolak dari pertunjukan Otniel dan Vivan, impresi pertunjukan terasa cukup padat. Banyak lapisan persoalan yang diungkapkan, mulai dari saling mengikat, memanjat pagar, hingga melukis dengan arbitrer. Namun dari hal tersebut, kompleksitas yang terbangun dirasa cukup jelas. Kepadatan yang dibangun selama pertunjukan seakan lepas ketika Vivan berhasil melepaskan diri. Dalam karya ini, karakter Otniel menyerap perhatian lebih, sedangkan Vivan terbilang cukup merespon Otniel. Otniel lebih berhasil dalam mewujudkan perannya sebagai oposisi yang menstimulasi upaya Vivan melarikan diri. Namun yang cukup disayangkan, terdengar suara dari pertunjukan lainnya yang berjalan bersamaan, rasanya hal ini cukup mendistorsi perhatian penonton.

Otniel Tasman-teraseni.com
Adegan tari Otniel Tasman sambil melukis
Foto: Michael HB Raditya

Karya terakhir dari Sesi B adalah karya bertajuk “D.I.D.” dari Sharm Noh. Karir Sharm Noh bermula dari cheerleading yang lulus diploma dari ASWARA Malaysia. Karya yang menyoal terkait sisi manusia—yang erat hubungannya dengan dikotomi manusia dan menjadi ‘robot’ dampak alienasi ini—ditampilkan oleh Akid Jabran, Nadhirah Rahmat, Amirul RXL, Maimun Ismail, Shan Tie dan Syafiq. Digelar di ruang pameran, karya ini dapat dilangsungkan dengan cukup rapih.

Sharm Noh-teraseni.com
Awal adegan tari D.I.D
Foto: Michael HB Raditya

Pertunjukan diawali dengan tiga tubuh yang tengah berbaring. Di masing-masing tubuh tersebut bertumpuk tubuh lainnya. Diiringi dengan musik berderap laiknya house music, mereka mulai bergerak berirama. Gerak-gerak serentak nan variatif menjadi impresi yang muncul dengan cepat ketika menyaksikan pertunjukan ini. Dengan basis tubuh modern dance hingga gerak robotik dikelindankan. Sebagaimana karya yang dibuat oleh pimpinan grup cheers, mereka dapat menampilkan dengan kompak, serentak, dan seirama. Tidak ada kekeliruan! Turut dibumbui dengan gerak akrobatik, karya terakhir ini diperuntukan untuk memukau mata, tapi tidak lebih

Dancing in Place 2018: Unjuk Aksi Koreografer Muda Asia Tenggara (bagian 2)

Sabtu, 10 Februari 2018 | teraSeni.com~

Selepas karya terakhir di sesi B, penonton diberikan waktu sekitar 15 menit untuk beristirahat sebelum melanjutkan pertunjukan sesi A, begitupun sebaliknya. Pertunjukan sesi A diawali karya tari kontemporer bertajuk “Courtly Behaviour”. Karya kolaborasi dari Eng Kai Er (Singapura), Colleen Coy (USA/Timor-Leste), Lee Ren Xin (Malaysia), dan Nitipat Pholchai (Thailand) ini dipertunjukkan di sebuah lapangan tenis.

Selepas penonton telah duduk di pinggir lapangan, seorang laki-laki (Nitipat) berjalan sambil bersenandung dengan bergegas menuju ke lapangan. Di lapangan telah tergeletak tiga tubuh yang teronggok tak bergerak, satu di antaranya terlentang dengan keset menutupi wajahnya (Lee), satu dengan jas hujan tergeletak di antara net tenis (Colleen), dan satu lainnya di dekat tiang penerangan lapangan (Eng). Kemudian Eng mulai bergerak dengan basis tubuh balet namun laiknya tengah bermain tenis, sedangkan Lee mulai bangkit menatap kosong dengan gerak laiknya pemanasan, dan Colleen merentangkan tangan laiknya net di tengah lapangan. Melihat itu semua, Nitipat hanya terdiam di pinggir lapangan.

