oleh teraseni | Des 29, 2018 | Uncategorized
Jumat, 28 Desember 2018 |
teraSeni.com~
Seorang laki-laki menggunakan kemban merah meratap dengan wajah nanar ke penonton. Di dalam pelukannya, terdapat rangkaian bunga mawar. Kiranya terdapat satu kontras di mana tubuh sang laki-laki berpakaian kemban merah memeluk rangkaian bunga tersebut. Sementara lima penari lainnya mengibaskan bunga mawar ke punggung mereka masing-masing. Beberapa menit berselang, laki-laki tadi mulai ikut mengibaskan bunga yang ia peluk ke arah punggungnya.
 |
Penari memeluk bunga sambil menatap ke arah penonton
Foto: Arsip Otniel Tasman |
Potongan pertunjukan di atas merupakan secuil peristiwa yang terjadi pada karya bertajuk Nosheheorit dari koreografer, Otniel Tasman. Karya yang menyoal ihwal maskulinitas dan femininitas pada tubuh ini dipentaskan pada gelaran Indonesia Dance Festival (7/11) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Karya Otniel ini terinspirasi dari seorang lengger laki-laki dari Banyumas, Dariah. Di dalam karya berdurasi 50 menit ini, Otniel mendialogkan dua gender di dalam satu tubuh hingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Di dalam karya ini, Otniel selaku koreografer bekerja sama dengan Bagus TWU (komposer), Khoerul Munna dan Yenni Arama (pemusik), Iskandar Kamaloedin (lighting designer), Sekar Putri Handayani (produser), Reizki Habibullah (project manager), Dany Wulansari (asistant produksi), dan para penari, yakni: Sutrianingsih, Yoga Ardanu, Kurniadi Ilham, Ahmad Saroji, Damasus CV Waskito. Karya yang sempat dipentaskan di Belgia ini kiranya mengajak kita untuk berpikir ulang soal ihwal gender yang kerap kita abaikan, atau sengaja tidak dibicarakan.
Tubuh Sebagai Ruang Dialog
Dengan cahaya samar-samar, seorang perempuan berdiri di tengah panggung. Membentuk kuda-kuda dengan posisi jari laiknya kipas yang bergerak cepat. Dua laki-laki lainnya hanya duduk termangu. Mereka terbangun, menunjukkan gerak gemulai laiknya Lengger tetapi dengan gerak yang patah-patah.
Sementara terdapat seorang penari berdiri di sisi depan bagian kiri panggung. Adalah Ilham menunjukkan gerak-gerak pencak tetapi dalam busana yang asing, laiknya gaun berwarna hitam dengan sepatu berhak. Di satu sisi ia menampilkan kegagahan, tetapi di sisi lain busana membuatnya kontraproduktif. Gerak demi gerak ia tunjukkan, kuda-kuda demi kuda-kuda ia peragakan hingga suara berbisik “noshe, no he, orit” terdengar lantang.
 |
Penari dengan kuda-kuda serupa pencak silat
Foto: Arsip Otniel Tasman |
Dengan suara berbisik tersebut, lantas ia terjatuh di tempat tak berdaya. Sekembalinya ia bangkit, ia lantas berjalan dan bergerak lebih gemulai ke tengah panggung. Lantas ia menunjukkan kontras gerak, dengan bergeal-geol hingga menunjukkan kosa gerak Lengger. Dalam hal ini, kita dapat melihat perubahan kontras tubuh dari basis tubuh pencak ke Lengger. Ada dua yang terlucuti, pertama, pergantian gerak yang signifikan, kedua, konstruksi tubuh dan gender.
Bertolak dari adegan pertama, hal ini kiranya terjalin kemudahan dalam menangkap adanya dua kecenderungan gender pada satu tubuh. Hal ini kiranya menarik, namun Otniel cukup diuntungkan melihat Ilham berbasis gerak pencak, sehingga gerak maskulin dapat tergambar dengan jelas. Dengan sangat mudah penonton menangkap signifikansi antara maskulin dan feminin yang terejawantahkandengan detail dari basis gerak yang ditunjukkan. Namun, kiranya menarik mengetahui siasat Otniel jika gerak maskulin tidak ditunjukkan dengan gerak pencak. Lebih lanjut, seberapa kuatkan maskulinitas pada tubuh para Lengger Lanang hingga diwujudkan dengan kontras yang tegas?
Selanjutnya, para penari turut mewujudkan kontak tubuh hingga motif gerak Lengger. Namun yang cukup menarik, Otniel tidak langsung menerapkannya secara eksplisit, melainkan mewujudkannya perlahan, yakni dengan gerak patah-patah—laiknya ada keraguan tertentu yang terjalin. Dalam hal ini, saya melihat bahwa Otniel tidak hanya menggunakan penari sebagai peraga gerak-gerak, tetapi medium interpretasi atas dialog gender. Hal ini kiranya yang membuat karya semakin kaya.
 |
Para penari tampak sedang menjalin kotak tubuh satu sama lain
Foto: Arsip Otniel Tasman |
Selain itu, hal yang cukup menarik adalah Otniel membuat dramaturginya bertingkat. di mana ia memulai dengan tubuh personal sebagai pembeda gender. Secara lebih lanjut, setiap tubuh bergerak maskulin, feminin, dan keduanya, baik secara terpisah, patah-patah, hingga berkelindan. Alih-alih hanya menunjukkannya pada tubuh terpisah, Otniel juga menjalin ketersatuan gender ketika setiap penari saling menyentuh dan menyangga satu sama lain. Tidak hanya berpelukan, Otniel turut menyematkan visual pose yang menarik di setiap penari yang menyangga satu sama lain. Pada adegan ini, laiknya semua konstruksi menjadi lenyap dan berkelindan.
Setelah itu, Otniel muncul dengan kemban berwarna merah. Ia menari lengger sambil menyanyikan beberapa patah frase yang kerap digunakan oleh Lengger. Pasca Otniel masuk, kiranya penari-penari lain dihadirkan bergantian, baik gerak patah-patah ataupun lengger. Interaksi gerak yang muncul pun inovatif dengan eksplorasi gerak dari basis tubuh lengger yang cukup variatif.
Eksplorasi gerak itu pun menyuarakan maksud yang berbeda-beda, mulai dari keragu-raguan, keterasingan, hingga keutuhan.
 |
Seorang penari dengan kostum kemben merah
Foto: Arsip Otniel Tasman |
Dalam diam dan tubuh kelima penari yang membeku, Otniel berjalan ke dalam panggung sambil memeluk bunga mawar. Ia memberikannya satu per satu ke kelima penari yang ada. Bunga tersebut diletakkan di atas kepala mereka masing-masing, dan perlahan para penari mulai merespons bunga-bunga tersebut. Puncak dari adegan itu adalah ketika kelima penari menyabet-nyabetkan bunga tersebut ke punggung mereka masing-masing, sedangkan Otniel menatap nanar sembari memeluk bunga mawar tersebut. Setelah para penari, lantas Otniel lah yang menyabetkan bunga-bunga tersebut ke punggungnya hingga lampu berangsur padam. Adegan menyentuh tersebut menutup pertunjukan.
Fase Liminalitas dan Cara Ungkap
Bertolak dari karya tersebut, kita dapat melihat tawaran biografi tubuh dari seorang Lengger Lanang, bernama Dariah. Diibaratkan sebagai sebuah perjalanan, Dariah mengalami fase yang tidak mudah. Pertentangan demi pertentangan terjalin, ketidak-terimaan berbuntut persetujuan diri terbentuk, hingga kehadiran inang membuat seseorang ‘menjadi’ Lengger Lanang terwujud. Dalam hal ini, Otniel mengartikulasikan fase liminalitas (baca: ambang) dari tubuh seorang Lengger Lanang. Secara lebih lanjut, dapat kita lihat adanya fase ‘menjadi’ tubuh Lengger yang melibatkan dialog dua gender yang berlainan. Di mana diawali dengan tubuh laki-laki, persilangan dengan perempuan, dan menjadi Lengger Lanang.
