Pilih Laman
Puno Letter To The Sky Surat ke Langit

Puno Letter To The Sky Surat ke Langit

Sabtu, 11 Agustus 2018 | teraSeni.com~
PUNO LETTER TO THE SKY adalah sebuah pertunjukan teater boneka yang disajikan oleh Papermoon Pupet Theatre Rabu, 4 Juli 2018, pukul 19.30 di Institut Francais Indonesia (IFI), Jl. Sagan no. 3 Terban, Gondokusuman Yogyakarta. Sebelumnya pertunjukan Puno ini telah melanglang buana ke beberapa tempat dan festival antara lain di Jakarta, Thailand, Singapura, Filipina, sebelum akhirnya pulang dan dipertontonkan untuk publik Yogyakarta. Dalam beberapa hari saja tersiar kabar tiket pertunjukan Papermoon selama tiga hari 5-8 Juli 2018 dengan cepat sudah sold out oleh penonton. Beruntung sehari sebelum pementasan, saat Gladi Bersih Papermoon berbaik hati mengundang dan membuka kesempatan bagi para teman dan perwakilan kelompok seni untuk hadir menjadi saksi. Sehingga saya berkesempatan menonton secara langsung. 
Terlihat para penonton banyak menghadiri momen gladi bersih pada malam itu, hingga nyaris memenuhi halaman area IFI, para undangan mengkonfirmasi kehadiranya untuk terlibat dalam pertunjukan ke meja penerima tamu. Dari sana kemudian diberi sebuah booklet yang dibukus dalam sebuah amplop, berwarna oranye dengan perangko dan cap pos bergambar Tala digendong oleh ayahnya, amat sangat manis sekali. Pukul 19.30 pertunjukan akan mulai, penonton berbondong antri masuk. Penonton yang datangpun sangat bervariasi secara usia mulai dari anak muda, orang tua, dan anak-anak laki-laki dan perempuan. Ruang IFI yang telah lama hadir bagi publik seni di Jogja, meski kecil sangat khas sekali dan kuat kehadirannya, sebab ruang tersebut banyak menyimpan memori dan nuansa romantisme. Nuansa Romantisme amat kuat sekali, akan berbagai peristiwa pertunjukan yang pernah tampil ataupun menjadi penonton dalam ruangan tersebut. 

Terlihat beberapa orang sedang memainkan boneka
Foto: Papermoon Pupet Theatre

Keakraban ruang khas IFI adalah keterbukaan dan kedekatan antara si penyaji peristiwa dan penonton. Karena ruanganya terbatas, kita dapat melihat dan bercakap dengan para penonton lain jika saling mengenal, atau bisa mengamati reaksi raut wajah penonton dengan jelas terhadap peristiwa yang terjadi, bisa pula melihat dengan jelas dapur kerja artistik seniman, sebab IFI adalah salah satu dari banyak lain ruang pertunjukan alternatif dan ekplorasi bagi seniman. Banyak bermunculnya ruang alternatif di Jogja karena terbatas dan mahalnya tempat pertunjukan konvensinal dan profesional standar internasional. Justru hal tersebut yang menjadi menarik dan khas di Jogja sebab banyak tumbuh ruang-ruang alternatif bagi seniman dan kesenian. Yang sejak Bengkel Teater, Padepokan Bagong Kussudiardja, Wayang Ukur Sigit Sukasman, hingga kini dikatakan belum ada lahir kelompok seni ‘profesional’ meski seniman-seniman tersebut dan banyak seniman saat ini sudah memiliki ruang dan bekerja amat profesional dengan berbagai relasi dan jaringan yang tidak remeh pula. 
Lepaskan dialog dan lamunan mengenai kelompok dan ruang bagi kelompok ‘profesional’ bagi seniman dan kelompok seni di Jogja. Sebab malam ini adalah pertunjukan Puno. Tumbuhnya banyak komunitas, kerja kreatif, keakraban dan dialog seni khas Jogja, lebih penting dari pada dialog ‘profesonalitas’ berbagai elemen dan ukuran seni pertunjukan standar inetrnasional, meski hal-hal tesebut juga penting jika ingin meletakan gagasan seni Jogja/Indonesia dalam kerangka gagasan dan isu wacana seni di dunia yang luas dan besar. Salah-salah suara dan wacana tersebut hanya akan menjadi buih dilaut yang maha luas. Dari ruang penonton dan ruang pertunjukan yang kecil di IFI dapat langsung tampak banyak kapal-kapal bergantungan diatas langit-langit dan pertunjukan dimulai dengan pengatar oleh Ria, selaku produser, konseptor, direktur artistik dan penulis naskah.
Papermoon Pupet Theatre: Teraseni.com
Kapal-kapal bergelantungan di laggit-langit panggung
Foto: Papermoon Pupet Theatre
Pertunjukan berjalan kurang lebih satu jam, cerita berjalan mengalir, menceritakan kisah seorang gadis bernama Tala, yang menyusun petualangan-petualangan dan ingatan bersama ayahnya. Objek-objek boneka yang dimainkan sangat rapi dan detail sekali, dapat nampak bagaimana perkembangan dan cara aktor-aktor boneka memainkan dan berinteraksi satu dengan yang lain dengan bonekanya. Cerita Puno ini sangat personal dan emosional sebab bangunan yang disusun pada kerangka narasinya adalah pengalaman rasa personal kehilangan sosok yang kita cintai. Kehilangan menjadi sebuah relasi kunci dan kepercayaan terhadap sesuatu yang dulunya ada dan telah tiada. Oleh karena perasaan lebih sensistif dari pada sebelumnya. Sebab yang bekerja adalah perasaan akan kenangan dan kenyataan. 
Peramainan Boneka menjadi lebih pelan, penuh dengan intensitas dan imajinasi, bayangan warna-warna lembut bercampur dengan elemen-elemen keras, tipis, dan kecil keluar dalam berbagai elemen boneka dan propertinya. Permainan komunikasi dan relasi antar pemain boneka dalam memainkan objek mendapat tantangan untuk lebih peka dan berhati-hati serta berkonsentrasi penuh untuk menyadari berbagai kehadiran, situasi berbagai objek; boneka, properti, cahaya, musik, penonton, ruang, adalah kesatuan dari kepercayaan sekaligus kerapuhan akan kehadiran kenangan. Oleh karenanya dialog intens terhadap objek-objek tersebut akan hidup jika sentuhan dan komunikasi dari kesemuanya terjalin baik. Sebab kepercayaan akan kenangan akan indah dan sangat bersifat personal serta ‘spiritual’. 
Papermoon Pupet Theatre: Teraseni.com
Beberapa orang berbaju hitam yang menghidupkan boneka di atas panggung
Foto: Papermoon Pupet Theatre
Anton Fanjri bermain sangat konsetrasi sekali dengan perasaan dan penghayatanya akan relasi antar objek sangat memukau. Beni Sanjaya, Pambo Priyo Jati, Rangga Apria Dinnur pun tak kalah baik secara teknik, namun ketika keempatnya bermain bersama terkadang ada patahan dan perasaan komunikasi antar pemain yang kurang imbang. Puno telah dimainkan berkali-kali tentu saja untuk mendapatkan rasa dan tidak sekedar permainan teknis dibutuhkan kesadaran dan kehadiran yang berulang-ulang dan dialog perasaan dalam setiap moment peristiwa langsung dengan penonton, dan hal tersebut pastilah melelahkan. Musik yang selalu berdengung terus menerus ditelinga juga amat tidak nyaman, cahaya yang asal terang dan hadir dalam situasi yang tidak tepatpun amat menganggu panggilan terhadap kenangan-kenangan untuk muncul dan hidup bernyawa dalam benak. Sebab persaaan ‘spriritual’ akan kenangan sangatlah subtil. 
Banyak narasi dongeng cerita-cerita rakyat kita penuh dengan hal subtil itu. Oleh karenanya mudah melekat dan tersimpan dalam ingatan menjelma berbagai kenangan dan imajinasi terhadapnya. Bahkan sampai ada istilah dongeng dalam operasi bahasa jawa Jarwo Dhosok diartikan dengan dipaido keneng (mampu mengakomodasi bumbu-bumbu imajinasi) tanpa kehilangan hal-hal subtil dan unsur-unsur magisnya/spiritualnya. Ada baiknya mungkin Cerita Puno dapat pula menengok ulang estetika dari akar-akar cerita dongeng-dongeng rakyat dinusantara untuk menampung hal-hal yang bersifat magis dan ‘spriritual’. 
Tampak ekspresi boneka yang begitu hidup
Foto: Papermoon Pupet Theatre
Tim Artistik dan Produksi:
Maria Tri Sulistyani selaku produser, konseptor, direktur artistik dan penulis naskah, Pupet Engineer Anton Fajri, Pupet Designer dan Music Director: Iwan Efendi, Music Composer Yennu Ariendra. Artistik tim : Anton Fajri, Beni Sanjaya, Pambo Priyojati, Rangga Dwi Apriadinnur, dan Rusli Hidayat, Costume : Retno Intiani dan Sherry Harper Mc-Comb, Grapic Disigner : Gamaliel . Budiharga. Producer Manager : Rismilliana Wijayanti, Tecnical Direktor : Gading Narendra Paksi, Crew : Egi Kuspriyanto dan Rusli Hidayat, Merchandes : Studio Batu, Artworks for Mechandise : Ruth Marbun dan Vitarlenology.
Puno Letters to the Sky Berlayar Rindu pada Sepucuk Surat di Hari ke-40