Courtly Behaviour-Teraseni.com
Tampak interaksi antar masing-masing penari
Foto: Michael HB Raditya

Sepanjang karya ini berlangsung, kiranya eksplorasi dan interaksi dari keempat kolaborator tidak berubah secara signifikan. Semisal interaksi antar penari yang tidak intens, gerakan-gerakan eksplorasi yang bertahap, pencarian pola ruang yang cukup arbitrer, dan tanpa alur cerita yang jelas—dapat ditautkan dengan post dramatic. Alhasil penonton tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada pertunjukan, bahkan hingga pertunjukan usai.

Atas dasar karya “Courtly Behaviour”, keempat kolaborator berhasil mempertunjukkan karya dengan impresi yang berbeda dengan karya-karya lainnya. Sebagai pengayaan orientasi dan wacana pertunjukan, kiranya karya ini cukup berhasil. Namun agaknya karya ini tidak tepat jika diperuntukkan untuk penonton dengan kecenderungan selera tari hiburan, akrobatik, atau bercerita.

Pertunjukan selanjutnya bertajuk “The Passage”, karya dari koreografer Malaysia JS Wong. Alih-alih dipertunjukan secara langsung, karya ini ditampilkan oleh Tai Chun Wai di arena rerumputan. Pertunjukan ini merupakan pengembangan karya tari rotan yang ditautkan dengan perjalanan waktu. Pertunjukan diawali dengan seorang laki-laki bertelanjang dada (Wai) melangkah perlahan dengan sebilah tongkat di tangannya. Sedangkan di sisi lain, ada seorang laki-laki yang memukul sebuah lonceng. Lonceng yang berbunyi secara teratur tersebut memberikan pola bagi penari tongkat tersebut.

The Passage-teraseni.com
Seorang laki-laki dengan sebilah tongkat
Foto: Michael HB Raditya

Penari dengan tongkat tersebut berjalan perlahan membentuk sebuah lingkaran—walau tak sempurna—dengan penonton berada di dalamnya. Lintasan tersebut lantas menjadi ruang bagi penari. Dalam mengisi gerak di dalam lintasan tersebut, ragam ayunan dan kuda-kuda ditampilkan. Pertunjukan berakhir selepas gerakan dan kecepatan melangkah penari semakin cepat. Dari pola pertunjukan yang statis tersebut, impresi yang muncul mengarah pada kesan kedalaman dalam sebuah perasaan.

Sedangkan pertunjukan selanjutnya bertajuk “Maybe, Not Yet” dari kolaborasi koreografer Malaysia, Fauzi Amirudin dan koreografer muda Filipina, Sarah Maria Samaniego. Pertunjukan ini mengusung ide yang cukup abstrak, yakni ketergantungan yang menuju pada keseimbangan, atau perasaan menunggu yang terlunaskan. Pertunjukan ini seakan menjadi rangkaian ekspresi yang terkemas dengan menarik dan harmonis.

maybe not yet-teraseni.com
Sang penari bediri didepan kaca kemudian berteriak
Foto: Michael HB Raditya

Pertunjukan ditampilkan di sebuah rumah berkaca dengan penonton berada di luar rumah tersebut. Diawali dengan Fauzi dan Sarah yang tengah bersantai di kursi santai, lantas Fauzi mendekati kaca seraya tengah berteriak. Hal yang cukup menarik, karya ini berisikan gerakan-tubuh everyday live, mulai dengan gekstur menunggu, bersantai, hingga bergerak leluasa. Di karya tersebut, interaksi antar Fauzi dan Sarah terkesan serasi, semisal ketika mereka tengah menari berpasangan di pagar. Pertunjukan lalu ditutup dengan perluasan ruang dari Fauzi yang pindah ke lantai dasar dari bangunan tersebut. Suguhan ketiga dari sesi A ini seakan memberikan visual dan rangkaian gerak yang manis nan menawan.

