Pilih Laman

Saling-Silang Tubuh Dalam Seni Pertunjukan; Catatan dari Diskusi FTJ 2016

Senin, 16 Januari 2017 | teraSeni.com~

“Teater dengan segala kemampuannya, selalu menjadi tempat untuk bertindak dan bersikap bagiku. Ia mampu mengadakan tantangan bagi dirinya sendiri dan bagi penonton dengan memporak-porandakan visi, perasaan dan pendapat stereotipe yang telah mapan…lebih menggetarkan karena teater “tercitra” di dalam organisme pernafasan orang, dalam tubuh dan detak jantungnya.”
“Aktor melakukan penyerahan diri secara total. Ini adalah teknik trance, suatu teknik integrasi antara psikis dengan kekuatan tubuh aktor yang muncul dari pengenalan yang paling intim terhadap diri dan nalurinya yang memancar dari apa yang disebut trans lumination.” (Jerzy Grotowski, sutradara teater)

“Teater Melarat identik dengan konsep poor theatre-nya Grotowski. Yang penting dalam teater adalah aktor, bukan yang lain-lain.” (Tengsoe Tjahyono, aktor, sastrawan)

“Kekuatan aktor yang ditunjang modal dasar aktor yang ampuh inilah yang kemudian berkembang menjadi konsep ‘berangkat dari yang ada’” (Darmanto Radjab, aktor)

“Bagiku, tari itu ya tubuh, tubuh yang berbicara.” (Eko Supriyanto,  koreografer, penari)

“A good dancer is a good dancer whatever style.”
“I was always working very hard, and I only wanted to be a dancer. My wish was only to dance. I found only that dancing was the way I expressed myself. And I found with music and with movement there was something that was me.” (Pina Bausch, koreografer, penari)

Pernyataan para tokoh, kreator dan seniman tersebut di atas menguatkan pandangan perihal tubuh sebagai sentral dalam penciptaan karya seni pertunjukan. Dalam katalog Festival Teater Jakarta (FTJ) 2016 disebutkan bahwa dalam kerja teater tubuh aktor adalah modal kerja utama pemanggungan. Namun demikian, telaah tentang tubuh dari berbagai perspektif belum banyak dilakukan.

Diskusi yang bertajuk Estetika dalam Tantangan Masa Kini adalah ruang yang dihadirkan guna mewadahi perbincangan atas tubuh dalam Seni Pertunjukan. Diadakan pada 6 Desember 2016 di lobi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), diskusi ini merupakan rangkaian perhelatan FTJ (21 November – 9 Desember 2016). Dua pembicara yang dihadirkan, A. Setyo Wibowo dan Heri Lentho,  saya anggap mewakili pandangan tubuh dari latar belakang filsafat “timur dan barat”.

Diskusi FTJ 2016-teraSeni.com
A. Setyo Wibowo dan Heri Lentho
tampil sebagai pembicara Diskusi FTJ 2016
(Foto: https://web.facebook.com/ftjkita/)

Heri Lentho dalam pemaparannya mengingatkan saya akan kepekaan tubuh “timur” terutama dalam keterhubungannya dengan alam, yang beberapa kali saya tangkap pula dari pengalaman ketubuhan koreografer-penari, Sardono W. Kusumo. Dalam perjalanannya menyusuri Sungai Mahakam Kaltim, tiba-tiba pemandu sekaligus pengemudi perahu yang ditumpangi Sardono dan tim, menghentikan perahu dan meminta seluruh penumpang mengosongkan perahu, karena perahu akan dibalik. Hal itu harus dilakukan karena di hadapan mereka adalah arus berbahaya yang tidak mungkin dilalui.

Setelah itu dilakukan dan menunggu beberapa waktu di tepi sungai, datang sekelompok warga suku Dayak. Mereka masuk ke sungai membentuk formasi, melakukan gerakan-gerakan dan mengeluarkan suara-suara, menyerupai ritual tertentu. Kemudian satu-satu mereka menyelam dan muncul ke permukaan sungai dengan membawa barang-barang milik rombongan (termasuk elektronik), yang tercebur ke air ketika perahu dibalik. Semua barang terselamatkan.

Kali lain, Sardono menceritakan pengalamannya di pedalaman hutan Papua bersama suku Asmat. Ketika itu ia memiliki kesempatan menginap bersama mereka di tengah belantara hutan, dalam perjalanan ke suatu tempat. Di tengah malam, tiba-tiba salah seorang dari mereka terbangun dan mengeluarkan suara, mirip lolongan serigala. Setelah itu ia tertidur lagi. Suara itu rupanya merupakan respon terhadap suara lain di luar sana.

Diskusi FTJ 2016-teraSeni.com
Para Partisipan Diskusi FTJ 2016
(Foto: https://web.facebook.com/ftjkita/)

Heri Lento menuturkan pengalamannya berjumpa pak Marsudi, seorang penganut Hindu-Jawa. Beliau menari di upacara-upacara Hindu, dan dengan tariannya itu ia mampu menghubungkan tubuhnya dengan alam, sehingga turun hujan. Dari pengalaman itu Heri mempelajari bagaimana manusia menghidupkan inderanya.

Salah satu sumbernya adalah pengetahuan Hindu. Dalam pengetahuan Hindu termuat konsep tentang terbentuknya Bhuana Agung terutama pada Roh Agung menciptakan unsur halus berupa panca driyani (lima indera) pembangkit getaran dan menghasilkan lima benih unsur yang sangat halus tanpa bentuk, yaitu benih suara, benih warna, benih rasa, benih bau, dan benih sentuhan/peraba. Pada Bhuana Alit dalam tubuh manusia berwujud panca indera yaitu telinga, kulit, mata, lidah, hidung. Selain itu Heri juga merujuk Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan, yang pada epilognya menyebutkan bahwa semua agama dan kepercayaan baik yang purba maupun yang terbaru, media bertemu tuhan adalah melalui musik.

Dari kedua rujukan tersebut Heri menemukan kunci yang selanjutnya ia kembangkan dalam proses kreatifnya, yaitu getaran. Selain getaran dalam bentuk bunyi yang bersumber dari tubuh maupun alat/benda, Heri melakukan pengolahan energi dan kekuatan tubuh. Baginya, akhir sebuah pertunjukan adalah potret yang merangkum nilai pertunjukan tersebut. Karenanya, energi getaran di sini harus benar-benar terasa sangat kuat. Lampu panggung yang meredup jusru harus mengesankan sebagai lampu kilat kamera yang memoret (inti) pertunjukan itu. Layaknya doa, energi pertunjukan harus terbawa pulang oleh penonton, tersimpan di dada dan terus melayang dalam imajinasi masing-masing.

Diskusi FTJ 2016-teraSeni.com
Para Partisipan Diskusi FTJ 2016
(Foto: https://web.facebook.com/ftjkita/)

Menurut Heri di sinilah teater/seni pertunjukan berfungsi memanusiakan manusia, yaitu teater yang menyalakan kembali fungsi ke-indera-an manusia seutuhnya. “Apa yang dimaksud seni mempunyai fungsi memanusiakan manusia?”, “Apakah manusia yang akan menonton seni pertunjukan nanti, sudah bukan manusia lagi?”.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah perpanjangan dari pengamatan Heri bahwa tubuh manusia sekarang telah menjadi bagian kata kerja peralatan teknologi: alat transportsi modern (sepeda motor, mobil, pesawat, kereta api), komputer, telepon seluler, peralatan rumah tangga modern (kompor listrik, seterika, pemanas air, pendingin ruangan, oven, dll). Semua peralatan tersebut telah menjadi bagian rutinitas tubuh dari waktu ke waktu.

