Pilih Laman

Kritik Seni; Pandangan Mudji Sutrisno

Minggu, 24 Juli 2016 | teraSeni ~

Lukisan kontroversial Maqbool Fida Husain - teraSeni
Lukisan kontroversial Maqbool Fida Husain
(yang sering disebut juga Picasso-nya India),
yang menunjukkan wanita telanjang yang
disebut sebagai Dewi Lakshmi, menginjak
kepala Ganesha. Saat lukisan tersebut dipamerkan,
ia mendapatkan 8 tuntutan hukum.

Tulisan berikut ditulis oleh Mudji Sutrisno SJ, seorang Pengajar di Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.  Tulisan ini pernah di posting di Milis “Ngobrolin Teater” pada tanggal 26 April 2005. Berbeda dengan tulisan dari Benny Yohannes, dan Max Arifin yang khusus membicarakan teater, tulisan berikut membicarakan kritik seni secara umum. Semoga bermanfaat.

Pembahasan mengenai estetika dalam karya seni, baik itu sastra, lukisan, maupun seni pertunjukan (tari, teater, dan lain-lain), sampai hari ini secara mencolok berada dalam dua arus. Arus pertama adalah resensi seni yang mau mencoba memberi apresiasi dari dalam serta dari kode yang dipunyai oleh karya itu sendiri. Pendekatan dari dalam atau intrinsik adalah pendekatan yang mencoba memahami rasa, panas, dan dingin yang mau diungkapkan oleh seniman atau sastrawan lewat karyanya. Para kritikus seni mencoba memberi apresiasi dalam karya sastra misalnya lewat tema, penokohan tunggal atau ganda, alur kisah, tegangan yang merupakan kode-kode intrinsik karya sastra kalau mau dipahami dari dalam karya itu sendiri.

Arus kedua adalah pendekatan dari luar ke karya seni melalui disiplin ilmu atau kacamata kode ilmu itu untuk membedah karya tersebut. Pendekatan ini disebut ekstrinsik karena, misalnya, mau membedah posisi karya sastra dari bingkai hubungan kemasyarakatan di dalam sosiologi sastra. Segi menguntungkan dari pendekatan baik intrinsik maupun ekstrinsik adalah disadarinya pendekatan subyektif dalam kritik ekstrinsik, sementara pendekatan intrinsik memberi obyektivitas untuk penilaian karya itu.

Namun persoalan dalam kritik seni kita berkembang lebih rumit dari sekadar kritik subyektif ataupun kritik obyektif. Beberapa kekurangan bingkai dan pisau kritik lewat kerajinan membaca dan mengerti sejarah kritik estetika itu sendiri manakala tiap pemikir maupun arus estetika mulai dari realisme-naturalisme, abstrak, simbolisme, surealisme, sampai yang hanya mau merayakan kebebasan masing-masing seniman mengungkap keindahan dan kebenaran menurut bacaannya sendiri dalam postmodernisme, telah menyebabkan dua ekstrem yang terjadi dalam kritik seni kita-atau jatuh dalam pembantaian kritikan yang amat sangat subyektif dari kritikus-atau jatuh pada anarkisme yang membolehkan apa saja yang gila, abnormal, aneh sebagai estetika.

Kegawatan menelusuri soal kritik seni adalah kegawatan yang saling menghantam antara penentuan pokok-pokok kriteria tradisi besar yang dengan otoritas modernisme menegaskan proyek estetika sebagai proses yang harus lewat pengendapan rasional, publik mampu menangkap keberlakuan umum rasa estetika dalam rumusan titik-titik estetika yang oleh kaum idealis seperti Hegel dan Kant dirumuskan sebagai tragis, asri, sublim, lucu, dan tanpa pamrih. Semua ukuran ini bertolak dari pengandaian bahwa estetika harus bisa dipahami dan diukur dengan rasionalitas budi, sementara rasionalisasi model ini menghabiskan seluruh pathos, rasa, emosi yang dianggap lebih rendah tempatnya daripada refleksi budi.

Siapa penentu sebuah lukisan atau karya seni masuk dalam ukuran di atas? Siapa pula yang menentukan galeri dan tempat pameran yang sah untuk karya-karya seni tersebut kalau bukan otoritas dan penguasa pemilik tafsiran estetika itu sendiri? Apalagi setelah kesadaran proses mengetahui dan seni merupakan epistem serta estetika yang ditentukan untuk menguasai oleh Michel Foucault?

Bukankah setiap pengenalan mengenai realitas dan pengungkapannya kembali dalam ekspresi seni merupakan keragaman cara membaca setiap seniman yang dalam paradigmanya (Thomas Kuhn: tiap orang dalam mengetahui lebih ditentukan oleh sudut pandangnya sendiri dalam paradigma yang tidak pernah sama dengan orang lain dan bukan oleh konseptualisasi serta diskursus teoretis epistemologi yang kita kenal), amat ditentukan oleh tradisi lisan pengetahuan lokal, peresapan, dan penghayatan watak entitas suku dan kebijaksanaan lokal yang dihidupi dan dihayati menjadi apa yang oleh Pierre Bourdieau dinamai habitus. Terlebih Sandra Harding meneliti bahwa world view (pandangan dunia) telah melucuti seluruh emosi dan rasa perempuan hingga pandangan dunia bias jender.

Dari sini semakin disadari bahwa resensi seni pertama-tama harus kembali pada tempat seni itu diproses, yaitu dalam ritus untuk melahirkan, merawat, dan membuahi kehidupan, dan festival atau perayaan kehidupan dari oasis dan ruang pemuliaan gairah hidup dan motivasi hidup.

Dalam tradisi festival dan ritus seni dikenal apa yang oleh F Nietzche disebut dionisian, yaitu estetika dengan gelora dan gelegak kehendak untuk hidup yang dalam tradisi Yunani kuno menyumberi baik ritus puja kehidupan maupun festival kerakyatan dengan ekstasis dan ekspresi luapan spontannya. Seni dionisian ini menurutnya telah dikerdilkan dan direduksi oleh peradaban rasionalitas sejak Socrates ke barat modern dalam seni apollonian yang refleksif rasional, formal, konseptual, dan kering gairah pathos.

Dengan demikian, usaha mengembalikan kritik seni ke habitat aslinya adalah dengan menaruhnya kembali ke naluri purba yang melahirkan, mencintai, dan membuahi kehidupan. Karena itu, di bawah ini bisa direnungi bagaimana kekayaan keragaman tradisi estetika Nusantara yang bersumber pada penghayatan, penghidupan, perayaan yang mahakaya dan lisan sebelum dikonstruksi dan disempitkan dalam bahasa tulis, apalagi bahasa konsep.

Pertama, pendekatan live in untuk menangkap roh hidup inspirasi seni; konteks perayaan dan festivalnya yang bersumber dari adat, religiusitas, keyakinan dan estetika kesuburan dalam tradisi petani; religiusitas dalam tradisi pesisir serta inti pemuliaan nomaden merantau sebagai guru; akan membuat kritik seni dan apresiasinya menjadi tidak membantai posisi seni dalam kehidupan.

Kedua, kritikus semogalah rajin membaca setiap perumusan sejarah estetika tidak hanya sebagai keragaman para filsuf, tradisi tulis, merumuskan apa yang sedang dihayati sebagai indah, benar, dan baik. Konsekuensinya, konstruksi bahasa rumus adalah teks yang mencoba mengisahkan secara kode bahasa apa yang pasti lebih kaya kalau itu dihayati sendiri dalam live in kultural. Pembacaan sejarah ini penting untuk menaruh ragam cermin ketika kritikus sendiri sedang membuat resensinya yang merupaka satu cermin baru lagi yang mencoba dialog dengan cermin-cermin yang lain. Konsekuensinya berikutnya, pemahaman mengenai munculnya media seni instalasi karena keterbatasan ruang kanvas lukis atau halaman buku untuk membahasakan kepingan kehidupan yang mau digarap seniman membutuhkan sungguh pembelajaran tidak hanya simbolisme seni, tetapi arus-arus anti-estetika modernitas dalam estetika postmodernitas.

