Pilih Laman

Tubuh yang Menaklukkan; Catatan atas Stand Go Go-nya Otniel Tasman:

Jumat, 24 Maret 2017 | teraSeni.com~

“Aku hadir di ruang urban untuk menawarkan dialog padamu, tubuh urban. Kau akan melihat ada bagian darimu di aku. Maka tubuh kita tak saling asing. Kita terhubung. Kita pun dapat membangun keterjalinan itu, bukan?”

Ruang dingin dengan cahaya terang benderang itu terpecah keheningannya, oleh suara gaduh yang muncul dari sisi kanan panggung. Seorang perempuan bersanggul dengan hiasan melati, tubuhnya dibalut kain panjang dan kemben, bahunya ditutup selendang panjang warna merah. Ia berjalan diikuti wanita berkain panjang, berkebaya dengan motif bunga-bunga warna ungu-biru-merah cerah, yang membawa semacam nampan bulat kecil. Ada juga seorang lelaki memakai udeng (topi khas Jawa) membawa kendang kecil yang dikalungkan di tubuhnya. Ketiganya tidak memakai alas kaki. Mereka ramai memasuki panggung, berceloteh dalam bahasa Jawa Banyumasan bercampur bahasa Indonesia, menyatakan kekagumannya pada Jakarta, sekaligus keterkejutannya melihat penonton.

Tari Stand Go Go Otniel Tasman-teraSeni.com
Salah satu adegan
dalam Stand Go Go, Karya Orniel Tasman
(Foto: Renee Sariwulan, 2017)

Bahasa tubuh dan bahasa verbal yang mereka tunjukkan, nyata mengungkap tubuh lokal yang bersemangat menghampiri Jakarta. Melihat banyaknya penonton, perempuan berselendang serta merta menawarkan diri menghibur penonton. Ketika tawarannya bersambut, ia mengajak kedua temannya berkeliling untuk mengumpulkan ‘uang seikhlasnya’ (sawer) dari penonton. Hal ini mengundang gelak riuh penonton, yang tidak menduga perempuan itu berani “menodong” dengan telak. Setelah sawer terkumpul, ia pun menari.

Ia membawakan tari yang menggunakan gerak dasar Tari Lengger Banyumas, sebuah tari pergaulan dari daerah Banyumas Jawa Tengah, yang biasa dibawakan berpasangan. Energik, dinamis, erotis, adalah tubuh Lengger yang ia pertunjukkan sore itu, Sabtu 4 Maret 2017 pukul 15.00 wib, di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Aktivitas itu: menari (diselingi seruan-seruan), menyanyi, berbincang, melucu, berlangsung segar dan tidak membosankan.

Tari Stand Go Go Otniel Tasman-teraSeni.com
Tubuh Lengger
di hadapan mata penonton 
dalam Stand Go Go, Karya Orniel Tasman
(Foto: Renee Sariwulan, 2017)

Tasman Otniel, sang koreografer yang menjadi penari Lengger itu, menghadirkan kekuatan tubuh lokalnya. Tubuh Lengger yang ia hadirkan adalah tubuh anak tradisi yang menyerap tradisi itu dengan gairah dan penghormatan. Ia menghormati tradisi dengan kepala tegak, bebas dari inferioritas. Sejarah ia serap sebagi sesuatu yang wajar, ia sadari itu sebagai hal penting bagi sejarah tubuhnya. Namun tradisi dan sejarah tidak membelenggu geraknya. Ia memiliki kebebasan besar mengolah tradisi dalam dirinya, bersama dengan irisan-irisan lain dalam tubuhnya. Ia tidak mengalahkan apa-apa, baik tradisi maupun personalitas individunya. Semua ia gerakkan bersama, untuk memunculkan gerak-gerak baru.

Empat penari, satu perempuan dan tiga laki-laki, hadir di bagian kedua, menyuarakan gerak-gerak baru Otniel. Bagian ini ia ciptakan sebagai ruang ekspresi individunya. Ruang penjelajahan dan pergumulan atas sejarah dan tubuh, termasuk penerjemahannya atas tradisi dan (budaya) urban. Di sini ia ciptakan ruang besar bagi penjelajahan tubuhnya, yang melampaui identitas apapun.

Yang mengganggu konsistensi di bagian ini adalah kehadiran elemen gerak tradisi. Dalam konteks ‘gerak-gerak baru’ tersebut, akan menarik dan menjadi sebuah tantangan, jika elemen itu hadir dengan makna baru. Tetapi jika ia hadir tetap dalam konteks tradisi, yang tidak terlihat sebagai bagian yang mengalir (baik spirit maupun estetika gerak) bersama dengan ‘gerak kebaruan’ tersebut, maka akan memunculkan pertanyaan besar : Apakah ini? Atau jika koreografer ingin menghadirkan spirit tradisi sebagai keterwakilan irisan tubuhnya, maka akan lebih mengesankan jika itu dimunculkan tetap dalam kerangka ‘gerak-gerak baru’ tersebut.

Tubuh non tradisi yang hadir di sini saya tangkap sebagai perjalanan individu membentuk dirinya. Kultur urban juga dialami generasi tradisi! Tak ada penghalang untuk itu. Belum lagi desakan-desakan ekonomi-politik, yang seakan monster hidup tak terlihat, tapi nyata meneror setiap saat di semua area. Itu pun meninggalkan jejak dalam irisan-irisan tubuh. Buah pengalaman-perjuangan dalam perjalanan tubuh, terutama dalam konteks Otniel,  adalah tubuh yang menciptakan strategi.

Tari Stand Go Go Otniel Tasman-teraSeni.com
Adegan dimana Lengger
berbaur dengan penonton
dalam Stand Go Go, Karya Orniel Tasman
(Foto: Renee Sariwulan, 2017)

Tubuh Otniel adalah tubuh yang dibesarkan tradisi. Ia menikmatinya dan tidak menahan langkahnya untuk bertemu dengan tubuh-tubuh lain, dan menyerapnya. Termasuk perjumpaannya dengan tubuh urban, berikut hal-hal kompleks yang menyertainya. Dengan strategi itu, ia jadikan tubuhnya mampu menaklukkan satu demi satu pengaruh yang terserap oleh tubuhnya, sehingga semuanya mampu berperan sesuai porsinya, dengan nyaman. Irisan-irisan yang melekat di tubuhnya, adalah buah dari pergaulannya dengan peradaban, di mana ada tradisi dan budaya urban di sana. Ia mengumpulkan pertemuan irisan keduanya, menghadirkannya di bagian tiga karya ini.

Bagian ketiga dihantar oleh kehadiran Otniel, masih dengan kostum Lenggernya, bergabung dengan empat penari. Suasana hingar bingar yang dibangun di bagian akhir tiba-tiba senyap, sedikit mencekam, terasa ada suasana sangat serius yang sedang dibangun. Lima penari bergerak pelan dengan sorot pandangan yang tajam, namun kemudian dicairkan kembali dengan musik dinamis yang oleh Otniel ia adaptasi dari suasana klab malam Jakarta, di mana ada musik yang dimainkan disk jockey dan gerak dari penari go go boy. Selain itu ia juga berangkat dari pandangan mata penari Lengger yang membuahkan istilah dalam proses kreatifnya: pandangan menghasilkan gerak, gerak menghasilkan pandangan.

Ketika menari, apalagi berpasangan, penari Lengger selalu memandang langsung pasangan maupun penonton. Ada yang menyebut ini dengan ‘pandangan radikal’. Otniel menangkapnya sebagai sikap to the point, tanpa tedeng aling-aling, spontan, bebas dari basi-basi. Hal ini pun ia temui dalam pergaulan masyarakat urban. Konsep “pandangan” tersebut ia ambil sebagai salah satu ide eksplorasi geraknya. Kemudian ia kembangkan lagi dengan menghadirkan langsung tubuh-tubuh urban dengan mengundang beberapa penonton menari bersama di panggung. Di sinilah Otniel menegaskan temuannya bahwa tubuh tradisi (Lengger) dengan tubuh (pergaulan) urban itu ‘bersaudara’. Ada kemiripan karakter maupun gaya pada masing-masing. Kedua ‘tubuh’ itu bergerak bersama dalam beberapa saat, saling menjajagi dan mengenal gaya dan karakter itu.

Selanjutnya musik hingar bingar meredup bersamaan dengan silamnya tubuh urban dari panggung, meninggalkan kembali lima penari berproses melanjutkan bagian ketiga. Di sini Otniel menyajikan tubuh dan sejarah yang tidak imun dari ketegangan dan tarik-menarik yang tak pernah selesai. Pilihannya menjalani dengan riang, tidak serta merta melenyapkan kedukaannya terhadap hilangnya fungsi tradisi, sebagian demi sebagian. Juga kelelahannya menjalani realita dengan banyak pertanyaan. Di perjalanan itu pula ia temukan jalinan-jalinan tradisi-urban.

Temuan inilah yang ia bagikan pada penonton sore itu dalam keutuhan karya koreografi berjudul Stand Go Go. “Stand Go Go” adalah judul artikel yang ia temukan pada tahun 1980, yang membicarakan tentang kehidupan kalangan menengah-atas urban. Otniel memaparkan semuanya di karya ini, apa adanya. Bebas dari pretensi “siapa mengalahkan siapa”. Semua sejajar ia letakkan di panggung. Ketika di akhir karya, ia lucuti semua kostum dan asesori, hanya tertinggal kain panjang batik yang dililit kain hijau, juga ia hapus riasan wajahnya (sehingga penonton tahu bahwa penari itu sesungguhnya adalah laki-laki), ia tebalkan “kita” yang adalah “manusia”. Tak mampu mengelak dari apapun yang hadir dalam garis jalan tubuh masing-masing, suka atau tidak. Ketiadaan pretensi itu yang memunculkan haru pada saya. Maaf.

World of Dance; Menarikan Tubuh Ambang Para Migran

Selasa, 22 Maret 2017 | teraSeni.com~

Migrasi memang menjadi perihal yang tidak pernah usai diperbincangkan. Persoalannya bukan hanya perihal berpindah tempat, melainkan berpindahnya seorang atau sekelompok ke kebudayaan yang berbeda dari asalnya. Memang tidak terlampau sulit jika manusia beradaptasi, namun bukan hanya soal menyesuaikan semata, melainkan adanya rasa yang dialami atas pertentangan diri akan pertanyaan jati diri personal ataupun kultural. Alih-alih hanya diperbincangkan, berangkat dari kegelisahan serupa seorang koreografer bernama Nishant Bhola memilih untuk membicarakannya melalui gerak tari.