Menurutnya tubuh rutin manusia memerlukan relaksasi, raga dan jiwa, untuk penyegaran kembali keberadaan kemanusiaannya. Dalam posisi penyegaran inilah peran Seni Pertunjukan menjadi penting: Bagaimana teater dapat berperan sebagai ruang meditasi ketubuhan penonton.

Ia melihat, pada masyarakat yang maju, seperti Jepang, mereka melihat teater begitu penting. Bagi mereka menonton teater seperti menyegarkan tubuh yang mengalami kejenuhan dan kepenatan. Bahkan di sana sudah terlihat potret sosial masyarakat tampak di kehidupan teaternya. Teater Sehat = Masyarakat Sehat, Teater Sakit = Masyarakat juga sakit. Nah, pertanyaannya yang menggelitik adalah apakah potret kejiwaan masyarakat kita berbanding lurus dengan potret perteateran di negeri ini ?

Dualisme dan Monisme  
A Setyo Wibowo menyampaikan bahwa dalam filsafat Barat terdapat dua pandangan perihal hubungan tubuh-jiwa. Yang pertama adalah pandangan “dualisme” yang berpendapat bahwa raga dan jiwa terpisah dan bertentangan. Jiwa adalah substansi berpikir, sadar diri, bebas, tidak material dan tidak memiliki keluasan, sebuah “aku”. Raga didefinisikan sebagai materi keluasan, substansi tanpa kualitas psikis, tanpa finalitas.

Cara berpikir modern menghabisi pola pikir magis animis (yang percaya bahwa materi punya daya psikis) dan menolak teori simpati kosmis (bahwa hidup tiap unsur di alam saling berinteraksi). Pandangan modern dualis ini yang kemungkinan membuat kita nyaman makan binatang-binatang tertentu, menebang pohon, mencari batu bara-tembaga-besi-emas, tanpa rasa bersalah karena kita menganggap semuanya hanya raga, materi keluasan tanpa kesadaran dan tanpa rasa.

Dualisme keras ini ditemukan dalam doktrin aliran Orphico—pythagorisme yang menganggap tubuh sebagai penjara dan kuburan bagi jiwa. Tanpa memusingkan bagaimana interaksi keduanya, sejauh raga dianggap amplop atau baju, maka jiwa memiliki hidupnya sendiri, reinkarnasi berkali-kali, bergonta-ganti baju (raga manuia, raga binatang). Raga adalah tempat ujian, tempat pemurnian, sarana bagi jiwa untuk kembali ke yang illahi.

Kedua adalah pandangan “monisme”. Ini adalah pandangan yang tidak peduli kekekalan jiwa, dan menganggap bahwa material adalah satu-satunya realitas. Di jaman kuno, monisme keras diungkapkan oleh Demokritos (segalanya adalah atom) dan Stoicisme (semua adalah tubuh). Baik jiwa maupun raga berasal dari satu prinsip, dari atom (demokritos) atau dari api (stoicisme).

Materialisme modern berpikir mirip: segala gejala psikis atau spiritual diterangkan lewat mekanisme material. Pikiran, emosi, dijelaskan lewat mekanisme molekul-molekul belaka. Wanita lebih mudah menangis dari pria, karena mereka makhluk perasa, tetapi karena hormon prolactyn yang lebih banyak di tubuh mereka daripada lelaki. Kata jiwa adalah sesuatu yang datang menempel pada apa yang landasan pokoknya proses fisis tubuh, aksi-reaksi kelenjar dan syaraf.

Versi lain dari aliran ini adalah teori korporalitas yang mengetengahkan bahwa “corps” (raga) adalah keseluruhan diri manusia, adalah subyektivitas manusia itu sendiri. Ada monisme lain yang tidak material, yang menekankan prinsip kesatuan jiwa-raga. Teori besar Aristoteles tentang Hylemorphisme (kesatuan jiwa dan raga), tanpa mengatakan apakah jiwa atau raga yang lebih utama, merupakan monisme formal.

Platon
Di tengah-tengah teori besar Dualisme dan Monisme, ada pendapat lain. Platon tidak membicarakan jiwa-raga sebagai dua hal yang beroposisi secara sejajar. Ia juga menerima dualitas jiwa-raga tanpa jatuh dalam dualisme orphico-phytagorisme.

Platon menjelaskan bahwa tubuh manusia adalah bagian dari tubuh alam semesta. Materi dasar alam semesta adalah “khora”. Ia misterius, gelap, tak bisa dipikirkan. “Ruang primordial” ini berisi empat macam bentuk padat yang sangat kecil, tidak kelihatan. Tiap bentuk padat bisa ditengarai sebagai unsur-unsur tradisional api (tetrahedron), udara (octahedron), air (icosahedron), tanah (kubus). Bentuk-bentuk padat itu bisa dipecah menjadi dua segitiga, yaitu segitiga sama sisi dan segitiga sama kaki. Proses pemecahan dan penggabungan dua segitiga inilah yang memungkinkan setiap elemen bercampur satu dengan lainnya untuk memunculkan tubuh alam semesta dan tubuh manusia.

Tubuh (soma) manusia adalah tanda (sema) sejauh jiwa adalah yang diprioritaskan Platon. Tubuh menjadi pertanda bagi jiwa yang menghuninya. Sejauh soma hanyalah sema, tubuh bersifat netral. Tubuh hanyalah memberikan indikasi tentang jiwa yang menghuninya. Yang jelas bagi Platon, prioritas ada pada jiwa, karena jiwalah yang menggerakkan raga.

Dalam versi modernnya, orang berbicara tentang kebertubuhan (Leib, daging, hidup, tubuh yang dihayati) yang dipandang lebih aktif daripada sekedar tubuh sebagai benda. Lewat raganya manusia mengalami dan mengekspresikan sesuatu yang lebih lagi.

Di satu sisi bahwa tubuh bisa menjadi obyek karena bisa “dipakai” sebagai alat. Di sisi lain, tubuh-obyek atau tubuh-alat ini juga dipakai untuk mengatakan sesuatu yang ia hayati dari dalam dirinya sendiri. Tubuh kita bisa menjadi obyek (alat) bagi diri kita yang mengungkapkan diri dengan tubuh itu juga (artinya sekaligus subyek). Lewat tubuh kita mengalami diri sebagai le touchant touchee (yang menyentuh adalah sekaligus yang disentuh).

Raga adalah sema / pertanda, persis karena raga selalu merujuk pada sesuatu yang lain dari dirinya. ‘Yang lain’ itulah yang banyak ditemukan oleh para kreator. Tubuh yang menyerap, mengalami, memproses, mengekspresikan, menerima lagi, demikian seterusnya.  

Khuldi, Refleksi Teater ESKA atas Fenomena Partikularitas

Sabtu, 31 Desember 2016 | teraSeni~

Teater ESKA pada tanggal 04 Januari 2017 ini akan  melaksanakan Pentas Produksi XXXIII di Concer Hall, Taman Budaya Yogyakarta. Pentas yang akan dimulai pada pukul 19.30 WIB ini merupakan pungkasan dari pentas keliling tiga kota sebelumnya, yakni Purwokerto, Bandung, dan Bogor. Berturut-turut dari tanggal 12, 14, dsn 16 Desember 2016. Di Purwokerto pentas ini dilaksanakan di GSC IAIN Purwokerto, Bandung di Rumentang Siang, dan Bogor di Auditorium Toyib Hadiwijaya Fakultas Ekologi dan Manusia kampus IPB Dramaga.