Selanjutnya, karya keempat dalam sesi A bertajuk “Reflets sur l’Eau” atau yang bisa diterjemahkan dengan refleksi atas air. Karya dengan basis balet yang kuat ini dikoreografikan oleh Patrick Suzeau, seorang profesor tari dari University of Kansas dan co-direktur COHAN/SUZEAU Dance Company. Dipertunjukan di dekat kolam, karya ini ditarikan oleh Amelia Feroz, Fara Ling Shu Sean, Yap Chiw Yu, Tan I-Lyn da Yap Ving Yee dengan penata musik, Jan Jirasek.

Reflets sur l’Eau-Teraseni.com
Tampak penari dengan basis gerak balet
Foto: Micahel HB Raditya

Sebagaimana basis balet yang cukup kuat, karya ini mengedepankan unsur levitasi dalam balet. Didominasi dengan gerakan seragam dan bersamaan, kelima penari bergerak terlatih. Tidak melulu menampilkan lima penari secara bersamaan pada setiap waktu, kelima penari kerap terbagi di antara ruang depan area penonton dan jembatan di tengah kolam. Kendati terpisah, para penari seakan menjalin harmoni gerak yang menarik dan terkait satu dengan lainnya. Terinspirasi dari refleksi terhadap air, impresi mengayun dan mengalir terasa sangat kuat di dalam pertunjukan tersebut. Berbeda dengan nomor-tari lainnya yang menggabungkan unsur balet dengan modal gerak lainnya, pada karya ini balet memang menjadi etude utama dalam penciptaan gerak, momen, hingga perwujudan atas gagasannya.

Pertunjukan penutup pada sesi A menampilkan karya bertajuk “Bloom”. Karya ini merupakan hasil kolaborasi dari dua koreografer Indonesia, Fadilla Oziana dan Citra Pratiwi serta koreografer Thailand, Sanoko Prow. Karya tersebut dipertunjukan pada sebuah pelataran dengan kolam renang di salah satu sisinya. Di dalam kolam renang tersebut terdapat seorang penari (Sanoko) yang diam membeku membelakangi penonton, sedangkan penari lainnya Citra duduk termangu di sebelah sebatang pohon, dan Dila dengan kuda-kuda silatnya.

bloom-teaseni.com
Penari Dilla Oziana dengan gerakan silat
Foto: Michael HB Raditya

Diawali dengan ragam gerak silat, Dilla mulai menunjukkan ketangkasan gerak pertahanan dan serangan. Bersamaan dengan hal tersebut, Citra mulai bersenandung hingga mengucap kata-kata secara berulang laiknya mantra. Sedangkan Sanoko mulai membalikan badannya ke arah penonton dengan wajah putih dan mata terpejam. Tidak lama berselang, iringan musik pop dengan irama semangat melatari gerakan Dilla dan Citra. Sanoko yang sebelumnya memejamkan mata mulai merespon musik dengan gimik wajah yang ekspresif, mulai dari tersenyum, cemberut, marah, bahagia, menunggu, dan sebagainya.

Setelahnya Citra mulai berjalan dan menari di tengah penonton. Bersamaan dengan itu, Dilla dan Sanoko menghilang. Di antara penonton tersebut, Citra mulai menyerap perhatian penonton dengan menari tarian Jawa. Setelahnya Citra mulai terbangun melangkah ke area belakang penonton—yang adalah tepian sungai—dan mengucap “I Love You”, “Thank You”, “Terima Kasih” secara berulang. Beberapa detik kemudian, sebuah sampan mendekat. Di atas sampan Sanoko yang tengah mendayung dan Dilla mengabadikan gambar dengan ponselnya ke arah penonton. Menghampiri tepian, sampan tersebut menjemput Citra untuk ikut. Lantas Citra terus meneriakan secara berulang hingga kapal menjauh pergi. Pertunjukan usai. Bertolak dari karya tersebut, kiranya “Bloom” memberikan gambaran lain atas akumulasi ekspresi dan perasaan dari sebuah hal. Di mana terjalin kebahagiaan sekaligus kesedihan dalam satu keadaan.