Ketiga, dalam budaya mutakhir di mana produksi komoditas bersanding dengan produksi simbolik makna dan penggairahan provokatif lewat iklan yang merangsang basic instinct untuk mengonsumsi terus-menerus dan menuruti selera yang diciptakan oleh penguasa pasar, pemahaman dan penulisan kritik seni mesti bisa melihat sisi the sacred dalam komoditas konsumtif sekaligus yang simbolik dari citraan-citraan dunia hiburan agar erosi nilai pembendaan diketahui kapan mulainya. Sejak uang sebagai nilai tukar mengganti kreativitas, inspirasi, jerih keringat dan pergulatan seniman ketika berproses kreatif. Akibatnya rupiah dan dolar mereduksi karya seni menjadi melulu komoditas. Mampukah kritik seni keluar dari makian dan menuding kapitalisme sebagai biang tanpa mencoba menanggapi secara cerdas, kultural, dan alternatif yang memaksa penguasa pasar menghargai sumber berkesenian sebagai perayaan hidup dalam festival? (Mudji Sutrisno SJ)

Sijobang: Kesenian Tradisi yang Akan Hilang

Selasa, 19 Juli 2016 | teraSeni ~

Asrul Dt. Kodo, Pelaku Sijobang - teraSeni
Asrul Dt. Kodo, Pelaku Sijobang
(Sumber Foto: www.print.kompas.com)

Mestinya, jika anda berasal dari Kab 50 Kota dan atau Kota Payakumbuh tentunya anda mengetahui atau paling tidak pernah mendengar tentang Sijobang, atau Basijontiak. Sebuah kesenian musikal yang mendendangkan kaba Anggun Nan Tungga.

Nama Sijobang ternyata diambil dari tokoh yang ada dalam kaba tersebut yaitu Anggun Nan Tungga Magek Jobang, sehingga masyarakat menamakan kesenian ini dengan nama Sijobang. Biasanya kesenian ini diiringi dengan alat musik Kecapi dan ada juga diiringi dengan kotak korek api yang dijentik-jentikkan ke lantai, oleh karena itu Sijobang kerap juga disebut Basijontiak.

Sijobang adalah sebuah kesenian yang sangat unik dan luar biasa. Bagaimana mungkin cerita Anggun Nan Tungga yang berlatar lokasi pesisir (Tiku, Pariaman) bisa diceritakan dan didendangkan oleh masyarakat darek (daratan), semua detail kehidupan pesisir pantai dan laut yang digambarkan melalui kaba tersebut sangat dikuasai oleh penuturnya melalui Sijobang. Dan jika Sijobang ini memang benar milik masyarakat daratan (Kab. 50 Kota dan atau Kota Payakumbuh) lantas kenapa mereka tidak memilih cerita dengan latar lokasi darek saja?

 Disinilah menurut saya letak luar biasanya kesenian ini. Dan keluar-biasaan tersebut meminta dan membuka kemungkinan bagi suatu pengkajian yang lebih lanjut. Tetapi jika anda tidak tahu dengan hal yang sangat luar biasa ini, maka saya yakin dan percaya bahwa anda hanyalah orang-orang yang biasa. Sepertinya saya sangat beruntung sekali bisa kenal dan saling berbagi cerita langsung dengan pelakunya, dan saya sangat terkesan dengan pelakunya. Lalu bagaimana dengan kita?

Sore itu menjelang magrib hujan mulai mereda. Saat itu juga saya bergegas ke rumah seorang kawan, dan mengatakan padanya bahwa kami akan memenuhi janji untuk berkunjung sekedar ngobrol ringan dengan seorang seniman, pelaku seni tradisi.

Bapak Asrul, begitu namanya dari kecil, dan Datuak Kodo begitu gelarnya setelah besar. Dialah orang yang paling bersemangat, jika siapa saja datang mampir ke rumahnya, apalagi anak muda, untuk berbicara tentang Sijobang. Saya pikir anda harus percaya, kalau tidak silahkan datang sendiri ke rumah kediaman istrinya di Simpang Sugiran, 50 Kota.

Dari pusat kota Payakumbuh anda bisa melewati jalan Tan Malaka lalu anda akan bertemu simpang berbentuk huruf “Y” setelah jembatan Lampasi, lalu anda belok kiri menuju Kec. Guguak. Banyak jalur alternatif yang bisa anda lewati, bisa melewati Piobang, jika anda masuk disimpang tiga Kuranji kemudian anda tinggal lurus dan belok kiri di pertigaan yang ada gardu listrik, kemudian anda tinggal menanyakan di lepau-lepau kopi Jorong Boncah Simpang Sugiran dimana rumah Datuak Kodo tukang Sijobang, setiba di rumahnya saya yakin jika dia sedang tidak berburu maka anda akan disambut ramah oleh gonggongan anjing piaraannya.

Datuak Kodo adalah satu-satunya yang tersisa, yang masih memainkan dan mempertunjukkan kesenian Sijobang: sebuah kesenian yang sudah menjadi ikon Kab. 50 Kota dan atau Kota Payakumbuh, sebuah kesenian musikal yang selalu menjadi buah bibir bagi seniman-seniman, tidak hanya di Sumatera Barat tetapi juga di luar Sumatera Barat.
 “Saudara ayah saya (Pak Etek) dulu tukang Sijobang, tetapi saya belajar bersama murid beliau yang bernama Munin di Kuranji,” begitu kenang datuak Kodo yang gemar berkisah ini.

Dia masih ingat betul bagaimana dulu jika betul-betul ingin berguru harus menyanggupi persyaratan-persyaratannya di antaranya: kain putiah sakabuang (kain putih segulung), pitih sapiak (uang secukupnya), boreh sagantang (beras satu gantang), pisau tajam, ayam biriang, lado (cabe), garam, bawang. Beras itu biasanya untuk sebuah kekekalan ilmu karena beras adalah makanan pokok dan sumber kehidupan, sedangkan kain putih merupakan sebuah ketulusan, kesucian untuk berguru, pisau itu supaya apa yang dipelajari menjadi tajam, begitu juga cabe supaya pedas, dan garam supaya apa yang dipelajari menjadi asin dan berguna bagi orang lain. Sedangkan ayam itu tidak boleh dibantai tetapi dipelihara supaya apa yang dipelajari itu bisa berkokok seperti ayam.

Saya membayangkan bagaimana Datuak Kodo muda sedang bersemangat-semangatnya mengayuh sepedanya menempuh perjalanan 6-7 Km dari Sungai Tolang kampungnya menuju Kuranji kediaman gurunya. Dan tentunya sang guru tua juga akan bangga dan berharap bahwa ada generasi muda yang akan mengambil alih sebuah kearifan, dan berumur panjang.

Selama 2 tahun belajar, Asrul, sangat sering sekali dikatakan tenggen (gila), bahkan juga ada orang yang bertanya kepada orang tuanya tentang kebiasaan barunya yang suka bicara sendiri, bernyanyi-nyanyi sendiri, menggumam-gumam sendiri, dimanapun, dan sedang apapun, padahal dia sedang menghapal cerita Sijobang. Tak ayal, masyarakat mencemooh dengan menyematkan predikat “tenggen” pada dirinya.

“Ketika bertemu di warung saya sering disuruh-suruh menyanyikan Sijobang seolah-olah saya ini benar-benar orang yang “kurang” saja, begitulah konsekuensi sebuah kesenian ini”, katanya seolah mencemooh juga. Tentunya dia juga tau bahwa orang-orang kita itu bisanya hanya mencemooh saja, sedang mereka tidak berbuat apa-apa, apalagi bila kita bicara tentang pengabdian.