Puno Letters to the Sky Berlayar Rindu pada Sepucuk Surat di Hari ke-40

Minggu, 8 Juli 2018 | teraSeni.com~
Hanya muram yang tertinggal di wajah Tala ketika melihat seonggok tubuh terbaring tak bernyawa. Puno, sang ayah telah berpulang menghadap yang empunya kuasa. Untuk mewakili kegundahannya, Tala menorehkannya pada berlembar-lembar kertas. Mengetahui bahwa Puno masih berada di sekitarnya, di hari ke-40 ia merangkai berpucuk-pucuk surat menjadi kapal laut yang siap berlayar ke nirwana bersama Puno, sang ayah. “Kapal laut” tersebut turun perlahan dari langit-langit secara bersamaan, membuat kesan haru sekaligus takjub. Isak tangis dari penonton terdengar bersusulan, pertunjukan diakhiri dengan sangat menyentuh. 
Adalah Puno: Letters to The Sky atau Surat ke Langit, sebuah karya dari kelompok teater boneka, Papermoon Puppet Theatre yang berhasil digelar dengan memuaskan di IFI-LIP Yogyakarta. Kelompok teater boneka asal Yogyakarta ini memang dikenal cakap dalam merangkai cerita sekaligus mewujudkannya. Pada karya berdurasi 50 menit ini, Papermoon Puppet Theatre meracik cerita tentang bagaimana menghadapi kehilangan orang terdekat. Cerita personal tersebut lantas Papermoon Puppet Theatre wujudkan dengan sentuhan artistik dan estetik yang tidak kalah menawan. 
Papermoon Puppet Theatre: Teraseni.Com
Pertunjukan Teater Boneka, Papermoon Puppet Theatre di IFI-LIP Yogyakarta
Foto: Dokumentasi Papermoon Puppet Theatre
Kerja sama apik terjalin antar Maria Tri Sulistiyani (konseptor, direktur artistik, produser, sutradara, lighting designer);Iwan Effendi (konseptor, pendesain boneka, direktur musik); Yennu Ariendra (komposer musik pertunjukan); Anton Fajri (puppet engineer dan tim artistik); Beni Sanjaya, Pambo Priyojati, Rangga Dwi Apriadinnur (tim artistik); Retno Intiani (kostum); Andreas Praditya (manajer produksi); Gading Paksi (technical director) dalam menjalin pertunjukan sedemikian rupa. 
Dengan beragam sentuhan, karya empat tahun silam tersebut direproduksi. Tercatat bahwa karya ini pernah dipentaskan pada September 2014 di Festival Salihara di Teater Salihara, Jakarta. Karya dengan versi baru ini lalu dipentas kelilingkan di Thailand, Singapura, dan Filipina pada bulan Mei hingga Juni 2018 secara independen. Setelah Asia Tenggara, pada akhirnya Papermoon Puppet Theatre menggelar pertunjukan di tanah kelahirannya. 
Di Yogyakarta, karya ini menuai antusias penonton yang besar. Di mana jadwal pentas yang semula digelar pada tiga hari di awal bulan Juli, yakni 5, 6, dan 7 Juli 2018 dengan dua pertunjukan di setiap harinya, menjadi bertambah satu slot pertunjukan di hari terakhir. Bahkan, Papermoon Puppet Theatre harus membuka sesi pertunjukan tambahan di tanggal 8 Juli 2018. Dari jadwal pertunjukan tersebut, kiranya terhitung sekitar 1500 kepala—baik berasal dari Yogyakarta maupun luar daerah—ikut merasakan rindu yang dirajut Papermoon Puppet Theatre untuk mereka yang telah pergi.

 

Kisah Menyentuh dengan Perwujudan Menawan 
Pertunjukan Puno Letters to The Sky mempunyai struktur cerita tegas, dengan detail yang jelas. Diawali dengan bagian yang cukup unik yakni dalam gelap muncul roh yang bersusulan, baik dari arena penonton hingga dari atas panggung. Perhatian penonton kemudian terarah pada tubuh gempal bernama Awan Merah, melayang membawa sehelai daun yang tergambar wajah Puno. Di sisi lainnya, tergantung sebuah lingkaran menghasilkan bayangan pepohonan yang disusul dengan sehelai daun bertuliskan Puno terbang dari satu dahan ke dahan lain. Introduksi pertunjukan yang rasanya sungguh menarik. 
 Papermoon Puppet Theatre: Teraseni.Com
Introduksi pertunjukan dengan visualisasi berupa pohon di salah satu sisi panggung
Foto: Dokumentasi Papermoon Puppet Theatre
Selanjutnya sebuah boneka perempuan duduk bersembunyi di panggung dari sisi kanan penonton, sedangkan boneka laki-laki diperagakan tengah mencari boneka perempuan tersebut. Adalah Puno dan Tala, kisah tentang hubungan seorang ayah dan anak perempuannya. Untuk menggambarkan kebahagiaan tersebut, petak umpat menjadi awal perjumpaan penonton dengan Puno dan Tala. Alih-alih hanya itu, kebahagiaan juga tercurah dengan beragam aktivitas ayah-anak lainnya, seperti menggendong sambil berlarian, memayungi saat hujan, membeli ice cream, hingga “mencari” sosok ibu dari barisan penonton untuk Tala. Bagian awal pertunjukan ini telah berhasil memberikan impresi bahagia. Terlebih turut didukung oleh para peraga boneka yang kerap kali masuk dalam set cerita, semisal ketika Puno membeli ice cream, dan lain sebagainya. 
Pada bagian selanjutnya, kebahagiaan tetap dimunculkan walau beberapa hal janggal mulai muncul perlahan. Puncaknya adalah ketika Puno berada di ruang kerja, di mana ia bertatap langsung dengan Awan Merah—laiknya malaikat pencabut nyawa. Puno pun seraya tak percaya dengan apa yang ia lihat, kendati demikian ia berusaha tak acuh padanya. Tidak lama berselang, Tala menghampiri ke ruang kerjanya. Kemudian Puno memberikan benda laiknya teropong bergambar kepada Tala. Lantas Tala melihat pelbagai pemandangan, baik hutan, perkotaan, hingga balon udara berserta gambaran atas ayah dan dirinya di dalam alat tersebut. Di kanan panggung dari penonton, lingkaran-lingkaran yang bergantung menjadi visualisasi atau media pencipta bayangan atas rekaan yang dilihat Tala pada teropong tersebut. Pemanfaatan beragam media tersebut berhasil memberikan referensi estetik atas teater boneka yang dipertunjukkan. 
Papermoon Puppet Theatre: Teraseni.Com
Tampak Tala (boneka) sedang melihat sesuatu di dalam teropong
Foto: Dokumentasi Papermoon Puppet Theatre
Kejanggalan itu pun semakin jelas, dalam teropong yang sama Tala melihat seekor burung gagak seakan menghantui. Tala yang takut memeluk sang ayah, Puno lalu memberikannya sebuah lipatan kertas berbentuk kapal laut kepadanya. Dengan riang gembira Tala mengambilnya dan memainkannya di sisi rumah yang berbeda. Namun naas, ketika Puno tengah asik menggambar, ia terbatuk-batuk tak sadarkan diri. Bahkan tak lama berselang, ajal ikut menjemputnya. Dari cerita tersebut, Papermoon Puppet Theatre lantas fase tersebut diartikulasikan dengan detail, semisal ketika Puno mengalami sakratul maut dengan visualisasi tubuhnya yang melayang di udara; atau ketika Puno belum menyadari bahwa ia telah meninggal, lalu ia terbangun dan berupaya menyapa Tala. Hal-hal ini kiranya membawa penonton pada dimensi kematian yang kerap terpikirkan namun jarang digambarkan. 
Papermoon Puppet Theatre: Teraseni.Com
Puno (terlelap) telah meninggal
Foto: Papermoon Puppet Theatre
Alih-alih pertunjukan ditutup dengan kesedihan yang berlarut, cerita kembali berlanjut pada kehidupan Tala pasca ditinggalkan sang ayah. Kesedihan yang dirasakan Tala sangat mendalam, ia berusaha menjalani hari hingga ia tersadar bahwa ayahnya masih melindunginya dan berada di sekelilingnya selama 40 sejak hari kematiannya. Tidak divisualisasikan dengan banal, pertunjukan justru menggunakan pelbagai metafora serta simbol tertentu untuk menggambarkan hubungan mereka berdua, semisal ketika Tala digambarkan tengah berjalan di jalan sempit lalu diarahkan oleh Puno untuk dapat melewatinya; atau di kala Tala melompat, lantas Puno membantu menarik tangannya untuk sampai hingga tujuan, dan sebagainya. 
Puncak pertunjukan adalah cara Tala mengucapkan selamat tinggal pada ayahnya. Adalah sebuah surat menjadi ruang kesedihan berlarut yang dicurahkan Tala. Pasca Tala mengetahui ayahnya akan pergi ke alam yang berbeda dengan segera, maka ia merangkai berpucuk-pucuk surat yang ia buat menjadi kapal laut, persis seperti yang Puno berikan ketika Tala merasa ketakutan beberapa waktu silam. Di hari keempat puluh Tala mengirimkan surat itu ke langit bersama sang ayah. Tidak kalah menarik, puncak pertunjukan tersebut divisualisasikan dengan estetis, yakni turunnya surat-surat berbentuk kapal laut tergantung secara bersamaan di tengah-tengah penonton, pertunjukan menjadi sangat menyentuh bercampur takjub. Hal yang lebih menyayat, ternyata surat tersebut adalah surat dari mereka yang memang ditinggalkan oleh orang terdekat. Tangis mulai bersusulan dari arena penonton menemani Tala dan puluhan kapal laut tergantung yang cahayanya semakin redup, hingga mati.

 

