Pilih Laman

Mengenang Basoeki Abdullah Lewat Award Berhadiah Total Ratusan Juta Rupiah

Basoeki Abdullah Art Award - teraSeni
Poster Basoeki Abdullah Art Award

Rabu, 13 Juli 2016 | teraSeni ~

Museum Basoeki Abdullah yang berada dibawah naungan Ditjen Kebudayaan Kemdikbud RI tahun ini kembali mengadakan kegiatan Basoeki Abdullah Art Award. Museum Basoeki Abdullah adalah lembaga yang kini mengelola rumah bekas tempat tinggal Basoeki Abdullah di kawasan Jalan Keuangan Raya No. 19 Cilandak Barat Jakarta Selatan. Bangunan rumah bertingkat dua itu kini difungsikan sebagai museum yang mengoleksi lukisan-lukisan dan koleksi pribadi pelukis Basoeki Abdullah, antara lain berupa patung, topeng, wayang, senjata dan sebagainya.

Tidak kurang 123 buah karya, 720 benda pribadi dan 3000 buah buku kini dapat disaksikan pengunjung di museum ini. Museum Basoeki Abdullah juga melayani masyarakat dengan menggelar pameran, seminar, penelitian dan workshop, serta menerbitkan bermacam bentuk publikasi berupa katalog, biografi, kumpulan artikel, hasil penelitian, serta serangkaian kegiatan yang lain, salah satunya Basoeki Abdullah Art Award (BAAA) ini. Tema yang diangkat kali ini oleh BAAA, yakni: “Ekologi: Ruang Maya ke Ruang Alam,” yang mengedepankan kembali unsur penting dalam karya-karya seni lukis Basoeki Abdullah, pada dasarnya juga adalah bentuk publikasi.

Kegiatan BAAA sendiri, oleh Museum Basoeki Abdullah, memang dimaksudkan sebagai sarana untuk memperkenalkan kembali ketokohan pelukis Basoeki Abdullah di kalangan generasi muda dan khalayak umum.Dengan demikian, BAAA dapat dibilang merupakan salah satu bentuk penghargaan kepada Basoeki Abdullah, atas jasanya sebagai seorang tokoh pelukis yang telah mendedikasikan hidupnya terhadap dunia seni lukis Indonesia.

Basoeki Abdullah, yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 27 Januari 1915, dan meninggal di Jawa Tengah, 5 November 1993, adalah salah seorang maestro seni lukis Indonesia, yang dikenal sebagai pelukis dengan aliran realis dan naturalis. Meski semula belajar secara otodidak kepada ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga seorang pelukis dan penari, Basoeki Abdullah pernah mengecap pendidikan formal di bidang seni. Hal itu terjadi pada tahun 1933, ketika ia memperoleh beasiswa untuk belajar di Academie Voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) Den Haag, Belanda, yang diselesaikannya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat Royal International of Art (RIA).

Sepanjang karirnya, Basoeki Abdullah pernah diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta (sejak tahun 1974), sehingga banyak karya lukisnya menghiasi dinding istana negara dan kepresidenan Indonesia. Tidak saja itu, karyaya juga menjadi barang koleksi di berbagai penjuru dunia.Semua itu bermula ketika pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basuki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan keluar sebagai pemenang.

Basuki Abdoellah dalam Praktik Melukisnya - teraSeni
Basuki Abdoellah dalam Praktik Melukisnya

Sejak itu Basuki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam ilmu seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia.Basuki Abdullah kemudian banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Kini,karya lukisan Basuki Abdullah dikoleksi lebih kurang di 22 negara di dunia.

Meski hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri, di antaranya beberapa tahun menetap di Thailand, namun Basoeki Abdoellah adalah pelukis yang telah berjasa membawa nama baik bangsa Indonesia melalui karya seni lukis di kancah seni rupa dunia. Basuki Abdoellah terkenal sebagai seorang pelukis potret,antara lain sosok pemimpin dunia dan perempuan cantik, yang cenderung mempercantik dan memperindah objek aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, dia juga melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.