Setelah beberapa tahun dibawa-bawa gurunya untuk pentas keliling kampung, bukan untuk pertunjukan hanya melihat-lihat, barulah dia berani turun ke gelanggang untuk pertunjukan sendiri. Meskipun takut-takut, hari demi hari, dia mulai menjamah gelanggang yang lebih luas, sampai keluar 50 Kota. Acara apa saja, sebutlah misalnya nikahan, turun mandi, perhelatan peresmian, hingga melepas orang naik haji, jika ada yang meminta Sijobang, maka dia akan penuhi permintaan itu. Bahkan pernah dia tidak berhenti pertunjukan selama satu bulan sebab begitu penuhnya permintaan hingga dia tidak bisa pulang.

Adalah pembuktian yang akan merubah paradigma masyarakat tentangnya, semua cemooh terhadapnya terhenti ketika dia bisa membuktikan bahwa Sijobang bukanlah permainan untuk orang yang “kurang”, kiranya hasil Sijobang ini sangat membantunya dalam hal ekonomi. Datuak Kodo bisa menjemput kembali tanah dan sawah yang tergadai untuk anak dan istrinya. Tentunya itu yang membuat masyarakat ternganga, bahwa Datuak Kodo telah menjelma menjadi seorang yang digemari, populis. Bahkan puncaknya ketika seorang profesor dari Inggris yaitu Nigel Philips menemuinya untuk rekaman Sijobang ini. Tentunya dia tidak akan membayangkan bahwa kesenian dari warung-ke warung, dari kampung ke kampung ini nantinya akan diperdengarkan ke orang-orang di luar negeri, sungguh di luar dugaannya.

Setelah itu semua, Datuak Kodo tidak lagi sekadar tukang Sijobang yang mendendangkan cerita kaba klasik Anggung Nan Tongga, malainkan seorang tokoh yang dicari untuk sebuah keilmuan, Etnomusikologi contohnya. Bagaimana Sijobang dipelajari dan diteliti di lembaga pendidikan seni ASKI/STSI/ISI Padangpanjang, adalah salah satunya. Dan tentunya, Datuak Kodo lah Empu untuk kesenian ini.

Bila masyarakat seni, di luar Kab. 50 Kota, mengenal Kab. 50 kota dan Kota Payakumbuh pada umumnya dengan Sijobang. Lalu bagaimana di Kab. 50 Kota atau Payakumbuh itu sendiri? Saya tidak tahu bagaimana masyarakat, serta lembaga pemerintahannya memandang Sijobang. Karena ketika saya menyinggung soal bagaimana peran serta pemerintahan dan dinas terkait Sijobang ini, beliau menjawab:

 “Sudahlah, tak usah kita bicara pemerintah atau dinas, karena kita semua sudah tahu sendirilah bagaimananya”, katanya sambil tertawa menyengir, sementara saya dan kawan saya tak bisa menglak untuk ikut pula terbahak.

Sabuah lai lah dek mamak, jo pantun andai sabonta sodaran untuang dagang sansai
kok lai kabuliah ambo baporak, racik nan sodang tangah hari, timbakau baampai pulo
Kok lai kabuliah dagang bakondak, basuruik sonjo lah kau hari, dunia ndak namuah jo rang siko
Lapeh nan dari pasa sompan, ondak manjalang bukik apik, parentah lareh tujuah koto
Ooo buruang sampaian posan, baju baguntiang tak bajaik, talotak apo ka gunonyo

Begitu sebuah dendang menghimbau malam, hujan sudah habis, tak ada lagi yang menetes namun senja masih terasa lembab dan mulai mengelam di kediaman istri Datuak Kodo. “Kini sudah 65 umur saya, setelah ini tidak ada lagi yang akan Basijobang”, katanya lirih sambil membakar rokok dan menyeruput teh ramuan istrinya. Agaknya, ucapan Pak Datuak ada benarnya, bahwa seiring waktu Sijobang juga akan ikut menua dan keriput, dan ikut terkubur bersama Datuak Kodo, lalu lenyap dan hilang.

Menelisik Konsep Kebahagiaan Umar Kayam

Selasa, 19 Juli 2016 | teraSeni ~

Lukisan To Laugh Again  Karya Bob Salo - teraSeni
Lukisan Berjudul To Laugh Again
Karya Seniman Amerika Bernama Bob Salo
(Lukisan Komputer dan Miks Media, 2009)

Almarhum Umar Kayyam menceritakan kehidupan keseharian dengan tutur yang menarik. “Mangan ora mangan ngumpul” adalah kumpulan cerita pendek yang ditulisnya terus menerus dan diterbitkan di Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta secara berkala. Kritik-kritik sosialnya teramu sedemikian rupa sehingga memudahkan orang memahami pada semua lapisan masyarakat.

Tujuan tulisan ini supaya memperoleh cara kerja dan mengetahui metode pemikiran Umar Kayyam. Untuk memperolehnya mesti ditinjau secara sistematis dan terbuka, karena banyaknya bentuk penulisan cerpen yang membuat pembaca tidak mengerti dan paham. Juga diduga metode penulisan Umar Kayyam ini yang melahirkan ide drama–drama situasi yang sering ditayangkan Trans-TV, seperti Bajaj Bajuri dan Suami-suami Takut Istri.

Persoalannya, apakah metode Umar Kayyam dan drama-drama situasi tersebut telah mewakili gaya kehidupan orang Indonesia sebenarnya? Ataukah penulisnya betul telah mewakili jiwa kebangsaan yang me-Indonesia?

Kebangsaan menurut Ernest Renan dalam tesisnya yang juga pernah dikutip Presiden Soekarno, bahwa kebangsaan merupakan endapan sejarah kesamaan nasib sekelompok orang dari visi masa depan yang mereka bentangkan bersama (Geger Riyanto, Kompas, 21 Januari 2007).

Sebagai rakyat, Umar Kayyam adalah manusia Indonesia yang sangat merasakan pengaruh kekuasaan dan pengaruh itu melibatkan kekecewaan rakyat kecil, sehingga mereka merespon dengan gaya mereka sendiri. Salah satu gaya itu ialah dengan parody, guyonan menyangkut hal keseharian. Rakyat Indonesia telah mengalami suka duka kehidupan yang panjang –dan hal serupa telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Ketika ekonomi dan hutang Negara membengkak, BBM naik dan fluktuasi keuangan mengkhawatirkan, orang Indonesia masih mampu menikmati tiwul dan nasi aking sambil berseloroh dan mereka bahkan telah menciptakan keindahan dengan cara mereka sendiri. Sementara keindahan itu sangat kontras dengan usaha untuk mencari hidup seperti tertuang Robert Mason, pelukis Inggris yang karyanya menceritakan kehidupan buruh dan kemiskinan telah mendorong mereka untuk bertaruh dengan nyawa. Seperti di lukisan yang berjudul, “Jakarta Grand Indonesia Series 03”, menampakkan seorang  buruh merayap ke gedung dengan dindingnya yang tinggi –sosok yang rapuh dan kecil ditelan rangkaian besi, baja dan beton yang kuat besar dan angkuh (Ilham Khoiri, Kompas Minggu, 4, 2007).