Paket Lengkap 
Utuh adalah terma yang tepat untuk mewakili pertunjukan Puno Letters to The Sky dari Papermoon Puppet Theater. Pasalnya kelompok teater boneka dari Yogyakarta ini berhasil meracik pertunjukan dengan sangat baik. Jika bicara tema cerita, kiranya Papermoon Puppet Theatre mengangkat persoalan sederhana, yakni kematian. Namun kelompok ini cukup piawai dalam mengambil sudut pandang, yakni menggambarkan kematian dari dua belah sisi, dari yang meninggalkan ataupun mereka yang ditinggalkan. Sudut pandang ini kiranya membuat para penonton mempunyai rasa keterhubungan atau related dengan pertunjukan. Alhasil, basis pengalaman yang sama membuat pertunjukan yang didedikasikan untuk mereka yang telah pergi ini lebih mudah diterima. 
Namun tema bukan menjadi satu-satunya alasan mengapa pertunjukan dapat diterima dengan mudah, perwujudan tema pada pertunjukan tidak kalah penting. Tema tersebut “disulap” menjadi satu struktur cerita dengan jalinan kisah menyentuh yang tersemat hampir di setiap bagian. Dengan paduan artistik dan estetik yang cakap, struktur hingga transisi cerita dapat berjalan dengan mulus, semisal penonton yang ikut merasakan ngilu ketika Puno kesakitan hingga menghadapi sakratul maut, ataupun perasaan sedih Tala ketika ia menjalani hari tanpa sang ayah hingga ia menyadari bahwa Puno masih berada di sekelilingnya. 
Papermoon Puppet Theatre: Teraseni.Com
Tampak Puno (boneka atas) masih melindungi Tala (boneka bawah) meskipun sudah meninggal
Foto: Papermoon Puppet Theatre
Selain itu, Papermoon Puppet Theatre menggunakan artistik panggung yang sederhana namun mangkus dan sangkil. Semisal set “panggung” tiap adegan yang menggunakan roda sehingga dapat mudah dibawa kemana saja. Dampak dari “panggung dorong” ini kiranya bukan sekedar alasan kemudahan, namun memberikan sudut pandang lain untuk penonton dalam melihat satu adegan. Tidak hanya itu, lingkaran di belakang panggung yang bergantung turut digunakan menjadi media dalam menciptakan bayangan. Bayangan-bayangan tersebut pun mendukung cerita menjadi lebih variatif. Di mana menghadirkan teater boneka dan wayang—merujuk pada definisi bayangan—dalam satu cerita. 
Mengingat boneka ciptaan Papermoon Puppet Theatre berwajah nir ekspresi, maka kerja pencahayaan menjadi sangat penting. Tanpa pencahayaan, wajah Puno dan Tala terasa datar dan cenderung ambigu. Alhasil kerja pencahayaan membantu memperkuat impresi perasaan ketika Puno dan Tala bergekstur atau bergerak menjadi semakin kuat. Paduan ini lantas dinaungi dengan komposisi musik yang membuat pertunjukan menjadi hidup. Alih-alih hanya artistik, perwujudan juga terjalin taktis pada kerja peraga yang dapat membuat pelbagai benda menjadi hidup. Empat peraga di atas panggung kiranya membuat Puno dan Tala menjadi satu kisah yang dimiliki oleh penonton. Alih-alih peraga bekerja di belakang layar dan tidak masuk dalam cerita, dalam pertunjukan Puno Letters to The Sky para peraga turut berinteraksi di dalam cerita tersebut. Mereka bermain dengan dua peran sekaligus, sebagai peraga ataupun lawan bicara Puno maupun Tala. Peran ganda ini kiranya membuat pertunjukan lebih cair dan partisipatif, semisal ketika Puno menggoda penonton wanita, ataupun menjadikan kepala penonton sebagai pijakan dalam melompat. 
Kiranya kelengkapan tersebut membuat pertunjukan teater boneka yang berlangsung tanpa bahasa tertentu ini justru lebih mudah dinikmati oleh penonton dengan latar belakang apapun. Dari pertunjukan macam inilah kita dapat melihat bahwa daya seni bekerja menyatukan perbedaan dengan pengalaman dan rasa yang sama.[]

Legusa; Bunyi yang Melereng dari Lereng Gunung Sago

Legusa; Bunyi yang Melereng dari Lereng Gunung Sago

Selasa, 3 Juli 2018 | teraSeni.com~

Hawa dingin, diikuti kabut tipis, dan angin yang sedikit kencang, turun dari puncak Gunung Sago bagian utara, lalu menyisir sepanjang lerengnya. Terkadang angin dan kabut itu berpiuh karena terhalang gundukan bukit, dan kemudian mencari jalannya sendiri untuk keluar dari keterkungkungan yang ada, seperti yang dikerjakan oleh beberapa anak muda di Nagari Sikabu-kabu Tanjuang Haro Padangpanjang, Kecamatan Luak, Kabupaten 50 Kota. 

Nagari yang memang tepat berada di lereng utara Gunung Sago itu, yang dihiasi beberapa bukit kecil dan lembah yang terbentang sepanjang mata memandang, mulai begitu sibuk dan ramai pasca Hari Raya Idul Fitri ketiga. Bukan karena para perantau pulang basamo seperti yang terjadi di beberapa nagari lain di Sumatera Barat ini, namun kesibukan dan keramaian itu terjadi karena dimulainya Legusa Musik Festival; Perayaan Proses Kreatif Musik Anak Nagari, pada tanggal 18 – 23 Juni 2018.
Legsa Fest: Teraseni.com
Hamparan sawah yang melereng di kaki gunung sago
Foto: Roni Azhar

Seperti yang terbaca pada tajuk judul, acara ini memang benar-benar sebuah perayaan tentang apa yang sudah diperbuat oleh anak nagari selama satu tahun belakangan ini, terutama pada musik tradisi—yang kemudian dibungkus menjadi musik kontemporer. 
Selama ini, dalam dunia seni pertunjukan kontemporer selalu mendengung bunyi “bernapaskan tradisi” atau “kembali pada tradisi”, dengan kata lain bahwa pertunjukan-pertunjukan kontemporer (hendaknya) mengandung unsur tradisi di dalamnya, sebagaimana lazim kita jumpai, misalnya adanya unsur randai dalam sebuah pertunjukan teater atau ada unsur dendang atau saluang dalam sebuah pertunjukan musik, atau setidaknya (semati-mati akal) memakai celana galembong dalam pertunjukannya. Bentuk-bentuk (penempelan) tradisi yang sudah lazim kita saksikan. Lalu, apakah Legusa Musik Festival ini juga seperti itu? Tunggu dulu, jika dibilang “tidak” terlalu cepat untuk menyimpulkan, namun jika dibilang “iya”nanti kita juga masuk golongan “seniman sumbu pendek”.
Legsa Fest: Teraseni.com
Salah satu pertunjukan pada perayaan proses Legusa Music Festival
Foto: Keron

Menancap bukan Mencabut 
Enam hari waktu festival, dengan masing-masing penampil dari enam jorong yang ada di Nagari Sikabu-kabu Tanjung Haro Padangpanjang, yakni Santan Batapih dari Jorong Lakuak Dama, Puti Ambang Bulan dari Jorong Sikabu-kabu, Sabai nan Aluih dari Tanjung Haro Utara, Rantak Sadaram dari Jorong Padangpanjang, Carano Badantiang dari Jorong Tanjung Haro Selatan, dan Puti Indah Jalito dari Jorong Bukik Kanduang. 
Keenam penampil tersebut berasal dari anak nagari sendiri, dengan kata lain festival ini benar-benar berasal dari anak nagari, bukan festival yang dibangun untuk mengundang orang luar tampil di nagari tersebut. Di sinilah letak sebuah proses berkesenian yang luar biasa tersebut. Kerja kesenian yang, mungkin, akan sangat sulit kita temui pada nagari-nagari lain. Ditelisik dari kerja berkesenian ini, proses dari awal terbangun festival ini sampai terselenggaranya Legusa Musik Festival ini sendiri bisa diukur melalui prosesnya (dan mohon dikesampingkan dulu tingkat tingginya kemampuan penampil).
Legsa Fest: Teraseni.com
Pertunjukan penutupan di jorong Sikabu-Kabu
Foto: Keron

Sebagaimana nama dari festival ini, Legusa, yang berarti Lereng Gunung Sago. Nagari Sikabu-kabu Tanjung Haro Padangpanjang ini (yang sudah disinggung di awal paragraf) terletak persis di lereng Gunung Sago. Sebagai nagari yang terletak di lereng gunung dengan suasana dingin berkabut, tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana damainya kehidupan di sana. Masyarakat petani yang masih mengolah lahan-lahan pertanian yang begitu luas, baik itu sawah maupun ladang. Lurah-lurah dan bukit-bukit kecil yang masih hijau sepanjang mata memandang. Keadaan seperti itu tentu membuatnya jauh dari gegap-gempita festival, terutama yang bersifat seni kontemporer,walaupun nagari ini berada di pinggir Kota Payakumbuh. 
Ketenangan memang sering menghanyutkan. Siapa menduga, di balik keasrian nagari ini, anak-anak nagari ini tidak mau hanya sekedar berangkat ke sawah, lalu pulang ke rumah dan bergelumun dengan selimut. Mereka tetap bergerak—dengan kesenian, agar darah mereka tetap hangat, tidak ikut beku dipagut dingin. Berawal dari sanggar kecil di halaman sebuah Rumah Gadang di Jorong Sikabu-kabu, lalu yang lain (jorong) ikut bergeliat tidak tinggal diam. Hingga kemudian tercetuslah ide untuk merayakan proses mereka ini dalam bentuk festival, dengan tajuk Legusa Musik Festival.
Legsa Fest: Teraseni.com
Seorang sedang berpose dengan latar Gunung Sago
Foto: Roni Azhar

Ide dan geliat ini tidak datang dari siapa-siapa, dari luar nagari mereka sekalipun. Ide dan geliat ini datang dari anak nagari mereka sendiri, lalu digerakkan bersama-sama oleh anak nagari. Supaya proses itu berjalan, barulah kemudian mereka mendatangkan pengasuh untuk melancarkan proses kreatif mereka. Anak-anak nagari tersebut datang kembali masuk ke dalam nagari mereka, untuk kembali menghidupkan potensi estetik yang ada dalam nagari mereka, berproses, kemudian merayakannya langsung di tempatnya

Inilah, kenapa dikatakan menancap. Bukankah nilai estetik itu sendiri datang dari dalam diri. Tidak seperti kebanyakan praktik kesenian, orang-orang datang untuk menyesap dan mencabut estetik yang ada, membawanya dan mengembangkannya sesuai dengan kepentingannya, lalu merayakannya di tempat lain, yang jauh dari akarnya. 