Tema pemandangan alam tentu cukup luas cakupannya. Dari pemandangan gunung dan persawahan, laut yang membiru, pantai dengan hembusan angin di pohon kelapa, matahari yang terbit dan terbenam, rimba raya yang misterius, dan sebagainya. Namun BAAA ingin mengajak para pelukis muda untuk mengamati betapa kini pesona-pesona alam itu sedang berubah, dari hal yang sangat akrab secara alami dalam kehidupan sehari-hari, menjadi akrab secara virtual lewat teknologi digital dan media. Di abad media, manusia dan alam kini kian terpisah oleh adanya layar-layar, dengan mana pengalaman-pengalaman bernuansa alam berubah menjadi pengalaman-pengalaman khayal
semata.

Hal itu semua terjadi karena kini dunia yang nyata (material) lebih sering dialami melalui layar dunia maya (virtual). Namun teks alam kini lebih dekat dengan teks ekologi atau ekosistem, yang tidak lagi lebih mengedepankan pesona-pesona estetik dan spiritual, melainkan juga ancaman alam, misalnya citra dan kesan bencana-bencana alam. Dalam konteks ini, jelas manusia terlibat di dalamnya, dan tidak bisa menghindarkan diri dari tanggung jawab atas kerusakannya. Artinya, kini teks alam yang estetik dan spiritual telah bergeser ke arah isu-isu lingkungan hidup dan kehidupan manusia.

Memperhatikan hal itu, melalui pelaksanaan BAAA 2016, panitia tampaknya ingin mengajak generasi muda untuk memperhatikan keseimbangan ekologi dunia yang mulai terancam dan pasti akan memberikan dampak balik kepada penghuninya, terutama manusia. Ancaman itu tampak misalnya dari berangsur hilangnya berbagai fenomena keindahan alam yang secara kasat mata biasanya bisa dilihat dengan nyata, kini secara perlahan mulai hanya tinggal bisa dinikmati melalui dunia maya. Parahnya, kini generasi muda cenderung pula hanya menjadikan keindahan alam nyata sebagai dekorasi foto selfie dan welfie semata, tanpa menyentuh isu-isu yang lebih penting, misalnya untuk turut menjaga keseimbangan alam atau membangun gerakan menggunakan keindahan alam secara tepat.

Mengingat semua hal itu, kiranya wajar jika pada BAAA 2016 ini, panitia memilih tema lingkungan dan ruang alam sebagai tematik utamanya. Adapun sub-sub tema yang dapat dipilih adalah:(1) Alam dan Teknologi; (2) Alam dan Pencapaian Budaya; (3) Alam dan Perusaknya; (4) Alam, Manusia, Perkotaan dan Urbanitas; serta (5) Alam dan Politik.Hadiah yang disediakan BAAA tentunya menjadi daya tarik tersendiri pula dari pelaksanaan award ini. Tidak kurang dari 250 juta rupiah (ditambah trofi dan piagam) disediakan untuk 10 karya-karya terbaik. Selain itu, 10 peserta yang karyanya terpilih sebagai karya terbaik juga akan diundang ke Museum Basoeki Abdullah Jakarta dalam acara penyerahan hadiah dengan semua fasilitas ditanggung panitia.

Karena itu, para perupa muda Indonesia seharusnya merespons kegiatannya. BAAA 2016 terbuka bagi Warga Negara Indonesia yang berusia 17 sampai 30 tahun, yang tentunya memiliki karya seni yang sesuai dengan ketentuan panitia, yakni karya 2 dimensional dengan media dan teknik yang tidak mengikat atau bebas.

Caranya? Dengan mengirimkan Foto karya dan data visual karya; Data pribadi atau Curriculum Vitae (berserta foto diri dan kartu identitas); serta Konsep karya/berkarya dan keterangan lain.Semua bahan itu akan dinilai oleh Tim Juri BAAA 2016 terdiri atas lima orang, yakni: (1) Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA (Guru Besar FSRD ITB; (2) Yusuf Susilo Hartono (Jurnalis Budaya); (3) Mikke Susanto, MA (Kurator dan Staf Pengajar ISI Yogyakarta); (4) Citra Smaradewi, M.Hum (Dekan FSRD IKJ); dan (5) Amir Sidharta, MA (Pengamat Seni). Batas akhir pengumpulan data karya dari peserta adalah tanggal 20 Juli 2016 (tanggal pengiriman). Jadi ayo segera kirimkan karyamu!

