Pilih Laman
Menarikan Eksploitasi Pendidikan

Menarikan Eksploitasi Pendidikan

Minggu, 15 Desember 2019 | teraSeni.com~

Seorang penari yang agak besar tubuhnya dari dua penari lain mengatur tubuh-tubuh kecil dua penari itu sesukanya. Ia mengatur posisi jari tangan mereka untuk saling menusuk hidung masing-masing, sedangkan dua tangan lainnya sedang berpose peace layaknya sedang berfoto ria. Kemudian diarahkan oleh si pengatur itu untuk saling menjatuhkan dengan didorong, diberdirikan kembali, ditampar, jatuh lagi, dan seterusnya.

Adegan itu merupakan satu fragmen dalam tari yang disuguhkan oleh Hujan Hijau Dance-Lab untuk merepresentasikan kondisi pendidikan formal di Indonesia saat ini lewat pertunjukan seni.

Pertunjukan tari itu berjudul Human?. Pada 21 November 2019, saya bersama kawan menonton tari itu di Gedung Mursal Esten, Universitas Negeri Padang, dalam rangkaian acara Pekan Seni Nan Tumpah 2019. Sambil menunggu acara mulai, kami membaca dan mendiskusikan “konsep pertunjukan” Human? yang tertulis dalam katalog kegiatan ini.

teraseni.com
Salah satu adegan pada pertunjukan Human
Foto: Sumbarsatu.com

Poin pada “konsep pertunjukan”nya ialah, bahwa untuk pertunjukan ini telah diadakan riset sepanjang tiga tahun terkait pendidikan di pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Mereka mendapati pendidikan telah dikomodifikasi atau sederhananya penguasaan atau eksploitasi pendidikan oleh pihak tertentu. Atas masalah itu, Hujan Hijau Dance-Lab mengajukan sebuah solusi yakni pendidikan yang berperikemanusiaan agar nantinya bisa menghilangkan korupsi, kekerasan seksual, kerusakan alam, dan sebagainya.

Memang agak kurang tepat relasi tesis dan antitesis dari “konsep pertunjukan” Human? ini, yang seolah tidak menjawab persoalan pengisapan oleh suatu kelompok dominan, melainkan menerima dengan syarat-syarat tertentu. Akan tetapi, sepanjang pertunjukan pun hanya memperlihatkan “proses eksploitasi” dalam pendidikan tadi, bukan persoalan solusi. Untuk itu kita jadikan saja poin pemerasan dalam pendidikan itu dalam “konsep” Human sebagai problem yang ingin diurainya lewat tari.

Kurikulum yang Tersembunyi 

Dalam masyarakat yang dihegemoni oleh sekelompok penguasa, segala unsur kehidupan turut diperhitungkan guna mendukung kelanggengan kekuasaannya, termasuk ranah pendidikan. Alvin Toffler dalam bukunya Gelombang Ketiga (terjemahan Sri Koesdiyantinah, 1980) menjelaskan fungsi pendidikan pada masyarakat industri yang dikuasai oleh suatu kelompok dominan, baik itu kapitalis maupun komunis.

Bagi Toffler, pada gelombang kedua yang identik dengan perindustrian, pendidikan dimekanisasi. Pendidikan dalam masyarakat industri bertugas menghasilkan tenaga kerja baru untuk kerja di pabrik-pabrik. Yakni, pekerja “. . . yang patuh dan mudah diatur, sejenis mesin yang diperlukan . . .” (hlm. 50) mendukung efektifitas produksi di pabrik. Untuk itu, diperlukan sebuah “kurikulum yang tersembunyi” dalam pendidikan, yaitu, ketepatan waktu, kepatuhan, dan melakukan kerja yang berulang terus-menerus (hlm. 49).

teraseni.com
Penari tampak mengeksplorasi kursi sebagai simbol pendidikan
Foto: Instagram hujanhijaudancecelab

Tiga kurikulum tersembunyi itu coba diurai oleh pertunjukan Human?. Pertama, terkait ketepatan waktu, Human? memainkannya lewat musik pengiring. Pada separuh awal pertunjukan, bunyi-bunyian di pabrik sering dihadirkan, seperti sirine panjang sebagai tanda untuk istirahat, pulang, atau pergantian pekerja. Selain itu ada pula bunyi-bunyi mesin yang konsisten menemani para pekerja (baca: pelajar, penari). Bunyi ini terkadang seirama dengan salah satu gerakan penari, yang mengejewantahkan kondisi pekerja di pabrik yang mesti melakukan pekerjaan sama secara berulang, layaknya mesin dengan bunyi konsistennya. Pada posisi ini, fungsi bunyi tidak hanya merepresentasikan ketepatan waktu, pula kurikulum melakukan kerja berulang-ulang.

Selain itu, posisi bunyi dalam pertunjukan Human? pula melihatkan periodesasi jaman. Ada dua model bunyi yang berbeda pada paruh awal dan paruh akhir pertunjukan ini, yaitu bunyi analog yang diwakili oleh suara-suara di pabrik dan bunyi digital. Apabila pada masyarakat industri awal identik dengan bunyi-bunyi analog, pada masyarakat industri selanjutnya yang serba digital dilekatkan dengan bunyi-bunyi digital.

Pada beberapa adegan tampak suara-suara digital ini memicu para penari untuk melakukan gerakannya. Secara sederhana dapat disandingkan dengan kondisi; ketika sebuah pesan masuk ditandai dengan sebuah bunyi oleh telepon pintar kita, kita akan cepat mengambil dan memeriksa telepon itu. Sehingga, Human? ingin mengatakan bahwa, meskipun pada masyarakat industri digital, gerakan-gerakan kita masih dipimpin oleh bunyi-bunyian atas nama ketepatan waktu.

Untuk kurikulum selanjutnya, yakni kepatuhan, salah satunya tampak pada bagian adegan yang saya narasikan di awal tulisan. Pada adegan ini tampak tidak ada resistensi atau penolakan dari penari lain, penari penguasa itu “memerintah” penari lain dan diterima dengan patuh oleh mereka. Meskipun yang diperintahkan adalah hal-hal yang menyakitkan. Itu tidak hanya merepresentasikan dunia pekerjaan yang tidak manusiawi, pula dalam pendidikan.

Dari sini, barangkali relevan tawaran Human? dalam “konsep pertunjukan”nya, yaitu pendidikan yang humanis. Tentu saja ranah pendidikan saat ini harus mempertimbangkan setiap pelajarnya secara subjektif, yakni tergantung kondisi dan kebutuhan setiap pelajar. Kesamarataan yang tidak pandang bulu tidak relevan lagi dengan kenyataan keragaman karakter dan fisiologis manusia. Itu jika pendidikan adalah ruang yang melatih manusia menjadi berpengetahuan dan manusiawi, jika tidak, kita mesti sepakat dengan Human? bahwa pendidikan hanya menghasilkan calon pekerja yang siap dieksploitasi industri.

Gerobak Kopi: Ruang Perjumpaan Musikal Anak Muda Kota Payakumbuh

Gerobak Kopi: Ruang Perjumpaan Musikal Anak Muda Kota Payakumbuh

Minggu, 26 Mei 2019 | teraSeni.com~

Pada Rabu, 2 Mei 2019, Gerobak Kopi, sebuah kedai kopi yang berada di jalan Soekarno Hatta no 108, Koto Nan Empat, kota Payakumbuh kembali ramai oleh anak-anak muda. Oleh orang kedai, beberapa meja segera dipindahletak ke atas trotoar tepat di depan kedai, lalu beberapa anak muda segera duduk sambil mengeluarkan piranti pintar masing-masing. Agaknya, sebagian pengunjung tampak gelisah, serupa ada yang akan ditunggu dengan segera.

Benar saja, malam itu di Gerobak Kopi membuat semacam keramaian meskipun tanpa izin keramaian. Beberapa orang tampak sibuk berlalu lalang, mengangkat barang-barang serupa speaker, mengobel-ngobel kabel, mengecek-ngecek suara. Tak berapa lama di sudut kiri sebelum pintu masuk kedai, seperangkat soundsystem minimalis sudah siap tegak terpasang dengan beberapa buah gitar akustik yang siap untuk dipetik. Rupanya, seisi kedai malam itu tidak hanya hadir untuk menyeduh kopi, mungkin sebagiannya juga ingin larut dalam bunyi.