Antara Keindahan Gerak hingga Kekayaan Orientasi Pertunjukan

Sepuluh karya telah berhasil dipentaskan dengan cukup baik di pelbagai ruang Rimbun Dahan, Malaysia. Bertolak dari pertunjukan Dancing in Place 2018, adapun pelbagai catatan dalam segi perwujudan peristiwa seni tersebut.

Pertama, kegiatan ini terbilang positif dalam menjaring koreografer—yang didominasi anak muda—dalam menjalin kerja kesenian antar negara. Sebagaimana penyelenggara yang menyatakan bahwa program ini telah diinisiasi sejak tahun 2009, maka semangat dan konsistensi patut diapresiasi baik. Konsistensi ini juga kiranya yang membuat beragam strategi dalam mengemas pertunjukan dengan cukup baik.

Kedua, pada dasarnya durasi pertunjukan dari setiap karya terbilang cukup menjebak. Di mana setiap karya hanya berdurasi 10 hingga 15 menit, tidak lebih. Tentu kita bisa berdalih sebuah karya tidak dapat dibatasi oleh waktu, biarlah rasa yang menggiring, namun aturan waktu ini membuat koreografer harus memutar otak dalam memeras atau menyederhanakan ide dan gagasan mereka secara ramping. Tentu hal ini tidak mudah.

Ada dari mereka yang berhasil, ada dari mereka yang keteteran. Terlebih, usut punya usut karya kolaborasi ini terbilang cukup singkat dalam proses penciptaannya. Apalagi karya yang dipentaskan didominasi karya kolaborasi yang lazimnya membutuhkan waktu lebih panjang. Dalam hal ini, kita dapat katakan bahwa waktu mereka berproses kurang ideal dan dapat menjadi halangan dalam bekerja, tapi hal ini dapat menjadi pembelajaran dalam efektivitas pengkaryaan. Dengan adanya kondisi tersebut, kiranya dapat membantu kita untuk tidak memukul rata semua karya dengan kacamata yang sama, namun dapat lebih menimbang antara karya baik dan karya layak.

Ketiga, tidak hanya menampilkan karya tunggal dan kolaborasi, para koreografer turut merespon pelbagai ruang di tempat tersebut. Respon dari pengkarya pun cukup beragam, ada dari mereka yang menggunakan area-area spesifik hanya sebagai ruang pertunjukan, ada dari mereka yang menjadikan ruang pertunjukan bagian dari karya mereka. Semisal “Escape”, “Maybe, Not Yet”, dan “Courtly Behaviour”, “Bloom” dapat menjadikan arena pertunjukan turut terlibat di dalam karya. Kesadaran ruang dalam pengkaryaan kiranya menjadi hal yang menarik dalam menciptakan sebuah karya.

Keempat, kendati tidak semua karya berhasil menyita perhatian, namun dari beragam karya tersebut, kita dapat melihat sejauh mana perkembangan orientasi dan wacana tari dari representasi negara terlibat. Secara lebih lanjut, kesepuluh karya ini tidak hanya diartikan sebagai sebuah presentasi karya, Dancing in Place tidak hanya ditafsirkan sebagai ruang pertunjukan, namun pertunjukan ini dapat kita fungsikan sebagai pemetaan seni pertunjukan tari di Asia Tenggara, khususnya masa depan tari karena keterlibatan koreografer muda.

Bertolak dari hal tersebut, pemetaan ini kiranya tidak hanya berguna bagi penonton semata, di mana tidak hanya memberikan keberagaman gerak dan orientasi pertunjukan masing-masing negara, namun turut berdampak pada pada koreografer atas kerja kolaborasi mereka. Ruang persilangan—tidak hanya secara personal, tetapi sosial dan kultural yang berbeda di setiap tempatnya—ini kiranya dapat memberikan perspektif lain bagi para koreografer dalam memperkaya perbendaharaan mereka atas gerak, konsep, gagasan, dan perwujudannya.