World of Dance-teraSeni.com
Salah satu adegan dari rangkaian
koreografi bertajuk World of Dance,
karya Nishant Bhola
(Foto: Aji Wartono, 2017)

Lantas Nishant Bhola yang juga seorang migran di Belanda mensinergiskan kegundahannya pada bingkai tari kontemporer. Sebagaimana tari kontemporer harus dilandasi dengan gagasan yang kuat, maka pilihan Bhola mewujudkan apa yang dialaminya seraya terjawab. Dan pada tahun 2017 ini, penonton dan penikmat tari Yogyakarta dimanjakan dengan sajian tari yang berkelas bertajuk World of Dance. Atas kerjasama Erasmus Huis dan Warta Jazz, sebuah pertunjukan digelar di Societet, Taman Budaya Yogyakarta, rabu (22/2). Menjadi kota terakhir perhelatan, setelah Jakarta dan Bandung, agaknya masyarakat Yogyakarta patut bersyukur dapat menyaksikan pertunjukan tari yang apik dengan gagasan menarik.

Tubuh Migran ala Nishant Bhola
Dibuka dengan ajakan oleh Nishant Bhola—selaku direktur artistik—kepada dua puluh penonton untuk menyaksikan repertoar pertama di atas panggung. Seketika melebihi permintaan, dua puluhan lebih penonton berlomba untuk mendapat posisi terbaiknya. Sebuah ide partisipatif yang menarik membuka pertunjukan di malam itu. Di awal pertunjukan, Bhola sudah melakukan dua hal, yakni memberikan pengalaman yang berbeda kepada seluruh penonton akan arti sebuah pertunjukan dan menjadikan penonton di atas panggung menjadi bagian artistik di dalam repertoarnya.

 Repertoar pertama bertajuk Saudade. Repertoar tersebut menceritakan pengalaman ambang Bhola ketika menjadi migran di Belanda sejak sepuluh tahun silam. Karya ini adalah akumulasi dari perasaan Bhola atas konflik batin yang ia rasakan ketika menjadi migran di negara yang jauh berbeda secara kultur dengan kampung halamannya, New Delhi, India. Diiringi oleh alunan musik yang disusun oleh Hans Timmermans, Lili Kok selaku penari dirasa dapat menarikan rasa gundah tersebut dengan baik.

Beberapa menit berselang, Lili Kok memasuki panggung dengan mengenakan sehelai kain berwarna hijau dan kacamata hitam sambil menggengam kantung plastik. Masuknya Lili dengan penampilannya telah memberikan impresi akan dua budaya yang ia emban, yakni kain berwarna hijau layaknya kain sari di India representasi tradisi, serta kaca mata hitam representasi modern. Ketika tengah melangkah, seketika ia tak dapat bergerak, membeku di tengah panggung.

Perlahan terdengar samar-samar suara mencekam, sang penari mulai bergetar, sesekali ia mulai kembali berjalan dengan terbata-bata. Plastik hitam yang ia bawa hanya bisa ia seret dengan susah payah. Bersamaan dengan itu sebuah bunyi nyaring terdengar sesekali namun berulang. Lantas Lili bergerak layaknya kosa tubuh balet dengan patah-patah. Namun seketika ia dapat bergerak luwes ketika kacamata yang dikenakan ia tanggalkan.

Setelah itu ia mulai menggeliat dengan berusaha melepaskan kain yang ia kenakan. Seketika ia menutupi parasnya dengan kain tadi yang mengakibatkan tubuhnya kesulitan bergerak. Sesekali ia melepasnya, dan wajah sumeringah terukir di wajahnya. Kemudian ia mulai membuka formasi ikatan kain, lalu ia bubuhkan kain tersebut sembarang di tubuhnya sesuai keinginan dan kenyamanannya. Alih-alih ia sulit bergerak, Lili selaku penari justru dapat berjalan dengan bebas dan sesukanya. Sebuah pesan yang mendalam bahwa tradisi perlu diperlakukan sesuai dengan kenyamanan personal dan keadaan zaman.

World of Dance-teraSeni.com
Penonton berada di atas pentas
dan dapat melihat dari sangat dekat
koreografi bertajuk World of Dance, 
karya Nishant Bhola 
(Foto: Aji Wartono, 2017)

 Selanjutnya ia membuka plastik hitamnya yang berisikan sebuah tas. Kemudian sebuah sajadah, satu unit laptop, dan sehelai pakawan berwarna merah ia letakan bersebelahan. Ia mulai berrias, mempercantik dirinya dengan lipstik di bibir tipisnya. Yang menarik, ketika ia berrias, ia memperlakukan seorang penonton di atas panggung khayalnya sebuah cermin. Usai berrias, ia mulai menggunakan pakaian merah tadi dan mengibaskan rambutnya ke segala arah.

Seketika mulai terdengar bunyi bertempo lambat, yang ia sikapi dengan sebuah gerak balet dan gerak tari tradisi India. Diselingi dengan bunyi elektronik, gerak balet, tadi disisipi gerak robotik. Dalam hal ini, ia padankan banyak kosa kata gerak di dalam tarinya. Layaknya sebuah gerak terpadu hasil dari banyak latar belakang tari. Musik bernuansa India pun seraya terasa jelas, ia mulai bergerak dengan bebas tanpa pola lantai yang berarti. Menari ke sisi panggung yang satu dan ke sisi panggung yang lain. Hingga ia lelah dan mencari jalan pulang. Ia melompat turun ke arah penonton, mendatangi penonton dari kursi bagian depan hingga belakang. Ia mulai cemas, hingga ia mendapatkan sebuah pintu dan mencoba memasukinya. Setelah masuk ia tak kunjung kembali, tanda pertunjukan usai.

Sedangkan repertoar selanjutnya bertajuk Cyclic. Repertoar ini bermula dari gagasan ‘di antara’ dari dua budaya yang bersemayam di dalam satu tubuh. Secara lebih lanjut, Bhola menautkan repertoar kedua ini dengan gagasan reinkarnasi dari agama Hindu dan Budha. Kontras yang Bhola lakukan seakan lebih tegas, bukan lagi dua budaya, namun dua dunia atau lebih. Tidak hanya itu Bhola menautkan dua konsep penting, chaos dan harmony dalam kehidupan di dalam karyanya. Repertoar ini adalah hasil kontemplasi Bhola disertai diskusi dengan tiga penarinya, Lili Kok, Jens Slootmans, dan Wies Berkhout. Karya kedua terasa magis dengan kostum yang diciptakan oleh Josje Salfischberger.

 Diawali dengan teram temaram pencahayaan, tiga penari—dua perempuan dan satu pria—telah membentuk sebuah formasi di tengah panggung. Satu penari dengan posisi tidur, satu penari dengan posisi tengkurap, dan satu penari lainnya berdiri di antara dua penari tadi. Samar-samar terdengar suara layaknya berat nan panjang layaknya alat musik suku Aborigin, Didgeridoo yang disusul dengan suara merdu suling India. Mendengar rangkaian suara tersebut lantas ketiga penari tadi berdiri saling bertatap satu sama lain. Mereka mulai mengayun seirama selama beberapa menit. Setelahnya penari pria melompat ke sisi yang lain dan mulai bergerak mengayun kembali, sementara dua penari lainnya perlahan mengikuti dengan gaya yang serupa.

Setelahnya mereka terpecah pada sisi area panggung yang berlainan, satu di sisi kiri, satu di sisi kanan, dan satu di sisi tengah bagian belakang. Mereka bergerak dengan seirama, dengan kosa gerak tari tradisi India, tetapi yang sudah tercampur dengan pelbagai eksplorasi akan gerak. Setelahnya mereka kembali berdiri di tengah dengan gaya mengayun yang serupa, dan para penari kembali terpecah dengan gerak tari yang tidak seragam ke sisi yang berbeda.

 Kemudian, alunan musik India yang lebih bertempo terdengar semakin tegas, dua penari perempuan lainnya berputar di tempat layaknya tari Sufi, sedangkan satu penari lainnya mulai menggeliat ke kiri dan ke kanan. Namun seketika layaknya lampu kilat membuat gerak mereka berhamburan dan berlainan. Dua orang penari tergeletak di lantai, sedangkan satu penari lainnya berdiri di depang panggung dengan gerak yang lambat. Sungguh menarik atas apa yang dilakukan Bhola dengan menggunakan pencahayaan sebagai sebuah tanda akan alur yang berubah, namun alih-alih hanya bersifat menjadi tanda, para penari justru merespon dengan gerak yang cakap.

 Lampu kilat tadi terjadi beberapa saat, membuat para penari yang tengah menari merespon dengan pelbagai gerak yang berbeda. Setelahnya satu penari bangkit, ia seakan mau mengucap kata namun tertahan di pangkal lidah. Hanya fonem yang ia keluarkan, tidak bermakna. Namun setelah ia mengucap fonem ia dapat bergerak dengan leluasa, dan begitupun terulang hingga beberapa kali oleh tiga penari tersebut. Dilakukan secara bergantian, penari saling memperlihatkan kebolehan geraknya masing-masing. Selepas mengucap fonem, lambat laun gerak mereka semakin bebas dan ‘liar’. Semakin lama mereka menari semakin tidak terkontrol, seraya menunjukan chaos dan harmoni ada berada di dalam satu tubuh. Hingga lampu pertunjukan mulai perlahan padam menyinari tubuh ketiga penari yang masih bergerak. Pertunjukan telah usai.

Tari Apik dengan Gagasan Menarik
Rasanya cukup membahagiakan setelah menyaksikan dua repertoar Nishant Bhola. Alasannya cukup sederhana, yakni perasaan yang serupa akan tubuh ambang atas masyarakat kita yang tidak asing dengan migrasi dan migran. Tidak hanya itu, perasaan yang tidak jauh berbeda lainnya adalah perasaan gundah Bhola akan pertanyaan atas jati dirinya. Apakah Bhola seorang yang keindia-indiaan, keeropa-eropaan, keduanya, atau tidak sama sekali? Persis dengan dialektika antara perihal tradisi dan modern, khususnya tari di Indonesia.

Namun yang menarik, Bhola justru memilih mendialogkan perasaan ambang atau ‘di antara’ di dalam sebuah panggung. Di dalam kedua repertoarnya, ia mempertemukan kebudayaan yang ia terima dengan refleksi kedirian yang mendalam. Lantas refleksi kediriannya menjadi semacam benang merah yang dapat menyusun alur dengan sangat menarik dan original. Tidak hanya bermuara di gagasan yang mengawang, namun Bhola dengan para penarinya dapat memformulasikan gerak secara detil di tiap repertoarnya. Dengan beragam kosa kata gerak tari dari pelbagai kebudayaan dan kesenian yang ia dapat, lantas Bhola cukup bijaksana menempatkan satu per satu gerak. Alhasil tubuh para penari dapat menyampaikan pesan tersirat dengan apik.