Doityoursong:Teraseni.Com
MC menyapa pengunjung di Gerobak Kopi
Foto: Dokumentasi Pantia

Setelah tampak siap, seketika itu, petugas MC menyapa hadirin, mengucap terimakasih telah menyengaja datang ke Gerobak Kopi dalam rangka peluncuran program terbaru. Selamat datang di DoItYoursong, program terbaru Gerobak Kopi, program yang diinsafkan untuk masyarakat musik terutama di kota Payakumbuh. DoItYoursong, sebagaimana dari penamaannya merupakan sebuah terminologi yang diambil dari semangat kemandirian yang kerap dipakai oleh teman-teman PUNK, yaitu DIY. Akan tetapi, rekan-rekan di Gerobak Kopi menambahkan semacam penekanan “song” yang memberikan konteks kegiatan ini, yaitu musik.

Jelas saja, dalam hal ini, DoItYoursong dimaknai sebagai sebuah ajakan untuk mereka yang diam-diam tak berhenti membuat karya musik, namun tidak ada ruang untuk memperdengarkan kepada para pendengar yang lebih luas.DoItYoursong tidak hanya memperdengarkan karya musik, pun juga mengajak membicarakan karya-karya yang mereka ciptakan serta bagaimana mereka berproses.

“Lagu-Lagu yang Tak Laku”, kiranya begitulah tema yang diwacanakan malam itu, dengan menghadirkan dua kelompok musik. Diantaranya, Selatan Payakumbuh dari Lima Puluh Kota, dan Sibirana dari kota Padang. 

Doityoursong:Teraseni.Com
Selatan Payakumbuh membawakan beberapa reportoar
Foto: Dokumentasi Panitia

Selatan Payakumbuh, merupakan sebah kelompok musik yang tumbuh di nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang, sebuah nagari yang berada persis di arah selatan kota Payakumbuh. Mereka memulai proses pertama kali dengan bunyi-bunyi puisi, kerap mengeksplorasi bunyi-bunyi yang ada dalam puisi, kemudian menyanyikannya dalam baris-baaris lagu. Petikan-petikan idiom Minangkabau dipadupadankan dengan vst-vst, plugin, serta efek-efek ambien diolah menjadi puisi tersendiri.

Sedangkan Sibirana, sebuah kelompok yang mengawali kreativitas mereka dengan industri kreatif Sibirankajoe, yaitu sebuah usaha yang mengubah kayu-kayu sisa menjadi kerajinan yang memiliki nilai jual. Kemudian, mereka mencoba mengembangkan diri dengan membuat program-program kesenian, seperti fotografi, videografi, teater, serta musik. Maka, Sibirana lahir dari program musik.

Reportoar Sibirana x Selatan Payakumbuh
Sibirana mengawali dengan sebuah lagu yang berjudul Bunga Kopi, lagu yang dikatakan oleh penyanyinya diambil dari puisi Pinto Anugrah, seorang penyair juga sekaligus sastrawan Sumatera Barat. Lagu yang dibuat dengan sukat ganjil ini terdengar saling berkejaran dan menjangkau satu sama lain. Terdengar progresi chord bas dibuat terus berjalan, sementara ritme gitar seakan menahannya dalam satu akord saja. Lalu, bait-bait puisi dinyanyikan, seakan memagut kabut yang berloncatan dalam bercangkir-cangkir kopi.

Doityoursong:Tesaeni.Com
Sibirana membawakan beberapa reportoar
Foto: Dokumentasi Panitia
Sementara itu, Penjual Bendera, lagu kedua Sibirana, yang digubah dari puisi penyair Iyut Fitra dengan judul yang sama. Dinyanyikan dengan ketukan birama 6/8, terasa agak berdendang, mengajak kaki ikut menghentak pada aksen-aksen ketukan kuatnya. Terdengar pula nada-nada pentatonik serupa Sape Kalimantan yang seolah membawa pendengar menjelajahi barisan pulau, lembah dan gunung serta sunyi dusun-dusun yang tenggelam sebelum malam.

Lain pula Selatan Payakumbuh, membuka pertunjukannya dengan sebuah lagu yang berjudul Beri Aku Malam. Lagu yang digubah juga dari puisi penyair Iyut Fitra. Tiga orang personilnya menyanyikan refrain di bagian awal dengan tiga suara pula, terdengar seperti organ di sepertiga malam yang memecah kesunyian. Setelahnya, terdengar petikan gitar dengan effect delay, nada-nadanya seolah melayang-layang mengisi ruang yang entah menuju kemana. Bagian demi bagian lagu dinyanyikan. Tak terasa, di penghujung lagu, tiga personilnya kembali menyanyikan berulang-ulang bagian refrain tiga suara, “beri aku malam, beri aku malam, beri aku malam, seliang kelam menuju Tuhan.”

Lagu kedua, Kusir Bendi, dibuka dengan petikan gitar 1 dengan nada-nada pentatonis Minangkabau, tak lupa dengan effect delay, suasana yang dibangunnya seperti sedang berada di pedalaman Minangkabau. Seakan-akan melalui nada-nada tersebut, pendengar sedang diberikan sebuah konteks. Setelahnya, terdengar bunyi gitar fade in, makin lama makin mengeras, petikan bunyinya serupa kaki kuda sedang berlari. Lalu disusul dengan pola yang sama pada bas. Sebagaimana Iyut Fitra dalam puisinya Kusir Bendi tersebut, tampaknya Selatan Payakumbuh, melalui bunyinya, mereka juga sedang hendak memvisualkan sunyinya kehidupan Kusir Bendi hari ini di tengah gegasnya teknologi transportasi, serta bagaimana ketertinggalan mereka dipesatnya teknologi informasi.

Membangun dari tepi: sebuah tawaran untuk beriya-iya
Selain pertunjukan beberapa reportoar Selatan Payakumbuh dan Sibirana, sesi diskusi juga berjalan tak kalah menarik. Diantaranya, bagaimana menyoal publikasi band-band atau kelompok-kelompok musik yang bergerak secara indiependen, supaya lagu-lagu mereka tak lagi menjadi konsumsi pribadi. Bagaimana menciptakan ruang-ruang alternatif, agar bisa membangun atmosfer musik itu sendiri. Bagaimana kemudian berbagi pengalaman proses kreatif menciptakan musik, yang barangkali bagi sebagian kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda.

Pada intinya, diskusi pada malam itu mengerucut pada soal membangun ekosistim musik yang berkesninambungan. Ini pula yang kemudian dicoba di dorong oleh Gerobak Kopi melalui Doityoursong. Bagaimana kemudian dari kota kecil Payakumbuh ini bisa tercipta semacam kantung-kantung kreatif untuk Sumbar, skena-skena musik yang akan memperkaya ragam musik nasional. Sebuah cita-cita yang tentu membutuhkan proses panjang, semangat, kerja keras, serta konsistensi dari para pegiat itu sendiri. Atau barangkali optimistik ini hanya euforia yang utopik? Rasa-rasanya tidak.

Doityoursong:Teraseni.Com
Sesi diskusi setelah pertunjukan
Foto: Dokumentasi Panitia

Kenapa tidak, anak muda kota Payakumbuh punya sejarah tersendiri tentang tumbuh kembangnya musik di kota mendayu ini. Berbicara musik popular salah satunya, barangkali mereka masih mengingat betul, satu dekade yang lalu, Blitz Band, sebuah band yang mengasah kemampuan dari panggung lomba satu ke panggung lomba yang lain. Kemampuan itu yang kemudian dituangkan ke dalam semangat yang begitu besar untuk sebuah cita-cita. Maka, mulailah membuat lagu, beberapa tahun berikutnya mereka menjelma band yang dirasa pantas untuk membuka konser-konser akbar. Akibatnya, hampir setiap tongkrongan anak seusia sekolah menengah di kota Payakumbuh kala itu, lagu Blitz Band ada diputaran pertama dalam playlist mereka.

Dalam masa yang sama, juga muncul Rubberclock, band rocknroll Payakumbuh yang secara diam-diam menjadi semacam trendsetter bagi anak-anak rebel penggila suara-suara crunch yang nakal. Lagu-lagu hits dari sebuah album mini yang Rubberclock hasilkan, tentu membuat penonton tak berhenti berputar-putar di gigs-gigs Sumbar. Tidak hanya itu, Rubberclock juga dengan mudahnya melewati audisi LA Lights Indiefest 2008 lalu.

Tak hanya di Payakumbuh, di kota Padangpanjang Serambi Mekah, Cheerie Plus, Ziva Band juga turut mencuri perhatian masyarakat musik Sumbar kala itu. Selain memang mereka punya materi musik yang kuat serta garapan-garapan yang cukup berbeda dari banyak band di Sumbar.