Catatan: Informasi lebih detil tentang petunjuk teknis dan pelaksanaan BAAA 2016 dapat diperoleh di: website Museum Basoeki Abdullah dan sosial media yang dimiliki oleh museum, website Kemdikbud RI atau melalui surel ke: basoekiabdullahartaward@gmail.com atau mengirim surat Kepada Panitia BAAA 2016, alamat: MUSEUM BASOEKI ABDULLAH, Jl. Keuangan Raya No. 19 Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430, Telp. 021-7698926, CP: Septian Tito Megananda (081290909245) dan Dian Ardianto (087878757484).

Mengenang Tari Fire! Fire! Fire! Sebagai Proyek Pertunjukan Interkultural

Sabtu, 9 Juli 2016 | teraSeni ~

tari fire! fire! fire! Eko Supriyanto - teraSeni
Karya Eko Supriyanto dalam Fire! Fire!Fire!
Tiga koreografer dari 3 negara di Asia Tenggara bersama para penari pilihan mereka masing-masing pernah mempersembahkan sebuah karya kolaborasi interkultural. Mereka adalah Eko Supriyanto dari Indonesia, Pichet Klunchun dari Thailand dan Sophiline Cheam Shapiro dari Kamboja. Masing-masing menciptakan sebuah karya tari bersama berdasarkan sumber yang sama, yakni satu episode dari epos Ramayana.

Karya kolaborasi itu kemudian diberi tajuk “Fire! Fire!Fire!” yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu (30 Januari 2013) silam.Pertunjukan di GKJ merupakan urutan ketiga dari rangkaian pentas keliling ‘Fire! Fire! Fire!’. Sebelumnya, karya tersebut telah dipentaskan di Phnom Penh pada 24 Januari 2013, dan di Bangkok pada tanggal 28 Januari 2013. Karya itu kemudian juga mendapat giliran berpentas di Institut Seni Indonesia (ISI).

Karya tari  “Fire! Fire!Fire!” merupakan bagian dari proyek Goethe-Institut bersama Goethe-Institut di Bangkok, Khmer Arts Theater Phnom Penh, Pichet Klunchun & Dancers Bangkok, dan Eko Solo Dance Studio. Karya tari ini mengangkat kembali kisah cinta antara Rama dan Sinta dalam episode yang di Jawa dikenal sebagai “Sinta Obong.” Episode ini bercerita tentang pengorbanan Sinta yang menyeburkan dirinya ke dalam kobaran api untuk membuktikan kesuciannya kepada Rama, setelah berjuang dalam sekapan Rahwana. Meski berangkat dari gagasan dan kisah klasik, namun ketiga koreografer memvisualisasikan kisah tersebut ke dalam bentuk tarian kontemporer .

Hasilnya, meski berangkat pada cerita Ramayana, pentasnya “Fire! Fire! Fire!” jauh dari visualisasi tradisional. Kisah Sinta obong hanya dijadikan sebagai inspirasi gerakan. Sementara, ekseskusi tariannya lebih banyak memainkan gerakan-gerakan kontemporer. Meski demikian, di dalam ‘Fire! Fire! Fire! masih terdapat sentuhan tradisi, karena ketiga koreografer pada dasarnya berangkat dari tradisinya masing-masing.

Karya Sophiline Cheam Shapiro  dalam Fire! Fire!Fire! - teraSeni
Karya Sophiline Cheam Shapiro
dalam Fire! Fire!Fire!