Pementasan Khuldi Teater ESKA-teraSeni
Salah Satu Adegan dalam Khuldi,
Pementasan Teater ESKA, Sutradara Zuhdi Sang

Teater ESKA, yang telah berdiri sejak 1980an, melalui karya ini mengangkat isu sosial pasca reformasi dalam pentas berjudul KHULDI. Disutradarai oleh Zuhdi Sang, KHULDI merupakan teks yang diciptakan bersama oleh tim kreatif Teater ESKA, dengan penulis naskah Zuhdi Sang dan Ghoz TE, dua anggota aktif Teater ESKA. Ahmad Kurniawan, lurah Teater ESKA saat ini mengatakan, KHULDI menandai bahwa Teater ESKA terus produktif dan yang terpenting tetap berpegang pada satu prinsip bahwa spirit karya Teater ESKA tidak lepas dengan kajian keislaman. “Kami kelompok kesenian yang berbasis kajian keislaman seperti filsafat Islam, sejarah, dan sebagainya. dan kami juga terbuka pada alternatif kajian lain seperti kritik ideologi dan kajian budaya,” tutur Kurniawan.

Sementara terkait segmentasi penonton, Ramadan MZ, pimpinan produksi, menyatakan bahwa harapannya KHULDI ditonton semua kalangan, seperti masyarakat umum, pelajar maupun mahasiswa, akademisi atau pemerhati sosial dan sebagainya. Sebab isu yang dibawa pentas ini sangat relevan mengingat hari ini marak terjadi konflik horizontal di tubuh masyarakat. Baik konflik beda keyakinan atau agama, beda paham politik atau suku, maupun konflik disebabkan kepentingan ekonomi dan perbedaan klub sepak bola yang didukung. Karena itu KHULDI menjadi penting, sebagai tontonan KHULDI juga tajam membaca fakta sosial. “Kita semakin terpecah-pecah justru ketika kebebasan berpendapat yang tak ternilai harganya itu hadir di tengah masyarakat kita. Padahal tidak seperti ketika Orde Baru yang sedikit sekali ruang kebebasan,” kata Ramadhan MZ, sekaligus menjelaskan latar belakang pementasan KHULDI.

Pementasan Khuldi Teater ESKA-teraSeni
Salah Satu Adegan dalam Khuldi,
Pementasan Teater ESKA, Sutradara Zuhdi Sang

Faktanya, masyarakat terpecah-pecah karena partikularitas kelompok dan partikularitas nilai yang dianutnya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberagama partikular adalah syarat terbentuknya masyarakat, tetapi jika salah memahami keberagaman, keterpecahan tak lagi terelakkan. Itulah yang terjadi. Mengutip pemaparan sutradara, Zuhdi Sang, maka seperti suatu bangunan yang runtuh, kita kembali tergeletak di antara ‘ketiadaan’ sosial dan pertanyaan besar tentang apa itu masyarakat, bagaikan bongkahan batu yang berserak dan bergerak demi menentukan nasib sendiri.

KHULDI, merupakan metafora Teater ESKA atas kegagalan pemaknaan, pemujaan berlebihan kepada objek, dan keruntuhan sosial. Sebagaimana kisah Adam dan Hawa, demi adanya dunia maka buah terlarang itu harus ada. Dengan kata lain, di satu sisi keberagaman sebagai “khuldi-khuldi” adalah hal yang niscaya atau bahkan syarat bagi terbentuknya masyarakat. Namun di sisi lain ia adalah sumber petaka jika kita gagal dalam menyingkap makna atau nilainya. Berdasarkan hal itu, maka pementasan KHULDI pada dasarnya adalah sebuah refleksi atas perjalanan nasib sosial kita hari ini.

Tahun Baru di JBS (Jual Buku Sastra) #4: Apa Serunya?

Kamis, 24 Desember 2016 | teraSeni~

Merayakan Tahun Baru di Yogyakarta, tidak hanya bisa dirayakan di obyek-obyek wisata saja, namun juga dapat mengunjungi ruang-ruang alternatif lainnya, misalnya berkunjung ke toko buku Jual Buku Sastra (JBS). Jual Buku Sastra adalah toko buku yang menjual buku sastra, khususnya buku sastra indie, maupun buku sastra yang sudah tidak tersedia di toko buku, serta buku sosial-budaya. Selain menjual buku secara online di jualbukusastra.com, JBS juga punya toko offliner yang biasa disebut ‘KedaiJbS’, yang sekaligus menjadi ruang pertemuan para penulis, pecinta buku dan menjadi ruang diskusi mengenai fenomena serta kelahiran buku baru.

Tahun Baru di JBS #4-teraSeni
Tahun Baru di JBS Season 4

Setiap akhir tahun JBS mengadakan pameran buku tahunan bertajuk ‘TahunBarudiJBS,’ yang pada akhir tahun ini diselenggarakan dari tanggal Kamis 29 Desember 2016 hingga Senin, 2 Januari 2017, pukul 10.00-20.30 WIB di Kedai JBS, Jalan Wijilan, Gang Semangat no 150, Alun-alun Utara, Yogyakarta (Belakang Gudeg Yu Djum, Kompek Gudeg Wijilan). Penyelenggaraan ‘TahunBarudiJBS’ tahun ini merupakan yang keempat kalinya. Pameran tersebut menghadirkan diskon buku hingga 70%, sehingga dapat dipastikan seluruh buku yang pada hari biasa dijual dengan harga reguler, dijual dengan harga diskon. Harga mulai dari Rp.10.000,00.

Tahun Baru di JBS #4-teraSeni
Diskusi bersama Gunawan Maryanto
dan Joko Pinurbo
di TahuanBarudiJBS #3
(Foto: Doni Martha)

Ada puluhan penerbit yang terlibat dalam pameran ‘TahunBarudiJBS’ kali ini, baik penerbit umum maupun penerbit indie. Sebagian besar buku yang ditawarkan adalah buku sastra. Tapi tidak saja berisikan pameran buku, pada sore hari hadirin ‘TahunBarudiJBS’ dapat menikmati hiburan berupa musik dan pertunjukkan sastra serta diskusi karya sastra. Rangkaian acara tersebut masih dilengkapi dengan beberapa acara lain, berupa workshop menulis esai dan puisi, diskusi mengenai sastra terjemahan dan peta penerbit di Jogja, serta launching beragam buku sastra.

Tahun Baru di JBS #4-teraSeni
Para peserta dalam keseruan diskusiTahuanBarudiJBS #3
(Foto: Doni Martha)

Pada penyelenggaraan yang ke empat ini ‘TahunBarudiJBS’ mengundang puluhan penulis yang terlibat dalam berbagai rangkaian acara, mulai dari worshop, diskusi, launching buku, moderator, dan pembacaan karya. Workshop kepenulisan esai akan berlangsung bersama Muhidin M Dahlan, sedang workshop menulis puisi akan diisi oleh Hasta Indriyana. Launching buku sastra, yang terdiri dari puisi, cerpen, novel, jurnal puisi, karya terjemahan akan menghadirkan belasan penulis, di antaranya: Abu Wafa, Andy S Wahyudi, Aik Vela, An Ismanto, Astrajingga Asmasubrata, Berto Tukan, Dian Savitri, Hasta Indriyana, Hendrawan S. Thayf, Latief S. Nugraha, Mira MM Astra, Moh Syarir Hidayatulah, Muhammad Ali Fakih, Nunung Deni Puspitasari, Nurul Hanafi, Risda Nur Widia, S. Arimba, dan Zulkifli Songyanan.

Tahun Baru di JBS #4-teraSeni
Bernard Batubara Membaca Puisi
di TahuanBarudiJBS #3
(Foto: Doni Martha)

Sementara itu diskusi mengenai dinamika penerbit Jogja akan diisi oleh Adhe, dan Eka Pocer serta Buldanun Khairi di mana ketiganya adalah pelaku dunia perbukuan di Yogjakarta yang pernah bergerak di industri penerbitan mayor maupun indie. Sementara untuk diskusi seputar pengalaman menterjemahkan karya akan hadir Tia Setiadi serta Chris Woodrich. Untuk menyemarakkan diskusi dan launching buku para moderator yang teribat terdiri dari sastrawan muda yang tinggal di Jogja. Mereka di antaranya adalah: Asef Saiful Anwar, Dahlia Rasyad, Fairuzuk Mumtaz, Irwan Bajang, Prima Suilistya Wardhani, Rozi Kembara dan Sedopati Sukandar. Sementara untuk MC di beberapa sesi akan dipandu oleh Ofix Okemix.