Namun, pada tahun-tahun itu, Jakarta lebih menggoda bagi band-band Sumbar ini. Mereka terkesan mengekor pada paradigma lama, bahwa Jakarta adalah segalanya bagi musik popular Indonesia, bahwa “pengakuan” seolah-olah hanya ada di Jakarta. Oleh karenanya, satu persatu mereka hijrah ke kota impian tersebut. Kiranya, tak semudah membuat musik itu sendiri, irama Jakarta kiranya teramat kompleks untuk kemudian bisa di aransemen, terutama bagi band-band daerah. Tak terkecuali bagi band-band dari Sumbar ini.

Doityoursong:Teraseni.Com
Foto bersama pegiat musik kota Payakumbuh
Foto: Dokumentasi Panitia

Lalu, kita bisa menebak hasil akhirnya. Tak banyak dari band-band tersebut yang bertahan di kota maha citra itu. Satu persatu mulai meninggalkan ritmanya, pindah ke kota lain dengan mencari kemungkinan lain. Atau, pulang kembali menata diri seraya belajar dari pengalaman dengan memunculkan sebuah kesadaran baru. Bahwa, untuk sebuah “industri” musik, semestinya juga harus serta merta membangun atmosfirnya. Agar mata rantai musik itu sendiri berjalan, dan dengan sendirinya setiap kepentingan stakeholder ikut mencebur di dalamnya.

Barangkali, hari ini, tak ada salahnya kita untuk mengintip sedikit di etalase keriuhan musik Bali yang mau tak mau harus diapresiasi. Bagaimana Bali, dengan kota-kotanya tersebar, mereka adalah sebuah pulau yang jumlah penduduknya pun serupa Sumbar, lebih kurang seupil jika dibandingkan dengan Jakarta. Namun, dalam hal kreativitas bermusik mereka punya semacam manuver yang jika tidak tepat digunakan istilah gigantisme, atau heroisme, tetapi kenyataannya mereka merayakan semangat desentralisasi musikal yang siap melawan untuk bergantung pada Jakarta.

Keriuhan yang dimulai dari industri musik lokal, katakanlah pop Bali atau pop berbahasa Bali, kemudian bergeser keindustri yang lebih luas berbagai macam genre musik. Ambien-ambien musik Bali pun tak lagi hanya didengar oleh telinga-telinga lokal, melainkan sudah melampaui nasional dengan menembak langsung jalur Balkan Eropa, dan Amerika. Jelas saja, hingar bingar musik Bali ini tentu sudah melewati proses yang panjang, semangat yang sama, kerja keras, serta konsistensi dari para pegiat-pegiat musik itu sendiri.

Sudah barang tentu, skena-skena musik yang lahir dibanyak tempat, dengan beragam genre dan attitude masing-masing adalah semacam modal kultural yang dimiliki Bali. Namun, modal kultural saja tentu tidak cukup, modal sosial juga tak kalah penting. Bagaimana kemudian mereka menciptakan ruang-ruang organologis, tempat beresonansinya beragam kelompok genre musik. Di setiap sudut, ada saja panggung untuk menggelar karya-karya sebagai wujud ekspresi musikal. Di cafe-cafe, bar-bar, tak lagi ruang konsumtif belaka, melainkan menjelma sebagai panggung-panggung alternatif untuk band-and atau kelompok-kelompok musik yang ingin mempresentasikan estetikanya. Pada bulan-bulan tertentu terdengar pula festival-festival yang mendorong semaraknya skena musik masing-masing.

Agaknya, budaya ini pun akhirnya tumbuh sebagai pemenuhan kebutuhan hasrat musikal setiap orang, musik telah menjadi semacam muara dari suara-suara beragam kepentingan. Baik yang praktis, maupun yang politis, baik yang ideologis, maupun yang ekonomis. Maka, musik tak lagi sekedar bunyi yang dilantunkan, melainkan sebuah alat untuk mempertemukan ragam kehidupan.

Payakumbuh, kota yang mendayu biru ini, sekiranya tak kurang dengan kultur musik. Mulai dari tradisi, pop daerah, hingga kontemporer terus bergeliat. Hanya saja soal intensitas, konsistensi, menjaga semangat, serta kemauan untuk beriya-iya, bagaimana kemudian setiap pegiatnya bersepakat membangun sebuah ekosistim musik yang saling bertaut satu sama lain, tidak hanya sesama musisi, juga penikmat, pencatat, pemoto, dan siapa saja yang tergerak untuk majunya musik itu sendiri. Percayalah, meskipun dimulai dari gerobak, yang kita butuhkan hanyalah terus mengayuh, mendorong, serta memacu, menyambung kembali mata rantai yang mungkin terputus beberapa tahun belakang. Bahwa kemudian, tidak ada yang tidak bisa, kecuali tidak mau.

Tengok Bustaman IV; Bustaman Untuk Dunia Mengulas Figur Kai Bustam Lewat Galeri Kampung

Tengok Bustaman IV; Bustaman Untuk Dunia Mengulas Figur Kai Bustam Lewat Galeri Kampung

Rabu, 8 mei 2019 | teraSeni.com~

Semarang—Aroma khas kambing menyeruak memenuhi udara. Dari ujung gang, sampai jalan- jalan sempit, memperlihatkan aktifitas warga kampung bustaman—atau dikenal juga kampung penjagal kambing—yang guyup. Sebagian dari mereka, adalah pedagang sekaligus pembeli. Tetangga sekaligus keluarga. Sebuah jalinan yang jarang ditemui di kampung- kampung tengah kota, terutama di tengah arus modernisasi saat ini. 
Tengok Bustaman IV merupakan kelanjutan dari agenda dua tahunan Tengok Bustaman I sampai III sejak tahun 2013. Ada banyak karya seni peninggalan yang masih terjaga, dan atau dimodifikasi oleh warga kampung di sana- sini. Mural di dinding- dinding kampung, Wayang Gaga yang tergantung, hingga komik strip yang mampu mengundang penasaran hingga gelak tawa pengunjung. 
Secara lugas, Tengok Bustaman IV merupakan hasil dari kerja keras kolektif komunitas Hysteria dan warga kampung. Dengan menjunjung frasa Bustaman Untuk Dunia, mereka mencoba menerjemahkan ulang kontribusi figur Kai Bustam beserta keturunannya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi hidup dan kehidupan Kampung Bustaman, bahkan Kota Semarang. Dalam hal ini, direspon dengan pendayagunaan kembali bekas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dalam wujud galeri seni. 
Kampung Bustaman: Teraseni.Com
Arak-arakan bustaman, saat keliling kampung
Foto: Dokumentasi Penyelenggara
Menjelang senja, anak- anak sudah merias diri dengan berbagai macam pakaian adat lengkap dengan segala tetek bengeknya untuk mengikuti ritual pengarakan Bustaman. Yakni, ritual arak- arakan pengantin sunat keliling kampung. Sebenarnya, pembukaan galeri oleh Ayah Hari—figur kampung yang dituakan—akan dilakukan pada tanggal 21 April 2019 malam, sepaket dengan street perfomers art yang melibatkan dengan beberapa seniman dan urbanis. Tetapi, mengawalinya dengan arak- arakan di sore hari sebagai rambu- rambu pengingat acara, barangkali bisa menambah daya tarik pengunjung lebih dini. 
“Karena momentumnya pas. Yaitu bertepatan dengan peringatan hari kartini, akan lebih baik jika kita juga merayakannya sekaligus menghibur adik- adik yang baru saja disunat,” ungkap Ayah Hari dengan wajah berseri- seri, saat ditemui ditengah- tengah ritual arak- arakan pada Minggu (21/04) kemarin. 
Ketika salah seorang warga kampung membakar petasan, maka prosesi arak-arakan pun dimulai. Mereka melakukan pawai keliling kampung, dengan menyenandungkan sholawat nabi yang diiringi oleh grup rebana dan terbangan. 
Tengok Bustaman IV kemudian menjadi respons isu-isu kampung kota dalam bentuk artistik dengan menggandeng banyak seniman dan para urbanis. Sebagai usahanya, seniman- seniman yang terlibat akan mengangkat dan memberdayakan bekas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai ruang publik yang sudah lama ditinggalkan dan diabaikan. Pemberdayaan dan pemanfaatan ini berupa pembuatan galeri seni yang artistik dan estetik sekaligus interaktif bagi partisipasi publik serta ikonik sebagai sebuah ruang yang dapat mengakomodasi ekpresi publik. 
Kampung Bustaman: Teraseni.Com
Rumah Pemotongan Hewan yang sudah tak terpakai yang disulap menjadi galeri seni bustaman, tampak
 dari depan
Foto: Dokumnetasi Penyelenggara
Agenda ini melibatkan sekurang- kurangnya sepuluh seniman (baik grup maupun individu), band, serta muralis warga dengan didukung pula street perfomer artis yang merespon selasar jalan depan RPH sebagai sebuah panggung ekspresi. Seniman yang terlibat diantaranya; Deny Denso, Hasrul (jakarta), Kolase Semauku, Five Miles Stereo. Arsita Iswardhani (Teater Garasi- Yogyakarta), Pop Corn (Surabaya), Resto Samkru, Gracia Tobing (Bandung), Propagandasmu (Magelang), Rizka Ainur R, Gump n Hell, Tesla Manaf (Bandung), Sore Tenggelam, Ok Karaouke, serta Tridhatu. Mereka telah mempersiapkan diri selama satu minggu dibawah arahan Iqbal Al Ghofani selaku kurator, dan Syaifudin Iqbal selaku ketua panitia. 
“Sebagian seniman yang merespon memang belum mengenal secara dalam historis dan latar belakang kampung Bustaman dengan keterkaitannya pada Kai Bustaman. Sehingga sebagian mereka memang perlu datang dan berinteraksi secara langsung, melakukan riset, hingga meski membaca sejarah untuk akhirnya membuat sebuah karya seni yang bernilai artistik, informatif yang dapat mengakomodasi ekpresi publik,” ungkap Adyn Hysteria, selaku direktur Komunitas Kolektif Hysteria yang dalam hal ini sebagai pihak ketiga dalam penyelanggaraan festival. 
Kampung Bustaman: teraseni.Com
Seorang anak tengah memperhatikan komik strip, salah satu karya dalam galeri Bustaman
Foto: Dokumentasi Penyelenggara
Bustaman Untuk Dunia dijadikan sebagai tema besar bukan terjerembab segala sebab. Hal ini pertama kali dinyatakan oleh Ayah Hari jauh sebelum ini sebagai sebuah ulasan kampung yang serba terbatas namun berusaha memberikan kontribusi untuk dunia. “Kampung Bustaman itu kampungnya kecil. Rumah-rumahnya berdempetan. Banyak gang-gang kecil. Tapi kami ini istimewa. Dan justru dengan segala keterbatasan itulah kami berusaha untuk tetap menjaga budaya, menjaga hal- hal yang diwariskan dari leluhur kami. Yakni Kai Bustam,” Terang Ayah Hari. Pandangannya jauh, seakan menyimpan sesuatu pada kampung yang ia banggakan. 
Bekas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang direspon sebagai Galeri Seni sekaligus partisipasi publik menjadi ikonik dan pembeda dalam Tengok Bustaman kali ini. “Pada awalnya, gedung ini memang digunakan sebagai pemotongan hewan secara komunal, sebelum akhirnya warga memilih untuk melakukan pemotongan kambing di rumah pribadi. Pada Awal tahun 2016- 2017 itu memang sudah tidak berfungsi, dan atas kesepakatan warga, lahan ini dijadikan lahan parkiran. Kemudian atas usul mas Adin dan kesepakatan warga lagi, akhirnya bekas RPH ini dijadikan galeri Bustaman,” tutur Ifkar Izani, salah satu aktivis pemuda kampung Bustaman. Ia mengaku senang dengan gagasan ini.