Sebagai rakyat, Umar Kayyam adalah manusia Indonesia yang sangat merasakan pengaruh kekuasaan dan pengaruh itu melibatkan kekecewaan rakyat kecil, sehingga meeka merespon dengan gaya mereka sendiri. Salah satu gaya itu ialah dengan parodi, guyonan menyangkut hal keseharian. Rakyat Indonesia telah mengalami suka duka kehiadupan yang panjang, dan hal serupa telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Ketika ekonomi dan hutang  negara membengkak, BBM naik dan fluktuasi keuangan mengkhawatirkan, orang Indonesia masih mamp menikmati tiwul dan nasi aking sambil berseloroh dan bahkan mereka telah menciptakan keindahan dengan cara mereka sendiri. Sementara keindahan itu sangat kontras dengan usaha untuk mencari hidup seperti tertuang Robert Mason : pelukis Inggris yang karyanya menceritakan kehidupan buruh dan kemiskinan telah mendorong mereka untuk bertaruh dengan nyawa. Seperti dilukisan yang berjudul,”Jakarta Grand Indonesia Series 03”, menampakkan seorang buruh merayap ke gedung dengan dindingnya yang tinggi, sosok yang rapuh dan kecil ditelan rangkaian besi, baja dan beton yang kuat besar, dan angkuh, (Ilham Khoiri, kompas Minggu, 4, 2007)

Dalam Mangan Ora Mangan Ngumpul, Umar Kayyam tidak menampilkan kecemasan hidup, justru kebahagiaan di ruang keluarga priyayi yang sederhana. Karena sebagaimana dikatakan oleh seorang filosof muslim, Al Farabi, bahwa kebahagiaan sejati bukan merupakan pra-syarat kebahagiaan abadi, tetapi juga pra-syarat kelangsungan hidup yang nyata setelah kematian, (Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, 1987, h.79). Dalam kartun Benny and Mice yang mengisi tiap minggu di kompas, adalah keunikan orang Indonesia asli. Bukan berarti orang Indonesia adalah tipe lakon-lakon dalam kartun, tapi melalui kartunlah semua persoalan hidup lebih tenang untuk disikapi. Seperti contoh, Benny yang berteman akrab dengan Mice, pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Mereka mengamati semua orang yang lewat dan kemudian meniru pakaian-pakaian yang mereka pakai. Suatu kali Benny menjadi penjaga wc umum dan mengatakan bahwa itlah pekerjaan yang didambakannya.

Konsep Umar Kayyam bisa menjadikan kebahagiaan sebagai antisipasi untuk ketenangan jiwa dan memanipulasi keruwetan hidup menjadi sebuah parody. Kalau diandaikan, Umar Kayyam adalah seorang penulis nakal tapi membuat segan para pembaca tulisannya. Ia adalah sosok sponge-bob, egois dan seenaknya. Sebagai orang Indonesia ia memang egois dan seenaknya dan merupakan sisi sosial masyarakat agraris dan bersifat positif. Seorang buruh tani mencoba mengakali perkataannya untuk mengantisipasi kelangkaan pupuk dengan mengatakan, “Di zaman dulu orang ke sawah tidak juga memakai pupuk buatan pabrik, selama ayam, kerbau dan kambing masih mau berak, kita akan terus juga ke sawah.”

——————–

Begitu Umar Kayyam meninggal dunia, ia justru membuat kematian sebagai tujuan hidup yang dicita-citakan. Rohnya hadir di tengan keramaian malioboro, bundaran UGM  dan antara jalan Solo – Prambanan.

Ia adalah layar teater dengan panggung realist, tanpa coretan background yang makna tidak dimengerti. Itulah tampilan kota seperti Yogyakarta, fenomena tatanan budaya yang mulai memudar. Kota itu telah kehilangan guru atau sesepuh budaya dan murid-muridnya tidak lebih dari mereka yang sengsara dalam kebahagiaan : tukang parkir, buruh kasar, gelandangan dan beberapa orang pelacur di pasar kembang. Mereka mungkin tidak pernah membaca tulisan Kayyam, tapi mereka adalah tokoh-tokoh dari tulisan tersebut. Sebagian justru menolak kehidupan materialisme secara terbuka karena seperti pementasan teater koma dengan  judul “kunjungan cinta”, Riantiarno sekilas merefleksikan kepada penonton bahwa kemiskinan yang getir bisa membuat moralitas goyah, godaan uang bakal menyeret orang menjadi lebih pragmatis, dan banyak orang yang lebih memilih gaya hidup mewah meski dibangun dari utang. (Kompas, 14 Januari 2007). Padahal kru di teater koma itu sendiri hidup dan mencari uang dengan berkesenian?

Umar Kayyam belum berhasil menuai buah pikirannya walaupun benih pikirannya itu masih diragukan, terutama oleh generasi sekarang. Generasi sekarang adalah masyarakat konsumtif, materialisme Barat yang  nyaris tidak memiliki pertahanan budaya jitu. Oleh karena itu pengaruh Umar Kayyam justru tidak dikenal sedikitpun dan hal itu juga yang digukan oleh kebanyakan sastrawan lainnya, mereka mengkhawatirkan akan datangnya masa dimana masyarakat terbentuk oleh satu warna.

Dan warna itu terbuat dari cat yang buruk, dipakai oleh seniman yang selalu mencela ibu bapaknya sendiri……

Kritik Teater: Tulisan Diskursif, Tulisan Alkemis; Pandangan Benny Yohannes

Selasa, 19 Juli 2016 | teraSeni ~

Karya Dindon WS bersama Teater Kubur Jakarta - teraSeni
Karya Dindon WS
bersama Teater Kubur Jakarta

Tulisan berikut ditulis oleh Benny Yohannes, seorang sutradara, peneliti dan sekaligus Dosen Teater yang berdomisili di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini berasal dari sebuah milis bertajuk “Ngobrolin Teater,” dimuat tanggal 12 juli 2006  Tulisan ini semoga bisa melengkapi wawasan tentang kritik teater, bersama pandangan Max Arifin atas Kritik Teater, yang telah kami terbitkan sebelumnya, serta tulisan Wisran Hadi tentang kritik seni rupa.Semoga Bermanfaat.

Fenomena teater modern di (sejumlah kota besar) Indonesia adalah fenomena reklamasi biografi. Teater dipilih sebagai medan kreasi, lebih sebagai kebutuhan personal untuk menguruk dan memadatkan fondasi identitas. Profesionalitas bukan satu-satunya tujuan kulminatif terpenting. Teater adalah altar kultivasi, di mana pengorbanan pribadi dan kedaruratan fasilitas justru jadi ‘jalan ritual’ untuk pemadatan biografi pelaku-pelakunya. Jelas, ini tipe pandangan yang diromantisir, dan kesimpulan yang secara eksplisit emosional. Tapi, optimisme para pekerja teater modern di Indonesia adalah hasil dari internalisasi emosi seperti ini. Internalisasi emosi inilah yang justru melahirkan moral berkreasi yang liat, tandas, terinisiasi, meski tidak seluruhnya menghasilkan inovasi.

Kreativitas dan invensi estetik teater modern di Indonesia bersumber dari energi biografis yang terus digandakan. Perjuangan artistik adalah medan pergulatan biografis itu sendiri. Kreasi teater adalah biografi sekunder kreatornya. Karena itu, dapur alkemi teater cenderung juga merefleksikan dapur biografis penggiatnya. Perjalanan kreativitas teater di Indonesia tidak dibangun oleh institusi formal teater, tetapi berbasis pada hasil-hasil sublimatif dari kreativitas persona. Biografi teater modern adalah biografi sejumlah persona. Persona itu adalah individu-individu yang memproses sendiri ritual reklamasi-nya, untuk kemudian membangun energi alkemis dalam lingkaran internal komunitas kreatifnya. Itu sebabnya konsep-konsep kreatif di dunia teater selalu berkumpar pada keunikan dan ekspresivitas konsep-konsep personal, sebuah self-confession dari dapur biografisnya; dan bukan dimanifestokan dalam bentuk konseptualisasi akademis, yang argumentatif dan sistemis.

Dapur biografis dapat dipahami sebagai hasil pertalian dan transformasi kesadaran persona dengan biosfir sosialnya. Biosfir sosial adalah ruang migrasi dan reintegrasi sekaligus. Karya-karya teater modern di Indonesia merupakan pilihan adaptif dari proses migrasi dan reintegrasi tersebut. Teater ekspresionis Arifin-Kecil, berisi kesadaran migratif antara Islam substantif dan proses reintegrasinya dengan narasi urban Jakarta. Putu-Mandiri, menemukan estetika ke-putu-annya, lewat reintegrasi bahasa piktografik wayang, vokalisasi Bali dan diksi oral komunitas trotoar Jakarta, sepanjang proses migrasi eksistensial Putu, dari Bali, Yogya, lalu berlabuh di Jakarta. Dindon-Kubur, melakukan reintegrasi identitas atas realitas faktual Kober, fleksibilitas dan fragmentasi narasi dari komunitas marjinal, dan ramuan estetik teaternya menunjukkan proses migrasi sublimatif atas biosfir sosial Kober yang diserapnya. Yudi-Garasi, melakukan migrasi diskontinyu atas praksis teater populis Yogya— memilih prinsip amnesia terhadap determinasi dan beban budaya masa lalu—untuk menemukan koridor reintegrasi dengan ranah estetika global.