Hal ini tentu menjadi kesempatan yang baik untuk para koreografer untuk tidak pernah puas dan terus belajar. Jika ruang semacam ini diperbanyak—tentu dengan durasi waktu proses yang lebih panjang—niscaya masa depan tari Asia Tenggara akan berkembang semakin bertaring.[]

Maek: Mitos dan Hal-hal Yang Tersembunyi

Kamis, 8 Februari 2018 | teraSeni.com~

Akhirnya pada satu kesempatan saya sampai juga ke negeri Maek. Sebuah negeri yang terletak di Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Koto, Sumatera Barat. Tidak jauh sebenarnya dari tempat tinggal saya, kira-kira lebih kurang 60 KM. Dari Kota Payakumbuh tinggal menuju pasar Limbanang kemudian belok kanan di pertigaan selepas pasar Limbanang. Tetapi sangat terasa jauh rasanya untuk meluangkan waktu untuk pergi ke Nagari Maek.

Menhir-Teraseni.com
Salah satu situs Menhir Padang Hilalang
Dokumentasi foto: Tim Pasa Harau
 

Pertama, memang jalan menuju ke sana mesti melingkari bukit barisan dengan medan berliku tajam, mendaki dan menurun bukit. Kedua, barangkali bagi kami masyarakat kota Payakumbuh dan Kab 50 Koto pada umumnya, Maek memiliki citra yang sangat mistis, entah dari mana pula cerita-cerita itu bermula. Salah satunya adalah “kalau ke Maek jangan minum dan makan sembarangan, kalau bisa bawalah minum dan makan sendiri”, itu yang selalu dikatakan orang-orang, sudah menjadi rahasia umum dan itu cukup off-the-record saja, begitu kira-kira citra tentang negeri Maek bagi kami yang di luar Maek. Itu juga barangkali yang membuat Maek terasa jauh untuk dikunjungi.

Menhir-Teraseni.com
Sebuah bukit yang serupa Piramid
Dokumentasi foto: Tim Pasa Harau

Kontan saja, begitu masuk di Jorong Koto Gadang, tetiba saja aura yang saya rasakan berubah menjadi mistis disertai perasa. was-was. Sebegitu ampuh citra yang dibangun tentang Maek ini merasuki, katakanlah, alam bawah sadar saya. Dan karnanya, setiap melewati seseorang atau beberapa orang maka klakson motor langsung berbunyi secara otomatis, dan sapa serta senyum menjadi mudah ketika telah menapaki negeri Maek bersama segala kemistikannya. Saya tidak sendiri, kami ada 4 orang. Kami adalah orang-orang yang gemar melihat-lihat kearifan lokal, merekam dan mendokumentasikan dalam pengalaman kemudian mendiskusikannya, lalu memproduksinya sebagai pengetahuan untuk diri kami sendiri, dan bila itu bermanfaat, maka tidak ada salahnya untuk dibagi pada orang banyak.

Menhir-Teraseni.com
Situs Menhir Balai-Balai Koto Gadang
Dokumentasi foto: Tim Pasa Harau

 Sebelum magrib kami sudah sampai di rumah kawan, jalan beton dan krikil mendominasi jalan jorong yang menghubungkan satu jorong dengan jorong lain di Nagari Maek, sulit sekali mencari jalan yang diaspal, tetapi itu tidak penting lagi karena kami sudah berada di rumah kawan yang tengah dalam perjalanan pulang. Duduk sebentar kemudian bergantian berwuduk untuk melaksanakan sholat magrib, selain hubungan dengan Tuhan sholat juga bisa sebagai “Approach Culture”, kata Dede Pramayoza selesai berwuduk.

Selesai sholat, mulai terdengar kesibukan di dapur, agaknya istri kawan itu memasak untuk kami. Tak lama kemudian kawan itu tiba, menemui kami yang masih diliputi keraguan seputar mitos yang terbangun tentang Maek. Namun, kawan kami itu meyakinkan bahwa di sini aman dan terkendali. Setelah mendapat jaminan, barulah kemudian kami bisa seenaknya minum dan makan malam di rumah mertuanya. Walau begitu, menurutnya memang ada daerah-daerah tertentu yang masih diselimuti mitos yang saya maksud di atas.