Selain sebagai refleksi diri siapa itu Kai Bustman, agenda ini juga bisa menjadi kabanggaan dan alasan untuk tetap kumpul antar remaja. 

Kampung Bustaman: Teraseni.Com
Beberapa karya seni yang dipamerkan di galeri bustama
Foto: Dokumentasi Penyelenggara
Adin Hysteria, mengundang para seniman lokal semarang dan luar kota untuk merespon dalam bentuk karya seni sebagai ruang publik. Sehingga muncul nama-nama seperti; Deny Denso (Semarang), Hasrul (jakarta), Kolase Semauku (semarang), Five Miles Stereo (Semarang), serta Pop Corn (Shalihah Ramadhanita-Surabaya). Mereka menampilkan garapan dengan gayanya masing- masing. Memadukan sejarah Kampung Bustaman, partisipasi aktif Kai Bustam, serta perspektif tiap seniman. Menggabungkan keterampilan konvensional dan teknologi modern menjadikan karya yang dipajang kian variatif. 
Karya mereka mempresentasikan keagungan dibalik sosok Kai Bustam. Dengan membawa dan mempertanyakan kembali, banyak nilai yang melekat pada objek yang bisa menjadi titik temu warga bustaman dengan leluhurnya. Siapa itu Kai Bustam? Apa Jasanya? bagaimana sikap yang kita ambil sebagai penerusnya? tidak hanya menjadi “sakral”, tetapi kepentingan melekat pada penikmat dan pada akhirnya pada penciptanya. Mereka banyak menemukan fakta- fakta menarik dari figur Kai Bustam. 
“Banyak hal yang menginspirasi kami untuk belajar sebagai seniman dan aktivis kebudayaan,” tungkasnya. Galeri Bustaman, kemudian rencananya akan terus dibuka sebagai ruang publik dalam kurun waktu yang belum bisa ditentukan.

Para Pensiunan 2049 : Balada Koruptor yang Dikejar hingga Alam Kubur

Para Pensiunan 2049 : Balada Koruptor yang Dikejar hingga Alam Kubur

Rabu, 24 April 2019 | teraSeni.com~
Seonggok jenazah lelaki paruh baya tidak bisa disemayamkan. Sang penjaga kubur kekeh menolak
untuk menguburkannya walau jenazah adalah orang terpadang di masa hidupnya. Pasalnya
sederhana, sang jenazah tidak mempunyai sehelai surat penting, ‘SKKB’ Surat Keterangan Kematian yang Baik sebagai
syarat pemakaman. Jenazah tersebut
disinyalir melakukan korupsi di masa hidupnya. Implikasinya sang jenazah akan diperlakukan
dan dibuang laiknya sampah. Arwah dari jenazah tersebut gusar, ia mulai
mendatangi satu per satu orang yang bisa memberikan SKKB kepadanya. Pelbagai
upaya (baca: intrik) mulai dilakukan, agar kelak ia tidak hanya dapat
dikuburkan, namun untuk mengembalikan nama baiknya. 
Bukan Teater Gandrik,
jika tidak “mengusik” persoalan sosial serta politik Indonesia dan
menerjemahkannya dalam peristiwa teater. Bertajuk Para Pensiunan: 2049, mereka mengangkat isu yang familier dan terus
berulang di masyarakat Indonesia, sekaligus tak pernah punya jalan keluar,
yakni korupsi. Alih-alih mensosialisasikan pesan dan jargon anti korupsi dengan
kaku, Teater Gandrik justru menghadirkannya dengan narasi tentang korupsi dan
kematian. Namun kematian di sini tidak seperti tayangan azab di layar televisi,
melainkan sebuah cerita hukuman duniawi—pasca kematian—untuk para koruptor. 
Tetaer Gandrik: Teraseni.Com
Tampak seorang aktor digambarkan sedang berada pada dimensi lain
Foto: Yuke Arfiyahya
Naskah menarik buatan
Agus Noor dan Susilo Nugroho ini lalu disutradarai oleh G. Djaduk Ferianto.
Kemudian Rombongan pemain, yakni: Butet Kartaredjasa, Susilo Nugroho, Jujuk
Prabowo, Rulyani Isfihana, Sepnu Heryanto, Gunawan Maryanto, Citra Pratiwi,
Feri Ludiyanto, Jamiatut Tarwiyah, Nunung Deni Puspitasari, Kusen Ali, M Yusuf
Peci Miring, Broto Wijayanto, Muhamad Ramdan, Akhmad Yusuf Pratama,
mempertunjukkannya dengan balutan kritik khas ala Gandrik, “guyon parikena”.
Tidak hanya dengan
canda dan sindiran ala Teater Gandrik, proporsi plot cerita, pelakonan tiap
pemain, hingga alunan musik tergarap sebagaimana mestinya. Kerja sama antar
lini, yakni penata musik (Djaduk Ferianto dan Kuaetnika), penata artistik (Ong
Hari Wahyu), penata cahaya (Dwi Novianti), penata kostum (Djaduk, dkk), dan
penata suara (Antonius Gendel) bersinergi dengan apik. Di bawah komando Djaduk
Ferianto, karya  yang digelar di Concert
Hall, Taman Budaya Yogyakarta (8-9 April)—dan akan dipentaskan di Ciputra
Artpreneur Teater, Jakarta (25-26 April)—ini membuktikan bahwa mereka bukan teater
klangenan belaka.
 