World of Dance-teraSeni.com
Adegan lainnya dalam
koreografi bertajuk World of Dance, 
karya Nishant Bhola 
(Foto: Aji Wartono, 2017)

Dari dua repertoar Nishant Bhola, repertoar yang bertajuk Cyclic lebih menyita perhatian ketimbang repertoar pertamanya, Saudade. Namun bukan berarti repertoar pertama buruk, melainkan repertoar kedua terasa lebih magis tersampaikan. Dengan penggunaan cahaya yang sederhana ditambah dengan asap yang terkungkung di bagian atas panggung membuat tiga tubuh penari semakin kuat dalam pesan. Nuansa keindiaan dan reinkarnasi dapat saya serap ketika menonton. Sedangkan repertoar Saudade cenderung lebih mengutamakan partisipasi akan penonton, seperti: penonton yang berada di atas panggung, penari yang turun ke bangku penonton, dan kegelisahan yang senada. Sebuah ide yang menarik.

Jika ada catatan buruk, maka catatan tersebut bukan dari Nishant Bhola dan para penarinya—terlebih mereka cukup artikulatif dalam gerak pada tarian dan percakapan ketika pertunjukan usai—, melainkan pada para fotografer. Bagi mereka yang sudah kerap menonton pertunjukan di Yogyakarta dengan kehadiran para fotografer yang tidak hanya mengambil gambar namun membuat percakapan dengan volume suara yang cukup kencang maka pertunjukan terasa lazim saja dirasakan, namun bagi mereka yang cukup asing dengan konteks pertunjukan Yogyakarta, maka kehadiran fotografer sangat lah mengganggu. Pasalnya bukan soal mereka mengabadikan momen pertunjukan, terlebih seni pertunjukan turut membutuhkan itu, melainkan etika pengambilan gambar pertunjukan yang perlu diciptakan, seperti: tidak mengambil gambar terlalu sering, kecuali diadakan pertunjukan terpisah dengan penonton; tidak berbicara dengan fotografer lainnya dengan volume suara sekecil apapun. Dengan cara seperti itulah maka seni pertunjukan, khususnya tari bukan difungsikan hanya sebagai pemuas visual semata, namun memberikan pesan reflektif bagi para penonton tanpa terkecuali.

Bertolak dari pertunjukan World of Dance, agaknya banyak yang sekiranya dapat dipetik, seperti: gagasan personal yang kritis dan kuat; kosa kata gerak yang baik dan beragam; sikap Bhola yang memperlakukan tradisi dengan bijaksana; hingga pilihan menegosiasikan antar budaya dengan cakap. Alhasil tidak muluk-muluk jika mengatakan bahwa pertunjukan World of Dance adalah pertunjukan tari kontemporer terbaik di awal tahun 2017 ini. Siapa menyusul?[]

Mengintervensi Teater Kampus; Ulasan diskusi “Membaca Jejak Teater Kampus Hari Ini”

Senin, 20 Maret 2017 | teraSeni.com~

Seorang pemuda menenteng piring seng sembari berteriak mencari gelas. Dari arah yang berlawanan, seorang pemuda lain menenteng gelas seng sembari memekikkan kata ‘piring’. Kedua orang itu lalu berlari ke tengah panggung dan menabrakkan diri beberapa kali hingga piring dan gelas yang mereka bawa terpental dan menghantam lantai hingga menciptakan kegaduhan yang mencekam. Sementara itu di tengah panggung seorang lelaki tambun berwajah pucat memainkan karimba sembari memandang nanar ke arah lilin mati di hadapannya.

Diskusi Membaca Teater Kampus Hari Ini-teraSeni.com
Suasana Diskusi Diskusi
“Membaca Teater Kampus Hari Ini”
di Taman Budaya Yogyakarta
31 Januari 2017
(Foto: M. Diannu Imansyah)

“Metafor Gelas Pecah” adalah pertunjukan pembuka diskusi program pertama dari Study Theater Club Yogyakarta, “Membaca Teater Kampus Hari Ini…” yang diselenggarakan di ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta pada tanggal 31 Januari 2017. Pertunjukan yang disutradarai oleh Henricus Benny Hendriono ini mengangkat tentang bagaimana manusia mati-matian berjuang untuk memenuhi kebutuhan materi hingga menciptakan kecarutmarutan dalam kehidupan.

Sebagai salah satu penggerak kehidupan berteater di Indonesia, keberadaan teater kampus masih dianggap motor utama untuk terus menghidupkan dunia perteateran. Dengan latar belakang kehidupan akademis, teater kampus memiliki kekhasan tersendiri dalam mewadahi ekspresi berkesenian mahasiswa, khususnya dalam bidang seni peran. Tidak bisa dipungkiri, banyak teatrawan dan komunitas teater besar yang berangkat dari teater kampus seperti WS Rendra dan Teater Garasi.

Dengan menghadirkan tiga komunitas (seni) teater dari beberapa kampus ternama di Yogyakarta yakni Teater Tangga (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Teater Jaringan Anak Bangsa (JAB – Universitas Ahmad Dahlan), dan Unit Studi Sastra dan Teater (UNSTRAT – Universitas Negeri Yogyakarta) sebagai pemantik wacana, berbagai lika-liku dan problematika teater kampus dibahas di program pertama Study Theater Club Yogyakarta ini.

Meski pada awalnya diskusi terasa cukup lambat karena materi yang disampaikan oleh para pemantik tidak mengerucut pada permasalahan yang dialami oleh teater kampus saat ini tapi lebih kepada perkenalan sejarah dari masing-masing komunitas, diskusi mulai terasa menghangat ketika memasuki sesi tanya jawab. Masalah pertama yang niscaya terjadi pada teater kampus adalah masalah regenerasi. Harus diakui, sebagai mahasiswa yang memiliki keterikatan masa studi dan berbagai macam agenda kegiatan studinya, pengabdian diri kepada dunia teater selalu menjadi permasalahan utamanya. Tidak hanya bagaimana para anggotanya haruskah tetap bertahan di komunitas tersebut pasca selesainya studi tapi juga permasalahan dengan agenda akademis lainnya semacam liburan, masa KKN, ujian semester dan lain sebagainya.

Meski tampak menjadi gangguan dalam kehidupan teater kampus, sebenarnya adanya jadwal agenda akademis ini juga bisa dipandang sebagai kelebihan. Dengan jadwal studi yang jelas, para anggota teater kampus bisa memperhitungkan agenda program kerja mereka dengan lebih baik. Bahkan justru dengan adanya “keterikatan masa” seperti ini, kreativitas mahasiswa dalam memanajemen waktu menjadi semakin terasah.

Permasalahan kedua dari kehidupan teater kampus adalah adanya intervensi dari berbagai pihak. Jika dirangkum, intervensi terbesar berasal dari pihak alumni serta pihak kampus. Mungkin dikarenakan masih terus terbayang akan masa-masa berteater kala kuliah, pihak alumni biasanya masih saja terus eksis untuk memberikan dukungan bahkan ada yang sampai mengontrol jalannya organisasi. Keberadaan pihak alumni ini dirasakah oleh beberapa komunitas selayak benalu yang hanya bisa mengganggu. Pernyataan ini kemudian dimentahkan oleh salah satu penonton yang berasal dari jurusan teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Menurutnya, keberadaan alumni justru membantu untuk mengarahkan para juniornya untuk mampu menjalani proses berteater dengan lebih baik. Alumni dirasa memberikan dukungan yang baik, alih-alih menjadi benalu.

Adanya perbedaan pendapat ini kemudian memantik pertanyaan di pikiran saya tentang apa yang dinamakan dengan “teater kampus” itu? Sejauh yang saya pahami, secara sederhananya teater kampus adalah wadah berteater bagi mahasiswa. Namun apa bedanya dengan teater lainnya yang umumnya disebut dengan teater independen? Bukankah teater independen juga memiliki anggota yang juga berasal dari kalangan mahasiswa? Pertanyaan ini juga kemudian memancing pertanyaan lain: lalu bagaimana dengan mahasiswa jurusan teater sebuah lembaga pendidikan tinggi seni macam ISI, ISBI, IKJ, dan lain sebagainya? Jika para mahasiswa seni itu mendirikan komunitas teater di kampusnya, apakah juga bisa disebut teater kampus?

Pertanyaan di atas bisa saja terus dikembangkan tanpa berkesudahan. Meski remeh, pemaknaan akan apa itu teater kampus itu perlu dikaji ulang. Sebab inilah yang kemudian mengantarkan kita pada permasalahan teater kampus selanjutnya: Visi dan Misi teater kampus. Permasalahan visi dan misi dari teater kampus ini kemudian menjadi puncak diskusi yang berlangsung hingga menjelang tengah malam ini.

Ada komunitas yang menyatakan bahwa visi dan misi dari teater kampus pada dasarnya sama saja dengan visi dan misi teater lainnya (independen) yakni memberikan kritik sosial terhadap masyarakat. Pernyataan ini kemudian disanggah oleh salah satu penonton yang mengatakan bahwa hal itu terlalu muluk-muluk. Sebagai teater yang pada umumnya hanya dianggap sebagai “icip-icip” terhadap dunia teater, keinginan untuk memberikan kritik sosial atau bahkan perubahan pada masyarakat adalah hal yang terlampau jauh. Teater kampus harusnya sadar bahwa sebagai mahasiswa, para anggota teater kampus diharapkan cukup mampu untuk menciptakan pertunjukan yang baik dan menarik mahasiswa lain untuk menonton. Dari proses upaya penciptaan inilah kemudian bisa dijadikan bekal untuk meningkatkan prestasi akademik, dalam artian menempa diri menjadi pribadi yang tangguh, gigih, dan trengginas. Bukankah teater adalah bagaimana menempa diri menjadi manusia yang utuh?

Terlepas dari apapun visi dan misi teater kampus. Keberadaan teater kampus harus terus didukung dan dihidupkan. Karena teater kampus tidak hanya dianggotai para agen perubahan tapi juga agen kebudayaan.

10 Peristiwa Terbaik Pergelaran Musik Sepanjang Tahun 2016

Senin, 27 Februari 2017 | teraSeni.com~

Tahun 2016 telah berlalu, sebenarnya banyak sekali yang terjadi dan dapat dicatat pada tahun kemarin, semisal: reshuffle kabinet yang cukup mengagetkan; kematian Mirna karena sidang kopi sianida yang tak kunjung selesai; prahara bom di jalan Sarinah Jakarta yang mengancam pertahanan dan keamanan; ataupun kasus Dimas Kanjeng dengan penggandaan yang di luar akal sehat. Namun tidak hanya mencatat berbagai kejadian yang mempengaruhi konstelasi politik ataupun sosial yang terjadi, tahun 2016 turut mencatat pelbagai perkembangan musik di Indonesia, seperti: Jerinx, drummer band Superman is Dead yang meluncurkan JRX TV; Eross Chandra yang merilis album solo yang berisikan musik instrumental berjudul Forbidden Knowledge; band death metal Deadsquad dengan rilisan baru berjudul Tyranation, hingga single lagu dari penyanyi anyaran, Awkarin dan Young Lex yang menyita ‘perhatian’. Sederhananya, semua musisi berkontestasi dalam merajut benang-benang eksistensi mereka dengan caranya masing-masing.