Setelahnya, kami menghabiskan waktu bercerita dan mengunjungi pegiat-pegiat seni yang ada di Maek, bercerita tentang legenda-legenda yang berkembang di Maek, seperti cerita tentang Bukik Posuak, Bukik Pao Ruso, Bukik Tungkua Jaguang, serta Sarasah Barasok yang katanya menyimpan Candi. Bahwa pada dahulunya tersebutlah seorang yang sakti bertubuh besar, segala perbuatan anak nagari mesti seizin beliau. Hingga pada suatu ketika anak nagari pergi berburu tanpa seizin beliau. Setelah mendapatkan rusa diperburuan maka diberikanlah paha rusa tersebut ke orang sakti tersebut, oleh karena merasa tidak dihargai maka murkalah dia, diambilnya paha rusa tersebut dan dilemparkannya sekuat tenaga mengenai batu besar di puncak bukit hingga batu tersebut tembus, lalu paha rusa tadi hinggap pada sebuah padang ilalang dan menjadi sebuah bukit, yang kemudian dinamai dengan bukit Pao Ruso, dan batu yang tembus tadi dinamai dengan Bukit Posuak, begitu kira-kira legenda yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Hampir malam. Kami memutuskan menginap di rumah orang tua kawan kami tadi di Jorong Ronah. Tampak sekali antusiasme orang-orang Maek menerima tamu yang datang dari luar, hampir tengah malam seluruh keluarga kawan itu menyambut kami, baik ayah, ibuk, nenek, kakek, sepupunya berdatangan ingin terlibat dalam suasana yang akrab, sehingga menghadirkan kesan mereka adalah keluarga yang hangat. Meski sudah hampir dini hari mereka masih terjaga, begitu pula mereka menyambut tamu. Salut.

Sebenarnya pertama kali saya mengetahui negeri Maek bermula ketika saya hobi membolak balik buku Sejarah. (Ah, begitu malasnya saya sebagai pelajar untuk membaca, hanya membolak balik saja, ketika ada gambar yang menarik baru dibaca, kalau tidak ada gambar yang menarik tentu tidak dibaca, pelajar macam apa pula itu). Saya melihat gambar batu besar ditegakkan di tanah yang bagian atasnya seperti dibentuk serupa ditatah dengan rapi sekali, juga ada beberapa yang diukir. Batu tersebut adalah Menhir.

Menhir merupakan bahasa Keltik, bahasa yang digunakan oleh penduduk tanah Keltik yang mendiami wilayah Wales, Irlandia, Skotlandia. Menhir terdiri dari dua kata yaitu Men=batu dan hir=panjang, Menhir adalah batu tunggal yang berdiri tegak diatas tanah. Menurut para ahli, batu tersebut berasal dari kebudayaan Megalitikum yang berkisar kira-kira 6000 tahun sebelum masehi. Tentunya gambar Menhir tersebut sangat menyita perhatian saya kala itu, meskipun gambarnya hasil fotokopian sangat berbeda dengan gambar foto mantan presiden Soeharto di halaman setelahnya.

Kenapa tidak, dengan ditemukannya peninggalan tersebut berarti di negeri saya pernah ada sebuah peradaban tua yang jauh lebih tua dari kejayaan sejarah Nusantara (baca: Jawa), tetapi kenapa, kebudayaan tua, yang seharusnya menjadi pangkal untuk kebudayaan sesudahnya, hanya dipandang biasa-biasa saja oleh masyarakatnya.

Begitu banyak Menhir yang ditemukan di Maek, oleh karena itu Maek diberi gelar Negeri 1000 Menhir. Dari sekian banyak banyak situs yang tersebar, yang terjaga dan terpugar hanya beberapa saja, di antaranya: situs Balai-Balai Batu Koto Gadang, Situs Menhir Ronah, Situs Menhir Bawah Parit Koto Tinggi, situs Sopan Gadang.