Persekongkolan Melenyapkan
Kebenaran: Tamparan Untuk Indonesia
 
Jenazah seorang
laki-laki paruh baya terpandang, bernama Doorstoot—yang diperankan oleh Butet
Kartaredjasa—ditolak untuk dikuburkan. Penguburannya tidak dapat dilakukan
karena terkendala ‘SKKB’ Surat Keterangan
Kematian yang Baik
yang tidak dikeluarkan oleh ‘KPK’ Komisi Pertimbangan Kematian. Dugaan adanya penundaan terjadi
karena Doorstoot disinyalir melakukan tindak korupsi di masa hidupnya. Sementara
itu seorang juru doa, Slepen—diperankan oleh Gunawan Maryanto—memperjualbelikan
doa dalam pelbagai varian. Namun segala doa tidak dapat dilakukan, pasalnya Kerkop—yang
diperankan oleh Susilo Nugroho—sebagai petugas penguburan menjaga marwah makam
dengan tegas. Ia menolak pelbagai rayuan, mulai dari harta, takhta, hingga
wanita.
Teater Gandrik : Teraseni.Com
Dua orang pemeran digambarkan pada dunia yang berbeda
Foto: Yuke Arfiyahya
Adalah langkah jitu
bagi Butet Cs membuka pertunjukan dengan adegan yang menyita perhatian. Di mana
beberapa orang tengah menggali kubur, sementara terdapat rombongan yang
mengantarkan seonggok jenazah untuk dikuburkan. Proses pemakaman tidak berjalan
dengan lancar, terjalin percakapan yang rigid, mengapa
hal tersebut terjadi. Tidak dilakukan dengan dingin dan kaku, percakapan justru
terasa kuat dengan pendalaman karakter dari setiap tokoh dan lelucon segar yang
kerap menaungi mereka. Hal ini kiranya berhasil memberikan landasan persoalan
dengan jelas, sekaligus memudahkan penonton mengidentifikasi tokoh hingga
persoalan yang diangkat.
Cerita kematian
koruptor memang tidak terbayangkan untuk diangkat. Terlebih dengan mengangkat cerita
pensiunan yang mengalami kesulitan penguburan. Padahal pensiunan merupakan
figur yang lazimnya digambarkan menikmati masa tua dengan tenang. Alih-alih
serupa, cerita daur ulang isu Pensiunan (1986)
karya alm. Heru Kesawa Murti, diubah sedemikian rupadi tangan Teater Gandrik,
khususnya pada alur cerita dan orientasi pensiunan. Di bawah komando Djaduk
Ferianto, para pensiunan dibuat ‘sengsara’ dan tidak tenang, terlebih jika
mereka melakukan korupsi.
Pelbagai piranti pun
disiapkan, semisal plesetan terma yang
lazimnya digunakan untuk korupsi, serta terma yang familier. Beberapa di
antaranya adalah SKKB, singkatan dari Surat Keterangan Kelakuan Baik menjadi
Surat Keterangan Kematian yang Baik; KPK yang lazimnya singkatan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi berubah menjadi Komisi Pertimbangan Kematian; hingga
adanya undang-undang PELAKOR yakni undang-undang pemberantasan pelaku korupsi. Kehadiran
Plesetan terma ini berfungsi dengan
baik, walau seolah digambarkan berbeda dengan Indonesia tetapi plesetan tersebut membuat persoalan
terasa dekat dengan permasalahan di tanah air.
Kembali
pada cerita yang dibangun, pertunjukan Teater Gandrik kali ini mengisahkan
upaya Doorstoot yang ingin mendapatkan SKKB. Namun menjaminnya tidak korupsi
adalah sebuah kemustahilan, maka pelbagai cara mendapatkan SKKB dilakukan, mulai
dari upaya keluarga membujuk, menjebak, atau menyuap penjaga kubur; hingga jenazah
yang terus mendatangi instansi berwenang dengan harapan mendapatkan SKKB. Narasi
tersebut dibangun dengan alur maju mundur pada adegan-adegan berikutnya.
Teater gandrik : Teraseni.Com
Salah seorang aktor terduduk, sementara aktor lain memegang dengan ekspresi cemas
Foto: Yuke Arfiyahya
Di antaranya adalah ketika
Katelin—yang diperankan oleh Nunung Puspitasari—beradu argumen dengan sang
suami, Jacko—yang diperankan oleh Sepnu Heryanto—yang membicarakan ayahnya
serta hutang budi sang suami. Pembicaraan berakhir pada desakan Katelin pada
sang suami agar “menyelamatkan” mayat ayahnya . Lainnya, beberapa adegan
percakapan Rainne Alleman—yang diperankan oleh Citra Pratiwi—dengan Jacko,
serta percakapan dengan para pensiunan, yang membicarakan tentang ketakutan sehingga
mereka harus bersatu; dan Doorstoot yang bernegosiasi dengan Kerkop. Selain
karakter yang kuat dari setiap tokoh, adegan percakapan tersebut telah
mengungkap kausalitas yang artikulatif. Terlebih percakapan selalu disisipi guyonan dan satire politik, sehingga
seberapa kompleks cerita yang dibangun, penonton dapat mengikutinya dengan saksama.
Pada struktur
pertunjukan, di bawah arahan Djaduk Ferianto, Teater Gandrik menggunakan
struktur yang lebih struktural laiknya gaya pewayangan. Di mana berisikan unsur
dasar, seperti: pemaparan, konflik, goro-goro, dan epilog. Pilihan struktur
pertunjukan ini memberikan alur yang bertingkat, sehingga proses menuju klimaks
pertunjukan dapat dirasakan secara perlahan. Hal ini tampak pada konflik yang
dimunculkan yakni para pensiunan berkomplot untuk melenyapkan undang-undang
PELAKOR. Pun hal ini ditunjukkan secara jelas di dalam pertunjukan, mulai dari
laku provokasi terhadap para pensiunan, hingga pertemuan para pemangku kuasa,
yakni Doorstoot, Jacko, Vonis—diperankan oleh Broto Wijayanto—, dan
Strook—diperankan oleh Feri Ludiyanto—yang sepakat untuk melenyapkan
undang-undang PELAKOR.
Konflik tersebut telah
mengantarkan adegan “goro-goro”menjadi semakin mendalam. Di mana para pensiunan
bekerja sama menguburkan paksa sang penjaga kubur, Kerkop. Hal ini mereka lakukan
untuk meniadakan undang-undang PELAKOR yang menyulitkan mereka. Tentu adegan
ini telah menjadi penutup yang apik, mulai dari kejutan cerita hingga
penggarapan visualisasi di dalam pertunjukan. Tidak sampai di situ, menurut
hemat saya bagian paling penting adalah pada adegan setelahnya di mana Onderdeel—diperankan
oleh Jujuk Prabowo—sang pemungut jenazah koruptor diam kebingungan. Onderdeel membuka
plastik besar yang lazimnya digunakan untuk memungut jenazah koruptor, tetapi
undang-undang telah dilenyapkan, sehingga tidak ada lagi undang-undang apalagi koruptor.
Sebuah refleksi untuk Indonesia, atas konsensus yang kerap melanggengkan
kesalahan untuk kepentingan semata.
 