Tahun Baru di JBS #4-teraSeni
Suasana Pameran
di TahuanBarudiJBS #3
(Foto: Doni Martha)

Rangkaian acara workshop diadakan jam 13.00 WIB pada 30 Desember 2016 dan 2 Januari 2017. Launching buku diadakan setiap jam 16.30 WIB, sementara untuk sesi diskusi akan berlangsung pada jam 18.20 WIB. Pameran buku sendiri diadakan setiap hari mulai jam 10.00-20.30 WIB, yang akan diikuti oleh puluhan penerbit indie dan penerbit reguler lainnya yang juga menerbitkan karya sastra. Ada pun acara lainnya adalah seni pertunjukan, baik saat pembukaan maupun penutupan acara ataupun di sela-sela acara yang lain. Para pengisi acara di antaranya adalah: Alif Rahmadani, Andy SW, Gunawan Maryanto, Iqbal H. Saputra, Kedung Dharma Romansha, Kelompok Hidup, Maharani Khan Jade, Misbah, Raedu Basha, Reddy Suzayzt, Retno Iswandari, Sasmita Serta Yulionooo Singsoot.

Tahun Baru di JBS #4-teraSeni
Diskusi buku puisi Yopi Setia
Umbara dan Nisa Rengganis bersama
Dea Anugrah di TahuanBarudiJBS #3
(Foto: Doni Martha)

Jangan lupa, selama acara berlangsung akan ada banyak ‘kadobuku’ untuk pengunjung. Seluruh rangkaian acara nantinya akan disiarkan secara live oleh radiobuku.com dan bisa diikuti d twitter/IG @jualbukusastra dan FB jual buku sastra. Di ketiga media online tersebut juga menyediakan ‘kadobuku’ untuk foto yang dishare selama event berlangsung. Dan apabila ada peserta di luar Yogyakarta yang berminat untuk membeli buku-buku yang terdapat di pameran, buku dapat dibeli melalui website www.jualbukusastra.com. Penjualan online akan diadakan selama pameran berlangsung. Informasi dan kerjasama bisa menghubungi 0818-0271-7528, atau (0274) 2872022.

Nah, kurang seru bagaimana lagi?  

Pertanyaan Tubuh; Catatan Dari Workshop Indonesian Dance Festival 2016

Sabtu, 17 Desember 2016 | teraSeni~

Perhelatan workshop Indonesian Dance Festival (IDF), 21-27 Juli 2016 di Malang, mengusung isu pentingnya riset artistik dalam koreografi kontemporer. IDF menemukan permasalahan di dunia koreografi kontemporer Indonesia dalam rentang 2-5 tahun ini, yaitu kurangnya kemauan, dan adanya kemiskinan pemahaman terhadap cara memperdalam tema yang hendak digarap. Padahal di Indonesia begitu banyak bahan dan tema yang membutuhkan respon artistik para seniman. Ditambah dengan lemahnya penggalian tema dan riset artistik dalam karya-karya koreografer muda Indonesia.

Workshop Indonesian Dance Festival 2016-teraSeni
 Para Perserta
Workshop IDF 2016 di Malang
(Sumber Foto:
https://www.facebook.com/
IndonesianDanceFestival/)

Workshop ini dimaksudkan sebagai stimulasi bagi pengkayaan perspektif kritis koreografer. Kekayaan perspektif itu modal bagi riset-riset mereka. Dengan demikian diharapkan muncul karya-karya koreografi yang kuat pada tema dan eksekusi artistiknya. IDF mendatangkan empat narasumber. Mereka adalah seniman dari pelbagai disiplin seni yang sudah terbiasa bekerja dengan riset artistik yang mendalam. Karya-karya mereka mengutamakan riset dalam prosesnya, baik tema maupun artistik.

Daniel Kok, seorang koreografer dari Singapura. Karyanya baru-baru ini, Bunny, merupakan hasil risetnya tentang ‘keterhubungan’ (relationality) dan kepenontonan (audienceship). Pada 2016 ini, ia memulai penelitian baru perihal trans-individualitas. Daniel terinspirasi konsep “the dead of the author” dari pemikir Perancis Roland Barthes, bahwa yang ‘menyelesaikan’ karya /tulisan adalah pembaca. Pembaca yang mengkonstruksi makna karya/tulisan. Dari situ ia berpikir bahwa penonton adalah hal yang penting. Eksplorasi atas penonton dan kepenontonan mewarnai karya-karyanya. Baginya tari tidak bersandar pada bahasa yang sekedar pernyataan-pernyataan. Menurutnya perlu menjelajahi sikap kritis. Mengapa kita berkumpul bersama dan menjadi kritis.

Arco Renz, koreografer asal Jerman yang menetap di Belgia. Ia memiliki perhatian mendalam terhadap Asia. Kerap berkolaborasi dengan penari dan koreografer Asia Tenggara. “Saya menari karena ingin menyatakan sesuatu yang tidak bisa saya pikirkan/ungkapkan secara verbal”, begitu katanya. Baginya tari adalah praktik, aksi. Tari adalah bahasa, memformulasikan sebuah bahasa, di mana kata-kata sangat sulit menjangkaunya. Tari sebagai bahasa membawa Arco pada pencarian perihal kekosongan dan oposisinya, kepenuhan. Arco berpegang pada konsep oposisi ini : suatu hal tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya lawan darinya.

Workshop Indonesian Dance Festival 2016-teraSeni
Arco Renz dan Daniel Kok
Berdiskusi dengan peserta
Workshop IDF 2016 di Malang
(Sumber Foto:
https://www.facebook.com/
IndonesianDanceFestival/)

Tari merupakan praktek pemahaman, kesadaran akan beragam sudut pandang dan perubahan-perubahannya. Tiga lapisan dalam tari menurutnya adalah praktik, kontemplasi, bahasa. Tari menempatkan hubungan vertikal-horizontal. Ini adalah bagian dari eksplorasinya pada sebuah karya. Tari juga menghubungkan pengalaman batin (inner experience) dan lingkungan (environment).

Bagi Arco, dramaturgi tari adalah sesuatu yang abstrak. Diperlukan parameter yaitu waktu, struktur/ruang (struktur pola energi yang mengikat kerangka), fisikalitas tubuh. Ia menemukan adanya konflik tubuh manusia dengan waktu dan ruang. Dalam arsitektur tubuh, harus ada negosiasi, didasari pertanyaan tentang pentingnya kebebasan. Parameter bergerak dalam konsep-konsep yang berlawanan. Hasilnya adalah negosiasi dari kutub-kutub yang berlawanan itu. “Life negotiation process” merupakan negosiasi antara gerak tradisi, otot-otot fisik, untuk memodifikasi gerak dari dalam.

“Solid States” merupakan karya Arco dengan penari Eko Supriyanto (Indonesia)  dan Melanie Lane (Australia). Di karya ini ia melihat ke dalam tradisi melalui sudut pandang fisikal yang berbeda. Dalam konteks lain, menurutnya, ballet dan hiphop misalnya, juga memiliki proses negosiasi yang berbeda.
Joned Suryatmoko, sutradara dan pendiri Teater Gardanala Yogyakarta. Ia kerap terlibat dalam penelitian bersama di kesenian. Karya terakhirnya, Margi Wuta, merupakan pencarian kemungkinan artistik dengan mendekati tema teater empati. Di situ ia berkolaborasi dengan para seniman tuna netra. Penonton ditutup matanya agar memiliki sensasi “mengalami”. Pada kesempatan lain, dalam perhelatan biennale seni rupa, para penonton melihat pameran dengan ditutup matanya, dan dipandu oleh para tuna netra.