Hal lain yang cukup menarik, saya melihat karya ini diungkap Otniel dengan cara yang ‘puitis’ dan penuh emosi. Hal ini mungkin dapat ditafsir akan relasi Otniel yang cukup dekat dengan Dariah, sehingga bahasa-bahasa yang muncul begitu dekat dan mendalam. Kiranya Otniel tidak perlu takut soal kedekatan yang terjalin dengan Dariah, pasalnya kreativitas dan inspirasi memang datang dari hal tersebut. Namun Otniel perlu berhati-hati dengan ihwal kedekatan ketika mengartikulasikan kedirian Dariah. Pasalnya subjektivitas kerap menyederhanakan atau memburamkan beberapa momen yang seharusnya penting menjadi tidak, dan sebaliknya. Dalam hal ini kiranya kesadaran Otniel sebagai insider ataupun outsider di dalam Lengger perlu dicoba. Alhasil karya Otniel akan menjembatani segala persoalan, terlebih untuk mereka yang akrab ataupun asing terhadap Lengger.[]
oleh teraseni | Des 13, 2018 | Uncategorized
Kamis, 13 Desember 2018 | teraSeni.com~
Mime on Stage serta Temu Karya Mimer meningkahi geliat milenia dengan pantomim. Kesunyian yang mengakrabkan. Kesunyian yang mengakrabi perubahan.
Ingatkah anda akan situasi seperti ini: suasana kelas gaduh, murid-murid saling bercanda dan berbincang riuh tanpa peduli guru sepuh yang tengah bersusah-payah menerangkan pelajaran di depan kelas. Betapapun kerasnya upaya sang guru menenangkan murid dan mengharapkan perhatian mereka, tetap saja sia-sia. Semakin cerewet sang guru menggerutu, semakin menggila tingkah polah para murid. Akhirnya sang guru menyerah. Tiba-tiba saja dia berhenti bicara, diam seribu bahasa. Dengan membisu sang guru hanya berdiri di samping papan dan memandang para murid dengan sayu. Anehnya, alih-alih merasa diberikan kesempatan untuk semakin gaduh, semua murid malah perlahan diam dan duduk manis sambil tertunduk seperti anjing yang akan dilempari batu. Kesunyian melawan kegaduhan. Kesunyian jauh lebih nyaring dari teriakan.
***
Dua bulan belakangan ini, saya bertandang ke beberapa peristiwa “seni sunyi” ini. “Seni sunyi” ini lebih akrab dikenal dengan nama Pantomim. Disebut sunyi sebab kesenian ini menonaktifkan verbal sebagai medium komunikasinya. Tak hanya nirverbal, pertunjukan yang bisa dibilang masih menjadi bagian dari teater ini juga menafikan properti. Ruang, properti, bahasa verbal, bahkan hingga lawan main pun sepenuhnya dibangun oleh bahasa tubuh.
 |
mimer (aktor pantomime) dengan ekspresi wajah, gestur, sebagai bahasa berkomunikasi dengan penonton
Foto: Agathon Hutama |
Setidaknya ada tiga perhelatan gelar pantomim yang terjadi dalam rentang akhir Oktober hingga menjelang akhir November 2018 ini di Yogyakarta. Ada Mime on Stage yang digelar di Omah Kebon pada 28 Oktober 2018, ada Temu Karya Mimer yang digelar di Yogyatourium Dagadu Yogyakarta pada 30 Oktober 2018 dan ada Tunggak Semi yang diselenggarakan di beberapa lokasi di Yogyakarta dari tanggal 12 hingga 19 November 2018. Sayangnya saya hanya mampu bersilaturahim ke dua perhelatan di awal karena kesibukan saya. Karena itulah, pada tulisan kali ini saya hanya akan lebih banyak membahas tentang kedua pergelaran pantomim tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan Tunggak Semi tetap “kena getahnya” juga.
Pantomim dalam Pertemuan dan Perubahan
Meski sama-sama menyajikan pertunjukan-pertunjukan pantomim, Mime on Stage (MOS) dan Temu Karya Mimer (TKM) memiliki perbedaan yang menjadi kekhasan masing-masing. Walaupun tentu saja keduanya sama-sama berupaya untuk menghidupkan kembali geliat pantomim di kota Gudeg ini.
Adalah tokoh pantomim (mimer) kenamaan Yogyakarta, Asita Kaladewa bersama dua rekannya, Krismantoro dan Markus yang kemudian berkumpul dan mengangkat sebuah kesadaran melalui wacana bahwa selaku mimer sekaligus guru pantomim di sekolah-sekolah, mereka juga membutuhkan ruang untuk mengekspresikan karya pribadi mereka masing-masing. Dari pemikiran inilah, ketiga tokoh ini kemudian mengajak tiga mimer yang lain yakni Banon Gautama, Sabil, dan Feri Ludianto Pawiro untuk menggelar rangkaian pertunjukan pantomim yang diberikan tajuk: Mime on Stage: Mime’s Archive and Collective.
 |
tampak para mimer dengan rias serba putih seperti topeng
Foto: Qorin Syah |
Pergelaran MOS pada 28 Oktober 2018 di Omah Kebon, Nitiprayan, Yogyakarta itu menginjak seri yang pertama. Dengan kata lain, perhelatan yang digelar di homestay milik dramawan senior, Whani Darmawan, itu baru saja menggelar pertunjukan perdana mereka. Menurut Asita, fokus nomor-nomor karya pantomim yang ditampilkan di MOS lebih condong ke pantomim gaya klasik (classic). Pantomim gaya klasik adalah pantomim yang menggunakan teknik-teknik pantomim yang cenderung realis dan berangkat dari peristiwa keseharian. Pantomim realis umumnya lebih dikenal dengan tata rias yang serba putih seperti topeng, mengenakan sarung tangan putih dan baju garis-garis hitam-putih. Meskipun tentu saja masalah sarung tangan dan kostum ini masih bisa dialihrupakan. Menurut Asita, pantomim gaya klasik seperti ini perlu kembali dihidupkan untuk memperkenalkan pantomim ke masyarakat, serupa dasar-dasar berpantomim.
Pergelaran MOS dibagi menjadi tiga bagian: bagian pertama adalah presentasi karya dari masing-masing mimer, bagian kedua adalah kolaborasi antar mimer, sedangkan di bagian ketiga, para penonton dipersilahkan untuk maju ke atas panggung dan mencoba berpantomim dengan gaya mereka sendiri-sendiri. Penonton tidak hanya menjadi penikmat pertunjukan secara pasif tapi juga diberikan kesempatan untuk merasakan seperti apa rasanya berpantomim itu ibarat ngibing dalam tari-tarian rakyat.
Yang menarik lagi, meskipun pertunjukan ini tidak berbayar, tapi penonton disarankan untuk menyumbangkan cerita pendek yang ditulis di sehelai kertas sebagai ganti tiket masuknya. Meskipun ternyata ketentuan ini tidak membatasi siapa saja yang ingin menonton walaupun mereka tidak sempat untuk membuat dan menuliskan cerita pendek. Cerita-cerita pendek ini nantinya akan dijadikan bahan nomor-nomor karya yang akan disajikan di pergelaran MOS seri berikutnya.
 |
Penggunaan topeng yang berbeda oleh mimer
Foto: Agathon Hutama |
Lain MOS, lain pula TKM (Temu Karya Mimer). Jika MOS baru saja menginjak pergelaran perdananya, TKM, yang digelar tepat dua hari berikutnya, 30 Oktober 2018 di Yogyatourium Dagadu Yogyakarta, itu telah menginjak seri yang kedua. Gelaran yang pertama dari komunitas yang diinisiasi oleh pantomimer Jogja, Ficky Tri Sanjaya dan kawan-kawan, ini telah dilaksanakan di awal tahun 2018 ini. Mengambil tajuk “I Should Be Sleeping Under The Tree With A Cup of Tea”, TKM juga menampilkan karya enam mimer muda Yogyakarta. Bedanya, jika seluruh mimer dari MOS adalah laki-laki, TKM memiliki tiga mimer perempuan yakni Tiaswening Maharsi, Patricia Yuristavia, dan Gabriella Srie Nareswari (Gabby). Tiga mimer pria lainnya yakni Capriano David Liat Tewar, dan Ficky Tri Sanjaya.