Bukan Rekayasa Artistik
Proses estetikasi teater seperti contoh-contoh di atas adalah proses alkemi teater yang bekerja dalam dapur biografis masing-masing kreatornya. Kreasi teater bukan hanya soal melakukan rekayasa artistik untuk membuat ‘pertunjukan yang bagus’. Kata ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’ menjadi terminologi yang terlampau simplistik dalam membaca praktik teater sebagai proses migrasi ini. Sebab pengkelasan ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’ adalah kategori kualifikasi untuk kerja profesi. Teater modern di Indonesia bukan profesi, tapi sebuah kerja alkemis di wilayah dapur biografis. Bagi para kreatornya, teater kemudian lebih dihayati sebagai medan empatis, bukan regularitas teknis. Aku dalam teater bukan aku-singular objektif. Aku dalam teater adalah multi-aku, pulang-pergi antara migrasi dan reintegrasi, untuk menemukan identitas sublimatifnya.

Dalam konteks membaca paradigma kreasi teater seperti di atas, narasi kritik tertantang untuk menunjukkan sensitivitas reseptifnya, dengan cara menunjukkan bahwa: di belakang setiap kreasi teknis teater, sebenarnya melekat pula kreasi sublimatif lain, yang bekerja di luar kategori pencapaian ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’. Kreasi sublimatif ini adalah wilayah ritual biografis kreatornya, yaitu peristiwa interface antar sang multi-aku dalam diri, di mana kepercayaan atas penemuan adaptif dan self-confession akan lebih berperan daripada pencapaian kesempurnaan teknis semata.

Kerja kritik teater harus lebih mampu menangkap nilai dari kreasi sublimatif ini, yang biasanya muncul implisit di bawah realitas teknis pertunjukan. Kreasi sublimatif ini menjadi lebih penting dikuak dan dipahami karena dalam relasi inilah, intensitas ritual dari proses reklamasi biografis kreatornya dapat lebih terbaca. Proses reklamasi biografis adalah denyut dari dunia multi-aku, dunia migrasi dan reintegrasi, yang tengah membangun koneksi-koneksi alkemisnya terhadap medan biosfir sosial yang diserap kreator. Dari relasi-relasi seperti itulah, idiom-idiom estetika personal dibangun. Malhamang-Bandar Jakarta, berada dalam koneksi alkemis dengan perahu-perahu kayu Tanjung Priok. Gundono-Suket, mendapatkan kembali nutrisi estetik yang melimpah dari kekenyalan memori pastoralnya, yang lekat dengan imaji rumput dan tanah.

Untuk dapat memahami sumber-sumber alkemis yang menjadi fondasi dari kreasi sublimatif teater seperti di atas, narasi kritik harus dapat membangun kekuatan empatis dari tulisan. Kritik empatis sebagai bentuk penjelajahan terhadap kreasi sublimatif teater bukan cara untuk mengorbankan atau menumpulkan kekuatan diskursif tulisan, lalu menggantinya dengan ungkapan-ungkapan euphemistis. Empati justru merupakan ketajaman lebih lanjut dari panah diskursif.

Jika diskursivitas cenderung pada narsisisme pikiran, maka narasi empatis dalam kritik akan mencairkan kemampatan dan koersivitas opini, dengan cara terus mengayuhkan seluruh muatan nalar dalam tulisan ke wilayah ayunan leksikalnya, untuk menunjukkan kekenyalan dan keleluasaan imajinatif tulisan. Narasi kritik adalah pendulum yang terus mengikhtiarkan gerak skriptural untuk makin melebarkan rentang semantiknya.

Kritik bukan perumusan amanat kritikus, lewat usaha pengkelasan atau penabalan atas nilai-nilai kreatif seni. Kritik adalah tulisan alkemis, di mana pengalaman reseptif yang dibangun kritikus, sekaligus menunjukkan kualitas interpose kritikus, dalam upayanya untuk terus membaca peristiwa teater dalam dua jejak alkemisnya, yakni antara kreasi teknis dan kreasi sublimatif teater. Dengan kata lain, kritik alkemis adalah hasil pembacaan silang yang makin intensif dan sensitif antara realitas Aku-teknis dan kehadiran senyawanya, yaitu Multi-aku sublimatif. Atau antara kehadiran si kaki di front-stage dan migrasi jejak-majemuknya di wilayah back-stage. (Benny Yohannes)

Kritik Teater Kontroversi Cerita Lama; Pandangan Max Arifin

Senin, 18 Juli 2016 | teraSeni ~

Teater A Magic Flute, karya Peter Brook - teraSeni
Karya Teater Peter Brook’s B
erjudul A Magic Flute

Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan almarhum Max Arifin pada Simposium Kritik Seni Dewan Kesenian Jakarta tanggal 23-24 Juni 2005 di Jakarta. Max Arifin, adalah pengamat teater yang lama berdomisili di Mojokerto, Jawa Timur. Menyusul kritik Seni Rupa dari Wisran Hadi yang kemarin kami terbitkan, kritik teater dalam pandangan Max Arifin ini kami ketik ulang dan kami terbitkan pula karena pandang sangat berguna bagi pembaca. Semoga bermanfaat.

One of a critic’s main jobs is to prick balloons.”(Eric Bentley)

Satu

Menulis kritik teater, kata Eric Bentley (1958: 235) adalah lebih buruk ketimbang jalan di atas telur; rasanya seperti kita jalan di atas tubuh-tubuh manusia yang hidup dan menyebabkan tubuh-tubuh itu berdarah-darah. Dan barangkali agak berlebihan bila ia menambahkan, bahwa ia merasa kritik teater itu merupakan seni membuat musuh dan gagal mempengaruhi orang. Namun orang ini terus juga menulis kritik-kritik teaternya sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan yang ia miliki tentang kritik.

Umpamakan tak ada kritik teater yang serius; maka pujian-pujian dari apa yang “sok disebut kritikus” itu juga tidak akan diterima dengan serius. Bila semua lakon dan semua pementasan dipuji, sebuah kritik teater yang baik tidaklah akan berarti apa-apa. Seniman yang dikritik belajar memfokuskan diri pada kritik-kritik yang menyalahkan dia dan melupakan yang lain; sebagian besar mereka bersikap seperti itu. Mereka yang tak tahan (terhadap kritik) biasanya bukanlah mereka yang lapar akan sedikit pengakuan, tetapi mereka yang telah kenyang dengan pujian yang berlimpahan. Kebudayaan kita sudah terlalu banyak menjual setiap produk Reputasi-reputasi tidaklah selalu benar-benar tinggi, mereka malah terlalu banyak dipompa, sesuatu yang sia-sia.

Namun demikian, kita akan serempak berseru: kritik teater sangat diperlukan. Maju-tidaknya kehidupan herteater tergantung pada kritik-kritik teater yang berbobot. Kita seakan-akan merindukan kritik teater yang berbohot, kritik teater yang mencerminkan kecerdasan dan intelektualitas.

Dua
Ada kontroversi seputar masalah kritik sastra, termasuk kritik teater; persaingan antara sastrawan kreatif dan para kritikus dan ini adalah ceritera lama. Pertama, kita masih ingat metode kritik Ganzheit (Arief Budiman dan Gunawan Mohamad) yang mengingatkan kita pada ucapan Jean-Paul Sartre: “Karya sastra tidak bisa direduksi menjadi sebuah pemikiran” dan kritik akademik yang berpegang pada analisa, yang diwakili para sarjana sastra UI Rawamangun, yang mengingatkan kita pada The New School of Criticism. Dan debat ini telah dipecahkan melalui teori lingkaran, di mana diandaikan bahagian dan keseluruhan akan selalu mengandaikan secara terus-menerus dalam suatu lingkaran yang memutar.