Dalam workshop IDF ia mengusung tema “Mencari dan Menjawab Pertanyaan Artistik”. Dalam proses penciptaan, bagaimana kita bisa menemukan hal yang lebih besar dari pertanyaan itu. Partner berperan membantu merumuskan pertanyaan selanjutnya. Apa artistik ? Apa pertimbangan konsep kesenianmu ? Visi apa yang mendasari kita memainkan bentuk itu ? “Mengapa saya menari ?”. “Bagaimana hubungan kita dengan penari ?”. Direktur artistik adalah penentu arah. Dari pengalaman mencecap teater, baginya teater adalah menguatkan interaksi, meredam dominasi visual. Selain itu perlunya pengalaman mencecap isu. Apa yang dapat ditangkap dari dinamika kota ? Bahwa benda-benda punya cerita, sehingga kajian kehidupan sehari-hari adalah penting. Mari melihat susunan sekitar : normal ? tertata ? Mengapa bergerak, mengapa, berteriak, mengapa bergerak patah-patah, mengapa berbisik…

Nindityo, perupa, pendiri Yayasan Cemeti Yogyakarta. Dikenal dengan karya-karyanya yang melalui riset mendalam, mencoba memadukan dunia tradisional Jawa dengan kosa kata-kosa kata artistik (rupa) kontemporer. Akhir-akhir ini kerap berkolaborasi dengan penari. Dalam workshop ia menjelaskan tentang zona nyaman dan pentingnya keluar dari zona nyaman tersebut dalam kerja seorang seniman. Salah satu alasan mengapa seniman enggan keluar dari zona nyaman mereka adalah seniman tidak mau meresikokan diri dan reputasinya dengan merambah pada cara kerja atau pilihan artistik yang tak biasa ditempuhnya.

Baginya sebuah karya pasti akan dipahami secara berbeda pada tempat yang berbeda-beda. Karena itu perlu ada pendekatan tertentu agar karya tersebut bisa dimaknai oleh masyarakat di tempat yang berbeda. Ketika ia membawa karyanya ke Belanda, ia berkolaborasi dengan komunitas imigran Belanda dan mengajak mereka memaknai karyanya dengan sejarah kehidupan mereka di Belanda.
Beberapa waktu setelah workshop tersebut, saya berkesempatan bertemu dan bersiskusi dengan beberapa koreografer muda dan koreografer yang lebih senior di Jakarta.

Dari perbincangan kami, nyata bahwa dalam dunia koreografi kontemporer Indonesia tubuh memang masih terlepas dari konteks diri dan kesehariannya. Kesenjangan/keberjarakan itu menyulitkan koreografer kita membumikan-menukikkan gagasannya. Laksana air dan minyak, antara gagasan-tubuh-realita keseharian belum menyatu. Tubuh terjebak pada praktik penyerapan bentuk-bentuk dan teknik. Tubuh sangat kurang dibiarkan “mengalami”, kurang dibiarkan menjadi pasif.

Workshop Indonesian Dance Festival 2016-teraSeni
Arco Renz dalam
Workshop IDF 2016 di Malang
(Sumber Foto:
https://www.facebook.com/
IndonesianDanceFestival/)

Di sisi lain, dalam ruang penciptaan, gagasan abstrak menjadi sangat dominan. Jika itu tidak disadari dan dibiarkan begitu saja, maka pada pementasannya, karya itu tidak berbicara apa-apa. Fenomena lain menunjukkan dunia tari kita belum keluar dari dikotomi yang menyesatkan. Seolah-olah tidak mungkin terjadi irisan antara timur-barat, ekspresi komunal-ekspresi individual, tradisi-modern, feminin-maskulin, kasar-halus, dsb. Padahal jika mau kembali pada ilmu tubuh dan gerak, maka dikotomi-dikotomi itu tidak perlu ada.

Sekali lagi, kuncinya adalah pada “mengalami”. Keempat narasumber telah menyatakan itu. Tubuh tidak bisa dan tidak perlu dipisahkan dari realita keseharian. Justru yang layak diperbincangkan adalah bagaimana tubuh berproses dengan realita itu. Tubuh telah menyiapkan bahan perbincangan yang sangat kaya bagi para koreografer. Ia hadir berlapis-lapis tak terkira, karena demikian banyak hal yang ia serap dari waktu ke waktu.

Apakah tubuh disadari sebagai apa yang ia alami? Bahwa tubuh Jawa tidak sepenuhnya Jawa, karena ia tidak hanya menyerap unsur-unsur kejawaan. Bahwa tanah yang kita makan, air yang kita minum, udara yang kita hirup adalah bergerak-berubah dari waktu ke waktu. Selain juga munculnya hal-hal baru. Maka tubuh menyerap perubahan senantiasa, sehingga bagaimana bisa kita berteriak lantang tentang keaslian (orisinalitas !)? Dan mengapa juga hal itu menjadi penting? Bukankah lebih penting bersikap terbuka terhadap tubuh kita sendiri, dengan tanpa henti mengenalnya?

Riset artistik adalah sebuah upaya mengenal. Termasuk di dalamnya mengenal pengalaman-pengalaman keseharian. Riset mengungkap hal-hal yang tidak terdeteksi sebelumnya. Hal tersebut ditunjukkan oleh para narasumber.

Daniel Kok terbersit untuk ‘menyentuh’ penonton, pihak yang sangat dekat dengan seni pertunjukan. Melibatkan mereka. Mendekat kepada mereka. Ia ingin mengolah dan mengkritisi itu. Bukan jawaban final yang dicari, melainkan sebuah kondisi keterbukaan-realita. Arco lebih menukik pada persoalan tubuh. Tetapi tetap tidak memisahkannya dengan lingkungan pendukungnya. Ia menyelam di ‘tubuh dalam- tubuh luar’ ketika menyusun konsep artistiknya. Joned menyertakan penonton dalam pengalaman penciptaan. Ia menghidupkan pembacaan atas keseharian: interaksi dan keintiman di ruang publik, dinamika kota, konflik dan keabsurdan di ruang domestik. Nindityo mampu menghubungkan karyanya yang notabene berlatarbelakang budaya Jawa, dengan konteks sejarah imigran Belanda. Apa maksudnya? Karena ia ingin karya itu tidak berjarak dengan mereka, selaku penyerap karya itu. Bahwa ia ingin mengatakan kepada mereka: ada bagian dari dirimu yang terkait dengan karya ini. Mari kita telusuri, kita bongkar, dan kita perbincangkan. (sejarah adalah bagian dari tubuh !)

Keempat narasumber adalah mereka yang telah “menyikapi kembali” temuan-temuan atas proses tubuh. Kebanyakan koreografer kita belum menyentuh tubuh sebagai bagian dari realita. Karenanya tubuh pun bertanya : “sampai kapan ?”.

Yogyakarta, 4 September 2016

Pertunjukan Fabriek Fikr 2; Mesin Pabrik Mati yang Kini Kembali ‘Menari’

Senin, 5 Desember 2016 | teraSeni~

Paska menurunnya hasil produksi dan ketersediaan lahan tebu, tepatnya pada puncak krisis moneter 1997-1998, pabrik gula Colomadu, Karanganyar berhenti beroperasi. Bangunan tua, gagah, nan besar tersebut mangkrak ditinggalkan pemodal dan pekerja begitu saja. Kini pabrik gula yang dibuat sejak tahun 1861 tersebut hanya menjadi bangunan tidak berpenghuni, yang kian ditinggalkan. Namun nasib naas tersebut seakan berubah seketika dengan kedatangan seorang seniman tari senior, Sardono W. Kusumo, yang hadir untuk ‘menghidupkan kembali’ pabrik gula tersebut dengan cara yang berbeda.