Pamenan Pangulu 
Berkesenian dalam konsep Minangkabau disebut dengan Pamenan Pangulu. Berdasarkan konsep ini, kesenian tidak hanya semata hiburan, namun lebih pada falsafah keseimbangan hidup. Setelah seharian bekerja di sawah dan ladang—atau mungkin di sela-sela rutinitas sehari-hari tersebut, maka di sanalah kesenian itu berlangsung. Tanpa adanya kesenian, maka kehidupan tradisi juga tidak akan berlangsung dengan seimbang. Sebagaimana halnya ketika Legusa Musik Festival ini.
Legsa Fest: Teraseni.com
Salah satu pertunjukan pada perayaan proses Legusa Music Festival
Foto: Muhammad Halim
Festival ini tidak bisa hanya dipandang ketika waktu penyelenggaraannya saja, yang berlangsung pada malam hari. Contohnya, penyelenggaraan festival pada hari ketiga di Jorong Bukik Kanduang, pukul 9 pagi anak nagari di sana sudah berkumpul di sebuah gundukan bukit kecil berupa tanah lapang, lokasi yang nantinya akan dipakai berlangsungnya festival. Jika berdiri di tengah lapangan gundukan bukit kecil itu, mata akan terlempar pada hamparan lembah yang luas, yang langsung dihadang Gunung Marapi di seberang lembahnya. Dan jika memutari arah pandang, Gunung Sago telah memunggungi seolah menjaga lereng itu. 
Pada gundukan tanah lapang itu, anak-anak nagari tengah mempersiapkan lokasi agar mendukung terselenggaranya festival: merambah rumput-rumput liar, membuat panggung di salah-satu sudut lapangan, dan persiapan lainnya. Namun, bukan aktivitas di tanah lapang itu inti dari geliat yang terjadi di nagari tersebut. Gundukan tanah lapang di atas bukit kecil itu juga merupakan jalan bagi orang-orang kampung menuju sawah mereka. Laki-laki dan perempuan berjalan menyisir aspal kasar di pinggir lapangan itu menuju sawah mereka. Namun sebelum itu mereka terlebih dahulu singgah di tanah lapang itu, barangkali sekedar menyapa, atau meninggalkan alat perkakas mereka, bahkan ikut bekerja membersihkan tanah lapang itu sejenak sebelum mereka kembali berangkat ke sawah mereka.
Legsa Fest: Teraseni.com
Bukik Nganang, gundukan tanah lapang yang diseting menjadi lokasi pertunjukan
Foto: Embot Anwar
Ketika siang tiba, ibu-ibu beserta anak-anak perempuan mereka, datang berbondong ke tanah lapang itu membawa daun pisang, periuk nasi, dan talam-talam sambalado. Daun-daun pisang itu dibentangkan di salah-satu sisi lapangan dekat sebuah pohon ketaping yang agak rindang. Nasi dan sambalado dijejerkan di atas daun pisang, lalu orang-orang kampung dan para anak nagari makan bersama di atas tanah lapang itu. Orang-orang yang masih membungkuk-bungkuk di sawah mereka di panggil dan disoraki agar menghentikan pekerjaan mereka sejenak dan ikut bergabung makan bersama di atas tanah lapang itu. Pemandangan seperti inilah sebenarnya yang luar biasa dari festival anak nagari ini. Sebuah keseimbangan antara rutinitas sehari-hari dengan kegembiraan yang terpendam di dalam diri, beserta alam yang menjaga. Dan di situlah letak proses yang sesungguhnya, sedangkan penampilan mereka malamnya itu hanya bonus dari sebuah perayaan diri dengan alam, sebagai hasil dari pamenan diri itu sendiri.

Mempertebal Harapan Dari Panggung “Pinggiran”*

Kamis, 31 Mei 2018 | teraSeni.com~
Penciptaan ruang pertunjukan di Yogyakarta bukan ihwal asing. Belakangan ini, ruang-ruang independen semakin riuh dalam kuantitas. Hal ini tentu berdampak baik dalam pewacanaan yang tidak tunggal, semakin beragam, dan tersebar. Selain beberapa ruang yang telah ajeg, seperti: kampus, sanggar, padepokan, dan sebagainya; ruang-ruang berbasis komunitas mandiri turut banyak tercipta terhitung lima tahun belakangan ini. Hal yang menarik, setiap platform mempunyai terobosannya masing-masing. 
Di pertengahan tahun 2018, platform presentasi karya bertajuk Jalur Pinggir Tak Selalu Ada di Peta Kota menggelar tiga karya pertunjukan untuk kali pertama di IFI-LIP Yogyakarta. Platform rintisan ini berupaya membaca ulang keberagaman praktik koreografi di Yogyakarta dengan tujuan intervensi terhadap pola-pola penciptaan dominan dengan mengeksplorasi berbagai kemungkinan jalur pinggir yang dapat ditempuh bersama untuk mengalami dan membicarakan koreografi secara berbeda. Dari sini, dapat dilihat bawah proyek yang diproduseri oleh M.R. Ridlo ini mempunyai semangat memberikan terobosan alternatif dalam penciptaan karya. 
Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu: Teraseni.Com
Selain gerak tubuh ekspresi wajah memberikan impresi tertentu
Foto: Doni Maulstya
Sebagai perwujudan semangat tertaut, platform ini menampilkan tiga karya koreografi berbeda, mulai dari gagasan, pendekatan, ataupun metode yang dikurasi oleh Linda Mayasari dan direktur artistik, Besar Widodo. Tiga karya tersebut dihelat pada dua hari pertunjukan. Pada hari pertama (21/5) menampilkan karya bertajuk Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu dari Anter Asmorotedjo, Asita Kaladewa, Ninin Tri Wahyuningsih, dan Yennu Ariendra. Pada hari kedua (22/5) menggelar dua karya bertajuk Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha dan My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die dari I Putu Bagus Bang Sada dan Natasha Gabriella Tontey. 
Alih-alih serupa, terdapat dua jenis karya yang ditampilkan, yakni re-creation dan work in progress. Karya re-creation ditampilkan pada hari pertama dari karya yang telah mereka (tidak termasuk Yennu Ariendra) ciptakan delapan tahun silam di PSBK (Padepokan Seni Bagong Kussudiardja). Sedangkan dua karya tersisa merupakan karya work in progress yang tengah mereka kerjakan beberapa waktu belakangan. Dua karya work in progress ini pun mempunyai skema penciptaan yang berbeda, salah satu di antaranya merupakan karya kolaborasi dengan seni performatif. Atas pelbagai pola dan skema kerja penciptaan, kiranya platform tersebut menunjukkan kemungkinan akan karya tari yang lebih beragam.

 

Pertemuan Di Ruang Antara 
Karya pertama dalam pertunjukan ini adalah Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu dari Anter Asmorotedjo, Asita Kaladewa, Ninin Tri Wahyuningsih, dan Yennu Ariendra. Karya ini menampilkan pertunjukan kolaborasi lintas disiplin, antara tari, pantomim, dan musik. Pertunjukan dimulai dengan cahaya teram-temaram, sementara Anter bersila di tengah arena pertunjukan. Perlahan ia mulai menggoyang-goyangkan tubuhnya maju mundur hingga cepat. Tidak lama berselang Anter bangkit, sedangkan Asita yang duduk bersila di belakangnya merespon dengan gerakan senada. Anter melakukan beberapa gerak kuda-kuda dan gerak bertahan laiknya etude pencak silat, sementara itu Asita mengitari Anter dengan raut wajah yang ekspresif. Setelahnya Asita melangkah ke sisi depan arena, ia bergerak memeragakan beberapa aktivitas ketika sedang mandi, mulai dari gosok gigi, mengangkat gayung, dan lain sebagainya. Kesan yang ditampilkan dari awal pertunjukan pun cukup kuat, yakni ketubuhan dan ruang imajinya. 
Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu: Teraseni.Com
Tampak penari satu bergerak perlahan di samping penari lain yang sedang duduk diam
Foto: Suluh Senja
Dalam hal ini, Anter dan Ninin yang notabene penari memberikan impresi ketubuhan yang kokoh, sedangkan Asita yang menekuni pantomim membantu konstruksi imaji semakin kuat. Persilangan tubuh dengan cara kerjanya masing-masing ini kiranya telah menjalin satu skema pertunjukan yang menarik. Kelindan tari dan pantomim ini lantas tidak menghadirkan suatu pesan yang eksplisit—terlebih jika merujuk tajuk karya—, melainkan memberikan ruang dialog untuk penonton menginterpretasikannya. Secara sederhana, karya Anter, dkk. ini menghadirkan tubuh sebagai medium yang tidak wantah dalam menyampaikan pesan.
Kendati demikian, tidak wantah bukan berarti arbitrer dan abstrak. Pasalnya jika menikmati pertunjukan sedari awal, Anter, dkk. berusaha merajut persilangan tubuh, konstruksi, dan keseharian antar penampil secara artikulatif dengan caranya masing-masing. Hal ini diejawantahkan dengan penggunaan gerak dan busana yang berbeda satu dengan yang lain. Di bagian akhir pertunjukan, persilangan itu semakin kentara, di mana Anter dengan pakaian merah, Ninin dengan pakaian putih, dan Asita dengan pakaian biru, saling merespon gerak satu sama lain. Namun hal yang menarik adalah dua penampil seakan membeku, sedangkan satu penampil tersisa lah yang membuat gerak kedua penampil lainnya. Hal tersebut lantas dilakukan secara bergantian. Tentu hal ini dapat ditautkan pada tajuk Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu, di mana pertemuan itu menjadi ruang antara (abu-abu) untuk saling mengonstruksi satu sama lain. Hal yang kiranya selalu berulang tetapi kerap tidak disadari. Aktual! 
Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu: Teraseni.Com
tampak ekspresi penari merespon satu sama lain
Foto: Doni Maulistya
Selain itu, hal lain yang kiranya menarik adalah proses dari re-creation dari karya yang telah diciptakan dan dipentaskan delapan tahun silam pada platform Jagongan Wagen, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). Pasalnya, alih-alih video dan foto terekam dengan baik guna sumber mereka menyajikan, data tersebut justru tidak terekam dengan semestinya, sehingga proses re-creation ini mengandalkan rajutan memori ketiga penampil atas karya tersebut. Tidak hanya itu, jika sebelumnya karya ini dipertunjukkan tanpa musik, pada karya ini, Yennu Ariendra justru diundang untuk “mengganggu” ingatan-ingatan mereka. Alhasil karya ini tidak hanya menjadi pelanggeng memori atas karya delapan tahun silam melainkan menciptakan memori yang lebih segar atas karya bertajuk Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu. 
Upaya Melampaui Limit Tubuh 
Berbeda dengan karya Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu, karya pertama di hari kedua (22/5) bertajuk Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha. Karya yang masih dalam tahap Work in Progress ini menyoal tentang limit dan kualitas tubuh perempuan yang menurun di usia 30 tahun. Lantas eksperimentasi Silvia berupa pendisiplinan pada dirinya guna mengetahui seberapa maksimal tubuh dapat diupayakan. Dalam menghadirkan pertanyaan kritis tersebut, Silvia selaku koreografer mengajak seorang penari lainnya, Risca Putri. 
Pertunjukan diawali dengan pemanasan yang dilakukan keduanya. Pelbagai gerak pemanasan kaki, tangan, dan sebagainya, mereka lakukan. Ketika penonton telah memenuhi arena pertunjukan, lantas Silvia—seolah-olah—meminta Risca untuk mengambil kostum yang tertinggal di luar ruangan. Sembari menunggu Silvia kembali melakukan pemanasan diiringi barisan lagu populer, seperti Can’t Help Falling in Love dari Elvis Presley, dengan sebuah speaker mini dan pemutar lagu di ponsel pintarnya. Pelbagai gerak, mulai dari merenggangkan otot tangan, tidur menyamping, melakukan rolling depan, dan lain sebagainya, dilakukan. 
Dalam hitungan menit, lagu turut berganti menjadi lagu ciptaan Ed Sheeran dengan Thinking Out Loud-nya. Di tengah lagu Silvia mematikan lagu tersebut, dan segera memanggil Risca untuk bergegas. Kemudian, mereka berdua melakukan latihan secara bersama-sama, dari saling mengamati satu sama lain, hingga bergerak seragam dan serentak. Impresi yang muncul dari awal pertunjukan ini adalah Silvia “bermain” dengan konsep pertunjukan dengan menghadirkan fase latihan yang terkesan lebih cair. 
Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha: Teraseni.Com
penggambaran cross-gender dari pakaian penari
Foto: Doni Maulistya
Setelahnya, di arena bagian belakang mereka berganti pakaian juga berias. Risca menggunakan pakaian pria berupa celana panjang, kemeja, dan dasi, sedangkan Silvia menggunakan pakaian perempuan berupa dress sepanjang lutut. Tidak hanya pakaian, bahkan Silvia secara eksplisit memosisikan Risca sebagai seorang laki-laki dengan menggambarkan kumis di wajah Risca. Secara lebih lanjut, upaya ini atau dapat dibaca sebagai praktik cross-gender yang riskan laiknya pisau bermata dua. Di satu sisi, tidak dipungkiri dengan menghadirkan sosok laki-laki, Silvia lebih terbantu memperlihatkan pelampauan limit geraknya. 
Namun di sisi lain, kita dapat melihatnya sebagai usaha mewujudkan sosok “laki-laki” sebagai tolak ukur pelampauan limit dan kualitas atas tubuh perempuan. Walau kiranya perwujudan laki-laki justru terasa wantah. Sementara itu, hal ini juga dapat dibaca sebagai wujud persilangan tubuh perempuan menjadi laki-laki. Sederhananya, kekuatan tubuh perempuan yang ‘disamakan’ dengan laki-laki, terlebih kualitas gerakan dan dinamika satu sama lain cenderung serupa. Jika demikian, satu hal yang cukup menggelitik adalah untuk apa kekuatan dan kualitas tubuh wanita dibandingkan dengan tubuh laki-laki? Dalam arti, limit tubuh perempuan tidak dapat diukur ketika perempuan menyerupai ketubuhan laki-laki, melainkan ketika perempuan melampaui ketubuhannya sendiri atas usia yang diasumsikan berlimit. 
Durasi-durasi dari Silvia Dewi Martha: Teraseni.Com
tampak gerakan penari serupa sedang pemanasan
Foto: Doni Maulistya
Selain itu, jika Silvia menghadirkan tubuh sebagai laboratorium eksperimentasi dalam mengukur kualitas tubuh, maka kiranya gerak Silvia terasa terlalu rapi—terlebih ia turut menghadirkan fase latihan atau pemanasan di dalam panggung. Di dalam pertunjukan, pasca mereka melakukan pemanasan, Silvia dan Risca lantas mementaskan apa yang telah mereka latih. Gerakan seragam dan saling merespon merajut keutuhan repertoar. Di sisi akhir turut dimunculkan sisi lain dari perempuan (baca: Silvia) yang meratap di sebuah dinding, hingga di bagian akhir sang perempuan bertemu kembali dengan sang laki-laki. Dari hal tersebut, Jika yang dihadirkan adalah kesiapan tubuh dalam sebuah repertoar, tentu hal tersebut telah terbayar lunas—di mana gerak dan ketubuhan Silvia dan Risca terasa kuat (baca: berkarakter), variatif, saling mengisi, dan dikemas dengan rapi—, namun jika yang dihadirkan adalah limit dan kekuatan tubuh, kiranya Silvia dapat mempertimbangkan gerak-gerak yang tegas namun dikemas sebaliknya.
Bertolak dari hal ini, kiranya kegelisahan Silvia atas batas limit kualitas tubuh perempuan adalah hal yang baik dalam mengkritisi hal-hal yang penting namun jarang diperbincangkan, apalagi menjadi gagasan dalam berkarya. Hal serupa yang sempat dilakukan oleh seorang Taiwan bernama Wei-Hua Lin dengan laporannya yang bertajuk Does Dancing Career Ends After Married?, yang menyoal perempuan Taiwan yang lazimnya mengakhiri karier kepenarian setelah menikah. Refleksi-refleksi seperti ini niscaya penting untuk para koreografi dan penari perempuan guna membangun kualitas tubuh kepenariannya dengan sadar.