Maka itu, sudah barang tentu akan sulit dipastikan jika dilakukan pendataan atas berapa jumlah musisi atau berapa jumlah pertunjukan di setiap tahunnya. Terlebih pentas musik tidak hanya diciptakan untuk lingkup masyarakat luas, melainkan juga dapat diciptakan untuk lingkup kecil, seperti komunitas atau individu sekalipun. Tidak hanya itu, pengelompokan segala pergelaran musik seyogianya tidak hanya mendata pertunjukan megah ala orkestra, tetapi turut mencatat pentas sederhana ala band indie, dan panggung minimalis dangdut ‘khitanan’. Terbetik dari hal tersebut, ada beberapa elemen dari musik yang menentukan dapat kita tangkap, seperti adanya beragam interpretasi musikal yang menghasilkan banyak genre; pelbagai produk dan jenis kualitas musik; hingga performativitas dari musisi tertaut; serta perihal lainnya. Setidaknya hal tersebutlah yang membuat musik mempunyai kompleksitas yang berlapis.

Sebagai sebuah ilustrasi adalah perilaku konsumen yang protes jika sekelompok musisi mempunyai kualitas baik di dalam cakram padat tetapi berkebalikan ketika dipertunjukan secara langsung. Ini mengejawantahkan bahwa musik tidak hanya didengarkan melaui pemutar musik manual, semacam mp3 player, ipod, cd portable, walkman, dan sebagainya; serta pemutar musik online, semacam Spotify, Joox Music, Sound Cloud, Mixcloud, NCS Music, Deezer, Apple Music, Amazon Music, Google Play Music, Pandora, dan lainnya, melainkan pendengar hingga penggemar ingin mengalami pengalaman menyaksikan pertunjukan musisi idola secara langsung. Membuktikan bahwa apa yang disukainya adalah nyata, baik secara wujud—tubuh dan pencitraan musisi—, ataupun nirwujud—kualitas suara dan performativitas. Berawal dari hal tersebutlah maka saya merasa sulit ketika menentukan 10 musik terbaik atas permintaan redaktur teraseni.com. Alih-alih hanya sebagai apologi, dalam hal ini saya justru menawarkan sebuah cara pandang untuk melihat pergelaran musik dari peristiwa yang terbangun ketika musik tersebut dipertunjukkan.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa peristiwa begitu penting untuk pertunjukan musik? Karena jika dipertunjukan pun sebuah pergelaran musik sudah menjadi peristiwa? Peristiwa semacam apa lantas yang ingin diwujudkan? Merujuk St. Sunardi  (selanjutnya akan dipanggil Pak Nardi), “tanpa menjadi peristiwa, seni bisa menjadi rutinitas yang membosankan.” Pak Nardi pun menyadari, maka ia menautkan peristiwa yang dimaksud dengan gagasan Lacan tentang seni sebagai sublimasi. Lanjut Pak Nardi:

“…karena dalam perkembangan subyek, peristiwa sublimasi adalah peristiwa penting sekaligus krusial.. Sublimasi bisa disebut peristiwa terpenting dalam perkembangan subyek karena dalam sublimasi orang menciptakan penanda-penanda baru dari ketiadaan (ex nihilo)—penanda-penanda yang tidak sekadar diderivasi dari penanda utama yang sudah ada (atau metafora paternal).. Seni menjadi peristiwa justru karena seni bisa melahirkan penanda baru ketika orang berhadapan dengan kemustahilan dalam mencapai infinite jouissance.”

Sederhananya, Pak Nardi menautkan bahwa peristiwa seni dapat melahirkan penanda baru, yang tentu berasal dengan tekstual karya. Melanjutkan pernyataannya, Pak Nardi menyatakan bahwa:

[Dalam telaah Lacan] lewat seni orang bisa melakukan sublimasi, dengan kembali pada seni itu sendiri kita bisa mencapai jouissance dan bukan hanya diputar-putar dalam infernal circuit of demand yang justru membuat orang frustrasi. Kembali kepada karya seni itu sendiri berarti bersentuhan dengan seni sampai kita trance dan bukan hanya sok mencari makna.

Jadi jika anda datang ke sebuah pergelaran, dan seolah-olah anda hanya diminta mencari makna tanpa adanya estetika yang terkandung di dalam karya, maka anda sah saja meninggalkan tempat pertunjukan. Estetika lah yang membedakan seni dengan pengetahuan dan agama. Secara lebih lanjut, peristiwa seni bagi Pak Nardi harus memberikan “penanda baru” di benak individu, hasil dari perpaduan karya yang estetis dan bermakna. Pernyataan senada yang ditekankan oleh scholar tari, Sal Murgiyanto dalam sebuah perbincangan  bahwa, sebuah pertunjukan dapat dikatakan pertunjukan seni jika tidak hanya menyimpan makna tetapi mempunyai daya estetis. Yang Bruner dan Turner bahasakan sebagai heightened experience—sebuah pengalaman yang tersangatkan atau terebihkan.

Hal ini yang kerap luput oleh para penampil pertunjukan secara umum, dan musik secara khusus; di mana memberikan sebuah peristiwa yang teralami, baik pemusik, dan juga untuk penonton. Bertolak dari hal inilah, saya akan menautkan 10 pergelaran yang telah memberikan peristiwa ‘lebih’ kepada penontonnya. Sepuluh peristiwa tersebut pun dilakukan tanpa parameter tegas akan teknis, seperti jenis ruang pertunjukan yang terbuka atau tertutup, hingga kota di mana pertunjukan dipergelarkan, dan sebagainya, melainkan sejauh mana pergelaran tersebut menjadi sebuah ‘peristiwa’. Sedangkan sumber pencarian menggunakan dua cara, yakni menggunakan data primer—yakni empiris saya—, serta data sekunder—dari review atau youtube.com. Kendati subjektif, namun 10 peristiwa musik akan disandingkan dengan argumen pemilihan, sehingga anda bisa pahami atas pilihan peristiwa musik terbaik tahun 2016 lalu. Selamat mengalami.

Di bawah ini terdapat 10 peristiwa menarik dari pergelaran musik dengan jenis urutan dari angka besar ke kecil. Urutan tersebut menunjukan kualitas peristiwa yang bertingkat, di mana semakin baik peristiwa mengisi di nomor kecil.

10. Djakarta Warehouse Project – Pesta Musik Elektronik
Akhir tahun 2016, dunia permusikan elektronik di Jakarta dibuat heboh. Pasalnya sejumlah 26 musisi Internasional memeriahkan acara Djakarta Warehouse Project. Dihelat di penghujung tahun, 9 dan 10 Desember 2016, acara ini menampilkan beragam gaya yang dipunya oleh banyak musisi elektronik, di antaranya: Zedd, Alan Walker, Carl Cox, Dj Snake, dan masih banyak lainnya. Dihelat di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, konon acara tersebut menjadi acara ‘pesta’ musik elektronik terbesar di Asia Tenggara.

Mungkin anda akan cukup kaget mengapa musik elektronik semacam ini justru membuka peristiwa musik yang menarik untuk dibahas. Dalam hal ini, salah satu alasan mengapa jenis musik ini masuk dalam kategori ‘memberikan pengalaman’ adalah karena kecenderungan masyarakat urban atas musik elektronik memang lebih lekat ketimbang musik tradisional atau musik pop lainnya. Salah satu hal yang paling mudah dilihat adalah telah merambahnya genre musik ini pada ajang pencarian bakat—sebagai produk populer televisi. The Remix, yang disiarkan Net.Tv telah beberapa kali menghelat ajang tersebut dengan mengedepankan kualitas musik elektronik para generasi ke depan.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Suasana Pergelaran
Djakarta Warehouse Project –
Pesta Musik Elektronik 2016
(Sumber Foto: www.tabloidbintang.com)

Dalam pertunjukannya di Kemayoran, penonton hanya disajikan seorang DJ atau pelaku musik elektronik yang berdiri di tengah panggung, dengan format pertunjukan ala konser, para penonton berdiri memenuhi ruang terbuka yang sangat luas. Herannya penonton berbondong-bondong mendatangi dan memenuhi acara tersebut. Tidak hanya datang dan menyaksikan, mereka mengalami pertunjukan secara langsung. Tidak memandang posisi Dj berada, melainkan asyik bergerak mengikuti suara, kerap dengan mata terpejam. Ketika Zedd memainkan musik elektroniknya, para penonton bergerak tidak serupa, namun seirama, mereka menikmati musiknya. Peluh keringat berhamburan, namun mereka bukan melakukan olahraga, melainkan berekspresi melalui karya seni.

Selain itu, pergelaran tersebut menjadi peristiwa karena mereka tidak memainkannya di ruang tertutup dengan orang yang terbatas, melainkan di ruang terbuka dengan sebarapa pun jumlahnya. Sebuah penanda yang berbeda dari kebanyakan kegiatan serupa pada masyarakat urban. Pengalaman kolektif ini tentu menjadi peristiwa untuk masyarakat urban, entah dengan maksud melepaskan penat ataupun menjadi kebiasaan baru, namun mereka menyadari musik elektronik dapat menghantarkan mereka pada satu titik tertentu.

9. The Legends Superheroes – Trust Orchestra
Trinity Youth Symphony Orchestra (TRUST) Orchestra adalah orkestra muda-mudi nonprofit asal Indonesia. Dengan basis musik Barat, orkestra ini menginterpretasikan beragam musik dengan nuansa orkestra. Setelah sukses dengan showcase dan unjuk giginya di Indonesia Orchestra and Ensemble Festival. Sebuah festival pertama yang menghadirkan orkestra ternama di Taman Ismail Marzuki, 3 September silam. Trust kembali menghelat konser bertajuk The Legends Superheroes sebulan setelahnya. Sejumlah empat belas lagu dipersiapkan, dua di antaranya adalah lagu Indonesia.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Salah Satu Penampilan
dalam The Legends Superheroes
 – Trust Orchestra
(Sumber Foto: www.merdeka.com)

Trust Orchestra telah memberikan pengalaman musikal yang mendalam bagi orang dewasa untuk kembali ke masa lalu-nya, juga memberikan pengalaman musik klasik dengan lagu yang acap anak-anak dengar. Tentu hal ini telah menjadi peristiwa, di mana musik tidak hanya menjadi media dengar, namun penanda baru dalam kehidupan, bisa diposisikan sebagai seleberasi atau sebaliknya refleksi untuk para penonton. Tidak hanya itu, atas dasar pengalaman yang sebelumnya dipunya oleh orang dewasa yang menonton, maka musik tersebut tetap memberikan makna dengan kemasan dan estetik yang berbeda.