Sejak setahun silam, Sardono menggunakan kembali pabrik gula Colomadu, alih-alih difungsikan kembali seperti sedia kala, pabrik gula tersebut justru disulap menjadi arena pertunjukan. Hal ini cukup menarik, terlebih pemanfaatan ruang dan menggunakannya sebagai arena pertunjukan memang tidak lazim bagi seni pertunjukan Indonesia ‘modern’ yang kerap menggunakan panggung dan proscenium. Sebuah upaya melawan konvensi pertunjukan yang kerap mengukung ide dan imajinasi akan tempat pertunjukan. Selain itu, tidak hanya menempatkan pabrik gula Colomadu sebagai ruang pertunjukan semata, Sadrdono dkk turut merespon pelbagai mesin yang teronggok dan menjadikannya sebagai bagian dari pertunjukan.

Pertunjukan Fabriek Fikr 2, Sardono W Kusumo-teraSeni
Mesin-mesin yang tak lagi terpakai,
menjadi Ruang Pertunjukan
dalam Fabriek Fikr 2,
Karya Sardono W Kusumo

Sekiranya hal itulah yang dapat penonton rasakan ketika datang menyaksikan pertunjukan Fabriek Fikr. Serupa dengan tahun lalu, pertunjukan tersebut hanya ditampilkan di dua hari saja, dan lazimnya dihelat pada pertengahan bulan November—tahun ini dihelat pada 19 dan 20 November 2016. Untuk pertunjukan kali kedua ini, Fabriek Fikr mengusung Expanded Performance sebagai tajuk utama yang membingkai keseluruhan pertunjukan. Sebagaimana expanded adalah meluaskan, pertunjukan ini mengajak para penonton untuk membuka cakrawala imajinasi sebebas-bebasnya ketika menyaksikan pertunjukan.

Ketika Mesin Pabrik ‘Menari’
Sore menjelang petang (20/11), para penonton diarahkan berjalan memasuki pabrik gula Colomadu yang sudah tidak lagi digunakan. Diarahkan untuk berjalan ke area dalam pabrik, penonton memang dibiarkan melihat pelbagai mesin yang teronggok dan tidak lagi difungsikan. Sesampainya di area dalam, terdapat sebuah demo memasak dari teman-teman Papua yang interaktif. Dalam sesi di awal ini, mereka ingin memperlihatkan tingkat adaptasi dalam menyiasati pahitnya kehidupan di kota lain. Tidak dikondisikan khayalnya para chef yang berkontestasi di televisi dengan segala peralatan dan busana lengkap, para teman-teman Papua memasak dengan cara mereka sendiri. Diberikan tajuk Papua Kuliner, aktivitas yang mereka lakukan dirasa cukup unik, terlebih prosesi memasak hingga memakannya tidak akrab dalam sebuah perhelatan berbingkai seni pertunjukan.

Setelahnya perhatian penonton diarahkan pada panggung di antara mesin-mesin mangkrak. Beberapa penari perempuan dengan tatapan ‘kosong’ mulai memasuki dengan perlahan. Tidak menari dengan ragam dan koreografi yang serentak, para penari merespon segala sesuatunya secara personal. Alih-alih pertunjukan menampilkan sajian tari lazimnya, sebuah painting performance disajikan di atas panggung setelah para penonton dibuat cukup ‘kenyang’ dengan hindangan dari aktivitas masak-memasak sebelumnya.

Pertunjukan Fabriek Fikr 2, Sardono W Kusumo-teraSeni
Para performer di antara mesin-mesin tua,
dalam Fabriek Fikr 2,
Karya Sardono W Kusumo

Painting Performance sebagaimana sebuah peristiwa seni yang membaurkan disiplin seni tari dan seni rupa memang kerap menjadi aktivitas kekaryaan Sardono dalam beberapa pertunjukan terakhirnya. Lantas mereka merespon kanvas yang telah tersedia dengan beragam gerak yang tidak terkira. Meraih cat dan menggoreskannya ke kanvas tanpa ancang-ancang tidak seperti yang dilakukan para pelukis terkemuka. Bahkan mereka berguling, merangkak, dan menggeliat, yang bukan sebuah kebiasaan dari para pelukis dalam membuat karya.

Namun hal ini lah yang kian menarik, di mana perpaduan antar bidang terjadi, namun hal yang ditakutkan lazimnya adalah tenggelamnya tubuh dengan pelbagai wacana dan properti (artistik), dalam pertunjukan ini tubuh tari tetap menjadi media utama dalam perkelindanan dari pelbagai bidang tersebut. Berbeda di dua hari pertunjukan, pada hari pertama Sardono turut tampil dalam sesi painting performance. Sebagaimana Sardono telah menekuni pertunjukan dengan gaya tersebut beberapa waktu lampau, maka ekspresi dan gekstur Sardono terasa sangat menjiwai, sederhana, dan tidak berlebihan. Sedangkan pada hari kedua, Sardono justru memilih untuk menyaksikan Painting Performance dari bangku penonton.

Tidak lama berselang, seorang laki-laki berjanggut—yang adalah Tony Broer—memecah perhatian di atas panggung dengan berdiri menatap di antara aktivitas painting performance. Setelahnya ia turun panggung dan memanggul seng berjalan memalang di antara penonton bersama lima laki-laki dengan wajah terperban. Memecah perhatian, seakan mengajak penonton untuk memalingkan perhatian ke arah mereka. Lalu mereka terhenti pada sebuah pelataran memanjang dengan beberapa kemah dan pakaian terjemur di antara bilah-bilah tiang pabrik. Pada Fabriek Fikir kali kedua ini Tony memang cukup mengagetkan dengan keinginannya mendirikan sebuah tenda yang akan ia tinggali semalam sebelum pertunjukan dihelat.

Tentu pilihan Tony untuk berkemah di pabrik gula yang tidak berpenghuni adalah ide yang ‘gila’, namun di sinilah yang menarik dari Tony Broer, di mana ia berupaya mengenali dan mencari sari atas tempat secara lebih mendalam. Alhasil pilihan berkemah untuk merasakan pengalaman yang ‘lebih’ bersama bangunan mangkrak tersebut lebih terjalin. Proses keterjalinan itu lantas Tony wujudkan ketika sesi pertunjukannya. Ia banyak melakukan aktivitas untuk menciptakan suara-suara dengan seng; menatap tajam ke arah penonton; bermain dengan keseimbangan dari beberapa penampil berperban. Setelah beberapa menit berselang, seorang perempuan berbusana merah terang membelah penonton. Ia berjalan perlahan menatap tajam ke arah Tony dan penonton, dengan minim interaksi namun tersimpan ragam interpretasi.

Lantas para penonton teralihkan kembali, tersebar pada beberapa titik, yakni pada ruang panjang yang tersiar pertunjukan dan proses Sardono atas kekaryaan puluhan tahun silam. Dengan tajuk Expanded Cinema, Sardono sekaligus mempelihatkan fase retrospektif yang telah dilakukan setahun sebelumnya. Sedangkan di sisi ruang yang lain para penari papua turut melakukan tarian dan merespon pelbagai benda di sekitarnya.

Setelahnya penonton diajak kembali berjalan ke ruang depan, di sebuah ruang dengan roda-roda mesin yang cukup besar. Di perjalanan menuju ruang tersebut, para penonton kembali dialihkan kepada praktik Pantomime dari pantomim senior, Jemek Supardi. Kerap disebut sebagai Bapak Pantomim Indonesia, Jemek telah menarik perhatian dengan praktik-praktik pantomimnya yang tidak menghibur, namun turut merespon ruang pabrik.