 

Kecakapan Visual dan Gerak Ganjil Tentang Kematian 
Pertunjukan terakhir di hari kedua bertajuk My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die, dari I Putu Bagus Bang Sada—seorang koreografer dan penari—dengan Natasha Gabriella Tontey—seorang perupa yang kerap melakukan kerja seni performatif, serta Nindityo Adipurnomo sebagai dramaturg. Karya ini merupakan work in progress atas kerja kolaborasi lintas bidang yang dipertemukan oleh kurator beberapa bulan sebelum pertunjukan digelar. Gagasan dari pertunjukan nomor terakhir ini menyoal tentang kematian dari sisi sosial dan spiritual yang didasarkan pada penelitian artistik. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die
Penari satu merayap di atas plastik dan penari lain membalikan tubuhnya
Foto: Doni Maulistya
Pertunjukan diawali dengan teram temaram lampu menyinari arena pertunjukan, dua buah plastik panjang tembus pandang—membujur dari sisi kiri ke kanan dan juga sebaliknya—bersilangan di tengah panggung, telah menyita perhatian. Beberapa meter di belakang plastik tersebut, duduk termenung Tontey dan Gusbang. Setelahnya Tontey mulai mengucap kata demi kata, narasi tentang kematian, Gubang meresponnya dengan gerak dari belakang tubuh Tontey. Kemudian Gusbang tertelungkup dan Tontey terlentang di punggungnya. Tontey bernarasi tentang bangkai dengan keadaan lemas lunglai sementara Gusbang merayap hingga membalikkan badan Tontey dengan cepat. Setelahnya Gusbang terlentang membeku, Tontey mencoba membolak-balikkan tubuh Gusbang laiknya seonggok daging tak lagi bernyawa. Dalam hal ini Tontey dan Gusbang mewujudkan dialog tentang kematian antara narasi dan tubuh secara tidak lumrah. 
Alih-alih plastik menyilang hanya menjadi artistik semata, Gusbang dan Tontey menggunakan plastik tersebut sebagai bagian penting dari pertunjukan. Di mana mereka berdua memasuki kedua plastik yang bersilangan, dan mereka merangkak menyusuri hulu hingga hilir plastik tersebut. Seusai mereka keluar dari sisi yang berbeda dari plastik, mereka kembali memasuki plastik ke arah yang berlawanan. Kembali di titik mereka mulai, sekali lagi mereka memasuki plastik, namun dengan cara yang berbeda yakni menarik jengkal demi jengkal plastik dalam keadaan berdiri satu sama lain. Dalam hal ini, Gusbang yang mempunyai latar ketubuhan tari menariknya dengan pelbagai gerak stilisasi, seperti menggoyangkan tubuhnya dengan halus dan teratur, sementara Tontey melakukan gerak sebaliknya, gerak keseharian. Dalam hal ini, keputusan menggunakan plastik tembus pandang dalam mendalami kematian sangat menarik, pasalnya upaya Tontey dan Gusbang untuk keluar dari plastik dengan merayap telah memberikan pengalaman atau imajinasi kematian dengan cara yang berbeda. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die
Penari masuk ke dalam plastik
Foto: Doni Maulistya
Pada adegan setelahnya, Gusbang memasukkan kakinya dan Tontey memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam kardus yang berbeda. Lantas Gusbang berjalan menggunakan tangan dengan menyeret kakinya sambil bersiul, sementara Tontey berjalan perlahan dengan mengucap kata demi kata tentang organ tubuh. Mereka berjalan dalam arah yang bersamaan hingga berlainan. Namun di satu sisi persilangan mereka bertemu, Gusbang menarik telapak tangan Tontey dan mengusapkannya ke wajah dengan perlahan. Sementara itu lampu panggung padam, dan lampu mengarah kepada penonton. Penonton yang telah dibagikan selembar kertas sebelumnya, mengucap: Segelas teh yang kuseduh belum sempat kusentuh// Tak mampu aku mengangkat gelas// Bokongku ditarik// Perutku kram// Seisi-isinya terburai-burai// Aku bertahan// Tanganku memeluk kakiku. Gugusan kata tersebut mereka rapal laiknya mantra dengan gaya ucap yang berbeda satu sama lain. Dampaknya ruang pertunjukan menjadi ramai namun dalam keadaan yang aneh. Dalam hal ini, perwujudan impresi dan ambience akan pengalaman kematian menjadi terasa. Kendati kedua penampil tidak mewujudkan gerakan atau visual yang eksplisit, namun yang menarik impresi atas gagasan justru tersampaikan. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die: Teraseni.Com
Penari menyeret tubuh yang berada dalam kardus
Foto: Suluh Senja
Sementara pertunjukan usai dengan interaksi Gusbang dan Tontey yang cukup unik, Gusbang kembali tergeletak dan Tontey mengatur arah dan gerak Gusbang dengan kepalanya. Di tengah arena, Tontey memantulkan kepala Gusbang ke tanah—laiknya tengah men-dribble bola—dengan statis namun bertempo cepat, hingga lampu perlahan padam menyisakan suara Tontey yang terus berkisah tentang kematian. 
Bertolak dari pertunjukan tersebut, kiranya pertunjukan bertajuk My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die berhasil memberikan tarik ulur atas tubuh. Karya ini telah memberikan ruang persilangan antara tubuh sebagai tubuh yang hidup, tubuh sebagai jenazah, dan tubuh dengan konstruksi kematian. Mereka tidak hanya mewujudkan kematian sebagai sesuatu yang jasmaniah, melainkan juga tentang sosial. Untuk mendekatinya, eksplorasi gestur orang meninggal menjadi etude gerak mereka, seperti lunglai laiknya seonggok daging tak bernyawa yang diwujudkan Gusbang. Alih-alih berhenti, mereka justru dapat mengeksplorasi gestur-gestur kematian, dari yang lazim hingga yang asing. Sederhananya, Gusbang berhasil memberikan respon gerak di pelbagai adegan. 
Namun sebagaimana Gusbang berlatar kepenarian yang kuat, kiranya ia perlu memberikan tawaran atas pendalaman gerak akan kematian secara lebih mendalam. Dalam arti, Gusbang dapat memberikan tawaran sintesa gerak yang sama menariknya dengan apa yang ditawarkan Tontey dalam bidang artistik dan narasi. Pasalnya Gusbang merupakan salah satu koreografer yang telah berani mengembangkan dan mengeksplorasi gerak dengan cakap—bahkan ia telah berhasil mencapai taraf eksplorasi tertentu pada tubuhnya di usianya—, maka mengharap lebih pada Gusbang tidaklah keliru. Dalam hal ini, praktik lintas disiplin seni niscaya telah memberikan referensi artistik dan estetik pada Gusbang, namun untuk pendalaman tubuh tarinya, kiranya hanya dirinya sendiri lah yang dapat melakukannya. 
My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die: Teraseni.Com
tampak kedua penari seolah sedang menarik ulur tubuh masing-masing
Foto: Doni Maulistya
Kiranya dari tubuh, visual, performatif, telah menjelma menjadi satu pertunjukan yang menarik. Dramaturgi dari karya ini telah membawa penonton kepada satu pengalaman baru tentang kematian. Impresi yang saya dapat setelah menonton adalah masih membekasnya kesan tubuh dan kematian dengan cara yang berbeda. Menarik! 
Tawaran Pertunjukan 
Bertolak dari ketiga karya tersebut, kiranya platform ini memberikan gambaran singkat dari semesta pertunjukan yang beragam. Pasalnya perbedaan ketiga karya, bukan hanya soal gagasan, melainkan soal metode penciptaan karya hingga impresi dari karya yang dibangun. Sebut saja karya Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu di mana karya tersebut diciptakan secara kolaboratif. Dalam hal ini, pertukaran ide dan logika tidak hanya terjadi antar individu, namun antar bidang seni—yakni latar belakang dari pengkarya, yang dalam hal ini tari dan pantomin—dapat ternegosiasikan. Hal ini tentu menjadi proses yang baik, untuk pengkarya pada khususnya, dan pengembangan bidang seni pada umumnya. Alih-alih hanya karya tersebut, kiranya sistem kerja kolaborasi semacam ini turut terjadi pada karya My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die. Di mana Gusbang dan Tontey berdiskusi ± tiga bulan sebelum karya dipertunjukkan. 
Dalam hal ini, pertemuan ide dan logika tidak hanya bertukar antar individu, namun antar bidang seni. Dari pertemuan kedua kerja kolaborasi ini pun menghasilkan jenis karya yang berbeda. Di mana pada karya Jam 2 Kita Bertemu di Perempatan Abu-Abu mengandalkan tubuh sebagai media ungkap—pun busana yang dikelola oleh Fredy Hendra turut mempengaruhi—, sedangkan pada karya My Memorial Services Can Take Place Any Time Before I Die tubuh bekerja sama dengan visual. Tidak hanya media ungkap, impresi pertunjukan yang tercipta juga berbeda satu sama lain, di mana pada karya Gusbang dan Tontey turut mencipta suasana, sedangkan karya Anter, Ninin, Asita, dan Yennu bertumpu pada tubuh. Lantas pertunjukan ini terasa semakin beragam dengan karya Durasi-durasi, karya Silvia, yang menyoal perihal perempuan. Dalam hal ini pertunjukan tari dengan gagasan yang menarik dengan perwujudan ketubuhan memang harus terakomodasi. 
Dari sini, penonton diajak mengarungi ‘belantara’ persilangan kerja kreatif dengan perbedaan variabel kreator sebagai tawaran dalam kerja koreografi. Secara lebih lanjut, kita dapat melihat bahwa tidak ada model tunggal penciptaan karya tari, melainkan beragam cara penciptaan, pola kerja, hingga logika pertunjukan yang beragam. Laiknya tajuk platform Jalur Pinggir Tak Selalu Ada di Peta Kota, maka munculnya ruang alternatif seperti ini kiranya dapat mempertebal harapan akan gerak kerja koreografi Yogyakarta ke depan. Semoga![] 
*“Pinggiran”
di sini merujuk pada tajuk acara Jalur
Pinggir Tak Selalu Ada di Peta Kota.