Kedua, ada pertentangan antara otonomi pengarang dan otonomi semantic, atau antara textual meaning dan authorial meaning. Tugas teori dan metode adalah membantu kita memahami sifat-sifat objek sedekat mungkin dan bukan malah melakukan distorsi dengan menjadikan objek kajiannya hanya sebagai ilustrasi untuk suatu teori. (Ignas Kleden, 2004: 193). Kritik dinilai berdasarkan keberhasilannya atau kegagalannya dan bukan berdasarkan pendekatan yang digunakan.
Ketiga, antara pendapat yang mengatakan, bahwa semua lakon itu adalah baik dan pendapat yang mengatakan ada lakon yang baik dan ada yang tidak baik (dan menelurkan kriteria tentang lakon yang baik).

Naskah-naskah yang dibuat sendiri dipandang berbeda dengan naskah-naskah terjemahan dari luar negeri. Naskah-naskah buatan sendiri cenderung dipandang “kurang” memenuhi kriteria lakon yang baik. Seperti Peter Brook, umpamanya (1989: 46) memberikan kriteria umum tentang lakon yang baik dan yang tidak baik. Lalu ia menyimpulkan, masalah utama teater dewasa ini adalah: “How can we make plays dense in experiences?!

George Lukacs rnenyebutnya sebagai “dilema intelektual kesusastraan”: sejauh mana sebuah lakon itu mampu melukiskan keadaan suatu masyarakat sambil mengusulkan suatu dunia baru, suatu possible word suatu proposed world. Sekalipun belum ada dalam kenyataan, sanggup mengundang dan meyakinkan penonton tentang perlunya dunia tersebut; suatu masa depan yang hakiki, masa depan sebagai suatu “struktur konseptual” suatu penganganan dramatik. Brook lagi: jika suatu lakon itu mengkonfirmasikan pada kita sesuatu yang sudah kita yakini atau percaya, maka lakon itu tak ada gunanya. Kecuali, tentu saja lakon itu mengkonfirmasikan the real belief, di mana teater dapat membantu kita untuk melihat dan memahami dengan lebih baik.

Tiga
Ada tiga persoalan yang mendasar dalam usaha kita membuat kritik teater yang baik pertama, penganalisaan lakon lewat suatu studi terhadap naskah tersebut. Juga studi tentang latar belakang pengarangnya studi tentang fakta-fakta yang dominan pada periode tersebut –agama atau hal-hal yang bersifat psikologis-dan sejauh mana naskah itu (bisa) dieksekusi ke dalam realitas pentas. Kedua, kemungkinan-kemungkinan teatral dari naskah tersebut yang meliputi kebutuhan visual, kebutuhan verbal, kebutuhan karakteristik dan kontak antar karakter, kebutuhan struktural serta kebutuhan auditif-kontras, jedah yang baik dan ilustrasi musik. Ketiga, menunjukkan kriteria yang digunakan dalam penilaian.

Menurut Max Lerner pengarang mempunyai dua macam filsafat: kredo artistik yang sadar lewat medium drama dan visinya tentang kehidupan serta nilai yang terletak di bawah sadarnya—pandangan hidupnya berupa pengendapan fakta-fakta yang datang dari luar. Sernentara tujuan dan kritik teater, Oscar G.Brockett (1964: 19) menyebut tiga tujuan: expository, appreciation dan evaluative. Mungkin saja dalam sebuah kritik teater ketiga tujuan tersebut terdapat bersama-sama. Kritik teater expository antara lain mempelajari pengarangnya, kapan naskah itu ditulis, sumber-sumber dan ide-ide yang diekspresikan dalam naskah.

Kritik teater yang apresiatif biasanya ditulis oleh kritikus teater yang telah memutuskan, bahwa naskah tersebut adalah baik. Motif utamanya adalah agar orang lain, masyarakat penonton juga ikut merasakan kekuatan naskah tersebut. Bisa juga kritikus tersebut menguraikan responnya sendiri kemudian membangkitkan perasaan yang sama pada pembaca penonton. Atau bisa juga ia memperlihatkan kesungguhan penulisnya dalarn struktur naskah, karakterisasi, penciptaan mood, dan lain- lain. Kritik teater yang evaluative bisa menggunakan (kritik) expository, appreciative dan bahkan bisa menghukumnya. Tujuan utamanya adalah menilai efektivitas dari naskah tersebut.

Dengan demikian kita mendapat bayangan kira-kira bagaimana seorang kritikus teater yang “baik” itu, yaitu: (1) Ia harus sensitive terhadap perasaan dan ide-idenya; (2) Ia harus mengenal benar teater dari segala periode dan semua tipe/gaya/aliran, terutama perkembangan teater di Indonesia sehingga tampak tahap-tahap hubungan dialektik antara teater setempat dan pengaruh-pengaruh dari luar terutama yang merangsang bangkitnya kesadaran kecendikiawanan perteateran (Bakdi Soemanto, 2001: 120); (3) Ia harus mau mengeksplore naskah lakon sampai ia memahaminya secara tuntas; (4) Ia harus awas, hati-hati terhadap prasangka pribadi dan nilai-nilainya; (5) Ia harus pandai berbicara dan jelas dalam mengeluarkan penilaiannya dan dasar-dasarnya; dan (6) Ia harus mau mengubah pendapatnya bila ada pengalaman dan bukti-bukti baru.

Almarhum Max Arifin - teraSeni
Almarhum Max Arifin
di Perpustakaan Pribadinya

Peter Brook (1990: 37) menekankan, bahwa ia, kritikus teater itu mempunyai suatu citra (image) tentang bagaimana seharusnya sebuah teater itu berada dalam komunitasnya. Akan jauh lebih baik bila ia menjadi orang dalam (insider). Ia menceburkan diri ke dalam hidup kita,bertemu dengan para aktor, berbicara dan berdiskusi, menyaksikan dan (kalau perlu) campur tangan. Memang terdapat sedikit masalah: bagaimana mungkin seorang kritikus berbicara pada seseorang yang tadinya dikecam dalam surat kabar. Bagaimanapun juga hubungan itu tetap dijaga dan diperbaiki karena keduanya saling membutuhkan. Kritikus yang tidak lagi menyukai teater adalah “a deadly critic”; kritikus yang mencintai teater tetapi tidak dengan tegas dan jelas apa yang dimaksudkan dalam kritiknya, juga adalah “a deadly critic”.

Kritikus yang baik adalah kritikus yang dengan jelas memformulasikan untuk dirinya sendiri (lebih dulu) bagaimana seharusnya sebuah teater dan cukup berani melemparkan formula tersebut ke dalam “kancah yang beresiko” setiap waktu, saat ia berpartisipasi dalam peristiwa teater. Memang berat baginya untuk mempertahankan suatu antusiasme bila cuma ada sedikit lakon yang baik: suatu pilihan yang tidak menyenangkan antara karya-karya besar konvensional dan karya-karya modern yang kurang baik. Brook menulis di sana: “We are now in another area of the problem, also considered to be central: the dilemma of the deadly writer”. Apakah pernyataan ini berlaku juga bagi kita di Indonesia? Ada kecenderungan lakon-lakon itu cumalah pengulangan atau penulisan dalam bentuk baru. Drama lalu menjadi kantong pakaian-pakaian rombeng, keisengan dan ide- ide yang kemarin.

Menurut Eric Bentley, kemunduran ini disebabkan oleh dua hal: (1), penulisan naskah lakon cuma dipandang sebagai suatu craft, ketukangan. Dramaturgi diturunkan dan the fine arts menjadi the useflul arts dan juga tidak berguna:, (2). Naskah ditulis khusus untuk penonton tertentu yang ada dalam pikirannya dan tidak berpikir ada penonton yang lain untuk naskah yang baik. Alasan utamanya adalah untuk menarik perhatian dan menyenangkan penonton. Dia melihat dramaturgi itu sebagai persoalan bagaimana menepatkan lakon itu pada penontonnya; yang benar adalah penonton itu diminta/dihimbau to adjust dirinya pada lakon tersebut.