Di ruang depan, seorang perempuan berhijab panjang dan bercadar dengan bentuk mata kearab-araban berdiri di depan sebuah pemutar musik layaknya disc jockey di club-club malam. Mulai memutar lagu-lagu electronic dance music, dengan alunan musik bertempo tetap dan cepat. Para penampil yang terdiri dari sesi Papua Kuliner, Tony Broer dkk, hingga Pantomime, turut serta dalam sesi tersebut. Yang menarik dalam sesi ini, di belakang arena pertunjukan turut tersiar sebuah proyektor yang menampilkan pelbagai film Charlie Chaplin versi hitam putih. Alih-alih hanya merespon bunyi, para penampil turut merespon ruang pabrik. Alhasil pelbagai gerak seperti bergoyang menikmati lagu secara personal, merayap dan memanjat pelbagai ruas roda, berjalan di antara mesin, berlari ke pelbagai sisi, tidaklah asing dilakukan dalam sesi ini.

Kendati terlihat layaknya improvisasi dalam merespon ruang, namun yang menarik dari sesi ini adalah eksplorasi para penampil. Di sini justru kita dapat melihat sejauh mana mereka dapat bersinergis dengan mesin yang telah mati, dan menghidupkannya kembali dengan cara yang berbeda. Bagi mereka yang dapat memberikan impresi bahwa mesin kembali hidup, maka penampil tersebut dapat dibilang baik. Dan beberapa penampil telah melakukan itu. Kendati tidak semua dapat mewujudkannya.

Pertunjukan Fabriek Fikr 2, Sardono W Kusumo-teraSeni
Salah satu adegan dalam
Pertunjukan Fabriek Fikr 2,
Karya Sardono W Kusumo

Setelahnya para penonton diarahkan untuk keluar dari gedung pabrik. Telah disediakan bangku bersaf dan berjejer dengan kuantitas yang cukup banyak, para penonton diarahkan menatap ke arah panggung. Beberapa menit berselang penonton dimanjakan dengan Video Mapping yang ditembakan ke bangunan bagian depan gedung. Video Mapping yang kini tengah naik daun tersebut telah memberikan sebuah tontonan yang memanjakan mata. Beragam grafis ditembakan ke dinding bangunan, turut bercerita menceritakan aktivitas pabrik, hingga beragam cerita terkait seni dan budaya.

Tidak hanya menunggalkan video, pada akhir sesi yang adalah akhir pertunjukan, para penampil turut berkolaborasi dengan merespon ruang visual dinding di sebuah panggung yang telah disiapkan. Bagi mereka yang duduk di bagian depan kursi maka akan tahu seluk beluk korelasi antara video mapping dengan gerak para penampil, tetapi hal tersebut tidak terlalu tertangkap dari bagian belakang bangku penonton. Alhasil penonton tidak mengetahui detil apa yang penampil lakukan di panggung selain upaya bahwa mereka tengah mencoba untuk mengisi ruang. 

Interpretasi Ruang dan Ragam Gerak Tubuh
Menyulap sebuah pabrik gula menjadi sebuah arena pertunjukan memang bukan soal mudah, banyak hal-hal yang patut dibayar. Seperti konsepsi pabrik dengan mesin dan aktivitasnya, di mana pabrik kerap ‘memenjarakan’ kebebasan manusia menjadi sebuah mesin kerja. Alhasil kerap kali alienasi—kerap digunakan Karl Marx dalam analisa kapitalismenya—marak terjadi, di mana sebuah perasaan keterasingan akan nilai kebendaan yang diciptakan, dan keterasingan atas dirinya sendiri. Hal tersebut memang terbukti benar, di mana para pekerja terkukung akan jadwal yang padat, tegas, dan dilakukan setiap hari. Akhirnya kebebasan dari individu yang berada di dalamnya semakin pudar dan menghilang perlahan.

Bertolak dari hal tersebut, Sardono membayar dan mereinterpretasi konsepsi akan pabrik menjadi ‘pabrik’ yang berbeda. Dan hal tersebut ia bayar dengan ‘jalan’ seni. Di mana pabrik yang identik dengan cara kerja yang robotik dan sistemik, menjadi humanis yang menunggalkan kebebasan. Hal ini dapat dilihat dengan pelbagai gerak improvisasi dan ragam gerak yang berbeda dari satu penampil ke penampil lainnya. Lantas gerakan-gerakan tersebut tidak hanya dinikmati sebagai mengisi ruang pertunjukan semata, namun turut terjadi dialog antara mesin dan tubuh, yang secara lebih lanjut menautkan dialog akan keteraturan dan kebebasan.

Pertunjukan Fabriek Fikr 2, Sardono W Kusumo-teraSeni
Adegan lain dalam
Pertunjukan Fabriek Fikr 2,
Karya Sardono W Kusumo

Dan dari apa yang Sardono lakukan dengan pertunjukan Fabriek Fikrnya, sebuah tawaran atas site spesific akan pertunjukan telah dilakukan. Senada dengan apa yang diungkap oleh Nick Kaye—seorang scholar performance studies yang mengkaji persoalan tersebut belakangan ini—, di  mana site spesific menekankan adanya ‘pembaruan’ akan konsepsi tempat yang lama, dengan menemukan persepsi baru di tempat tersebut ketika pertunjukan dihelat. Dalam hal ini Kaye turut menekankan bahwa perihal site spesific diperlukan pemikiran kritis dalam melihat lanskap tempat (place) dan ketertautannya dengan ruang (space) yang tidak terbatas. Persis dengan apa yang dilakukan Sardono dalam upaya Fabriek Fikrnya.

Lalu, mengingat Sardono adalah seorang seniman tari yang ‘beyond’ dari tari, alhasil tidak dapat dipungkiri bahwa yang dipertunjukan pada Fabriek Fikr bukan melulu soal tari, tetapi seni yang lintas disiplin, lebih luas. Sebagai contoh: Painting Performance, Pantomime, Papua Kuliner, dsbnya. Terbetik dari hal tersebut, kendati Sardono melakukan praktik lintas disiplin, namun ada satu benang merah tersemat yang dapat diyakini, yakni kesadaran tubuh dalam beragam jenis pertunjukan telah ia kurasi. Dan dalam pelbagai pertunjukan lintas disiplinnya, Sardono memang tidak lagi menampilkan gerak tari yang ansih khayalnya bedhaya atau tari tradisi lainnya, tetapi Sardono memperlihatkan bahwa tubuh tetap menjadi sumber dan esensi utama dari tiap nomor yang dipertunjukan di kedua hari perhelatan.

Namun tidak ada gading yang tidak retak, selain di pertunjukan ini menawarkan satu kebaruan akan cara pandang pertunjukan dan korelasinya pada tempat tertentu. Agaknya ada beberapa catatan terkait pertunjukan tertaut. Di mana penggunaan ruang pabrik yang telah mangkrak memang sangat mencuri perhatian, tetapi yang ditakutkan adalah tidak terbayarnya dengan nomor-nomor pertunjukan yang sama menawannya dengan ide penggunaan pabrik tersebut. Dalam hal ini, bukan berarti beberapa nomor karya yang digarap tidak cukup kuat, namun ekspektasi dari penggunaan ruang baru terkadang ‘menuntut’ karya tertampil tidak hanya layak untuk dipresentasikan, tetapi juga memberi pesona yang serupa. Dan semoga hal ini dapat terbayar Fabriek Fikr 3, mungkin dengan sebuah nomor tari ‘baru’ dari Sardono sebagai ‘partai’ pamungkas pertunjukan di tahun depan?[]

The Assembly of Animals; Pertunjukan tanpa Materi Manusia

Kamis, 1 Desember 2016 | teraSeni~

Bunyi bising dari mesin memenuhi ruangan gedung pertunjukan. Panggung ditutupi oleh beberapa tirai merah, dua lampu sorot berwarna merah yang kedudukannya berada di sisi kanan dan kiri penonton, cahayanya vertikal menembak tirai merah yang menutupi panggung. Mata jadi perih menyilaukan, penonton tampak gelisah, apakah ini awal dari “teror” yang suasananya memang ingin dicapai pertunjukan.