Teater ‘Pensiunan’ yang Kembali Segar 
Pada awalnya, saya
mempunyai kecemasan ketika menonton Teater Gandrik; apakah mereka kembali
menjadi teater klangenan yang lebih
banyak mengeksplorasi guyonan ketimbang
teaternya? Namun ternyata saya keliru, berbeda dengan Hakim Sarmin yang tampil tidak menggairahkan, Para Pensiunan 2049 terasa lebih cakap dalam ide, naskah, hingga
perwujudannya sebagai sebuah pertunjukan teater.
Menurut hemat saya, latihan
delapan bulan yang mereka lakukan telah membuahkan hasil. Kendati Djaduk
mengatakan bahwa pada karya ini menggunakan konsep trial and error, tetapi percobaannya cukup berhasil—bahkan
melampaui ekspektasi untuk kelompok teater senior tersebut. Hal yang paling
saya garis bawahi dari Para Pensiunan
2049
ini adalah proporsi yang tepat di setiap lininya. Isi cerita yang kuat
disisipi dengan guyon parikena yang sesuai,
bukan sebaliknya. Lebih lanjut, mereka tetap fokus pada struktur cerita yang
telah ditetapkan sehingga satire politik menjadi sisipan cerita semata. Alhasil
pertunjukan bukan mencari tawa tanpa tahu arah, namun menyajikan sebuah cerita dari
kenyataan dan menertawakannya secara bersama-sama.
Teater gandrik: Teraseni.Com
Seorang aktor diatas kasur dikelilingi beberapa aktor lainnya
Foto: Yuke Arfiyahya
Pun hal menarik yang
perlu saya catat dari pertunjukan Para
Pensiunan 2049
ini adalah pendalaman karakter yang dirasa semakin kuat.
Selaku sutradara, Djaduk Ferianto telah berhasil dengan proses penggalian karakter
dari setiap pemainnya. Hal ini dapat dilihat dari adegan percakapan antar
karakter hingga beragamnya jenis percakapan yang terjalin, mulai dari
percakapan biasa, penggunaan nada tertentu, hingga nada laiknya pasio—bacaan
kisah sengsara Isa Almasih pada ibadat Jumat Agung. Alhasil munculnya beberapa
pemain baru yang mengisi Para Pensiunan
2049
ini tidak sia-sia, melainkan membuat Teater Gandrik semakin berwarna
dan kuat di dalam pertunjukan.
Tidak hanya itu, apresiasi
juga perlu diberikan pada pencahayaan dan alunan musik. Di mana pencahayaan
telah merangkai visual pertunjukan semakin kuat. Sedangkan pada alunan musik,
Djaduk Ferianto dan Kuaetnika—Purwanto, Indra Gunawan, Sukoco, Sony Suprapto,
Beny Fuad Hermawan, dan Arie Senjayanto—telah menciptakan suasana pertunjukan
semakin representatif. Alunan dan susunan suara terasa tepat pada tiap adegan,
semisal ketika Djaduk bersenandung di setiap transisi pertunjukan, ataupun
menyisipkan bunyi ketika pertunjukan berlangsung. Selain musik, rombongan musisi
juga cukup menghibur dengan mengisi ruang tegang pada adegan konflik.
Kendati tetap perlu
dicatat bahwa ada perasaan grogi dari segelintir pemain, tetapi hal tersebut
tidak terlalu mengganggu solidnya pertunjukan. Alhasil tidak adanya hambatan teknis
dan unsur artistika untuk para penonton dalam menyerap pesan dari pertunjukan. Pesan
tentang korupsi yang dapat menjadi refleksi kita bersama dan bukan tidak
mungkin jika diajukan sebagai usulan hukuman koruptor di negeri ini. Bertolak
dari itu semua, Teater Gandrik perlu diapresiasi baik karena kesetiaannya
menautkan persoalan dan konteks yang terjadi di Indonesia, sekaligus
menerjemahkannya dengan cara yang khas menjadi sebuah pertunjukan menarik nan
menggigit.[]
Sesaji Nagari: Mewacanakan Persatuan Melalui Musik

Sesaji Nagari: Mewacanakan Persatuan Melalui Musik

Minggu, 7 April 2019 | teraSeni.com~

Ketika musik-musik etnik yang sudah familier di telinga masyarakat awam terus direproduksi; ketika banyak kelompok musik etnik yang lebih memilih jalan ‘aman’ dengan mengaransemen ulang lagu-lagu yang telah dikenal, grup musik etnik kawakan, Kuaetnika justru mengusung aksi berbeda. Mereka menggarap lagu-lagu daerah yang—bagi mereka—belum tersentuh dan dikenal oleh publik.

Djaduk Ferianto dan Kuaetnika mengaransemen sekaligus mengembangkan lagu-lagu daerah terpilih dengan satu tujuan, yakni menyelaraskan semangat keindonesiaan. Garapan dengan maksud ‘mulia’ tersebut lantas dikemas menjadi sebuah album yang bertajuk Sesaji Nagari. Alih-alih hanya melalui kepingan cakram padat, Kuaetnika turut mendesiminasikannya melalui konser musik yang diselenggarakan di dua tempat, yaitu: Taman Ismail Marzuki, Jakarta (23/2) dan Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (10/3).

kuaetnika: teraseni.com
Tampak seseorang diatas panggung menyapa penonton
Foto: Erwin Octavianto

Di dua tempat tersebut, Djaduk mengajak penonton untuk kembali meresapi apa yang terjadi dengan Indonesia beberapa waktu belakangan. Secara gamblang, Djaduk dan Kuaetnika ingin mengekspresikan kegelisahannya tentang negeri yang sedih. Atas dasar refleksi tersebut, Kuaetnika menyulam kembali rasa persatuan dengan menghadirkan keberagaman melalui 10 lagu—baik lagu daerah ataupun lagu karangan sendiri. Lagu-lagu tersebut diibaratkan menjadi sesaji guna memohon kedamaian, persatuan, dan keutuhan kepada Tuhan, sekaligus umatnya.

Dalam hal ini, pilihan menarasikan persatuan melalui musik tentu menarik. Pasalnya di tengah keruhnya konstelasi politik dan gesekan paham menjelang Pemilu, pelbagai ajakan dan seruan yang eksplisit tentu terasa politis. Bahkan di dalam bukletnya, Kuaetnika turut menuliskan “Ini Bukan Pertunjukan Politik”. Namun apakah Kuaetnika—sebagai kelompok musik—setia menarasikan gagasannya dan berhasil mengartikulasikannya melalui musik, ataukah sebaliknya, terjerembap pada lubang politik?

Mendengar Wacana Menelisik Musik

Sebagai kelompok musik etnik yang dibuat sejak tahun 1996, Kuaetnika memang kerap berkreasi dan melakukan inovasi pada musik-musik daerah. Kuaetnika kerap menciptakan lagu baru dengan sumber, baik aural, ataupun visual dari sosio kultural beberapa lokus hasil eksplorasi mereka. Tidak hanya itu, Kuaetnika kerap melakukan penyilangan genre, eksperimen melodi, tempo, beat, bahkan harmoni.

 kuetnika: teraseni.com
Tampak penyanyi seolah terhanyut dalam lagu yang dinyanikannya
Foto: Erwin Octavianto

Pun konsistensi Kuaetnika tidak bisa diragukan. Mereka jarang absen dalam memproduksi musik, semisal: Nang Ning Nong Orkes Sumpek (1996); Ritus Swara (2000); Unen-Unen (2001); Many Skyns One Rhythm (2002); Pata Java (2003); Vertigong (2008); Nusa Swara (2010); dan Gending Djaduk (2014). Bahkan mereka juga tidak jarang pentas di festival musik, baik lokal ataupun internasional. Alhasil telah terpatri akan kualitas Kuaetnika sebagai kelompok musik yang bernas.

Konser di Yogyakarta (10/3), Kuaetnika mempertunjukkan kesepuluh lagu pada album yang dirilis akhir tahun lalu, dengan urutan sebagai berikut: “Kadal Nongak”, “Doni Dole”, “Batanghari”, “Anak Khatulistiwa”, “Lalan Belek”, “Sesaji Nagari”, “Ulan Andung-Andung”, “Made Cenik”, “Sigule Pong”, dan “Air kehidupan”. Alih-alih dipentaskan secara kaku, konser musik justru berlangsung cair dan akrab. Semisal di awal pertunjukan yang dikemas laiknya mereka tengah berlatih—lebih lanjut mereka melakukan improvisasi dengan prinsip interlocking—, yang kemudian “diganggu” oleh kehadiran Alit dan Gundi, selaku master of ceremony (seterusnya ditulis dengan MC).

Percakapan antara Djaduk dan MC juga melibatkan tema umum dengan gaya yang jenaka. Beberapa tema yang diangkat seperti tingkah laku generasi milenial yang kurang paham tata krama, kecenderungan praktis, penggunaan gadget, dan lain sebagainya. Di dalam hal ini, mereka agaknya menyadari akan posisi anak muda sebagai agent of change ke depan. Pasalnya pelbagai tingkah laku ‘nyeleneh’ anak muda selalu berujung petuah dari Djaduk. Lebih lanjut, petuah-petuah tersebut mengarah pada satu isu, yakni kesatuan Indonesia, atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di dalam konser tersebut, Djaduk dan Kuaetnika ‘menyulap’ sejumlah tujuh lagu daerah—yang bagi mereka kurang mendapat perhatian lebih—dan menciptakan tiga lagu dengan bernuansa nusantara. Khususnya pada tujuh lagu daerah yang berasal dari barat hingga timur Indonesia tersebut, unsur etnik dari setiap lokus tetap dijaga, tidak dicerabut sesukanya.