Lengger: Yang Sebelah Mata Saatnya Bicara

Minggu, 27 Mei 2018 | teraSeni.com~
Suara kendang Jawa mulai terdengar memberi tempo dan nuansa, sementara seorang penari perlahan mulai bergerak dengan ragam tari lengger. Semakin mengalun suara kendang, sang penari semakin luwes mengayun merespon pukulan demi pukulannya. Namun dalam sekejap, sang penari bergelagat aneh. Tatapannya menjadi tajam, gerakan luwesnya bahkan menjadi patah. Bukan tanpa sebab, terdengar simultan suara distorsi dari gitar elektrik yang memekakkan telinga. Hal yang menarik, alih-alih suara tersebut terpisah, suara alunan gitar metal cadas tersebut justru beriringan dengan suara kendang. Lantas sang penari merespon dengan pelbagai gerak dari etude tari lengger, tetapi dengan penekanan-penekanan tubuh yang berbeda dengan lengger lazimnya. 
Tari Lengger: Teraseni.com
Salah satu adegan dalam pertunjukan, tampak penari sedang mengayunkan tanggannya
Foto: Sapto Agus
Menyita perhatian agaknya menjadi frase yang tepat pada pertunjukan bertajuk Lengger karya Otniel Tasman ini. Pasalnya pertunjukan yang dipentaskan pada gelaran Art Jog 2018 (16/5) ini membuka ruang kolaborasi yang menarik. Di mana tari Lengger berkolaborasi dengan genre musik Metal—yang dimainkan oleh Aitra Wildblood pada gitar dan Dewadji Ratriarkha a.k.a. Djiwo pada vokal. Hal ini menjadi persilangan unik, mengingat pertunjukan Lengger lazimnya diiringi calung. Namun, tidak hanya Metal, Otniel tetap membawa salah satu unsur musik dari Lengger, yakni kendang—yang dimainkan oleh Guruh Purbo. 
Dari pertemuan antara Lengger, musik Metal, ataupun Kendang Jawa ini, karya Otniel menjelma menjadi ruang dialog yang produktif. Namun bukan karena kesenian yang berasal dari daerah Banyumas ini tidak pernah berkolaborasi dengan musik Metal, melainkan menjadi wahana bicara atas kegelisahan untuk melawan kemapanan dan mengangkat persoalan kehidupan Lengger yang masih dianggap sebelah mata, juga terpinggirkan. Atas dasar minoritas inilah, Otniel berkolaborasi dengan salah satu genre yang distigmakan serupa. Lantas, ‘bentrokan’ kedua seni ‘minoritas’ ini membuahkan pertunjukan yang menarik, baik secara visual, aural, maupun esensial. 
 

tari Lengger: Teraseni.Com
Tampak penari sedang merespon permainan gitar elektrik
Foto: Sapto Agus