Empat
Is there another language just as exacting for the author as a language of words?,” tanya Brook lagi ketika ia berbicara tentang The Holy Theatre sebagai suatu penghormatan bagi Artaud. (hal.55). Apakah ada bahasa untuk actions, untuk suara, “a language of word-as-part-of movement”, “of word-as-lie, word-as-parody, word-as-rubbish, word-as-contradiction, word-shock or word cry”? Teater yang mencoba memberikan arti yang lebih dalam lagi tentang gestur, umpamanya; gestur sebagai suatu statement, ekspresi, komunikasi dan suatu manifestasi pribadi tentang kesepian, yang disebut Artaud sebagai “a signal through the flames” sekaligus sebagai tempat berbagi pengalaman begitu kontak itu terjadi. Perlahan-lahan kita menuju ke “wordless language” yang lain: kita mengambil sebuah peristiwa, sepotong pengalaman dan membuat gerak-gerak dengan tubuh yang mengubahnya menjadi bentuk-bentuk di mana kita dapat saling berbagi.

Kita mendorong para aktor itu untuk melihat diri mereka bukan hanya sebagai improvisers, menuntun diri mereka ke dalam inner impulses mereka, tetapi sebagai seniman bertanggung jawab mencari dan menyeleksi di antara bentuk-bentuk tersebut sehingga sebuah gestur itu atau sebuah teriakan menjadi sebuah objek yang ia temukan dan bahkan dibentuk-ulang. Kita menolak bahasa topeng tradisional dan dandanan-dandanan sebagai sesuatu yang tidak cocok lagi. Kita bereksperimen dengan keheningan kita ingin menemukan hubungan antara keheningan dengan durasi. Kita bereksperimen dengan ritual dalam arti pola-pola yang berulang-ulang, melihat apakah hal itu mungkin untuk menghadirkan lebih banyak arti lagi dan lebih cepat ketimbang lewat suatu pembongkaran peristiwa secara logik. Tujuannya, seperti dikatakan oleh Brook, adalah bagaimana yang tidak tampak itu menjadi tampak lewat kehadiran para aktor, terlepas buruk atau baik atau sukses atau gagal.

Seperti dikatakan sendiri oleh Artaud (Stephen Barber, 1993: 44) teaternya tidak mempercayai lagi bahasa, karena teks itu cumalah pengulangan-pengulangan yang nyinyir. Di bagian lain Artaud menulis begini (hal. 145):” the theatre is the condition the place the point where the human anatomy can be seized and used to heal and direct life.” Persoalannya bagi kita atau bagi (calon) kritikus teater: rasanya kita belum mempunyai rumusan atau kriteria yang baku dalam menilai pementasan-pementasan yang mengambil gaya Artaudian. Apakah hal itu perlu atau tidak perlu dirumuskan seperti yang terjadi pada teater-teater yang mengambil gaya Brechtian atau Chekhovian. Kriteria tersebut juga diperlukan oleh para penonton agar mereka mengetahui bagaimana kita menikmati pergelaran-pergelaran Artaudian tersebut.

Lima
Perlukah para kritikus mempunyai sebuah organisasi? Saya tidak bisa menjawab secara tegas. Di lnggris ada Guild of Drama Adjudicators atas restu dari British Drama League. Pada awal pembentukannya organisasi ini beranggotakan empat puluh enam orang, orang-orang yang mempunyai pengalaman yang baik dalam festival-festival drama. Sekarang anggotanya sebanyak dua ratus lima puluh orang dengan cabang-cabangnya di New Zealand, Kanada, Australia dan Amenika Serikat. Organisasi ini membuat standar penilaian terhadap pementasan-pementasan. Syarat-syarat keanggotaannya cukup ketat. Anggota-anggotanya adalah orang-orang professional, berpengalaman sebagai aktor, sutradara, stage manager atau produsir. (Derek Bowskill, 1973: 328). Di Inggris juga ada British Theatre Association, The National Association of Drama Advisers ada pula National Drama Conference, National Federation of Women’s Institutes, The National Operatic and Dramatic Association. Mereka mempunyai program kerja yang luas: pelatihan-pelatihan, effective speech courses, pelayanan perpustakaan, informasi, penerbitan bulletin, pelatihan menjadi kritikus, penulisan naskah, ceramah-ceramah, konsultasi, dan lain-lain.

Apakah tidak mungkin kita memikirkan organisasi-organisasi seperti di lnggris itu ? Saya mendukung gagasan untuk membentuk Federasi Teater Indonesia.
Di samping itu perlu dipertimbangkan agar PT-PT Seni dan sanggar-sanggar mampu memunculkan kritikus-kritikus teater yang handal seperti dirisaukan oleh Bakdi Soemanto dalam bukunya Jagat Teater (2001: 321). Ia juga mengkritik sutradara beberapa sanggar yang bertindak sebagai pemilik dari company itu yang tidak memungkinkan munculnya kritikus-kritikus teater dari sana.

Enam
Sesungguhnya teater itu berada dalam situasi antara kekuatan-kekuatan yang sedang bertanding yang memberinya hidup; teater itu sendiri adalah pemberi hidup. Kita ingat akan The Great Initiatory Wheel-nya Richard Schechner (1994: 318) yang terbentuk bila kerja kelompok itu sukses. Personal (yang mempertanyakan siapa aku sekarang) sebagai suatu realisasi diri menuju ke Group (munculnya kreativitas kolektif)… .menuju ke social (solidaritas)… .menuju ke Political (kesadaran)… menuju ke Metaphysical (manusia dapat mengubah dirinya)… menuju kembali ke Personal dan seterusnya dalam sebuah lingkaran yang makin menaik
Ya, bagaimana lagi? That’s all. Terima kasih. Casa di Lansia, 20 Juni 2005.(Max Arifin)

Dari Wakidi ke Kamal Guci: Kritik Wisan Hadi Atas Seni Rupa Sumatera Barat

Minggu, 16 Juni 2016 | teraSeni ~

Tulisan berikut  ditulis oleh almarhum Wisran Hadi, Budayawan Sumatera Barat, sebagai Pengantar untuk Pameran Tunggal Pelukis Kamal Guci. Mengingat sudut pandangnya yang menarik, serta gaya penulisannya yang inspiratif, Redaksi teraSeni menuliskannya kembali untuk pembaca. Semoga bermanfaat.

Lukisan Kamal Guci - teraSeni
Lukisan Wakidi Berjudul Kampung Terapung
Apapun kata orang tentang perkembangan seni rupa khususnya seni lukis di Sumatera Barat, setuju atau tidak, sosok Kamal Guci tidak dapat dilepaskan dari perkembangan itu. Kamal Guci merupakan satu mata rantai atau satu bagian penting dari gerak lajunya sebuah perkembangan kebudayaan. Dalam catatan kronikal budaya di Sumatera Barat namanya akan ditemukan dalam deretan nama-nama perupa atau pelukis Sumatera Barat yang handal, yang lahir, belajar dan menetap di negerinya sendiri; Minangkabau.

Jika sesaat dicoba kembali menoleh ke belakang perkembangan senirupa di Sumatera Barat, maka pelukis Wakidi (kelahiran Semarang dan kemudian memilih Minangkabau sebagai negerinya sendiri, menetap di Bukittinggi) adalah sesepuh, seumpama menara pemancar yang tinggi dan terus-menerus menyebarkan sinyal gerak senirupa bagi generasi berikutnya. Wakidi dalam sejarah senirupa Indonesia diposisikan sebagai salah seorang master sesudah Raden Saleh, walau lukisan-lukisannya yang bertema “Indonesia Indah” itu terus mendapat koreksian dari Sujoyo dkk. pada masanya.