8. Pangkur – Gelar Konser Karawitan
Di Yogyakarta, acara gamelan diselenggarakan rutin, mulai dari level kampus, hingga level internasional sekalipun. Di tahun 2016 turut tercatat beberapa acara gamelan yang tidak kalah menarik, di antaranya adalah Yogya Gamelan Festival, hingga acara pentas akhir mahasiswa ISI, IKJ, hingga ISBI. Semua kegiatan yang mempertunjukan gamelan memang sangat menarik, pasalnya hanya dengan mendengarkan musik kita dapat membayangkan kebudayaan yang adiluhung.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Poster Konser Jagad Pangkur
(Sumber: www.artmusictoday.org)

Namun salah satu alasan mengapa Pangkur yang saya catat sebagai peristiwa menarik adalah terfokusnya pada tema yang diangkat, yakni pangkur. Salah satu elemen dari musikalitas gamelan. Alih-alih hanya merekonstruksi pangkur sebagaimana mesti dan aslinya, dalam acara tersebut justru mempercayakan tiga ‘komposer’ muda untuk menginterpretasikan pangkur itu sendiri. Dan terbukti, tiga interpretasi berbeda yang dimiliki masing-masing ‘komposer’ membuat keberagaman karya dengan kreativitas yang juga berbeda. Dalam hal ini peristiwa yang diwujudkan memang bukan menakar wajah baru ‘komposer’ gamelan, melainkan sejauh mana kreativitas yang beragam gaya dapat dibangun untuk menyikapi tradisi dengan tafsir kekinian. Dari tiga kreativitas yang berbeda, rasanya penonton diberikan suguhan peristiwa yang bermacam-macam untuk kembali mengenali pangkur, dan menjiwainya sebagai laku masyarakat.

7. Celebration Concert – Nusantara Symphony Orchestra
Acara tersebut dihelat pada November setahun silam bertempat di Ciputra Artpreneur. Dipimpin oleh Hikotaro Yazaki, permainan orkestra dari Nusantara Symphony Orchestra berlangsung dengan sangat baik. Beberapa penyanyi seperti Aning Katamsi, Harland Hutabarat dapat bersinergi dengan paduan suara Cordana dan Nusantara Choir. Salah satu karya yang menawan para pendengar adalah karya Mozart, K.299. Dan seperti biasa beberapa lagu berisikan medley dari lagu-lagu Natal.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Pertunjukan Celebration Concert
Nusantara Symphony Orchestra
(Sumber Foto: www.ciputraartpreneur.com)

Kendati momen tertaut turut merujuk pada hari besar agama tertentu, namun maksud dari perayaan akan agama tertentu turut dihindari. Terlebih tema utama adalah Celebration Concert. Salah satu alasan mengapa konser tersebut memberikan sebuah pengalaman yang mengandung peristiwa adalah kejelasan material musik, tertaut pada tingkah laku masyarakat, serta konsep penggarapan musik tersebut. Makna hari raya natal di malam itu seakan berderu cepat di konser tersebut. Tidak hanya itu, makna akhir tahun turut terasa manis mereka pertunjukan. Buktinya adalah penonton pulang dengan sumeringah dan senang. Mereka seakan tercerahkan dengan alunan musik yang diberikan. Tentu dengan terciptanya nuansa tertentu yang justru terbangun karena satu hal, yakni musik.

6. Kawara Musik No Genteng Ongaku – Gardika Gigih, Welly Hendratmoko, Makoto Nomura, dkk
Sebuah karya eksplorasi musikal atas hasil kerja kolaborasi digelar dengan tajuk Kawaru Musik no Genteng Ongaku di Tembu Rumah budaya. Alih-alih hanya mempergelarkan sebuah presentasi musik hasil kolaborasi, material dari musik pun cukup menarik, yakni genteng. Ya dengan genteng lintas negara, alunan musik mulai diciptakan. Welly dengan basis musik Jawa dan Gigih dengan basis musik Barat-nya berkerjasama membuat harmonisasi dengan para musisi Jepang. Proses lintas budaya ini cukup menarik untuk disaksikan, di mana kita dapat melihat saling silang musikal yang bernegosiasi di tengah alunan. Genteng yang disusun bernada pun membuat alunan semakin otentik. Pertunjukan musik eksplorasi yang menarik.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Suasana Pertunjukan
Kawara Musik No Genteng Ongaku
(Sumber Foto: www.arsip.tembi.net)

Kendati pertunjukan Kawaru Musik No Genteng Ongaku tidak secara terang-terangan menghasilkan nomor musik yang tegas, karena sifatnya adalah eksplorasi, namun penonton yang datang disajikan sebuah peristiwa mendengar lintas budaya, dan peristiwa mendengar alunan harmonisasi yang berbeda. Alhasil pertunjukan ini tidak semata-mata mencari perbedaan dan nyeleneh, melainkan terkonsep dengan baik, mulai dari material, alasan kontekstual, hingga alunan musikal.

5. Retetet Ndona-Ndona – Jay Afrisando
Di tahun 2016, Jay Afrisando menorehkan cukup banyak karya, salah satu karya pertunjukannya adalah Mode[a]rn. Mode[a]rn cukup menyita perhatian, namun saya lebih menyukai karya dan pertunjukannya yang dihelat di awal tahun 2016, Retetet Ndona-Ndona. Kendati dua karya tersebut renta dengan nuansa eksperimental, serta penciptaan mode suara baru, terlebih Jay adalah musisi Jazz yang acap dengan improvisasi, namun karya Retetet Ndona-Ndona [bagi saya], lebih tegas pada ungkapan musikal yang ingin diperdengarkan.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Jay tampil dalam karyanya
Retetet Ndona-Ndona
(Sumber Foto: www.wartajazz.com)

Bermuara dari suara bleyeran motor, maka Jay bersama tim membuat sebuah pertunjukan yang di luar kebiasaan. Yakni menggunakan teknologi dan memerlukan partisipasi penonton di dalamnya. Penonton diajak menggunakan sebuah aplikasi di ponsel pintarnya yang dapat menyuarakan empat macam suara bleyeran. Alhasil ia menyulam suara-suara bleyeran motor layaknya orkestra menjadi sebuah alunan yang dapat diperdengarkan.

Ide Jay sederhana yakni mengartikulasikan bleyeran motor yang kerap mengganggu dan menunjukannya bahwa suara mengganggu tersebut juga bernada. Tidak hanya itu, penonton diajak berpartisipasi aktif dalam pertunjukan. Selain itu Jay turut mempertunjukan alunan bersama tim-nya dan memainkan beberapa alat musik, seperti: piano, bass, drum, vokal, sebagaimana pola yang tercipta dari bleyeran motor. Hasilnya pun cukup menarik, di mana pola tersebut ditautkan dengan improvisasi dalam musik Jazz. Dalam pertunjukan tersebut, kita dapat menangkap makna yang tersirat dengan sisipan nada estetis yang berbeda di tiap alunannya.

4. Konser Menyanyikan Puisi – Ari Reda
Ari Reda bukan layaknya sebuah band yang menyanyikan barisan lagu pop atau genre yang tersohor lainnya. Hanya terdiri dari dua orang, mereka mensinergiskan alunan gitar dengan vokal. Lagu yang dinyanyikan pun cukup menarik disimak, tidak dengan lirik cinta yang menghamba, melainkan mereka menyanyikan puisi. Lantas apa yang menarik dari menyanyikan puisi? Ari Reda dengan memusikalisasikan puisi justru dapat secara artikulatif membangun nuansa dari puisi semakin mendalam.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Konser Pelucuran Album
Menyanyikan Puisi-Ari Reda
(Sumber Foto: www.muda.kompas.id)

Puisi yang kerap kita tahu hanya dibacakan agar semakin kuat dan tegas pada pesan yang ingin disampaikan, justru mereka lagukan dengan sederhana namun berkarakter. Konser Pelucuran Album Menyanyikan Puisi yang turut diwarnai dengan grup Tetangga Pak Gesang, gitaris Jubing Kristianto, dan sastrawan Sapardi Djoko Damono, seakan meninggalkan pesan mendalam. Lirih menjadi sangat lirih, bahagai menjadi teramat bahagia. Sungguh menyajikan sebuah peristiwa bunyi dan menjadikan puisi semakin menawan.

3. Konser Musik Elektronik – FKY
Sebagaimana FKY—Festival Kesenian Yogyakarta—mempertunjukan pelbagai jenis kesenian dalam waktu satu bulan, pada tahun 2016 acara tersebut mempertunjukan konser musik yang tidak biasa. Adalah Konser Musik Elektronik, sebuah konser yang mempertemukan beberapa musisi elektronik yang eksperimental dan menggabungkannya pada sebuah pertunjukan. Alih-alih hanya memainkan secara bergiliran, pertunjukan digarap layaknya orkestra, dengan dirijen yang mengatur segala sesuatunya di depan para musisi.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Poster Pertunjukan
Konser Musik Elektronik FKY
(Sumber Foto: www.infofky.com)

Mengapa pertunjukan ini menjadi sangat menarik, alasannya sederhana, yakni gelaran FKY yang lazimnya mempertunjukan musik tradisi dan pop, justru memberikan sebuah pertunjukan yang ‘nyeleneh’. Terlebih ketika acara berlangsung, kita dapat melihat wajah ibu-ibu atau siapapun yang baru mendengar musik tersebut, melintas dengan heran. Hal lainnya yang menarik adalah, konser ini tetap mempunyai pola bunyi yang dipegang, sehingga musik yang mereka gabungkan tidak serta-merta spontanitas, namun telah dikonsep dengan cukup baik. Alhasil pertunjukan Konser Musik Elektronik tersebut telah memberikan sebuah peristiwa bagi para penontonnya, baik yang menyukai, ataupun sebaliknya, di mana mengembalikan musik pada bunyi. Selanjutnya bunyi-bunyi tadi diatur sebagai sebuah alunan yang ‘menyenangkan’.

2. Konser Tentang Rasa – Frau
Konser Tentang Rasa merupakan konser tunggal dari musisi Indonesia asal Yogyakarta, Frau yang dihelat di Jakarta pada awal tahun 2016. Delapan hingga lima tahun belakangan ini Frau memang mencuri perhatian dengan lagu-lagu ciptaannya. Berbeda dengan para penyanyi perempuan lainnya, Frau menciptakan karya dan menyanyikannya dengan sebuah piano. Pada konser Tentang Rasa di Gedung Kesenian Jakarta yang dihelat Januari 2016, tidak hanya mempertunjukan alunan musik yang indah dengan artistik yang memukai, Frau turut memperhatikan unsur lain di dalam konser, yakni aroma. Di sepanjang konser, pelbagai macam aroma diciptakan pada beberapa lagu tertentu. Sebuah konsep konser yang sangat jarang dilakukan. Namun dengan ide aroma bukan berarti mengesampingkan karya musik yang dimainkan. Tanpa cela, Frau dapat bermain gemilang.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Suasana Konser
Tentang Rasa-Frau
(Sumber Foto: www.nyoozee.com)

Maka nikmat musik mana yang dapat didustakan, dari konser Tentang Rasa, Frau tidak hanya mengajak penonton menjajaki perisitwa auditif dengan beragam alunan musikal, melainkan mengajak penonton memahami lagu dengan kepekaan indera penciumannya, hidung. Sungguh menjadi peristiwa yang sangat menarik untuk bingkai konser di tahun 2016.