Penonton menyaksikan di atas pentas sama sekali tidak ada cerita Ramayana, yang ada adalah interpretasi kontemporer atas kisah itu. Tak hanya gerakan, kostum dan musik pengiring tarian “Fire! Fire! Fire!” juga tak ada hubungannya dengan bentuk tradisional secara visual. Musik pengiringnya dibuat oleh seorang komposer asal Jepang dan Jerman yang memadupadakan musik-musik modern. Sementara, kostum yang dikenakan lebih mengutamakan fleksibelitas dengan komposisi warna-warna pastel yang jauh dari kesan tradisional.

Tari “Fire! Fire! Fire!” dapat dipandang sebagai kasus tari interkultural, yang menampilkan perbandingan dan perbedaan pendekatan dari ketiga koreografer yang memiliki latar budaya berbeda ketika mereka mencoba menginterpretasikan satu subjek yang sama.Proses pementasan dimulai sejak 2010, ketika ketiga koreografer saling bertemu untuk mengadakan diskusi. Kegiatan berlanjut pada 2011 hingga akhirnya dibuat pentas produksi di tiga negara Asia pada 2012. Saat pentas, masing-masing koreografer diberi kesempatan pentas 30 menit dengan konsep yang berbeda.

Pertunjukan bukanlah kerja sama tiga koreografer dalam sebuah tarian, melainkan tiap koreografer menampilkan koreografinya masing-masing secara bergantian. Pertunjukan dimulai oleh koreografi dari Sophiline kemudian Pichet dan terakhir dari Eko. Tiap Koreografer memiliki ciri khas dan caranya sendiri dalam menyampaikan cerita Ramayana. Sophiline memilih menampilkannya secara tradisional dengan gerakan-gerakan khas tari tradisional Kamboja dan ditambah narasi cerita Ramayana. Sementara Pichet menampilkan cerita Ramayana dalam gerakan Abstrak dengan iringan suara gaduh.

Karya Pichet Klunchun  dalam Fire! Fire!Fire! - teraSeni
Karya Pichet Klunchun
dalam Fire! Fire!Fire!

Eko supriyanto menginterpretasikan tarian “Fire! Fire! Fire!” sebagai bentuk tari dengan pesan gender tentang kesetaraan dan komitmen. Ia mengkomposisikan bentuk spiral sebagai dasar gerak. Semua gagasan Eko tersebut diwujudkan oleh para penari yang menggunakan kostum lurik melalui tenaga dalam tiap gerak tubuhnya. Sebuah ciri khas gerak dari karya tari Eko Supriyanto ialah dari awal hingga akhir gerak tubuh penari dibuat menyerupai spiral atau gerak pegas atau kobaran api. Para penari dibuat seolah saling memantul satu sama lain dalam gerak bersama pasangannya masing-masing. Seperti dilansir blog tanzconnexions, Eko Supriyanto melalui karyanya dalam “Fire! Fire! Fire!” lebih mempertanyakan tentang kisah klasik tersebut, yang menurutnya tidak seharusnya terjadi di masa sekarang atau terjadi pada wanita yang hidup di masa ini.

Tetu saja, interpretasi dari ketiga koreografer tersebut tidak terlepaskan dari latar-belakang masing-masing. Eko Supriyanto adalah lulusan dan dosen tetap di ISI Solo. Peraih gelar Master of Fine Arts (MFA) untuk seni tari dan koreografi dari Jurusan World Arts and Cultures, UCLA (2001) itu mempelajari tari Jawa dan pencak silat sejak berusia tujuh tahun dari kakeknya di Magelang, Jawa Tengah. Pichet Klunchun memperoleh gelar sarjana untuk tarian klasik Thailand dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, dan cenderung menggabungkan tari klasik Thai dengan citarasa kontemporer, sembari tetap melestarikan inti dan kebijaksanaan tradisionalnya. Sedangkan Sophiline Cheam Shapiro dikenal sebagai seniman tari yang memberi suntikan ide dan energi baru pada tarian klasik Kamboja, sekaligus memperluas jangkauan globalnya.

Sumber: www.detikhot.com (Rabu, 30 Jan 2013); www.chic-id.com (Wawan Surajah 3 | February 2013)