Perhelatan TKM, secara format pertunjukan, juga tidak kalah eksperimental jika dibandingkan dengan MOS. Secara performatif, sebagian besar karya TKM digelar sebagai pertunjukan yang menjaga jarak dengan penonton, dalam artian penonton benar-benar diposisikan sebagai penikmat pasif (kecuali pada karya dari Patricia Yuristavia yang mengajak penonton untuk berpartisipasi di tengah-tengah pertunjukannya). Ruang eksperimental justru terletak di pembagian ruang-ruang pertunjukan. Alih-alih sekedar menggunakan satu titik sebagai panggung, TKM menggunakan tiga titik di Yogyatourium sebagai ruang pertunjukannya. Tiga mimer tampil di panggung ruang terbuka Yogyatourium, satu mimer tampil di samping ruang lesehan penonton, dan dua mimer terakhir tampil di pendopo Yogyatourium. Untungnya, jarak antara ketiga titik ruang ini tidak lebih dari sepelemparan batu sehingga penonton bisa berpindah tempat dengan mudah dan cepat, setidaknya tidak sampai membuat mereka keburu menggerutu.
Ruang eksperimental lain dari TKM juga terletak pada format bentuk karyanya. Meskipun tiga mimer masih berpentas secara konvensional (pantomim klasik), tiga mimer yang lain sudah berani untuk mengeksplorasi pantomim ke wilayah yang lebih luas. Selain itu, tiga dari enam mimer yang ada memilih untuk tidak mengenakan tata rias serba putih layaknya pantomim konvensional. Ada Gabby dan Tias yang membiarkan wajah mereka natural tanpa riasan serba putih serta Ficky Tri Sanjaya yang bahkan menutupi wajahnya dengan topeng. Sebuah keputusan yang cukup berani, mengingat pantomim identik dengan permainan ekspresi mimik wajah.
Tiaswening Maharsi (Tias) berpantomim hanya di satu titik tanpa berpindah tempat selangkahpun. Alih-alih sekedar bercerita dengan plot yang linear dan bahasa yang gamblang, Tias menggunakan bahasa puisi sebagai keberangkatannya seperti “Sehelai uban yang melayang menjadi gumpalan awan yang berlarian diterpa angin” dan lain sebagainya. Ada pula Patricia Yuristavia, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, yang mengajak dua orang penonton ke atas panggung untuk menyumbangkan masing-masing satu kata yang nantinya akan dia jadikan sebagai bagian dari karya yang ditampilkan. Hingga ada pula Ficky Trisanjaya yang mengajak kolaborasi penari dan koreografer muda, Megatruh Banyumili, untuk mereinterpretasikan tari Topeng Klana ke dalam bentuk pantomim.
 |
Tampak mime tanpa rias membuat pola atau simbol tertentu dengan kedua tangannya
Foto: Agathon Hutama |
Kedua perhelatan ini (MOS dan TKM) juga mengangkat dua tema yang berbeda. Jika MOS lebih menyorot pada tema tentang pertemuan—itulah mengapa ada segmen “pertemuan” antar mimer maupun panggung dengan penonton—maka TKM lebih banyak berbicara tentang waktu dan perubahan. Bagi saya, keduanya sama-sama cukup berhasil dalam mempertanggungjawabkan tema yang mereka angkat masing-masing. Tidak hanya dalam bentuk narasi, tema-tema itu diwujudkan dalam bentuk pilihan format pertunjukan maupun pola interaksi dengan penonton.
Capaian semacam ini yang sangat patut untuk diapresiasi. Tidak hanya berupaya untuk sekedar menghidupan dan memperkenalkan pantomim ke masyarakat tapi juga mengembangkannya ke dalam wilayah jelajah seni yang lebih luas dan beragam. Bukankah kita memang tengah menapaki era jelajah lintas-apapun?
Pantomim dan Teriakan Sunyi Milenia
Entah sudah berapa banyak karya seni yang berupaya untuk menggugah kesadaran kita akan bahaya laten tenggelam dalam dunia sosial media yang begitu hingar-bingarnya saat ini. Kemudahan media komunikasi bukannya membuat kita mampu untuk saling memahami dengan lebih baik tapi sebaliknya, kita malah saling berlomba-lomba untuk mengaktualisasi diri, berpacu untuk didengar. Kebebasan untuk bersuara yang tidak terkendali membiaskan makna dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi dimaknai sebagai kebebasan untuk memaki, alih-alih memahami.
Jenakanya, beberapa karya-karya seni yang berupaya untuk menyindir perilaku masyarakat milenial yang serba hectic di internet itu malah semakin menambah kebisingan yang ada. Eksperimentasi visual yang serba gegap gempita, celotehan-celotehan retorika verbal yang begitu berbusa-busa, hingga gerak-gerak tubuh “kontemporer” yang tidak bermakna dan tidak jelas juntrungannya menambah kecerewetan generasi milenia. Maksud hati mencipta satir, apa daya ikut terpelintir.
Dalam keadaan seperti inilah pantomim kemudian muncul layaknya guru renta yang berupaya untuk membungkam murid-murid yang tidak mengindahkannya—seperti yang telah diceritakan di awal tulisan ini. Sang guru tidak berusaha membungkam para murid dengan kata-kata verbal. Sebaliknya, guru hanya berdiam diri dan menatap sayu murid-muridnya. Begitu semua murid membisu, sang guru tetap tidak berkata sepatah katapun. Dia hanya berbalik menghadap papan, lalu menuliskan beberapa soal dan duduk di kursi guru, masih tanpa sekecap katapun. Meski tanpa mendapatkan instruksi verbal, para murid langsung segera mengambil alat tulis dan mencatat soal yang ditorehkan sang guru di papan lalu mulai mengerjakannya dengan tertib.
Mungkin pantomim memang tidak seheroik itu sebagai agen perubahan. Tapi setidaknya, dari pantomim kita bisa belajar bahwa menghadirkan peristiwa tidak harus melulu melalui wacana-wacana verbal yang biasanya memang cenderung jadi perang wacana itu. Pantomim seolah ingin mengingatkan kita bahwa yang paling utama dalam hidup adalah bergerak dan beraksi.
MOS ingin mengingatkan kita bahwa sudah lupakah kita untuk mencari titik temu dalam berkomunikasi, alih-alih sekedar ingin memaki dan didengarkan?
TKM ingin menyadarkan kita bahwa waktu terus berubah. Kesadaran harus terus dibuncahkan. Jangan terlena pada keadaan. MOS dan TKM ingin mengingatkan: mari bertemu untuk melakukan perubahan!!
*tulisan ini terinspirasi dari film A Quiet Place arahan sutradara John Krasinski.
oleh teraseni | Des 2, 2018 | Uncategorized
Minggu, 2 Desember 2018 |
teraSeni.com~
Di pertengahan Oktober 2018 lalu, saya diajak bertemu oleh Roni “Keron” Putra di Padang. Ia mengundang Metasinema dan Shelter Utara untuk datang ke Payakumbuh dalam agenda pertemuan komunitas seni anak muda di Sumatra Barat. Setelah bertemu beberapa saat itu, Keron langsung pergi ke Solok, untuk mengundang komunitas-komunitas seni di sana. Ternyata selama tiga hari itu ia bersama rekannya berkeliling Sumbar untuk mengundang komunitas-komunitas seni di provinsi ini. Sebelum ia beranjak dari Padang, saya tanyakan “komunitas seni seperti apa yang Abang undang?”yang terlihat aktif, baik itu di nyata atau di maya, jawab Keron.