Begitu Wakidi telah menetapkan Minangkabau sebagai negerinya yang kedua, secara filosofis lukisan-lukisannya menjadi lebih menukik ke kedalaman, menjadikan lukisan-lukisannya yang naturaslime romantik itu mengemas “Sumarak Alam Minangkabau” sebagai tema sentralnya. Minangkabau yang permai, indah, tiada badai, hujan, tiada gempa walau pada masa-masa pra-kemerdekaan dan sesudahnya Wakidi juga ikut bergerilya bersama pejuang kemerdekaan sampai ke kampung-kampung yang jauh di pedalaman Minangabau sambil terus melukis. 

Beberapa pelukis lainnya seperti Usman Kagami, Samsulbahri, Idran Wakidi, Yose Rizal dan beberapa pelukis lainnya lagi meneruskan aliran ini. Bahkan sering pula orang menjuluki Wakidian  untuk para pelukis yang mengikuti aliran Wakidi. Kepulangnya para perupa dan pelukis dari ASRI Jogjakarta dan ITB Senirupa membawa angin baru dalam perkembangan berikutnya. Beberapa nama seperti Huriyah Adam, Ramuddin, Arby Samah, A.A.Navis, Adrin Kahar, Sumaryadi, Amir Syarif, Hasnul Kabri dan beberapa lagi mencoba menguak tirai untuk menemukan modus baru dalam aliran senirupa di Sumatera Barat dengan merujuk kepada aliran-aliran yang telah berkembang di dunia barat. Kemudian dilanjutkan oleh yang lebih muda dan gigih lagi seperti AR Nizar, Firman Ismail, Ady Rosa, Muzni Ramanto, Darvies Rasyidin, Herisman Is, Bodi Dharma, A.Alin De, Nazar Ismail, Amrianis, dan lainnya.

Ada yang terus berkarya di luar Sumatera Barat, seperti Syahrizal Zain Koto di Jogja yang kemudian mengukuhkan namanya menjadi Pematung Indonesia terkemuka, dan beberapa perupa lainnya yang tak kalah besar namanya. Kemudian susul menyusul nama-nama penting dalam gerak lajunya senirupa Sumatera Barat diantaranya Zirwen Hazry, Irwandi, Iswandi, Nasrul dan beberapa lagi (mohon maaf, tidak semua pelukis dapat saya catat dengan rapi, jadi banyak yang tidak tertuliskan dalam pengantar ini). Para pelukis ini terus jungkir-balik dan bertungkus lumus siang malam mencari bentuk-bentuk baru, tehnik-tehnik yang relevan dan idiom-diom pengucapan yang sesuai dengan media senirupa yang mereka tekuni.
Kamal Guci berada dalam arus perkembangan demikian. Diapun jungkir balik untuk “keluar” dari kungkungan gaya dan tema “Sumarak Alam Minangkabau” itu. Pameran tunggal pertamanya tahun 1996 di Taman Budaya membuktikan, bahwa Kamal Guci walau sudah mencoba mencari bentuk-bentuk baru dan untuk itu dia mencoba melakukan interval kreativitas seperti ikut dalam proses pementasan, pembuatan film dsbnya, namun tema “Sumarak Alam Minangkabau” itu tetap menjadi “hantu” yang belum dapat ditangkal dengan mantera apapun. Rantang waktu sejak dari Wakidi sampai ke Kamal Guci sebenarnya masih terlalu pendek untuk suatu perubahan, tetapi kegelisahannya untuk segera “keluar”, untuk segera “berubah” tidak dapat dibendungnya.

Ketika umurnya memasuki angka 50, (umur bagi seorang pelukis untuk tidak dapat lagi disebut pemula atau amatiran), Kamal Guci disentak oleh berbagai problematika kehidupan dari segala lini. Dia digoncang, diragukan, dirisaukan, di sangsikan oleh berbagai masalah yang secara kompleks mengurung dirinya. Adat dan budaya Minangkabau yang diyakini selama ini sebagai rujukan nilai-nilai dan moral, perilaku lingkungan yang semakin hari menjadi semakin hedonistik, egoistis dan bahkan brutal seakan-akan mencucuk-cucuk kanvasnya untuk sesegeranya harus dijawab dan sesegeranya harus dicatat.

Lukisan Kamal Guci - teraSeni
Lukisan Kamal Guci
dalam sebuah pameran di bali

Kamal Guci tengah berada dalam “gempa budaya”. (Istilah ini dipinjam dari seorang penulis esei dan kritik Purnama Soewardi). Gempa budaya tak hanya meluluh lantakkan nilai-nilai dan moral, tetapi juga mengikis dan menghanyutkan kejujuran, kepasrahan, kebersamaan yang selama menjadi andalan hidupnya. Belum selesai Kamal Guci menjawab tantangan gempa budaya demikian, gempa bumi tiba-tiba melanda Sumatera Barat. Melanda “Sumarak Alam Minangkabau” yang selama ini didendang-dendangkannya di atas kanvas.

Mau tidak mau, di era umur limapuluhan itu, Kamal Guci sebagaimana yang diakui sendiri; “lukisan-lukisan saya seakan terbawa arus, mengalir sendiri seperti air sungai” ketika dia diminta harus menjelaskan kenapa tema-tema lukisannya sudah bergeser dari “Sumarak Alam Minangkabau” ke “Minangkabau Yang Semakin Risau”. Tema seni lukis Sumatera Barat tanpa disadarinya mulai bergeser dari Wakidi ke Kamal Guci.

Dia tidak sempat lagi menangis melihat rumah gadang, mesjid dan surau, lapau, tapian, galanggang telah porak poranda dan luluh lantak oleh bencana alam. Dia pelukis dan harus segera melukis. Tragedi “gempa budaya” dan “gempa alam” yang tengah dihadangnya itu terasa sekali dalam penempatan warna, objek, centre of interest, atmosfir dan landscaping (lingkungan) yang dipilih untuk dilukiskannya. Dalam pameran tunggalnya yang kedua ini, lukisan-lukisannya yang bertarikh 2010 (sebanyak 16 buah) akan bercerita kepada kita, kepada imaji-imaji kita tentang gempa, bencana dan malapetaka yang menimpa ranah Minangkabau. Sedangkan lukisan-lukisannya sebelum itu yang bertarikh 2009 (sebanyak 6 buah) yang juga diikutsertakan dalam pameran tunggal keduanya ini memaparkan bagaimana pilu hatinya melihat kondisi sosial budaya Minangkabau sebelum gempa. Kondisi-kondisi sosial yang merisaukan, mencemaskan dan mengkhawatirkan yang akan dilalui pada titian panjang menuju hari esok.

Kamal Guci telah melukis dan banyak sekali. Berpencaran pada berbagai kota, berbagai kolektor dan pada galeri dan studio mininya di Dusun Lubuk Guci, Kanagian Sarang Gagak Kecamatan Enam Lingkuang Pakandangan Kabupaten Padang Pariaman. Sebagaimana karya-karya perupa lainnya, lukisan-lukisan Kamal Guci pada hakekatnya adalah dokumen dari suatu perjalanan budaya dari suatu bangsa. Ada gumam, senandung, isakan tangis, erangan nasib, ratapan, kerisauan, serta dendang-dendang kerinduan. Semua itu dinukilkannya di dalam kanvas-kanvas yang tampaknya sederhana, terkadang jadi monochromatik, tanpa tekanan. Jika dari segi materialnya kanvas-kanvas itu mungkin hanya bisa bertahan sampai 100 tahun misalnya, akan tetapi catatan budaya yang ditinggalkan Kamal Guci pada kanvasnya akan terus bertahan selagi manusia masih diberi umur oleh Allah swt. dan masih hadir dalam kehidupan bersama. (Wisran Hadi)

Sumber: ANAK DIPANGKU KEMENAKAN DI BIM; Sagarobak-Tulak Buah Tangan Wisran Hadi (Padang: Lembaga Kebudayaan Ranah, 2013)