1. Konser Dunia Milik Kita – Dialita
Di urutan pertama peristiwa terbaik adalah konser dari paduan suara wanita, bernama Dialita. Dialita adalah paduan suara yang telah dibungkam 51 tahun lamanya oleh kekuasaan. Mereka dipenjarakan tanpa tuduhan hukum yang jelas. Alhasil dengan nyanyian mereka mengekspresikan perasaan mereka, namun apa daya lagu mereka tidak boleh dipertunjukan di sembarang tempat. Mereka menyebutnya sebagai lagu bisu. Lantas pada hari Kesaktian Pancasila, di bawah pohon beringin yang ditanamkan oleh Soekarno di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mereka kembali bernyanyi. Tidak hanya itu mereka turut membuat album atas nama mereka sendiri. Berkerjasama dengan para musisi muda, mulai dari Danto Sisir Tanah, Frau, hingga Cholil Efek Rumah Kaca, lagu mereka digarap kembali dengan musikalitas yang lebih familiar dengan para kaum muda.

10 Peristiwa Musik 2016 - teraSeni.com
Penampilan Ibu-Ibu dalam
Konser Dunia Milik Kita- Dialita
(Sumber Foto: www.kedaikebun.com)

Di panggung tersebut, ibu-ibu berjumlah 17 orang bernyanyi dengan semangat dan suka cita, ditonton sekitar 200 orang, momen konser tersebut berlangsung sangat emosional. Kerap banyak percakapan dari penonton yang merinding mendengar lagu ketika konser berlangsung. Pun dengan para ibu-ibu paduan suara yang kendati telah berumur menyanyikan lagu demi lagunya dengan semangat membara, layaknya tak ada hari esok. Sungguh menjadi sebuah peristiwa pertunjukan terbaik di tahun 2016.

***
Maka bertolak dari sepuluh pergelaran teresebut, kita dapat melihat saling silang konstektual yang tertaut kuat dengan tekstual lagu. Terlebih peristiwa musik di atas tidak hanya menyimpan konseptual musik semata, namun turut menyimpan representasi perilaku serta terpresentasikan pada nada dan bunyi dari pergelarannya masing-masing. Dan dari kesepuluh peristiwa tersebut turut mempunyai muatan yang tidak hanya sekedar menjadi tontonan sambil lalu, pun juga tidak hanya sekedar ‘nyeleneh’ untuk tampil beda, melainkan memberikan gugusan makna dan pengetahuan baru, serta tidak menafikan bahwa tersimpan estetika yang kuat pada alunan di dalam pertunjukannya. Alhasil dari pergelaran musik sebagai sebuah peristiwa, penonton dan penampil bisa sama-sama mendapatkan sebuah pengalaman yang utuh dan menyeluruh. Mari mengalami![]

Referensi: 
Sunardi, St. 2015. “Seni Sebagai Peristiwa (Evakuasi Subyek)”, dalam Jurnal Kalam edisi 27 tahun 2015.
Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

http://www.teraseni.com/2016/12/pertanyaan-tubuh-catatan-workshop-idf.html

Papan Atas: Kritik untuk Dinas Kebudayaan Sumatra Barat

Minggu, 29 Januari 2017 | teraSeni~

Sumatra Barat tidak hanya Padang dan Padang bukanlah representasi tepat untuk Sumatra Barat. Tetapi, persoalan-persoalan kebudayaan di
Sumatra Barat senantiasa diurus oleh “Padang”. Padang dalam hal ini tak
hanya sebagai kota, tetapi juga sebagai “paradigma” kebudayaan.

Sebagai
ibukota provinsi, Padang adalah tempat di mana infrastruktur formal
kebudayaan (seperti Dinas Kebudayaan Sumatra Barat, Taman Budaya Sumatra
Barat, Galeri Lukisan), serta kampus-kampus (Unand, UNP, IAIN Imam
Bonjol, ST-KIP) dan media (Padang Ekspres, Haluan, Singgalang) berada.
Sedangkan Padang sebagai paradigma kebudayaan, sebagai salah satu
konsekuensi dari sentralisasi infrastruktur tersebut, adalah suatu
komposisi pemikiran, konflik, serta pengalaman-pengalaman
berkesenian-berkebudayaan yang secara “spesifik” terjadi di Padang.
Dalam dua “pengertian” ini, Padang terlanjur angkuh untuk menjadi
“representasi” Sumatra Barat.

Daerah-daerah lain
padahal mempunyai “gejala” dan “kebutuhan” tersendiri. Kondisi alam,
komposisi etnik, distribusi wacana, tingkat perekonomian serta
pendidikan, yang berbeda antar satu wilayah dengan wilayah lain, tak
bisa diwakili dengan “pengalaman” di Padang saja. Daerah-daerah lain
memang secara sporadis “menciptakan” kebudayaan sendiri, tetapi tetap
saja dalam wacana kebudayaan berskala Sumatra Barat, terutama yang
berhubungan dengan “tanggung jawab” pemerintah, daerah-daerah tersebut
jarang sekali dipertimbangkan sebagai “partisipan aktif.” Mereka justru
seringkali menjadi “pelaksana pasif” dari apapun yang ditetapkan oleh
“Padang”. Sentralisasi meski melalui sistem “perwakilan” seperti ini,
sudah terlalu lama terjadi di Padang.

Tak hanya itu.
Ada yang tak kalah krusial. Sentralisasi pun terjadi dalam arena
komunitas-komunitas etnis. Minangkabau adalah etnis mayoritas di Sumatra
Barat. Tetapi, wacana kebudayaan di Sumatra Barat pun, dari waktu ke
waktu, cenderung dibicarakan dalam konteks kebudayaan Minangkabau.
Bahkan dalam tahun-tahun belakangan, gagasan kelompok tertentu untuk
diubahnya Sumatra Barat menjadi DIM (Daerah Istimewa Minangkabau) tampak
tak mempertimbangkan keberadaan etnis-etnis lain tersebut. Untung saja
gagasan DIM tersebut bisa dilawan. Tapi, tetap saja, komunitas etnis
lain bisa dikatakan tak diberi tempat “aktif” dalam pembangunan wacana
kebudayaan Sumatra Barat.

Namun begitu, “kerjasama”
lintas etnis di Sumatra Barat bukan berarti tidak ada sama sekali. Meski
secara umum kelompok-kelompok etnis selain Minangkabau melakukan
aktivitas kebudayaan dengan cara sendiri-sendiri, namun, bagaimanapun
juga, tetap ada bentuk-bentuk praktik kultural yang dengan sadar
dilakukan, meski dengan ruang lingkup kecil, tetapi setidaknya masih ada
usaha untuk menciptakan semacam “kebudayaan bersama.” Hanya saja,
sekali lagi, dalam “grand design” kebudayaan Sumatra Barat, wacana
lintas-etnis bisa dikatakan absen.

Meskipun begitu,
“Padang” dan “Minangkabau” tersebut bukanlah “Padang “dan “Minangkabau”
dalam pengertian menyeluruh. Dalam skala Padang itu sendiri, ada begitu
banyak bentuk praktik-praktik kebudayaan. Begitu juga dalam kebudayaan
“Minangkabau” itu sendiri pun ada banyak bentuk-bentuk sub-kultur yang
ada. Tetapi, di tangan beberapa orang, sepetak dari “Padang” yang
sungguh luas dan sesudut dari “Minangkabau” yang bervarian itu, secara
tidak seimbang, direpresentasikan sebagai kebudayaan “Sumatra Barat.”
Dengan kata lain, Sumatra Barat tak hanya direduksi dalam kategori
“Padang” dan “Minangkabau” saja, tetapi “Padang” dan “Minangkabau”
itupun direduksi oleh segelintir pihak belaka.

Segelintir
yang “memegang tampuk” kebudayaan Sumatra Barat tersebut itupun tak
jauh-jauh benar dari sebahagian kalangan akademisi, seniman, dan
budayawan. Artinya, tidak seluruh akademisi, seniman, ataupun budayawan
yang bergiat dalam arena kebudayaan di Sumatra Barat yang secara
partisipatif ikut “memikirkan” jalan kebudayaan ke depan. Otoritas
tersebut, para “pemegang tampuk” kebudayaan itu, memang bersifat tidak
tetap, tersebab selalu ada konflik kepentingan untuk masuk ke dalamnya.
Namun, yang jelas, meski diselipi berbagai praktik “perebutan”, tetap
saja hanya segelintir seniman-budayawan yang berhasil merebut “kuasa”
saja yang diberi peran aktif untuk “membangun” Sumatra Barat melalui
jalur kebudayaan.

Selalu adanya otoritas tertentu,
bahkan di balik layar, untuk menentukan siapa yang pantas ikut dan siapa
yang tidak tentu saja tak sekedar berkaitan dengan persoalan-persoalan
“moral”, seperti nafsu dasar, ambisi kekuasaan, persoalan “proyek”,
dsb., tetapi juga karena adanya “sistim” yang terus memberikan
kesempatan, bahkan melegitimasi, perilaku-perilaku “sentralistik”
seperti itu. “Sistim” itu menggejala dalam kerja-kerja lembaga
pemerintah di bidang kebydayaan selama ini. “Sistim” tersebut sudah
menjadi “lahan” bagi para seniman, budayawan, dan akademisi untuk
“menggelar tikar” tapi disorak-soraikan sebagai “kerja-kerja kebudayaan
kita”. “Sistim” tersebut ada selama ini dan akan terus ada karena “kerja
budaya” tidak mempunyai dimensi “emansipasi”. Padahal, yang dibutuhkan
sekarang, adalah “kerja budaya” untuk “perubahan sosial” dan hanya
dengan begitulah praktik “partisipasi aktif” menjadi logis untuk
dicarikan bentuk kongkritnya. “Kerja budaya” yang kehilangan dimensi
“perubahan sosial” salah satunya akan memproduksi
kesombongan-kesombongan sekaligus sentimen pribadi, kelompok, etnis, dan
sejenisnya.