24 November 2018, pukul 20.00 malam, di Basecamp Legusa Fest, Nagari Tanjung Haro, Kabupaten Lima Puluh Kota, agenda itu dihadiri oleh sebelas komunitas berbasis seni dari berbagai daerah di Sumbar. Diselenggarakan oleh Payakumbuh Youth Artee Committee (PYAC), pertemuan itu dijuduli Lokakarya Seni dan Anak Muda: Mengisi Ruang Kosong Kota. Keron sebagai moderator memberi pengantar dan latar belakang agenda tersebut. Pertemuan ini muncul merespon semaraknya media sosial yang berisi kegiatan komunitas-komunitas berbasis seni di Sumbar, munculnya ruang dan media alternatif yang dikelola oleh anak muda, bahkan yang mengisi media cetak di Sumbar kebanyakan anak muda. Bahkan, kegiatan-kegiatan tersebut telah ikut turut menyumbang sesuatu untuk citra dan branding kota. Lantas kenapa kita tidak saling bersinergi dan berkolaborasi untuk memajukan kesenian di Sumbar?
 |
Anak-anak muda pegiat seni Sumatera Barat saling membicarakan apa yang telah dan akan mereka kerjakan |
Sepuluh komunitas itu adalah: PYAC berbasis di Payakumbuh, Legusa, di tempat agenda itu berlangsung, Sibiran, Metasinema, dan Shelter Utara berbasis di Padang, Ladang Rupa dari Bukittinggi, Sarueh di Koto Tuo Ampe Angkek, Agam, Takasiboe dari Solok Selatan, Gubuak Kopi di Solok, Sapakek di Padang Panjang, dan 9 Pucuak Fest di Sungai Talang, Lima Puluh Kota.
Keron meminta para komunitas dengan perwakilannya untuk mengenalkan diri dan apa kegiatan-kegiatannya, dan bagaimana pembacaan serta respon atas kondisi bidang yang digeluti. Pada bagian selanjutnya, pembahasan berlanjut pada kemungkinan kolaborasi antar komunitas. Kebetulan saya diminta untuk jadi pencatat pembicaraan, saya coba rangkum poin-poin itu seperti berikut.
Komunitas dan Sikap Terhadap Kondisi Sekitar
Keron melanjutkan dengan penjelasannya mengenai PYAC. Di Payakumbuh, banyak anak muda dengan segala macam kreativitasnya, mereka coba untuk berkumpul dan membuat sebuah ruang jejaring bernama PYAC. Diniatkan untuk merealisasikan ide-ide yang ada pada diri anak muda itu, sehingga tercipta sebuah momen untuk dinikmati oleh warga, bisa untuk saling mendukung dan menginspirasi. Salah satu kegiatannya adalah Ngopini, sebuah diskusi yang dilaksanakan setiap bulan di sebuah kafe atau ruang terbuka untuk mebicarakan fenomena anak muda yang merespon kondisi sekitarnya, baik itu di kesenian, kebudayaan, industri kreatif, sejarah, dll.
 |
Setiap komunitas mempresentasikan program |
Vhky Putra dari Sibiran melajutkan pergiliran mikrofon. Dari sebuah industri kreatif, memproduksi buah tangan (merchandise) dari kayu-kayu, kemudian berkembang menjadi ruang kegiatan musik dan teater. Kebiasaan mereka semenjak jadi mahasiswa yang dekat dengan kegiatan itu, ditambah keengganan untuk bekerja dibawah orang lain, akhirnya membentuk sebuah komunitas Sibiran.Ia melanjutkan dengan pengamatannya atas kondisi komunitas seni di Padang.Ia merasa ada yang tidak sehat, komunitas serta kegiatannya itu terfragmen, dan jarang yang melebur antara lain. Akhirnya muncul nabi-nabi (baca:penggiat) di antara mereka, bersabda untuk lingkungan mereka pula.
Namun, Shelter Utara, seperti yang dipaparkan salah satu penggiatnya Randi Reimena, hadir dan berusaha untuk meleburkan kondisi itu. Sebagai perpustakaan terbuka dan ruang yang bisa dipakai untuk diskusi, pertunjukan, pemutaran, dengan beragam kegiatan disana, mulai dari sastra, musik, film, fotografi, sejarah, dan filsafat. SU agaknya telah berhasil mempertemukan orang-orang dari berbagai kalangan serta memicu berlangsungnya interaksi lintas disiplin.
Saya menceritakan mengenai posisi Metasinema, yang notabene adalah Unit Kegiatan Mahasiswa, di Universitas Andalas. Satu-satunya komunitas kampus yang hadir di pertemuan ini. Metasinema mencoba menjadi ruang untuk mempelajari film, baik itu sekedar hiburan atau tak sekedar hiburan, karena siapa saja dan dimana saja bisa menonton bahkan memproduksi film hari ini. Atas itu perlu rasanya mengambil kesempatan untuk menjadikan film sebagai medium edukasi. Dengan semangat itu lahirlah program apresiasi seperti Layar Terkembang dan Andalas Film Festival.
 |
Setiap komunitas juga saling bertanya dan berjawab |
Lain pula kondisi di kota Bukittinggi dan Padang Panjang. Ladang Rupa lahir karena merespon keengganan kota Bukittinggi atas kegiatan kesenian, terutama seni rupa, jelas Ogy Wisnu, salah seorang penggiat di Ladang Rupa. Sedangkan di Padang Panjang yang telah berdiri kampus seni, mayoritas warga di luar kampus berpandangan negatif atas kesenian, papar Maulana Ahlan, seorang penggiat di Sapakek. Untuk itu mereka mencoba hadir di tengah-tengah masyarakat, dan memperkenalkan seni dengan sehat.
Sedangkan di Solok, ada Gubuak Kopi yang konsisten dan produktif belakangan ini. Mereka berusaha untuk membaca kebudayaan sekitar, mulai dari sejarahnya hingga perkembangannya hari ini, yang kemudian direproduksi dan didistribusikan dengan seni media. Beberapa programnya adalah Lapuak-Lapuak Dikajangi, Daur Subur, dan Sinema Pojok.
Jika itu adalah gambaran komunitas dan aktivitasnya di kota, beberapa komunitas fokus di wilayah rural, seperti Legusa dan 9 Pucuak Fest. Andes Satolari menjelaskan ada kondisi yang memprihatinkan di kampungnya.Anak-anak muda kebanyakan mempunyai kegiatan yang negatif, seperti ma lem (menghisap lem), ia contohkan. Atas itu, ia dan kawan-kawan mencoba mengaktifkan kembali kesenian yang pernah ada di jorong-jorong, mengajak anak-anak muda untuk menyentuh kesenian mereka, dan dirayakan di nagari tempat kesenian itu tumbuh.Perayaan itu kemudian disebut Legusa Fest.
Tidak jauh dari Nagari Tanjung Haro, ada kawan-kawan di Sungai Talang yang memicu potensi-potensi yang ada di nagari mereka untuk digiatkan. Mulai dari bidang pertanian, kerajinan, kuliner, adat, kesenian dipantik dan dirayakan nantinya di 9 Pucuak Fest. Serupa pula dengan apa yang digalakkan oleh komunitas Sarueh di Agam, mereka berusaha untuk mengajak anak muda untuk berkegiatan dan berkesenian, sambung Muhammad Lutfi, salah satu penggiatnya.
 |
Foto bersama seusai lokakarya |
Dan tidak semua daerah pula mempunyai ruang-ruang kreatif untuk menstimulus anak muda di sekitarnya. Mardani Syah salah satu anggota Takasiboe menggambarkan kondisi Solok Selatan yang absen ruang-ruang baik tersebut. Tak lain karena kurangnya manusia-manusia yang mau bersitungkin untuk menghadirkan ruang tersebut. Ia kemudian mengajak komunitas-komunitas yang ada dalam pertemuan itu untuk berkolaborasi dengan Takasiboe untuk mencipta ruang dan memicu kegiatan-kegiatan seni di Solok Selatan.