Terjaganya etnik diejawantahkan dengan penggunaan instrumen asli; penggunaan bahasa dan lirik yang sama; aransemen yang pada beberapa bagian di dalam lagu tidak jauh berbeda. Semisal pada lagu “Kadal Nongak” asal Nusa Tenggara Barat atau lagu “Sigule Pong” asal Sumatera Utara, yang masih mengedepankan instrumentasi di beberapa bagian lagu. Namun cukup disayangkan, pada beberapa bagian musik etnik hanya tampak secara visual. Pasalnya ada beberapa bagian di mana musik etnik yang semestinya ‘tampil’ justru tidak terdengar jelas atau ‘kalah’ dengan suara instrumen lainnya.

kuaetnika: teraseni.com
Siluet dengan latar cahaya biru
Foto: Erwin Octavianto

Pun Kuaetnika juga melakukan inovasi dan sentuhan musik yang berbeda-beda. Pada beberapa lagu tersebut, Djaduk memasukkan unsur genre lain, semisal pada lagu “Kadal Nongak” yang dibuat lebih “pop” pada bagian chorus, atau “Sigule Pong” yang disilangkan dengan genre jazz pada bagian chorus. Sedangkan pada lagu lainnya, Djaduk dan Kuaetnika “bermain-main” dengan beat dan tempo lagu. Semisal beat yang lebih cepat pada lagu asal Poso, “Doni Dole”. Inovasi tersebut tentu memberikan impresi yang berbeda dari lagu aslinya, tetapi apakah perubahan pada beat atau silang genre mempertimbangkan konteks atau impresi dari versi aslinya? Jika demikian, apakah impresi selalu bertuan pada kecenderungan selera konsensus?

Bertolak dari itu semua, Kuaetnika konsisten dalam menciptakan lagu apik serta meracik musik nusantara menjadi sajian pertunjukan yang menarik. Terlebih pada singkupasi, harmoni, hingga perpaduan bunyi dari alat musik yang beraneka. Sesaji Nagari tentu membuktikan kualitas baik dari Kuaetnika sudah menjadi keniscayaan, tetapi laiknya sesaji, mengharap kejutan memukau atau kebaruan tentu perlu dipanjatkan pada kelompok musik dengan potensi yang berlimpah ini.

Wacana Persatuan di tengah Badai Politik 

Tentu menggalang pesan persatuan di tengah hiruk pikuk politik Indonesia belakangan memang penting, tetapi kesan politis tidak dapat terhindarkan. Kenyataannya, perpecahan karena kontestasi pemilu memang menggerogoti masyarakat Indonesia. Keberagaman pun menjadi cita-cita yang kini jauh panggang dari api.

kuaetnika: teraseni.com
Terlihat komunikasi Djaduk dengan MC di atas panggung
Foto: Erwin Octavianto

Dari keadaan tersebut, konser musik Sesaji Nagari dipertunjukkan sebagai doa guna menyadarkan kita akan beberapa hal, pertama, narasi keberagaman; kedua, optimisme akan potensi kebudayaan; ketiga, kesadaran untuk mencintai budaya, terlebih masih banyaknya budaya yang belum terjamah dan dieksplorasi secara luas. Maka kehadiran seniman laiknya Djaduk Ferianto dan Kuaetnika memang diperlukan. Pasalnya jika dalam porsi yang sesuai, melalui senilah kewarasan berbangsa dan bernegara justru dapat distimulasi.

Namun yang perlu menjadi catatan, lagu-lagu pada konser Sesaji Nagari yang sudah menyimpan pesan keberagaman justru terlalu padat dalam pesan. Singkat kata, konser tersebut berlimpah pesan dan muatan oleh karena sesi percakapan yang dirasa terlalu panjang. Hal ini tentu mengundang pertanyaan, mengapa Djaduk memerlukan durasi panjang untuk sesi percakapan di setiap lagu? Tentu hal tersebut sah-sah saja, terlebih percakapan dapat memberikan kesan interaktif dan penekanan, tetapi efek percakapan membuat penekanan dirasa berlebih.

Hal tersebut membuat saya berpikir ulang, tetapi bukan tentang kurasi dibuatnya album, melainkan tujuan konser tersebut dihelat. Pasalnya album Sesaji Nagari sudah memiliki muatan yang baik, terlebih mengangkat lagu-lagu daerah tertentu untuk lebih dikenal luas, bukan ‘belum tersentuh’. Dalam hal ini, beberapa lagu sudah dikenal oleh publik di lokasi dan sekitarnya. Semisal “Sigule Pong” yang kerap menjadi lagu perayaan siklus hidup ataupun dinyanyikan Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi) untuk publik Sumatera Utara dan sekitar, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, album Sesaji Nagari mempunyai misi menunjukkan keberagaman sebagai potensi kekayaan dari bangsa Indonesia. Hal ini kiranya dapat menjadi contoh baik bagi kelompok musik etnik lain untuk lebih mempopulerkan atau mengaransemen lagu-lagu daerah lainnya. Upaya tersebut perlu dimulai kembali guna menguatkan ulang kesadaran masyarakat akan berbudaya.

Lantas, apakah keliru jika sebuah konser mempunyai tujuan dan kepentingan politik? Tentu hal tersebut juga bukan kekeliruan, pun dari konser Sesaji Nagari juga lah saya melihat bahwa musik tradisi mempunyai suara untuk bersumbangsih pada konstelasi perpolitikan. Namun alangkah eloknya jika pesan musik dan muatan politik dalam satu level kepentingan yang tidak jauh berbeda, sehingga sebuah pertunjukan dengan maksud politik apapun dapat terjalin tanpa mengingkari atau mengorbankan kekuatan dari pertunjukan itu sendiri.[]

Dibalik Pembatalan Konser Slank Di Aceh

Dibalik Pembatalan Konser Slank Di Aceh

Selasa, 22 Januari 2019 | teraSeni.com~

Slank adalah grup band rock asal Jakarta yang kariernya terbilang gemilang dan konstan di dunia rmusik tanah air. Namun siapa sangka, grup yang telah aktif mengguncang panggung Indonesia sejak 1983 ini justru ditolak tampil di Alun-alun Sigli, Aceh pada 29 September 2018 lalu. Menurut pihaknya, grup ini telah diberi izin oleh Direktorat Intelijen Keamanan Polda Aceh dengan segenap Polri dan TNI yang siap mengamankan jalannya acara. Sayang, tidak demikian dengan MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) yang terang-terangan melarang konser Slank melalui surat edaran nomor 451/314/2018. 
Surat tersebut tidak lain adalah hasil keputusan rapat MPU yang ditandatangani oleh Bupati Pidie Jaya dan seluruh anggota Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah). Agus Setyadi, melalui Detik.com mencatat bahwa konser Slank dilarang tampil karena dinilai tidak berkaitan dengan akidah keagamaan, khususnya ajaran Islam. Hal yang cukup disayangkan, pernyataan pembatalan konser baru sampai ke telinga penonton kira-kira satu jam sebelum waktu pentas. Sontak saja hal tersebut membuat ribuan penonton kecewa.

Slank: Teraseni.Com
Slank, sebuah grub band rock asal Jakarta
Sumbe Foto: https://citypost.id/berita-sekian-lama-berkarya-slank-rilis-album-religi-perdananya.html
Kejadian itu ditutup oleh pernyataan Slank yang tak kalah Diplomatis. Melalui sebuah video berdurasi 26 detik, Bimbim selaku drummer Slank angkat bicara, katanya: “Karena dalam keadaan berkabung atas bencana yang terjadi di Palu dan Donggala serta akan diadakan dzikir bersama di Sigli. Maka, dengan berat hati Slank terpaksa membatalkan konser malam hari ini di Sigli, see you next week di Lampung”.
Kejadian ini lantas menuai berbagai asumsi terkait pembatalan konser. Manajer Slank, (Bunda Iffet) menduga ada campur tangan politik dibalik pelarangan MPU terhadap pihaknya. Ia bahkan mengaku bingung, kenapa acara hiburan seperti itu harus diseret ke ranah politik hanya karena persoalan sponsor tertentu. Simpang siur pendapat seperti ini saya kira wajar adanya, mengingat saat itu bukanlah kali pertama Slank menggelar konser di tanah Syari’at Islam ini. Tercatat bahwa sebelumnya Slank pernah tampil dua kali di Aceh. Salah satunya adalah konser cinta damai dan anti-teroris bertajuk Death on Terrorism yang diadakan di Lapangan Blang Padang Banda, Aceh pada Mei 2010 silam. Kemudian selang empat tahun (September 2014), Slank kembali mengadakan konser di Lapangan dalam acara kampanye anti narkoba yang bertajuk Silaturahmi Budaya. 
Pemberitaan pembatalan konser disertai dengan pengetahuan atas riwayat konser Slank di Aceh tentu mengundang pertanyaan besar, bagaimana bisa Slank dianggap tidak mencerminkan Aqidah Islam di tahun 2018, sedangkan sebelumnya Slank ‘melenggang’ aman memasuki panggung pertunjukan di wilayah Aceh; atau, Apakah benar ini terkait Politik karena sponsor tertentu, seperti pernyataan sang manajer Slank, Bunda Iffet? Terkait dengan praduga yang muncul, tentu kita perlu ‘mengintip’ bagaimana MPU di Aceh bekerja. 
Sponsor Rokok dan Konser Aceh 
Usut punya usut ternyata konser Slank yang gagal tampil di Aceh Desember lalu merupakan bagian dari tur Magnumotion yang digelar di sembilan kota di Indonesia. Konser tersebut sengaja digelar dalam rangka mempromosikan Magnum, salah satu brand rokok Indonesia. Tidak begitu jelas mengapa manajer Slank menganggap sponsor rokok ada sangkut pautnya dengan pembatalan konser di Aceh. Apakah karena hukum merokok itu makruh dalam Islam sehingga bertentangan dengan putusan MPU atau kasus ini terpaut urusan politik, seprti yang diungkap oleh wanita yang berumur 81 tahun itu.