Menurut beberapa orang, masing-masing situs tersebut berbeda fungsi dan kegunaannya, ada yang memang berfungsi sebagai pekuburan, juga ada yang berfungsi sebagai tempat memuja dan memuji.

Masyarakat Maek gemar sekali menceritakan tentang bagaimana berdatangannya peneliti-peneliti yang mengkaji situs Menhir yang tersebar di negeri mereka, baik itu peneliti dalam negeri maupun peneliti luar negeri. Akan tetapi, ketika ditanya tentang hasil penelitian yang pernah disosialisasikan dan dipublikasikan sebagai sebuah produksi pengetahuan bagi masyarakat setempat, mereka malah menggelengkan kepala. Artinya memang belum ada hasil penelitian, dari para peneliti yang pernah datang dan mengkaji situs-situs Menhir di Maek, yang didistribusikan pada masyarakat Maek.

Dengan kata lain, Menhir Maek beserta penduduknya, hanyalah objek belaka. Imbasnya, pengetahuan yang berhasil diproduksi dari penelitian para peneliti tadi, pada akhirnya menjadi sesuatu yang eksklusif, milik para akademisi saja, tidak mewujud menjadi semacam pengetahuan kolektif bagi masyarakat Maek, yang akan menjalar dengan sendirinya ke daerah-daerah yang bertetangga dengan Maek.

Sebagai contoh: sebuah album foto tentang Menhir Maek yang kami lihat di rumah seorang warga dekat situs Balai-Balai Batu Koto Gadang, yang, katanya dikirim oleh Anselm Kissel seorang fotografer asal Jerman. Melihat bagaimana kwalitas hasil cetakan foto-foto tersebut, serta teknik fotografinya, terasa dengan jelas bahwa dia adalah fotografer profesional. Anda akan terkesan melihat landscape hasil jepretan Bukik Tungkua Jaguang dari kejauhan. Begitu juga Bukik Posuak dari arah dekat, serta tekstur-tekstur Menhir yang difoto dari jarak dekat.

Pada satu foto yang terdapat di dalam album tersebut terlihat Anselm Kissel berfoto bersama dengan sekitar 10 orang lebih, di antaranya ada orang asing dan pribumi. Di antara orang asing tersebut ada anak-anak, remaja dan orang dewasa, sepertinya itu adalah sebuah keluarga atau sanak familinya. Apakah Anselm Kissel membawa keluarganya ke Maek, lalu tinggal di Maek selama beberapa waktu hanya untuk mengambil foto sebagai seorang fotografer profesional (atau peneliti)? Atau Anselm Kissel ini hanya datang berlibur sambil mengambil foto-foto beberapa situs megalitik yang ada di Maek? Saya rasa tidak.

Saya pikir foto-foto tersebut dipakai sebagai bahan kajian atau yang serupa itu. Jika foto tersebut sebagai materi untuk suatu kajian, lantas kenapa yang dikirim hanyalah album foto tanpa penjelasan apa pun. Tanpa distribusi pengetahuan yang lebih konkret pada masyarakat lokal, sebentuk jurnal, misalnya. Ah, entahlah.

Di sepanjang jalan pulang ke Payakumbuh saya dan kawan yang berbonceng di belakang tak habis pikir, begitu banyak spekulasi mengenai Maek yang terletak di Kecamatan Bukit Barisan, Kab. 50 Koto ini. Sepertinya ada “sesuatu”yang tersembunyi di negeri tersebut. Atau yang secara sengaja disembunyikan oleh para peneliti profesional. Yang jelas, para peneliti masih saja berdatangan, namun nyaris tidak ada hasil penelitian yang dipublikasikan untuk memproduksi pengetahuan kolektif (bersama) sebagai sebuah acuan sejarah. Baik bagi sejarawan lokal, orang-orang yang menyukai sejarah, maupun masyarakat Payakumbuh dan Kabupaten 50 Koto yang peduli dengan sejarah yang ada di sekitar nagarinya sendiri.