Ada semangat baik yang terlihat dari gagasan dan kegiatan masing-masing komunitas itu. Baik itu berupa gerakan literasi, seni untuk masyarakat, distribusi pengetahuan yang mudah diakses, dll. Jika komunitas-komunitas ini saling berkolaborasi, apa kemungkinan yang akan terjadi? Kegiatan apa yang bisa muncul dari jejaring ini? Pertanyaan-pertanyaan itu disepakati akan dibahas pada pertemuan selanjutnya di bulan Desember nanti, di markas Gubuak Kopi, Solok.
oleh teraseni | Nov 28, 2018 | Uncategorized
Rabu, 28 November 2018 | teraSeni.com~
Keramaian adalah hal yang lumrah untuk Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul Yogyakarta. Pasalnya di desa tersebut terdapat sebuah petilasan bernama Selo Gilang, tempat di mana lokasi Tumurun Wahyuning Mataram yang diturunkan oleh Panembahan Senopati. Berbeda dengan keramaian pada hari-hari biasanya, pada hari Sabtu (17/11/2018) kerumunan manusia berpuluh-puluh kali lipat memadati desa untuk menikmati sajian musik jazz.
Adalah Ngayogjazz sebuah festival musik jazz yang diselenggarakan setiap tahun dengan tempat penyelenggaraan yang selalu berpindah. Festival yang tahun ini mengusung tema “Negara Mawa Tata, Jazz Mawa Cara” ini memang lazim ‘mengincar’ desa sebagai ruang alternatif penyelenggaraan musik jazz yang kerap kaku di sekat beton gedung pertunjukan.
 |
Panggung Ngayogjazz dari depan, tampak pemain sedang mempersiapkan penampilan
Foto: Agnes Putri Maylani Pamungkas |
Di desa Gilangharjo, pelataran hingga lapangan olahraga disulap menjadi enam panggung yang tersebar di area desa. Alih-alih hanya panggung dan rumah masyarakat yang memberikan ambience yang berbeda, Ngayogjazz tahun 2018 ini turut menggandeng Prihatmoko Moki dengan muralnya di tembok-tembok desa dan Annisa P Cinderakasih dengan instalasi bambunya.
Pada pergelaran Ngayogjazz tahun ini, turut berpartisipasi beberapa musisi jazz tanah air dan mancanegara, semisal: Syaharani dan Queenfireworks, Tophati Bertiga, Yuri Mahatma Quartet, Idang Rasidi and His Next Generataion feat Tompi dan Margie Segers, Brayat Endah Laras, Purwanto dan Kua Etnika, Kika Sprangers, Ozma Quintet, Rodrigo Parejo, dan lain sebagainya. Sejumlah musisi jazz tersebut lantas menjadi agen dalam menghubungkan dan memberikan penonton dengan pengalaman berbeda dalam menyaksikan jazz.
Tawaran ini lah yang lantas membuat festival Ngayogjazz ditunggu oleh para musisi dan penonton Indonesia—terlebih para penonton baru. Namun untuk mereka yang rajin hadir, rasanya Ngayogjazz semakin terasa biasa-biasa saja. Secara lebih lanjut, sebagai sebuah festival tahunan yang diacu oleh festival jazz lainnya, rasanya Ngayogjazz minim gagasan dan kejutan baru di tahun kedua belas penyelenggaraan. Padahal di belakang pergelaran tersebut, terpampang nama-nama beken pelaku kreatif di Yogyakarta. Mungkin, serupa dengan tidak turunnya hujan di perhelatan Ngayogjazz tahun ini, mereka agaknya tengah mengalami musim ‘paceklik’.
Pisau Bermata Dua
Sebuah keniscayaan jika Ngayogjazz ditunggu-tunggu oleh penonton. Pasalnya mereka telah membuktikan dirinya sebagai festival jazz dengan konsistensi dan gagasan yang kuat. Idenya begitu mewah dalam semesta musik Jazz yakni penyelenggaraan di ruang yang tidak pernah terpikirkan oleh kalangan lainnya, desa.
 |
Panggung Ngayogjazz dari sisi kanan, telihat penonton begitu sesak
Foto: Agnes Putri Maylani Pamungkas |
Alih-alih hanya berserah pada ‘keeksotikan’ desa sebagai ruang festival, Ngayogjazz mengajak serta masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam hal penyelenggaraan. Hal ini tentu berkesan positif bagi mereka yang melihatnya dari luar. Terlebih penonton dapat melihat peran aktif masyarakat dalam beberapa hal, seperti: parkir, pusat jajanan, penunjuk arah, dan lain sebagainya. Namun apakah masyarakat setempat—juga dapat dirujuk pada lokasi-lokasi sebelumnya—diberikan peran lebih dalam penyelenggaraannya?
Terlebih dalam buku program tertulis“Festival jazz yang berkolaborasi dengan pesta rakyat.” Dalam hal ini, terma kolaborasi seyogianya tidak berat sebelah. Di mana masyarakat setempat tidak mempunyai porsi dan posisi yang ‘tinggi’ dalam penyelenggaraan ataupun kepanitiaan. Singkat kata, menjadikan masyarakat setempat sebagai objek semata perlu dihindari.
Pasalnya, jika alasan tidak seimbangnya peran dan porsi penyelenggaraan adalah modal intelektual yang berbeda, bukankah kerja partisipasi semacam ini seyogianya diarahkan pada edukasi untuk masyarakat. Alhasil masyarakat dapat memetik pembelajaran dan dapat mengembangkannya sesuai orientasi mereka masing-masing. Secara lebih lanjut, sebuah festival mempunyai nilai lebih untuk keberlangsungan masyarakat, tidak hanya sebagai ‘peminjaman’ ruang semata.
Tidak hanya itu, turut tersemat kalimat “mengajak kearifan lokal dan menggunakan jazz sebagai penghubungnya.” Jika langsung dirujuk pada desa Gilangharjo, seberapa jauh Ngayogjazz menjadi penghubung nilai kearifan lokal—baik lokasi ataupun narasi—untuk masyarakat? Pasalnya kesadaran narasi atas kearifan lokal yang dimaksud justru tidak terlalu tampak. Paling banter adalah mengetahui lokasi petilasan, tanpa adanya keingintahuan dan partisipasi lebih, semisal: masuk ke petilasan, atau kearifan apa yang terkandung di dalamnya.
Kendati demikian, Ngayogjazz tahun ini tetap perlu diberikan pujian atas upaya mengakomodasi masyarakat sebagai penampil festival secara lebih, baik dengan karnaval keliling desa hingga panggung khusus untuk warga. Dalam hal ini, Ngayogjazz telah berani menampilkan masyarakat sebagai bagian dari pergelaran tahunan tersebut. Namun kiranya menyematkan pertunjukan masyarakat setempat dalam panggung yang bercampur dengan musisi jazz agaknya perlu dicoba, guna menghindari pemisahan masyarakat dari panggung ‘utama.’
 |
Panggung Lurah, pangung lain, khusus untuk warga dalam rangkaian Ngayogjazz
Foto: Foto: Agnes Putri Maylani Pamungkas |
Pasalnya dapat dipahami bahwa enam panggung yang digelar pada waktu yang bersamaan telah memberikan keleluasaan dan kebebasan untuk memilih. Namun menampilkan kesenian masyarakat di panggung tersendiri telah meminimalisir mobilitas penonton ke panggung tersebut. Oleh karena itu, jikalau kesenian masyarakat bercampur dengan panggung pertunjukan jazz lainnya, kiranya kesempatan mereka mendapat perhatian akan lebih besar.
Menunggu Tawaran Baru
Hujan mempunyai makna tersendiri untuk Ngayogjazz. Beberapa pergelaran Ngayogjazz sebelumnya kerap dirundung hujan. Tanah, becek, jas hujan, payung, dan alunan jazz seakan menyatu dengan alam. Namun tahun ini hujan seakan enggan turun di tanah di mana pergelaran Ngayogjazz dihelat, pasalnya gagasan dan terobosan baru tak kunjung tiba.