Majelis Permusyawaratan Umat: Teraseni.Com
Foto pengukuhan Majelis Pemusyawaratan Ulama Aceh
Foto diambil dari:
https://steemit.com/news/@antonysteem

Untuk tidak terburu-buru memutuskan, mari menyoroti kembali sponsor dari pihak mana sajakah yang pernah melatarbelakangi pendanaan Slank di dua konser sebelumnya. Pertama, konser cinta damai dan anti teroris di 2010. Menurut informasi dari ketua pelaksana konser saat itu, konser yang ikut melibatkan Slank delapan tahun lalu memang tidak melibatkan sponsor dari banyak kalangan. Konser tersebut terlaksana atas sumbangan dari beberapa pengusaha Aceh. Kedua, Road Show Silaturahmi Budaya Slank di 2014. Konser ini dimotori oleh Ikatan Keluarga Anti Narkoba (IKAN) Aceh dan didukung penuh oleh salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia (Clavo). 

Selain Slank, ada beberapa konser musik lain yang bisa dijadikan bahan pertimbangan. Adalah sederetan grup musik yang juga disokong oleh perusahaan rokok, di antaranya; Konser Grup Band Kotak di Banda Aceh Mei 2010, disponsori oleh PT. Sampoerna. Konser Wali Band Aceh Utara, November 2012 disponsori oleh SURYA 16, setelah itu di akhir Juli 2017 Wali Band hadir kembali di Aceh Tengah yang disponsori oleh Gudang Garam. The Changcuters di panggung Magnify di Aceh Tengah Oktober 2016 lalu. Grup ini bahkan berhasil tampil di Aceh Tengah meski menggunakan sponsor yang sama dengan Slank, yaitu Magnum Filter. Sebenarnya bukan hanya di Aceh, kecenderungan perusahaan rokok mensponsori konser musik memang menjadi lazim sejak era 1980an.
Qanun Aceh Tentang Konser 
Menurut peraturan yang berlaku, untuk menghelat sebuah konser di daerah khusus Aceh terdapat dua pihak yang harus dilewati, yaitu: tahap keamanan negara (Polri dan TNI) dan tahap Hukum Islam Aceh (MPU). MPU adalah pihak yang berhak memberi masukan, pertimbangan dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah (keseluruhan). Terkait Syariat Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga telah mengeluarkan peraturan terkait kriteria kegiatan seni budaya dan hiburan yang diperbolehkan dalam Islam. Hal itu tertuang dalam fatwa MPU Aceh Nomor 12 Tahun 2013. Fatwa tersebut nantinya akan mengatur seluruh isi konten nyanyian, kegiatan hiburan, dan penonton. 
Pembatalan Konser Slank: Teraseni.Com
Pemisahan penonton konser di Aceh
Foto diambil dari:
http://aceh.tribunnews.com/2016/08/10
Dari 15 butir fatwa tersebut beberapa berkaitan dengan konser, sebagai berikut: (1) Syair dan nyanyian tidak menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jamaah, tidak bertentangan dengan hukum Islam, tidak disertai dengan alat-alat musik yang diharamkan, tidak mengandung fitnah, dusta, caci maki dan yang dapat membangkitkan nafsu syahwat; (2) Penyair dan penyanyi harus memenuhi kriteria busana muslim dan muslimah, tidak melakukan gerakan-gerakan yang berlebihan atau dapat menimbulkan nafsu birahi, tidak bergabung/bercampur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tidak menyalahi kodratnya sesuai dengan jenis kelamin, tidak ditonton langsung oleh lawan jenis yang bukan mahram, kegiatan bernyanyi dan bersyair dilakukan pada tempat dan waktu yang tidak mengganggu ibadat dan ketertiban umum; (3) Penonton hiburan tidak bercampur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. 
Tarik Ulur Peraturan MPU di Aceh dan Sekitar 
Terdapat dua tingkat MPU yang menaungi masyarakat Aceh yaitu, MPU tingkat Provinsi dan MPU tingkat Kabupaten/kota. Semua Pihak MPU pada dasarnya wajib menerapkan aturan yang telah ditetapkan. Walaupun nanti di dalam pelaksanaannya tentu tidak serta merta seragam di setiap tempat. Hal ini akan sangat tergantung pada negosiasi-negosiasi yang terjadi antar pemerintah Kabupaten/kota setempat. 
Ada empat tugas utama MPU tingkat kabupaten/kota. Salah satunya, MPU memiliki hak untuk mempertimbangkan dan memberi saran kepada pemerintah daerah dan DPRK dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syariat Islam, termasuk konser. Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat di tahun 2016. Band lokal maupun nasional ditolak pentas di tempat tersebut tanpa pandang bulu. Hal ini terjadi karena Ulama Aceh Barat menilai bahwa konser musik bertentangan dengan syariat Islam yang berlaku di Aceh. Merujuk pada Hadits Nabi SAW yang menganjurkan untuk meninggalkan sesuatu yang lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya. 
Sejak saat itu baik pihak MPU maupun Pemerintah daerah setempat tidak akan mengeluarkan izin untuk konser musik. Berbeda dengan Aceh Barat, di Kota Banda Aceh justru tetap aktif mengadakan konser hingga saat ini. Walaupun dengan syarat akan selalu mengindahkan aturan-aturan dari MPU. Seperti adanya pemisahan penonton laki-laki dan perempuan, memakai pakaian syar’i dan lain sebagainya. Melihat kejadian di Aceh Barat, tidak menutup kemungkinan jika hal semacam ini juga sedang terjadi di Kabupaten Pidie Jaya terkait pembatalan konser Slank. Telah terjadi semacam negosiasi antar segenap pemerintah daerah dan MPU di tingkat Kabupaten Sigli sehingga sampai pada titik kesimpulan, Slank dilarang tampil di Sigli. 
Melalui pembatalan konser Slank ada hal yang bisa kita pelajari bersama, bahwasanya kebijakan pemerintah Aceh terutama kaitannya dengan Syari’at Islam tidak sama di setiap tempat dan tidak bisa dipukul sama rata. Pada praktiknya hal semacam ini juga akan sangat tergantung pada Ulama dan pemerintah daerah yang menjabat saat itu, sebagai pemimpin yang dipilih masyarakat untuk menentukan keputusan di tingkat daerah. 
Negosiasi Perlu Dilakukan: Sebagai Penutup 
Di balik pembatalan Konser Slank bukan hanya campur tangan MPU, namun ada banyak pihak lain yang turut membentengi para Ulama tersebut. Seperti Bupati yang ikut menandatangani surat penolakan konser, FPI yang mendesak aparat penegak hukum untuk mematuhi MPU, Ormas dan partai-partai lokal ikut unjuk nyali untuk mendukung keputusan Ulama. Mereka siap mempertaruhkan diri demi mempertahankan marwah Ulama. Dengan sekian banyak pertentangan yang terjadi, alhasil konser Slank yang rencana akan tetap digelar meski tanpa restu dari MPU resmi dibatalkan satu jam sebelum jadwal pentas. 
Penulis selaku salah satu warga Aceh juga ikut gelagapan menanggapi kasus seperti ini. Lantas bagaimana nasib konser musik di Tanah Aceh kedepannya? Mungkin sudah saatnya menjadi renungan bersama, apakah Aceh perlu daerah/tempat khusus untuk pelaksanaan konser? Atau pihak penyelenggara yang seharusnya lebih memperhatikan dan mendalami lebih lanjut perihal kebijakan masing-masing daerah, tentu dengan tidak melupakan konteks daerahnya. Dengan begitu, aksi serupa yang merugikan tersebut tidak akan terulang. Mungkin hal ini dapat mulai dipikirkan sekaligus dicoba, dan kiranya tahun 2019 adalah awal yang baik untuk memulai.