Tubuh yang Berdialog 
Teram temaram lampu menyinari, Otniel Tasman—mengenakan kaus dalam hitam dan celana panjang—berlari ke tengah panggung dengan tergesa. Perlahan lampu menyinari ruas-ruas tubuhnya, sementara itu ia mulai mengayunkan tangannya dengan lentur sambil menembang. Beberapa saat setelahnya, ia terjatuh lunglai, tertelungkup. Alih-alih tetap, ia perlahan bangkit dengan telapak tangan bergetar stabil. Vibrasi dari tangan bergetar tersebut membuat tembangan Otniel kerap terputus. Tubuhnya laiknya terdekap hingga perlahan terurai menggeliat, tangannya ia rentangkan. 
Kemudian cahaya merah mulai pekat, alunan gitar elektrik dengan distorsinya mulai terdengar cukup mengganggu. Alih-alih hanya gitar, seorang lainnya bernyanyi dengan teknik scream (baca: berteriak) dan growl (baca: geraman). Bersamaan dengan itu, dengan tatapan nanar, Otniel mulai memutarkan pinggangnya searah jarum jam. Dalam karya ini Otniel menghadirkan etude dari gerak Lengger, tetapi etude gerak tersebut dilakukan secara lebih arbitrer. Gerak tersebut disertai dengan gestur wajah tidak nyaman, aneh, wajah marah bahkan laiknya kesurupan, ataupun bingung. Kemudian suara kendang mulai terdengar samar-samar, lantas ia merespon dengan menyertakan gerakan patah tersebut. 
Tidak lama berselang, ia kembali tertelungkup dengan nafas yang tergesa-gesa. Paduan bunyi distorsi pun berangsur samar-samar menurun. Dalam posisi tertelungkup, ditanggalkannya baju yang ia kenakan. Sementara kendang terdengar dominan, ia bangkit berdiri merespon asal bunyi tersebut dengan etude gerak Lengger. Pun etude lengger yang ditunjukkan tersebut berbeda dengan sebelumnya—ketika suara distorsi gitar dominan—, di mana Otniel bergerak dengan lebih kaku dan terdapat penekanan pada beberapa bagian yang tidak lumrah, semisal ketika gerak mengayun yang seakan patah-patah, dan lain sebagainya. Namun hal ini lah yang justru menarik, di mana Otniel piawai dalam meletakan gerak patah atau posisi gerak berhenti dengan tepat. 
Tari Lengger: Teraseni.Com
Penari sedang bergerak dalam temaram cahaya
Foto: Sapto Agus
Selanjutnya bunyi distorsi gitar kembali terdengar, sekejap wajah Otniel menjadi gugup, bahkan takut. Lantas kepalanya menengadah laiknya berserah, disertai dengan eksplorasi lingkar pinggul. Tatapannya menjadi tajam, tangannya mulai bergerak laiknya tengah melakukan pemanasan jari. Perlahan ia bangkit dan melangkahkan kakinya ke area depan panggung. Sesampainya di depan panggung, ia kembali memeragakan kuda-kuda lengger. Tidak hanya itu, Otniel turut mempertunjukkan hasil eksplorasinya pada jari, khususnya telunjuk dan jempol. Eksplorasi ini diakui Otniel sebagai eksplorasinya pada mudras. Secara lebih lanjut mudra atau mudras merupakan gestur atau sikap tubuh yang bersifat simbolis atau ritual pada agama Hindu dan Buddha. Dalam hal ini mudra banyak dilakukan pada tangan dan jari. 
Eksplorasinya pada mudras dan etude lengger lalu ditautkan dengan kendang, gitar distorsi, dan teknik vokal screaming. Sebagai contoh ketika Otniel menatap tajam dilatari dengan noise dari distorsi, di mana jari telunjuknya terbujur kaku. Lantas ia rentangkan jari tersebut ke pelbagai arah. Atau ketika produksi suara hanya berasal dari kendang, di mana eksplorasi tubuh Otniel atas etude lengger semakin beragam dengan detail-detail gerak yang spesifik pada satu gerak tertentu, seperti halnya pada gerak mengayun, gerak eksplorasi pada area pinggang, dan sebagainya. 
Hal yang tidak kalah menarik adalah impresi yang diciptakan pada akhir pertunjukan, di mana Otniel berjalan dengan lututnya ke arah pemain kendang. Dengan diiringi gitar distorsi, ia menembang. Sementara itu ia memasang kemben pada tubuhnya dan konde lengger di atas kepalanya. Disertai dengan alunan gitar dan kendang, ia menatap ke arah penonton dengan senyum. Kaki perlahan ia langkahkan, setibanya di area depan panggung lampu pertunjukan memudar. Senyumnya dilumat gelap, tanda usai pertunjukan. 
Bicara Yang Tidak Bisa Dibicarakan 
Bukan tanpa sebab Otniel memadukan antara Lengger dan musik metal. Bagi dirinya, kedua jenis kesenian tersebut sama-sama memiliki kesamaan, yakni terpinggirkan, atau minoritas dalam semesta musik ataupun tari. Di mana Lengger—terlebih Lengger Lanang—sebagai minoritas di dalam jagad tari, ketimbang tari-tari mapan lainnya, seperti bedhaya, gambyong, dan sebagainya. Tidak hanya itu, Lengger Lanang atau Lengger yang ‘dianut’ Otniel merupakan kesenian Banyumas yang mempertunjukkan cross-gender, yakni laki-laki yang menari dan memerankan perempuan di atas panggung. Walhasil, stigma negatif bukan hal asing tersemat bagi Lengger Lanang. Mereka tidak punya suara! Padahal sungguh agung kesenian tersebut diciptakan, di mana Lengger merupakan ritus kesuburan yang mencerminkan keseimbangan hubungan manusia, alam, dan Tuhan. 
Tari Lengger: Teraseni.Com
Dua genre musik yang berbeda Kendang dan musik metal bertemu dalam Lengger
Foto:  Sapto Agus
Tidak jauh berbeda, bagi Otniel dan kolaborator dalam karya ini, musik metal mempunyai pengalaman yang serupa, terpinggirkan. Namun perlu diingat bahwa desiminasi sebuah musik di Indonesia turut didasarkan pada rezim. Dalam hal ini, musik metal sebagai genre memang mempunyai pengalaman serupa, yakni terpinggirkan di tempat asalnya. Mereka menjadi medium perlawanan atas kemapanan. Hal itu tentu betul! Alih-alih sama, di Indonesia mempunyai soal yang berbeda, di mana pada awal persebaran musik metal justru didengarkan oleh mereka yang memiliki akses—yang berarti didengarkan oleh orang-orang yang justru berkebalikan, yakni mapan. Sebuah kenyataan desiminasi musik metal di era orde lama, yang berbeda dengan era global kini. 
Terlepas dari catatan konteks tersebut, bagi Otniel dan kolaborator, lengger dan musik metal dikonotasikan minoritas dan melawan kemapanan. Dalam hal ini, padanan ‘nasib’ dan bentrokan bentuk kedua kesenian ini dirasa dapat memberikan satu pesan yang sama, yakni perlawanan. Hal yang lebih menarik, perlawanan atau mengcounter kemapanan ini tidak diposisikan sebagai wahana balas dendam, namun sebagai ruang refleksi dan dialog untuk pelbagai hal yang lebih aktual dan kontekstual. Lantas perlawanan macam apa yang diwujudkan? Bentrokan antara bunyi distorsi dan alunan kendang memberikan ruang dialog untuk Ontiel. Sebagaimana Otniel berlatar kepenarian, maka tubuhnya menjadi ejawantah atas dialog tersebut. Di mana, Otniel menari dengan ‘asing’ ketika distorsi mengiringi, Otniel menari dengan nyaman ketika kendang, dan padanan kedua tarik ulur tersebut yang ia wujudkan di dalam tubuhnya. Dalam hal ini perlu diakui bahwa tubuh Otniel sudah sangat nyaman dan dalam pada Lengger, di mana ia terlihat sangat menikmati ketika menari etude lengger dengan memejamkan mata. 
Kendati demikian, sempat muncul ketakutan saya akan jenis presentasi yang dilakukan Otniel pada jauh-jauh hari sebelumnya. Seperti, apakah Otniel akan membawa tari lengger yang lazimnya ke pertunjukan kali ini? Pertanyaan-pertanyaan akan bagaimanakah Otniel mengolah Lengger; atau apalagi yang dapat dieksplorasi; dan terus sebagainya. Namun hal tersebut luluh lantah ketika melihat pertunjukannya, di mana eksplorasi tidak hanya pada ketubuhan yang baik—walau perlu dicatat pada bagian transisi dari tiap mood ketika berganti—, melainkan juga pada gagasan yang kritis, bahkan medium kolaborasi yang mengejutkan. Alhasil, kendati tajuk karya Lengger yang cukup ‘menjebak’—dalam hal ini tajuk sangat asosiatif pada karya tari Lengger yang konvensional—, namun dari karya Otniel-lah perlawanan yang kerap kali tidak bisa dilakukan justru dapat diwujudkan.[]

Pertunjukan Lakon Nyonya Nyonya: Akankah Ini Drama Keseharian Kita Kita?

Senin, 7 Mei 2018 | teraSeni.com~
Sebuah kisah sederhana mengenai seorang Nyonya rumah dengan seorang pedagang barang antik. Seorang yang sangat cermat dalam urusan tawar menawar. Perlahan namun pasti, dengan tipu muslihatnya, barang paling antik milik Nyonya berhasil dimilikinya. Selain menyoal berurusan dengan pedagang barang antik, hidup Nyonya dibumbui intrik dengan para kemenakan-kemenakan (perempuan) suaminya. Mulai dari status kebangsawanan, hingga pembagian harta tanah pusaka, menjadi masalah yang dilempartuduhkan kepadanya. 
Nyonya Nyonya WIsran Hadi: teraseni.com
Pertunjukan naskah Nyonya Nyonya karya Wisran Hadi oleh Teate UI Depok
Foto: Vhky Murder
Begitu, tertulis sinopsis sebuah lakon yang berjudul Nyonya Nyonya karya Wisran Hadi di buku program panitia penyelenggara. Sebuah pertunjukan teater yang dipentaskan oleh Teater Univesitas Indonesia Depok pada Rabu 25 April 2018 di Medan Nan Balinduang Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Andalas Padang. Dengan sutradara Alfian Siagian. Pertunjukan ini merupakan rangkaian agenda Festival Nasional Wisran Hadi yang perdana. Helat ini diselenggarakan oleh Teater Langkah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang. 
Panggung pertunjukan yang dinamai dengan Medan Nan Balinduang itu tampak remang. Pentas pertunjukan sejenis Arena tersebut di sekelilingnya dibalut dengan kain hitam. 3 buah lampu dipasang di batten atas penonton, menghadap panggung, sehingga menyinari wilayah panggung sebagai area bloking aktor. 2 lampu berwarna merah dan biru dipasang di belakang panggung sebagai backlight, untuk menekankan suasana tertentu ke beberapa set di atas panggung. 
Beberapa set terlihat di beberapa titik, masing-masing set dibuat tanpa batas yang jelas di antara yang satu dengan yang lain. Di kanan panggung, beberapa box yang dibungkus kain hitam disusun sama tinggi, satunya memanjang dan satunya lagi melebar. Lalu, para pemain mengidentifikasinya sebagai ruang tamu, serupa sofa dan meja tamu. 
Di sebelahnya, kira-kira bejarak 1 meter. Beberapa kotak juga disusun sebagai tempat duduk, di depannya agak meninggi dan diberi alas. Yang kemudian pemain menggambarkan sebagai meja makan, meskipun tidak ada piring, gelas, ataupun ceret tempat minum seperti layaknya sebuah meja makan.

Di sebelahnya lagi, satu buah level memanjang, diatasnya diberi alas sedikit tebal. Disampingnya bediri sebuah bingkai, di depan bingkai diletakkan bangku kecil. Jika aktor duduk di bangku tersebut dan menghadap ke bingkai di depannya, maka akan terlihat serupa orang bercermin. Ya, itu seperti kamar tidur. Kamar tidur Nyonya yang nantinya diduduki oleh pedagang barang antik bersama Nyonya.

Kemudian di kiri belakang panggung satu level lagi sebagai tempat pemusik juga sekaligus menjadi terminal tempat untuk para aktor menunggu giliran bagian mereka masing-masing. Tempat ini juga menjadi tempat aktor untuk nyeletuk-nyeletuk kepada pemain yang sedang berdialog.

Agaknya, pementasan tersebut dilekatkan dengan pendekatan Lenong, tak lain adalah teater rakyat Betawi. Dimana salah satu ciri khasnya adalah celetukan-celetukan bodoran, humor-humor khas Betawi oleh aktor lain dari luar area permainan sebagai bentuk improvisasi permainan, atau cairnya sebuah pementasan. 
Antara Seorang Laki-laki, Para Perempuan, Dan Uang 
Di kiri belakang pangung, dua orang dengan gitar klasik dan lima orang aktor sedang bersiap untuk pementasnnya. Selayaknya Lenong, pertunjukan malam itu dibuka dengan sebuah lagu yang dinyanyikan secara bersamaan. “ai senangnya dalam hati, kalau beristri dua”.

Ya, Madu Tiga, sebuah lagu gubahan Puteh Ramlee atau yang kita kenal dengan P Ramlee. Lagu yang populer pada tahun 60an, yang menyindir dengan satire laki-laki kaya yang gemar berpoligami. Alih-alih lagu itu dinyanyikan dengan merdu diiringi petikan gitar klasik, tetapi terdengar sangat fales dan tidak masuk matnya. 