Penyakit dari kreativitas adalah perasaan mapan yang kerap menenggelamkan ide-ide baru. Hal ini tentu tidak menjadi masalah jika sebuah festival menjadi rutinitas belaka, tetapi hal ini berlaku sebaliknya jika festival diperuntukkan untuk menciptakan pengalaman dan peristiwa. Dalam hal ini, Ngayogjazz agaknya tengah mengalami musim ‘paceklik’, hingga hanya isu jazz di pedesaan terus digaungkan, tanpa adanya eksplorasi yang sebenarnya punya kesempatan untuk terus berkembang.
 |
Penampilan kelompok seni masyarakat
Foto: Agnes Putri Maylani Pamungkas |
Dalam hal ini, Ngayogjazz perlu kiranya memberikan tawaran-tawaran baru yang tentu berkenaan dengan masyarakat, semisal: residensi untuk musisi jazz yang ditujukan untuk menciptakan karya yang terinspirasi dari desa setempat; kerja kolaborasi dari masyarakat dan musisi jazz terpilih. Di mana karya akhir dari kerja kolaborasi dipentaskan di panggung Ngayogjazz; pengelolaan program keberlanjutan dari lokasi yang pernah digunakan oleh Ngayogjazz, yang kiranya bisa digunakan sebagai pra-event Ngayogjazz; atau pembuatan statue sebagai tanda pernahnya dihelat Ngayogjazz di lokasi tertentu; dan lain sebagainya.
Itu semua tentu pilihan dari Ngayogjazz sebagai pihak penyelenggara. Namun menurut hemat saya, dua belas tahun bukan usia yang singkat sebagai sebuah festival di Indonesia. Pasalnya, namanya telah menjadi canon dan para inisiatornya telah menjadi patron untuk penyelenggara festival lainnya.Oleh karena itu, sangat disayangkan jika Ngayogjazz tidak menciptakan terobosan baru atau—bahkan—ketinggalan dari festival berbasis masyarakat ‘kemarin sore’ lainnya.[]
oleh teraseni | Okt 23, 2018 | Uncategorized
Selasa, 23 Oktober 2018 | teraSeni.com~
Seorang penari berdiri tegap di atas 35 tumpukan piring dengan tangan terbentang. Ibu jarinya menengadah sebuah piring kecil dengan lilin yang menyala. Ia diam, tak bergerak dengan durasi yang cukup panjang, 48 menit.Ia tersenyum hingga menyematkan wajah geram tanpa alasan secara berulang. Sedangkan di sisi yang lain, seorang penari perempuan melemparkan piring ke seorang laki-laki secara berbalas. Sesekali sang perempuan tidak benar-benar melemparkan piring tersebut, namun tangan mengepal yang ia dapat. Tidak hanya itu, beberapa piring juga tidak berhasil diterima mengakibatkan pecahan piring yang berserak. Alih-alih diam, mereka berdua saling bertatap tajam dan terus melanjutkannya, seolah-olah ada namun tidak ada.
 |
Seorang penari meletakkan piring dengan lilin menyala di ibu jarinya Dokumentasi karya tari karya tari Li Tu Tu Fotografer: Hoshi |
Ayu Permata Dance Company menggelar pertunjukan bertajuk Li Tu Tu, singkatan dari Lingkaran Tunggu Tubang. Karya koreografi Ayu Permata Sari ini merupakan hasil penelitiannya terhadap tari Kuadai, salah satu tari tradisi di Lampung yang lumrah dimainkan oleh perempuan. Lantas Ayu mengeksplorasi penelusurannya menjadi sebuah karya koreografi kontemporer yang melibatkan oleh tiga orang penari, yakni: Nur Rachma Dinda, Ghalib Muhammad, dan dirinya.Karya yang digelar pada tanggal 11 hingga 15 Oktober 2018 di ArtspaceHelutrans, Jogja National Museum, Yogyakarta, ini turut mengadakan sesi diskusi setelah pertunjukan berlangsung. Ruang dialog ini menjadi kesempatan Ayu dan tim untuk menyampaikan gagasan, serta menyerap impresi terburai atas penonton yang lazimnya surut seiring mereka keluar dari tempat pertunjukan.
Dari sesi percakapan, Ayu secara jelas meletakkan fondasi dasar kekaryaannya, yakni tari Kuadai. Namun tidak hanya mengotak-atik tari tersebut secara tekstual, Ayu turut mengurai persoalan lain, yakni soal Tunggu Tubang. Sebuah sebutan untuk anak perempuan pertama yang diberi kepercayaan untuk mengelola ekonomi keluarga. Hal dominasi ini yang lantas Ayu berikan perhatian lebih di dalam karyanya. Dengan bingkai kontemporer, Ayu justru dapat lebih leluasa menyisipkan gerak, mengatur alur, hingga menebalkan makna yang berdasar pada keseimbangan, kepercayaan, dan komunikasi.
 |
Tampak dua penari saling mengepalkan tinju Dokumentasi karya tari Li Tu Tu Fotografer: Hoshi |
Tentang Konflik yang Memuncak
Di awal pertunjukan, Ayu, Dinda, dan Ghalib menyambut para penonton yang datang. Dengan ramah ia bertegur sapa hingga menyatakan bahwa mereka akan bersiap-siap. Secara bersama-sama, mereka mulai menata piring di tengah arena dengan penonton yang mengelilinginya. Sejumlah 35 piring tertumpuk, lantas Dinda mulai menaikinya dengan berhati-hati. Sebelum mulai, Ayu menanyakan pertanyaan kepadanya, “Aman?”, dan Dinda pun membalasnya dengan senyum, tanda pertunjukan dimulai. Dari awal pertunjukan ini, kiranya Ayu dan tim sudah meletakkan pertunjukannya bukan sebagai satu karya sulapan, melainkan kerja riskan yang membutuhkan persiapan.
Dinda berdiri mematung dengan posisi tangan terlentang. Kedua ibu jarinya menengadah menahan sebuah piring dengan lilin yang menyala di atas. Ia hanya berdiam laiknya sebuah patung. Namun yang menarik, Dinda tidak hanya diam melainkan ia menyematkan ekspresi wajah yang berganti, gradual. Di sini, Dinda justru mempunyai kekuatan yang paling kuat dalam pertunjukan. Secara lebih lanjut, Dinda tidak hanya menunjukkan keseimbangan namun memberikan imajinasi lebih, laiknya simbol, bahkan menjelma menjadi totem.
Di sisi yang lain, Ayu dan Ghalib saling melempar piring satu sama lain. Namun Ayu tidak mewujudkan saling melempar piring secara langsung, melainkan dibuat gradual. Di mana diawali dengan seolah-olah saling melempar untuk membuat kuda-kuda, lalu saling melempar piring namun dengan tempo yang lambat; mereka bergerak memutari Dinda; menyisipi dengan gerak berputar di tempat; saling menjatuhkan piring; hingga mereka seolah-olah melempar piring setelah piring-piring tersebut pecah. Gradasi tersebut tidak hanya pada tahap eksplorasi gerak, melainkan pada gekstur dan raut wajah. Di mana pada tahap awal, Ayu justru tidak menatap mata Ghalib, tetapi setelah piring pecah, Ayu menatap tajam mata Ghalib, begitu pun sebaliknya.
 |
Para penari saling lempar dan tangkap piring Dokumentasi karya tari Li Tu Tu Forografer: Hoshi |
|
Dalam hal ini, Ayu seakan mengajak penonton pada dimensi konflik secara sabar dan perlahan. Ia tidak terburu-buru dalam menempatkan gerak. Hal ini kiranya penting di mana para penari lazimnya kerap berburai gerak namun nir makna. Dan dalam karya ini, Ayu dapat menempatkan gerak demi gerak dengan hati-hati. Hanya saja yang perlu Ayu lihat lebih lanjut adalah eksplorasi gerak dengan layer yang bertingkat. Pasalnya di tengah bagian, eksplorasi gerak yang Ayu sematkan justru terlalu tipis untuk terbedakan dari fase sebelumnya. Sebagaimana Ayu menegaskan bahwa terdapat sembilan bagian tegas yang sebenarnya menjadi ruang “bermain-main” maka kiranya perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Namun catatan gerak ini justru berlaku sebaliknya pada sisipan raut wajah dan kontak mata yang—baik sengaja ataupun sebaliknya—Ayu ciptakan. Di awal Ayu sama sekali tidak menatap Ghalib, namun ketika piring pecah secara perlahan, Ayu mulai berani menatap mata Ghalib, mulai dari biasa saja hingga tampak geram. Hal ini kiranya cukup sesuai dalam mengisi tahapan yang sifatnya memuncak. Hal ini kiranya menyiratkan dominasi patriarkal, terlebih hanya Ghalib yang dapat mengepalkan tangan ketika Ayu tidak benar-benar memberikan piring-piring tersebut.