The Assembly of Animals-teraSeni
The Assembly of Animals-Tim Spooner
dari Inggris saat berpentas
di Ladang Tari Nan Jombang, Padang
(Foto: Andre Pratama)

Untuk sementara saya menyimpulkan itu memang suasana awal yang ingin dicapai pertunjukan ini, mengingat pertunjukan yang berjudul The Assembly of Animals karya Tim Spooner, seorang visual artist muda dari Inggris, yang mengadakan pertunjukan di 4 kota di Indonesia: Padang, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dari tanggal 22 November – 4 Desember 2016 ini memang membatasi jumlah penontonnya pada setiap pertunjukannya. Pada pertunjukan yang diadakan di Padang, di Ladang Tari Nan Jombang, pada 22 dan 23 November 2016, ruang pertunjukan Manti Menuik yang berkapasitas 200 penonton ini, pada pertunjukan kali ini hanya dibatasi sekitar 70 penonton saja atau sepertiga dari kapasitas penonton gedung pertunjukan ini.

Tirai merah paling depan perlahan tersibak. Tampak seseorang berdiri di belakang sebuah meja seukuran 100 x 50 cm. Di atas meja itu tampak penuh dengan perangkat dan sebuah boneka binatang yang barangkali itu adalah boneka domba. Kabel-kabel bersileweran di atas panggung, menghubungkan meja satu ke meja lainnya. Ada 9 meja di atas panggung dan kesembilan meja itu punya tirai penutup masing-masing yang juga berwarna merah.

The Assembly of Animals-teraSeni
Para Performer
The Assembly of Animals-Tim Spooner
memainkan materi-materinya
(Foto: Andre Pratama)

Laki-laki di belakang meja itu kemudian memainkan bonekanya—bukan dengan cara menyentuhnya, namun dengan sebuah alat. Boneka di atas meja itu bergerak maju. Lalu laki-laki itu kemudian pindah ke meja lain yang tirainya telah tersingkap. Juga, memainkan bonekanya di sana, membedahnya, dan lainnya. Begitu seterusnya, dari meja satu ke meja yang lainnya. Ada boneka yang jatuh begitu saja dari atas meja dan laki-laki itu membiarkannya saja, ada boneka yang sengaja dihadapkan di depan kipas angin sehingga boneka itu terlempar oleh anginnya, dan laki-laki itu tetap membiarkan saja—malah ia pindah ke meja lain. Ada plastik yang tertiup angin sehingga membentuk sebuah rupa binatang.

Setelah semua tirai merah di atas panggung tersibak, baru dapat dipahami bahwa panggung ini adalah sebuah laboratorium ilmu eksak (laboratorium fisika). Bukanlah sebuah panggung yang dibagi ke dalam beberapa panggung kecil dengan beberapa meja. Kabel-kabel elektronik, tekanan-tekanan udara, kumparan dinamo, kutup-kutup maknet, memenuhi meja-meja tersebut dan saling terhubung. Bunyi dinamo yang berputar atau bunyi tekanan angin yang berhembus sengaja tidak diredam, malah menjadi bagian tersendiri untuk mengisi musik dan membangun suasana pertunjukan.

The Assembly of Animals-teraSeni
Salah satu adegan
The Assembly of Animals-Tim Spooner

(Foto: Andre Pratama)

Tiga orang yang ada di atas panggung—termasuk laki-laki yang menggerakkan boneka—tidak lebih dari sekedar operator. Laki-laki yang menjadi operator menggerakkan boneka itu adalah Tim Spooner, yang menjadi sutradara dari pertunjukan ini. Sutradara ini dibantu oleh dua orang lagi. Seorang perempuan yang tampaknya bertugas sebagai operator mekanik dan seorang laki-laki lain yang duduk di meja paling belakang sebagai operator material.

Dengan begitu, pertunjukan The Assembly of Animals ini benar-benar menjadi pertunjukan non manusia. No human material atau tanpa materi manusia, sebagaimana konsep dari pertunjukan ini benar-benar berjalan. Narasi pertunjukan memang diserahkan penuh pada mesin. Begitu juga dengan pergerakan boneka-boneka binatang yang ada di atas ‘panggung’nya, juga diserahkan kepada mesin, semisal boneka binatang yang bergerak maju namun kemudian tiba-tiba bergerak mundur atau malah berbalik arah. Pergerakan tersebut, seperti diakui Tim Spooner sendiri, benar-benar pergerakan yang tidak terduga, yang murni hasil dari getaran yang bersumber dari dinamo yang dipasangnya pada meja tersebut. Jadi, operator benar-benar hanya bertugas untuk menghidupkan dan mematikan mesin, juga bertugas untuk meletakkan boneka binatang itu pada titik demo yang akan dilakukannya.

Inilah kemudian, apa yang membedakannya dengan teater boneka pada umumnya ataupun wayang seperti yang ada di Indonesia. Teater boneka ataupun wayang masih melibatkan manusia sebagai pengendali, atau lazim disebut dengan dalang. Dalang mengendalikan langsung boneka atau wayangnya, sehingga narasi panggung tetap berada pada dalangnya. Tugas yang jauh berbeda dengan operator pada pertunjukan ini, manusia benar-benar hanya sebatas petugas yang menghidupkan dan mematikan mesin. Dengan artian, manusia yang ada di atas pentas (3 orang operator tersebut) benar-benar tidak dihitung sebagai bagian dari pertunjukan.

The Assembly of Animals-teraSeni
Para Performer
The Assembly of Animals-Tim Spooner
di hadapan berbagai materi
yang mereka mainkan
(Foto: Andre Pratama)

Itulah tujuan Tim Spooner selaku sutradara pertunjukan. Ia benar-benar ingin menemukan dan mencari hakikat dari material itu sesungguhnya dan mengembalikannya ke asalnya (transendental), seperti yang diterangkannya. Pertanyaannya, sudahkah pada pertunjukan itu, Tim Spooner yang sebagai operator itu sudah mampu melepaskan diri sebagai manusia dan benar-benar hanya sebagai operator dari mesin yang sedang menjalankan narasi pertunjukannya?

Sehabis pertunjukan, penonton dipersilakan untuk naik ke atas panggung untuk melihat lebih jelas dan detail tentang materi-materi yang baru saja didemokan itu. Tim Spooner beserta timnya dengan gembira bersedia mendampingi para penonton untuk melihat materinya dan meladeni begitu banyak pertanyaan tentang materi pertunjukannya tersebut. Seperti yang sudah diduga, begitu banyak penonton yang terkaget dan tidak menyangka setelah mendengar penjelasan dari Tim Spooner langsung. Semisal, bahwa boneka-boneka itu digerakkan oleh getaran pada meja bukan ia yang menggerakkan. Atau ia tidak melakukan pertunjukan, ia hanya sebagai operator, dan upaya yang ia lakukan tadi seperti mengeluarkan isi perut binatang adalah upaya atau kerja operator, ia hanya membantu penonton untuk dapat menangkap setiap momen pada pertunjukan ini lebih detail. Penonton-penonton yang bertanya itu pun kemudian mengangguk dengan mulut sedikit menganga. Takjub. Atau cengang.

Tiga kali pertunjukan, ditambah satu kali workshop dari Tim Spooner langsung pada tanggal 22 dan 23 November 2016 ini di Padang adalah dua hari yang berbeda dalam dunia pertunjukan di Sumatera Barat pada tahun 2016 ini.