“Dimana Bumi Diinjak,
Di situ Langit Dijunjung,”
Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.,
(140 x 135 cm, Acrylic, Crayon,
Pencil di atas Kanvas, 2015) 

Kondisi paling mutakhir dapat kita lihat pada 19 Januari 2017 lalu. Di Galeri Lukisan Taman Budaya Sumatra Barat, lebih kurang 100 “tokoh” yang terdiri dari seniman, budayawan, dan akademisi berkumpul dengan Dinas Kebudayaan Sumatra Barat yang baru diresmikan Gubernur Irwan Prayitno pada 27 Desember 2016 lalu. Acara yang diberi nama “Duduak Baropok Tagak Bapusu” tersebut diselenggarakan sebagai usaha Dinas Kebudayaan untuk “menampung” gagasan-gagasan seniman, budayawan, serta akademisi Sumatra Barat sebelum menyusun Rencana Strategis Dinas Kebudayaan Sumatra Barat ke depan.

Salah seorang “budayawan” yang ikut dalam agenda tersebut adalah Darman Moenir. Melalui akun Facebook miliknya (20 Januari 2017) dan tulisannya di Padang Ekspres, Apa Itu ABS-SBK? (23 Januri 2017) Darman Moenir secara harfiah menyebut lebih kurang 100 orang yang hadir dalam agenda tersebut sebagai seniman-budayawan “papan atas.” 100 orang itu dianggap sebagai pihak yang paling representatif dalam memikirkan kebudayaan Sumatra Barat. Artinya, sampai di sini, sudah tercium modus-modus “sentralistik” dalam kerja-kerja kebudayaan di Sumatra Barat ke depan.

Tentu, tak ada maksud untuk mengatakan bahwa 100 seniman-budayawan yang hadir dalam agenda tersebut sebagai pelaku-pelaku yang serupa dengan Darman Moenir. Bahkan ada—meski sedikit—di antaranya yang bekerja diam-diam selama ini di luar program-program pemerintah. Namun, seniman-budayawan yang diproklamirkan Darman Moenir sebagai “papan atas” itu bisa-bisa ikut terseret ke dalam logika yang dipakai dirinya. Jelas, bukan suatu kebetulan bahwa Darman Moenir dengan tepat menyebut agenda pertemuan itu sebagai acara “papan atas” karena memang ada tendensi “papan atas” atau “sentralistik” di dalamnya.

Artikulasi “papan atas” tersebut dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk melihat ancaman-ancaman sentralisasi dalam kerja-kerja kebudayaan ke depan. Pertama, bentuk sentralisasi yang terjadi, 100 orang yang hadir dalam acara tersebut secara umumnya “orang Padang”. Dalam pengertian, mereka lebih cenderung “berproses” di kota Padang daripada di daerah lain di Sumatra Barat. Namun, mereka terlanjur harus menjalankan tanggung jawab untuk memikirkan “Sumatra Barat” secara luas. Maka, tentu saja, bias-bias konflik, pemikiran, serta warisan cara berkesenian-berkebudayaan di kota Padang akan mengisi pikiran-pikiran yang mereka ajukan kepada Dinas Kebudayaan Sumatra Barat. Padang dengan segala “kelebihan” dan “kekurangan” di dalamnya, apakah bisa menjadi suatu bangunan basis untuk membangun “kesadaran kolektif” masyarakat Sumatra Barat di daerah-daerah lain? Bahkan dengan menggunakan “dikotomi” klise seperti darek/pasisia sekalipun, Padang tak akan pernah bisa menjadi metode dalam mengidentifikasi “kebutuhan” daerah lain di Sumatra Barat.

Kedua, tak hanya itu, sentralisasi pun rentan muncul dalam hal “semangat zaman” yang melatarbelakangi 100 tokoh tersebut. Secara umum, pegiat seni-budaya itu adalah generasi pasca-Navis dan pasca-Wisran. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang membangun pemikiran, pengalaman berkesenian, dan keterlibatan konflik dalam iklim seni-budaya pada rentang dekade 1960-an sampai 1990-an. Dengan pengalaman tumbuh di “semangat zaman” generasi tersebutlah “Rencana Strategis” kebudayaan di Sumatra Barat digantungkan. Apakah generasi-generasi tersebut memahami gejala-gejala kultural, konflik-konflik, serta kecendrungan paradigma kebudayaan generasi 2000-an? Apakah generasi 2000an belum bisa menjadi “partisipan” penting di dunia kebudayaan saat sekarang? “Masalah-masalah spesifik” generasi lebih akhir, 2000-an, tetap tak bisa diwakili oleh generasi manapun, meskipun oleh generasi paling dekat dengannya, apalagi oleh generasi-generasi sebelum itu. Dengan kata lain, bias-bias “semangat zaman” generasi terdahulu jelas-jelas sangat berpotensi dalam mereduksi masalah-masalah kebudayaan kontemporer. Apalagi, dalam lika-liku kebudayaan di Sumatra Barat selama ini, para generasi terdahulu cenderung berpikiran seakan-akan “waktu terhenti di zaman mereka”. Bahkan, generasi yang banyak mengidap penyakit akut “post power syndrome”, terutama generasi 60an – 80an, adalah generasi tidak cukup “rendah hati” untuk mau memahami dengan baik gejala-gejala kebudayaan kontemporer termasuk modus-modus baru dalam penciptaan karya seni.

Dalam kerja kebudayaan ke depan, kita tak ingin lagi dilanda kasus-kasus yang dibuat oleh “budayawan Orde Baru” seperti sebelumnya, untuk menyebutkan beberapa contoh, seperti kasus ketidakjelasan Dewan Kesenian Sumatra Barat (DSKB) di masa Harris Efendi Thahar, atau kasus arogansi nama besar “tak ada novel berkualitas dalam 30 tahun terakhir” ala Darman Moenir, atau kasus anti-intelektual berupa pencekalan karya perupa Alberto di acara Sumatra Biennale I, atau kasus “bagi-bagi kue” di Padang Arts Festival II lalu, atau kasus penggunaan uang rakyat tanpa pertanggungjawaban dalam agenda Anugrah Literasi Minangkabau (ALM) dan Penerbitan 20 Buku untuk Penulis, dan seterusnya.

Selanjutnya, ketiga, pola Minangkabau-sentris turut mewarnai agenda tersebut. Tak dapat dipungkiri tokoh “papan atas” yang dilabeli oleh Darman Moenir itu merupakan bagian dari kelompok etnis Minangkabau, meskipun dengan “varian” yang berbeda-beda. Atau kalaupun ada beberapa tokoh di dalamnya yang selama ini kerja-kerja kebudayaannya tak terpusat pada “masalah-masalah” kebudayaan Minangkabau saja, mereka hanya bagian kecil dari 100 tokoh tersebut. Dengan kata lain, komposisi utama dari tokoh-tokoh tersebut adalah orang-orang yang memandang kebudayaan di Sumatra Barat sebagai kebudayaan Minangkabau. Bagaimana dengan keberadaan komunitas etnis Mentawai, Tionghoa, India, Jawa, Sunda, misalnya? Bagaimana mungkin kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, atau masalah-masalah yang biasa dihadapi komunitas etnis Minangkabau bisa menjadi tolak-ukur dalam merencanakan kerja-kerja kebudayaan Sumatra Barat ke depan?

Dalam kenyataannya, program-program kebudayaan yang diselenggarakan di fasilitas kebudayaan Sumatra Barat nyaris tak pernah dimanfaatkan oleh kelompok etnis di luar kebudayan Minangkabau, meski tak seluruh varian kebudayaan Minangkabau pun yang mendapat tempat. Pada dasarnya, kelompok etnis-etnis lain cenderung menjalankan kebudayaannya, termasuk perayaan-perayaan kultur mereka sendiri, dalam teritorial tertentu saja, meskipun konflik-konflik antar etnis jarang sekali terdengar di wilayah Sumatra Barat dan kehidupan sosial lintas etnis “relatif aman”.

Apakah kondisi di atas adalah kasus spesifik di Sumatra Barat? Tentu saja tidak sepenuhnya. Sebab kondisi tersebut tak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas di Indonesia. Cara pandang pendahulu kita, seperti pada dekade awal abad 20 lalu, yang mengatakan kebudayaan Indonesia sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah” adalah salah satu embrionya. Cara pandang tersebutlah yang dipakai pada era 1970-an oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, sebagai legitimasi untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat sekaligus etalase kebudayaan-kebudayaan daerah di Indonesia, atau dalam bahasa Ali Sadikin sendiri, “daerah adalah sumur yang harus kita gali dan hasil-hasil terbaik dari daerah kita bawa ke Jakarta.” Atau contoh paling lumrah: TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sebagai miniatur paling “vulgar” dari cara pandang tersebut. Ini adalah gejala “papan atas” yang paling kentara dari abad sebelumnya dengan Jakarta sebagai contoh kasus.

Kebudayaan daerah dalam satu provinsi diambil perwakilannya yang “papan atas” untuk menjadi representasi di TMII. Ketika provinsi hanya dibagi menjadi 27 provinsi, sebagai contoh, maka itu seakan-akan menjadi perhitungan ada 27 model kebudayaan di Indonesia. Permasalahannya kemudian adalah ketika sebuah provinsi tak satupun yang terdiri dari satu varian etnik saja, sehingga terjadi ketidakadilan representasi disebabkan banyaknya sub-sub dari kebudayaan itu sendiri. (Seperti di Sumatra Barat misalnya yang diwakili oleh bentuk Rumah Gadang tipe Bagonjong. Padahal, ada banyak tipe rumah gadang di Minangkabau, tetapi mengapa yang bagonjong dan bukan yang tipe tungkuih nasi atau kajangpadati yang dipilih? Persoalan serupa pun juga terjadi di provinsi lain).

Dengan kata lain, kehadiran kebudayaan-kebudayaan daerah hanya sebagai “pelaksana pasif” dari ambisi untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat kebudayaan di Indonesia. Dan itu pula memang yang menjadi salah satu alasan yang kemudian mendorong terjadinya “perlawanan” terhadap “Jakarta,” termasuk dalam ranah kebudayaan. Tapi “perlawanan” tersebut cenderung “berkaki kecil”. Bahkan, ironisnya, seberapapun “orang daerah” mengkritik Jakartasentris, tapi pada kenyataannya, praktik-praktik yang dilakukan Jakarta pun turut dilakukan oleh “orang daerah” itu sendiri dalam skala kecil terhadap masyarakatnya sendiri.

Dalam hal ini, apa yang terjadi di Sumatra Barat, melalui agenda Dinas Kebudayaan tersebut, hanyalah variasi lain dari metode kerja kebudayaan yang sudah bertahun-tahun dilakukan di Jakarta. Dan, melalui kebanggaan “papan atas” itu, Darman Moenir semakin menegaskan kondisi itu. Tentu lebih kurang 99 orang lagi tak semuanya yang sepakat dengan cara berpikir Darman Moenir. Masalah utama memang tak berasal dari tokoh-tokoh tersebut. Bagaimanapun juga, komposisi tokoh tersebut hanyalah hasil undangan Dinas Kebudayaan. Artinya, kritik pentingnya sekarang justru kepada Dinas Kebudayaan sebagai tuan rumah.