Selain itu, agaknya karya ini merupakan presentasi akumulasi pembelajaran yang Ayu dapat. Di bagian tengah pertunjukan Ayu turut menyisipkan interaksi dengan penonton. Di mana Ayu dan Ghalib menyebar dan melakukan saling melempar piring dengan penonton. Hal ini kiranya memberikan satu pengalaman langsung dalam menangkap peristiwa dalam pertunjukan. Pengalaman tersadar—merujuk pada fenomenologi—penonton dalam melakukan interaksi akan membantu penonton dalam terkoneksi pada pertunjukan.
 |
kedua penari saling menatap dengan ekspresi tidak senang Dokumentasi karya tari Li Tu Tu Forografer: Hoshi |
|
Setelah interaksi penonton, pertunjukan kembali berlanjut, dengan prosesi saling melempar piring satu sama lain, walau piring-piring tersebut sudah tidak ada. Bagian ini, Ayu mengajak kita memikirkan bahwa kata kunci yang ia sematkan keseimbangan, kepercayaan, dan komunikasi, justru menjadi pisau bermata dua. Di mana dampak dari hal tersebut adalah dominasi yang mengakibatkan konflik runcing antar dominan dan subordinan. Hal ini kiranya tidak hanya terjadi pada konteks tari Kuadai, namun dapat diluaskan kepada pelbagai hal yang dialami kini. Mungkin tengah terjadi pada anda?
Karya Yang Selalu Berbeda
Impresi di atas adalah tangkapan saya pada hari ketiga pertunjukan Li Tu Tu, yang berjalan dengan mengalir, yakni porsi piring pecah hingga akhir pertunjukan. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang Ayu ungkapkan ketika semua piring telah pecah ketika di tengah pertunjukan, di beberapa hari sebelumnya. Ketidak-terkiraan ini kiranya yang menjadi menarik, pasalnya Ayu pun tidak dapat memastikan kapan porsi piring pecah. Dalam hal ini, strategi Ayu dalam menyikapi ketersediaan piring membuatnya harus memutuskan tindakan dengan cepat. Alhasil, karya Ayu tidak selalu menghasilkan karya jadi dengan tingkat sublimasi yang tunggal, namun beragam di tiap harinya. Keriskanan ini dapat memberikan kesempatan keberhasilan ataupun sebaliknya, gagal, terbuka lebar.
 |
Penari tampak sedang mengajak penonton menjadi bagian pertunjukan Dokumentasi karya tari Li Tu Tu Fotografer: Hoshi |
Kendati demikian, ada satu benang merah yang kiranya ia pegang, yakni Ayu tetap menerapkan sembilan bagian yang menjadi ruang pijak karyanya. Hal yang menarik selanjutnya, bagaimana Ayu ‘bermain-main’ dengan bagian-bagian tersebut ketika piring telah habis. Dalam hal ini, kita patut mempertanyakan seberapa lentur Ayu memosisikan relasi di tiap bagiannya. Pasalnya Ayu menyebutkan bahwa relasi tersebut bertingkat, lantas apa yang dikorbankan dari bagian-bagian tersebut ketika dihapus?
Bertolak dari itu semua, karya Li Tu Tuperlu diapresiasi baik. Pasalnya,Ayu bekerja dengan bijak, seperti: mulai dari menyoal gagasan dari tari Kuadai; mewujudkannya pada koreografi, di mana Ayu mengembangkan dari dua motif, yakni: yang pertama adalah tangan merentang dan silang piring; hingga memberikan ruang pemaknaan yang terbuka. Karyayang dikerjakan selama setahun lamanya ini kiranya cukup matangdan baik di antara karya Ayu lainnya. Selamat Ayu![]
oleh teraseni | Sep 26, 2018 | Uncategorized
Rabu, 26 September 2018 | teraSeni.com~
Parade Teater Yogayakarta (PTY) 2018 baru saja usai. Sebuah Platform tontonan anyar bagi kelompok dan publik teater Jogja yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) 4-5 Sepetember 2018, di Concert Hall TBY. Publik dan kelompok teater Jogja mungkin lebih akrab dengan Festival Teater Jogja (FTJ) dimana ditahun-tahun sebelumnya kegiatan teater selalu bergulir dalam platform tersebut dan melibatkan pula berbagai kelompok dengan format dan cara yang berbeda. Namun ditahun ini FTJ nampaknya tidak terdengar lagi. Justru yang terdengar adalah Festival Teater Antar Kabupaten dan Kota yang dilaksanakan di Stage Jurusan Institut Seni Indonesia di bulan Juni 2018 lalu, dengan harapan tumbuhnya kreasi seniman dalam penggalian ekpresi dan potensi kedaerahan.
PTY hadir menawarkan sebuah platform baru berbentuk parade (baca: perayaan) teater dengan mengusung tema mengenai rujukan sejarah , fenomena dan dinamika perkembangan pertunjukan teater hari ini ternyata telah multi disiplin. PTY menawarkan istilah postdramatic dengan mengandaikan teater adalah “teks terbuka”, maka tidak mengungkung dirinya pada dominasi tekstual tertentu. Teks terbuka dimaknai sebagai perayaan bertemunya antar disiplin, juga bisa tanpa sejarah tertentu (sumber Booklet). PTY mencoba menawarkan warna baru bagi panggung-panggung teater konvensional TBY, harapannya menjadi icon untuk mewadahi perkembangan ragam gagasan pemanggungan kelompok partisipan melalui penyelenggaraan Parade Teater Yogyakarta pada 4-5 September 2018 (Kalanari Theatre Movement, Teater Jubah Macan, Dewan Teater Jogja, Mantradisi).
 |
Seorang perempuan serupa aktor berada di tengah-tengah penonton
Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakarta |
Kalanari Theatre Movement dan Ruang Singgah Sebagai Teks
Di hari selalasa 4 Sepetember 2018 Kalanari menawarkan pertunjukan dengan judul (Un) Fitting : Sebuah Percobaan Menyandang Sejarah Teater yang Mendekam dalam Gudang dan Lemari. Tajuk yang dibuat dalam (UN) Fitting amat provokatif dan cukup untuk kita mengernyitkan dahi sejenak. Nampak tajuk yang dibuat menyandingkan sejarah teater dengan gudang, dan lemari, sebagai operasi bahasa sekilas mengingatkan pada puisi-puisi yang sering ditulis Afrizal Malna. Afrizal memang salah satu sastrawan yang juga banyak berkecipung di seni pertunjukan sebagai penulis naskah di teater SAE dan pengamat teater sejak 1980-an, jadi mungkin operasi bahasanya yang banyak mengekplorasi dialog benda-benda akrab pula bagi orang-orang teater .