Nyonya Nyonya WIsran Hadi: teraseni.com
Tampak ekspresi aktor sedang bernyanyi bersama
Foto: Vhky Murder
Sekiranya itu tampak disengaja, seolah benar-benar sedang mengejek laki-laki beruang yang memberlakukan perempuan sebagai barang, siap dibungkus jika hitungan tulus.

Tak lama setelahnya, dari kanan panggung seorang laki-laki (Tuan) dengan kostum celana berbahan kain dengan baju kemeja bunga-bunga. Ia masuk sambil bernyanyi-nyanyi kecil, seolah ia sangat senang sekali. Laki-laki itu bediri di teras rumah Nyonya. Nyonya dengan busana celana rok monyet keluar menghampirinya dan menanyakan untuk alasan apa ia bediri di teras rumahnya. 

Barangkali Tuan merasa di atas angin setelah hari sebelumnya ia bisa membeli sepetak tanah di depan rumah Nyonya. Lantas beranggapan bahwa ia akan bisa membeli lebih banyak apa yang ada di rumah Nyonya tersebut.

Kontan saja, ia menyatakan ingin membeli marmar dan atap rumah tempat ia berpijak. Tatkala Nyonya ingin mengusirnya, ia menawar dengan harga tinggi, lalu suasana hati Nyonya tampak berubah dari ekspresinya. Seolah dengan uang suasana bisa berubah dengan cepat. Dengan mudahnya Tuan berhasil membeli teras rumah dan atap di depan rumah Nyonya. Kemudian Tuan pergi meningglkan rumah Nyonya dengan girang. Begitu juga Nyonya, tak kalah girang sambil menghitung uang. 

Seorang perempuan muda memasuki panggung. Perempuan itu tak lain adalah keponakan Datuk, suami Nyonya. Berdalih ingin mengabarkan keadaan Datuk yang tidak lagi bisa bicara. Padahal Nyonya sudah mengira bahwa kedatangan ponakan suaminya itu berarti sebuah persoalan. Maka, Nyonya buru-buru memasukkan uang tersebut ke dalam kutangnya. Namun, merasa berhak atas harta di rumah Datuknya perempuan tersebut berhasil mendapatkan uang dari Nyonya. 
Di samping kanan panggung, pemusik dan beberapa orang aktor merespon apa yang dimainkan di atas panggung. Mereka merespon dengan celetukan-celetukan khas Lenong di sela-sela obrolan Tuan pedagang dan Nyonya. Celetukan tersebut mencoba didekatkan dengan apa yang ada di Sumatera Barat, misalnya Semen Padang, masakan Padang. 
Nyonya Nyonya Wisran Hadi: teraseni.com
Aktor mencoba merespon dialog dengan celetukan-celetukan
Foto: Vhky Murder
Babak kedua kembali dimulai dengan nyanyian yang sama. Hanya saja tidak dinyanyikan dengan utuh, hanya satu bait. Menariknya, sebagian liriknya diganti dengan apa yang menjadi persoalan di bagian pertama. Semisal, “uangnya dalam hati, kalau beristri dua”.
Tampak Tuan telah berada di kursi tamu milik Nyonya. Ia duduk sambil mengelus-elus kursi tersebut. Seakan ia begitu yakin akan bisa memiliki kursi tersebut. Tentu saja Nyonya kaget, namun dengan dihargainya kursi tersebut dengan uang yang banyak, maka kekagetan Nyonya berubah drastis dengan kerlingan mata tanda ingin memiliki uang tersebut. Semudah mengitung uang, begitu mudah pula kursi itu menjadi milik Tuan pedagang. 
Nyaris sama dengan babak pertama, ketika Nyonya begitu senang mendapatkan uang, ketika itu pula keponakan suaminya datang. Kedatangan keponakan suaminya itu tentunya persoalan. Tidak hanya itu, persoalan-persoalan pada bagian ini semakin mengemuka setelah kehadiran seorang perempuan memakai daster yang mengaku sebagai istri Tuan pedagang yang mencari suaminya. Bisa-bisa nama baik Nyonya bisa tercoreng jika ternyata Tuan pedagang berada di dalam rumahnya. 
Babak ke tiga, pola petunjukan sudah bisa diterka. Dimulai dengan nyanyian, kemudian Tuan pedagang duduk di meja makan milik Nyonya. Lalu Nyonya terkaget, dan Tuan mengeluarkan uang, kemudian Tuan pergi meninggalkan setumpuk uang.
Tak lama setelahnya dua orang keponakan Datuk masuk mebawa kabar dari dokter bahwa lidah Datuk akan dipotong, dan Datuk tidak akan bisa bicara lagi. Agaknya ini bagian yang cukup seru, tampak aktor sedikit bermain-main. Terdengar dialog-dialog pingpong masing-masing aktor, sesekali mengajak penonton ikut merespon apa yang mereka mainkan. Improvisasi atas kesalahan-kesalahan dialog menjadi humor tersendiri bagi penonton. 
Nyonya Nyonya Wisran Hadi:teraseni.com
Nyonya menerima seikat uang dari tuan pedagang
Foto: Vhky Murder
Meskipun dengan pola yang hampir sama, babak ke empat menjadi agak riuh. Penonton mulai terpancing untuk ikut berceletuk merespon lelaku aktor. Tawa, suit-suit penonton mulai pecah ketika Nyonya dan Tuan pedagang mulai semakin intim.
Terutama pada bagian akhir, setelah merasa berhasil memilik hampir seisi rumah Nyonya, Tuan pedagang pun masuk dan hendak memiliki ruang paling privasi Nyonya. Yaitu kamar tidur. Tampak ekspresi-ekspresi centil Nyonya sambil merapikan rambutnya di depan cermin. Tuan pedagang yang sedang duduk di atas ranjang semakin bergairah merayu untuk menawar barang yang paling antik Nyonya. Pertunjukan diakhiri dengan dialog yang konotatif, antara tawaran harga yang semakin naik dengan pegangan Tuan pedagang yang juga semakin naik. Dari tumit, betis, paha, lalu tawa penonton pecah.
Nyonya Nyonya Wisran hadi: teraseni.com
Tuan sedang menghitung uang diatas ranjang Nyonya
Foto: Vhky Murder

Pertunjukan Lakon Nyonya Nyonya: Akankah ini Drama Keseharian Kita Kita? 
Seusai pertunjukan, ketika diskusi digelar, Alfian Siagian selaku sutradara mengakui bahwa pertunjukan ini tidak dibekali dengan pemahaman mendalam dari aktor-aktornya. Para aktor yang terlibat dalam proses tesebut merupakan mahasiswa-mahasiswa angkatan baru yang dengan senang hati telah memilih teater sebagai ruang pengembangan diri mereka. Menurut Alfian, soal pemahaman itu barangkali soal nomor sekian, setelah yang pertama adalah kemauan anak-anak muda untuk mau terlibat bermain teater. Pemahaman yang dimaksud barangkali menyangkut konteks sosial yang melingkupi naskah yang disutradarainya. Naskah Nyonya Nyonya yang ditulis oleh Wisran Hadi, seorang seniman sekaligus budayawan Sumatera Barat. Sebagaimana dalam naskah-naskah, cerpen, novel serta esai, kritik yang ditulisnya, yang melulu mengkritisi dan membenturkan dengan apa yang sudah diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat Minangkabau. Baik itu menyoal mitos-mitos, hikayat-hikayat, legenda, maupun konsep hidup yang tertuang dalam adat, dan budya Minangkabau. 
Kejujuran itupun diiyakan oleh para aktor, bahwa mereka tidak punya bacaan atau referensi yang banyak soal naskah, ataupun menyangkut tema yang diangkat ke dalam naskah tersebut. Namun, terlepas dari itu semua, bagaimanapun naskah itu dipentaskan malam itu. Bagaimanapun aktor bemain di panggung, bagaimanapun musik dan lagu dinyanyikan dengan fales, hal tersebut tampak tak mengurangi antusias penonton memadati panggung arena Medan Nan Balinduang FIB Univesitas Andalas Padang malam itu. 
Penonton yang hadir ikut larut dalam canda tawa dari adegan per adegan yang dimainkan. Mereka serupa sangat akrab dengan joke-joke yang dilontarkan aktor, serupa ketika aktor mangatakan “Datuk sudah tidak bisa bicara lagi”, “lidah Datuk akan dipotong”. Tentu pada konteks tertentu kalimat serupa itu menjadi sesuatu yang lain. Sebagaimana yang kita ketahui pada kebudayaan tertentu, katakanlah di Minangkabau, atau Melayu, Datuk merupakan gelar kehormatan yang dilekatkan kepada orang yang dituakan, orang-orang yang tinggi harkat dan martabatnya, barangkali serupa penghulu adat. Orang-orang serupa ini adalah orang-orang yang lidahnya sangat “masin” di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang sebetulnya merepresentasikan suatu masyarakat. Orang-orang tak lain adalah corong suatu masyarakat. Pada forum-forum tertentu orang-orang inilah yang menjadi wakil suatu masyarakat. 
Akan tetapi, dalam pementasan ini orang serupa itu seolah tidak mempunyai daya upaya. Ia digambarkan serupa judul lagu, terkecoh pada yang terang. Orang yang besar bertuah, orang yang keras buku lidah, juga sedang terlibat memperebutkan talang yang pecah.
Tidak hanya menyoroti sosok yang terhormat, tokoh perempuan juga menjadi sosok yang disigi dalam pementasan ini. Bagaimana perempuan digambarkan sebagai sosok yang materialistis. Perempuan sekiranya tak butuh akal sehat ketika sudah menyangkut soal uang, soal tawar-menawar. Jika harga sudah pas maka segera akan ditancapkan gas, lalu setelahnya adalah tawa puas. 
Ya, agaknya tawa sebagai sebuah tanda kepuasan pada pertunjukan malam itu, setidaknya bagi saya. Kelompok teater Universitas Indonesia Depok serupa sedang mempertunjukan kebiasaan-kebiasaan serta kepuasan-kepuasan pada kekeliruan yang terlanjur dianggap lumrah bagi masyarakat kita. Saya kira penonton dengan puasnya pula serupa sedang menertawakan diri mereka sendiri, menertawakan ibu-ibu mereka sendiri, bapak-bapak mereka sendiri, kakak, paman, bibi, etek, om, tante, mamak, serta Datuk mereka sendiri.