Pertunjukan ini cukup menarik sebab nampaknya Kalanari sebagaimana pertunjukan sebelumnya mempertimbangkan tawaran segar dengan menggunakan ruang sebagai bagian dari teks pertunjukan. Penonton PTY diarahkan oleh panitia menuju pintu masuk samping, kemudian duduk di tempat duduk konvensional Concert Hall, sebelum akhirnya ada pengumuman bahwa penonton diberi pula keleluasan ruang menonton diatas panggung. Dengan dibagi-bagi kedalam bebeberapa kotak-kota berbataskan tali rafia. Penonton dipersilahkan duduk lesehan atau di atas level di atas panggung concert hall. Adapula beberapa penonton lain yang tetap duduk di kursi duduk penonton kenvensional. Tampaknya sejak awal Kalanari telah menyadari ruang singgah panggung Concert Hall TBY menjadi bagian pula dari merepresentasikan “teks” pertunjukan. Panggung atau ruang mereka susun menjadi bagian dari teks dalam keseluruan dramaturgi pertunjukan.
 |
Para penonton menyaksikan pertunjukan di atas panggung
Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakarta |
Peristiwa teater yang berlangsung menggambarkan pergeseran sejarah dan perkembangan teater dan penyikapannya terhadap politik ruang serta penonton saat ini. Sebuah pergeseran ruang dalam teater yang memberikan bagian pada penonton untuk memilih peranan dan keterlibatannya sendiri dalam pertunjukan tersebut. “Penonton” menjadi bagian di dalam dan di luar peristiwa, sebab penonton yang sejajar dengan pemain diatas panggung, ditonton pula oleh penonton dari kursi duduk penonton panggung konvensional, yang seolah tidak terlibat dalam pertunjukan. Padahal keseluruhan ruang adalah teks, sehingga keseluruhan yang terjadi dalam concert hall begitu pula dengan manusianya adalah bagian keseluruhan teks mengenai wacana sejarah teater yang ingin di tawarkan Kalamari.
Ruang singgah panggung sebagai bagian teks pertunjukan membawa keseluruhan narasi dan konsekwensi pembacaan atas teks lain, bagaimana kemudian kostum, ruang, aktor, penonton, benda-benda, serta peristiwa yang terjadi adalah bagian dari teks teater yang sedang diberlangsungkan secara bersama. Concert Hall sebagai bangunan panggung bersejarah yang menyimpan jejak kolonial, memiliki nilai-nilai historis terhadap perkembangan seni pertunjukan dan konvensi-konvensi seni pertunjukan sebagaiman dulu hingga kini diberlakukan. Concert Hall TBY tak ubahnya sebagai lemari atau gudang yang pernah menampung sekian ratus pertunjukan silih berganti digelar ruang tersebut. Lemari atau gudang pertunjukan bernama Concert hall yang bersisi sejarah teater dulu dan kini berkelindan dengan aktor, penonton, artistik, kostum, setting, musik, sebagi teks-teks hidup yang terus bergerak (UN) Fitting.
Dramaturgi permainan teks dan pertunjukan (UN) Fitting berkelindan melalui aktor yang bermain, memainkan, membebaskan diri atas politik teks tubuh dari berbagai peran, tototonan, dan interaksi budaya yang pernah mereka lewati. Aktor tampaknya dituntut untuk menyesuaikan terhadap apa yang tidak sesuai atau sebaliknya, terhadap teks atas dirinya, kostum, properti, musik, ruang, lampu, penonton, untuk menyusun teks peristiwa lain, menyusun alur dan cerita dalam pemanggungan. Sebuah pertunjukan teater yang disusun dari barang-barang, peristiwa, tema, aktor, alur cerita, sutradara dalam dilaog mengenai keusangan dalang ruang lingkup teater, dipertontonkan, dan ditonjolkan pada publik sebagai bagian dari sejarah teater yang turut terlibat baik langsung maupun tidak.
 |
Seorang aktor berakting begitu dekat dengan penonton
Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakarta |
Sekilas dalam pertujukan cara-cara dan model perlakukan atas keseluruhan yang belaku di atas panggung pertunjukan Klanari nampak muncul sebagaimana teks anonimus yang berjajar secara bersamaan kita dapat melihat jejak SAE, Garasi, Gandrik, Bengkel Mime, Papermoon, Kalanari, bercampur baur dalam sekian reportoarnya. Didalam teks – teks sejarah teater yang berkelindan tersebut terdapat tokoh anak perempuan yang menginginkan dan meminta baju baru pada ibunya, ia mencarinya dan tak kunjung ketemu, hingga tersesat dan diculik oleh makluk aneh. Pada akhirnya anak perempuan tersebut kemudian telah berubah menjadi makluk lain berkepala aquarium dan dipenuhi dengan berbagai teks.
Teater Jubah Macan, Generasi Milenal dan Drama Jeng Menul
Dari beberapa kelompok atau komunitas teater terdapat pula teater SMA yaitu Jubah Macan, satu-satunya kelompok teater pelajar yang di undang dalam parade ini. Meski berbeda dengan pertunjukan Kalanari Theatre Movement yang secara pertunjukan lebih tampak site-spesific dan menghindari aktor untuk berakting diatas panggung. Teater pelajar ini justru sangat percaya diri memainkan lakon “Jeng Menul” karya Putut Buchori sebagaimana drama lakon pemanggungan teater realis secara umum. Pertunjukan sungguh berkebalikan dengan teater kekinian, meski secara “teks” tubuh dan wajah dipanggung anak-anak pelajar SMA tampak lebih kontemporer.
Aktor-aktor yang terlibatpun cukup banyak dengan usia relatif amat muda. Para pemain teater yang tumbuh dari generasi milenial ini adalah generasi yang lahir dari rentan waktu 1980 – awal 2000-an sebagai akhir. Generasi ini sebenaranya sebagaimana mampu menjadi postdramatic atau “teks terbuka”, melihat rentan usia nilai tawar mereka terhadap sejarah teater. Sebuah teks perlintasan antara yang tengah berlalu dan berlangsung. Sebagai potensi generasi ini sebenarnya sedang menawar untuk terlahir tanpa sejarah tertentu. Meski secara bentuk mereka seperti tidak mau tampil kalah bertenaga dan eksis beradu akting dari kelompok pertunjukan sebelumnya.
 |
Para aktor yang tampak sangat muda
Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakartaa |
Para kru panggung yan terlibat membantu menata setting, pemain musik, penonton yang hadir, tampak khas sekali sebagai ruang tenaga dan kreativitas inter-aksi anak muda. Mengenal inter disiplin dalam proses keberlangsungan dan inter-aksi di dalam pergaulan teater SMA. Anak-anak SMA Jubah Macan ini dengan sangat antusias mencoba membaca teater dalam cara dan gayanya, menawar naskah, setting, adegan dan karakter tokoh yang dimainkan dengan caranya sediri.
Teater sebagai potensi keberklangsungan interdisiplin dan inter-aksi ekpresi, bagi para siswa yang terlibat tampak tak lebih seperti kegiatan ekstra lain seperti sepak bola, pramuka, musik, tari, robotik, dsb, adalah sarana ekpresi dan berorganisasi sebagaiman upacara seremonial. Teater dan akting memang seperti bagian dari permainan untuk saling mengenali lawan jenis dan berinteksi lintas kerja dengan beragam karakter orang dan sebagai cara diri untuk bersikap dan menemukan ekpresi serta ciri sebagai individu di dalam kelompok.
Melihat potensi pertunjukan Kalanari Theatre Movement dan Teater Jubah Macan dalam Parade Teater Yogyakarta seperti membaca posisi dan potensi tawar teater atas masa lampau dan masa depan diberlangsunkan secara menaraik di atas panggung bersama publiknya. Jika teater adalah potensi dan posisi tawar bagi publik penontonya, merefleksi apa yang telah terjadi lalu muncul pertanyaan sejauh mana linimasa perjumpaan potensi dan posisi tawar antara yang lampau dan masa depan teater saat ini sedang diberlangsungkan? Sebagai sebuah dialog wacana perlintasan gagasan sejarah teater dan dinamika perkembanganya ini menarik untuk terus digulirkan.
Sedayu, 15 September 2018