Dinas Kebudayaan Sumatra Barat memang sudah berusaha mengajak seniman, budayawan, dan akademisi untuk mengambil bagian dari penyusunan rencana kerja kebudayaan kita ke depan. Bahkan usaha Taufik Efendi sebagai Kepala Dinas patut diapresiasi, karena bagaimanapun juga, di tengah berbagai konflik kepentingan antar seniman, budayawan, dan akademisi di Sumatra Barat hari ini, mengumpulkan lebih kurang 100 orang adalah kerja yang tidak mudah. Namun begitu, usaha tersebut tetap harus harus dikritik karena kentalnya tendensi “sentralisitik” di dalam agenda itu sendiri sebagaimana yang dibahas sebelum ini.

Oleh sebab itu, Dinas Kebudayaan mesti merombak cara kerja yang dipakai pada agenda pertama lalu. “Sistim” yang menggurita dalam lembaga pemerintah harus segera dibersihkan, tak hanya dari segi aturan-aturan formal tetapi juga cara pandang Kepala Dinas situ sendiri. Sumatra Barat tidak bisa lagi terus-terusan “diwakilkan” sebagai “Padang” dan “Minangkabau” saja. Begitu juga “Padang” dan “Minangkabau” itu sendiri, tak bisa dilihat hanya melalui kecendrungan pemikiran-pengalaman generasi 60-90 yang justru didominasi oleh generasi 70-80 saja. Kalau Dinas Kebudayaan masih bersikeras memakai model-model “papan atas” tersebut, maka kerja-kerja kebudayaan di Sumatra Barat, kalaupun ada semacam “dialektika” hanya akan diisi oleh gaya-gaya konflik generasi terdahulu, yang seringkali tampak kekanak-kanakan bila konflik itu terjadi pada “rekan seangkatan”, dan berbau premanisme bila konflik terjadi pada persoalan “paruiak bareh seniman proyek”, serta kental aroma “feodal”.bila konflik itu itu sudah terjadi pada “lintas-generasi”.

“Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu,”
 Lukisan Karya Yulfa Japank H.S.,
(50 x 50 cm, Acrylic, Crayon,
Pencil di atas Kanvas, 2015) 

Sekarang ini, sebagai akibat dari modus “papan atas” yang menjadi alas-pijak kerja-kerja kebudayaan di Sumatra Barat selama bertahun-tahun ini, kita melihat banyak munculnya “komunitas” seni yang pada sisi tertentu dapat dibaca sebagai reaksi terhadap dikuasainya “pusat-pusat” kebudayaan oleh pihak tertentu, meski di sisi lain “komunitas” tersebut tidak sepenuhnya “terpisah” dari tanggung jawab pemerintah. Tentu sebenarnya merebaknya komunitas seni bisa menjadi pertanda baik bagi geliat berkesenian dan kerja budaya di Sumatra Barat, tetapi sayangnya sebagian besar “komunitas” tersebut tidak sepenuhnya menjalankan fungsi kesenian ataupun kebudayaan, apalagi fungsi “politik kebudayaan”, karena dengan suatu dan lain cara, kehadiran “komunitas” tersebut cenderung terjebak oleh logika “identitas” daripada logika “kerja-sama” dalam suatu visi kebudayaan yang dibangun dengan kesadaran kolektif, apalagi “emansipatif”. Artinya, kehadiran suatu “komunitas” seni seringkali didasarkan pada “sentimen murahan” terhadap suatu komunitas sehingga ketika “komunitas” tumbuh semakin banyak, yang terjadi bukannya semakin semaraknya arena kebudayaan dengan keberbagaian tawaran-tawaran percobaan kerja budaya, tetapi malah semakin menggejalanya komunitas-komunitas tersebut menjadi lebih tertutup, bahkan cenderung menjadi “tempurung”. Dengan kata lain, berkesenian sudah dikerdilkan menjadi persoalan “galeh surang-surang” sehingga dimensi “perubahan sosial” semakin tenggelam. Maka, tak heran, bila salah satu fenomena yang terjadi darinya adalah kritik atas kondisi itu akan cenderung dianggap naïf, sebuah “pembunuhan karakter” bahkan dianggap mengganggu “pariuak bareh”.

Agenda “Duduak Baropok Tagak Bapusu” lalu pun tentu tak akan terlepas dari bias-bias konflik antar pegiat seni-budaya di kota Padang. Karena sedari awal agenda tersebut sudah menunjukkan karakteristik “papan atas”, maka tak dapat dihindari bahwa agenda itu pun dapat memunculkan usaha-usaha membuat “agenda” serupa oleh pegiat seni-budaya yang merasa tidak menjadi bagian dari rencana Dinas Kebudayaan ke depan.

Tentu tak salah bila keterbatasan suatu lembaga diperbaiki oleh lembaga lain. Bahkan semakin ramainya eksperimen-eksperimen yang dilakukan pegiat budaya, baik secara formal atau tidak, untuk melakukan kerja-kerja budaya malah semakin baik bagi dinamika perubahan sosial dalam kerangka yang lebih luas. Bagaimanapun juga, untuk saat itu, pola hubungan tarik-menarik antara lembaga formal, informal, dan non-formal, masih diperlukan.

Namun masalahnya, dalam konteks di Sumatra Barat, “episodenya” belum sampai benar pada tahap itu, sebab ada masalah-masalah “spesifik” yang harus diperbaiki terlebih dahulu. Bahkan, gagasan “kerja budaya” sebagai “perubahan sosial” masih perlu diatur strategi untuk merealisasikannya. Kita masih saja membersihkan kerja-kerja budaya dari perilaku-perilaku “asal bikin tandingan” yang justru kebanyakan tidak menawarkan gagasan baru, bahkan jauh lebih buruk.

Tentu saja tak semua orang mesti mempunyai gagasan kebudayaan yang persis sama. Perbedaan cara pandang justru yang akan terus menggerakkan arena kebudayaan kita. Hanya saja, logika yang sering terjadi dalam konflik-konflik di kota Padang tersebut, yang kemudian hanya menghasilkan “asal bikin tandingan” di mana-mana itu, adalah logika-logika “pembagian kue” yang dibungkus retorika seni-budaya, di mana persoalan “berteman” atau “bermusuhan” adalah persoalan dapat atau tidaknya pembagian jatah, tapi diartikulasikan dengan “ketidaksesuaian” selera estetik. Paling tidak, dari mulai generasi Darman Moenir, sering terjebak pada logika “pembagian kue” ini, meskipun gejala serupa sudah tampak pula pada generasi hari ini.
Dengan kata lain, berkaitan dengan agenda Dinas Kebudayaan lalu, pola “sentralisitik” atau “papan atas” yang dipakai itu cenderung hanya mereproduksi konflik-konflik lama yang kekanak-kanakan itu, dan tentu saja masih jauh dari usaha yang memicu kerja-kerja produktif, apalagi “perubahan sosial”.

Namun begitu, kondisi-kondisi tersebut hanyalah sebahagian kecil dari persoalan yang lebih kompleks dalam arena kebudayaan saat ini. Tapi, setidaknya, kondisi tersebut dapat menjadi contoh paling mutakhir dari akibat modus “papan atas”, “perwakilan”, atau apapun namanya, dalam kerja-kerja kebudayaan antara seniman-budayawan-akademisi dan pemerintah. Dengan kata lain, selagi masih begitu awal, Dinas Kebudayaan tak ada salahnya untuk merancang metode baru dalam menyusun, membuat, dan menjalankan agenda kebudayaan di Sumatra Barat. Dinas Kebudayaan harus berada pada jalan “kerja budaya” sebagai “perubahan sosial” dengan partisipasi aktif setiap elemen kebudayaan itu sendiri, dan tak cukup hanya dengan “kerja budaya” untuk “kepentingan budaya” dengan pola “sentralistik” dan “perwakilan” seperti itu saja. Kalau tidak begitu, seminimalnya, Dinas Kebudayaan Sumatra Barat akan bernasib sama atau mungkin lebih buruk, dari lembaga-lembaga seperti Pusda Sumatra Barat atau Balai Bahasa Sumatra Barat, yang pada level tertentu, serta waktu tertentu, “dikendalikan” oleh oknum seniman-budayawan yang menjadikan program-program masyarakat sebagai “sawah-ladang” dan “panggung” pribadi/sekelompok orang tanpa pertanggungjawaban sama sekali, baik secara moral ataupun intelektual, lalu terjadi lagi konflik kepentingan, begitu seterusnya, dan orang-orangnya saja yang bertukar, generasinya saja yang berubah, tapi “mental asal dapat proyek” masih sama.

Festival Sebagai Ruang Aktualisasi Diri: Menonton Penonton Pasar Keroncong Kotagede 2016

Jumat, 20 Januari 2017 | teraSeni.com~

In the last decade of the twentieth century in particular, all continents not only witnessed a surge in the number of annual festivals, but also a diversification in the types of festival that became a mainstay of cultural calendars, as well as diversification in local and global festival audiences. As an increasingly popular means through which citizens consume and experience culture, festivals have also become an economically attractive way of packaging and selling cultural performance and generating tourism.

(Picard & Robinson, via. Bennet, 2006: 1)

Meningkatnya kompleksitas kehidupan di masa kini membuat masyarakat semakin terkurung dalam kegiatan rutin, yang bagi kebanyakan orang tentunya menjenuhkan dan membosankan. Tentunya cara mengatasi kejenuhan yang dialami setiap orang berbeda-beda. Salah satu dari sekian banyak cara untuk menghilangkan kejenuhan dari rutinitas yang sama itu adalah dengan mengunjungi festival-festival yang ada di berbagai tempat. Kini, festival bukan lagi hanya peristiwa mengapresiasi suatu bentuk pertunjukan seni tertentu, namun juga merupakan tempat untuk mengaktualisasikan diri, yang dilakukan secara individu maupun secara kolektif.

Saat ini berbagai kota di seluruh Indonesia memiliki agenda festival yang terjadwal setiap tahunnya. Masyarakat dengan mudah dapat mengakses info tentang festival itu melalui berbagai macam media cetak dan elektronik. Banyaknya festival yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia merupakan suatu kemajuan yang positif, karena melalui festival-festival itu, masyarakat dapat mengalami dan merasakan langsung dampak yang diberikan dari festival, baik itu dampak terhadap bidang ekonomi, maupun sosial dan politik.

Suasana Pengunjung
di Pasar Keroncong Kotagede 2016

Jenis festival pun semakin beragam, menawarkan pelbagai hal kepada pengunjung, mulai dari materi pertunjukan hingga kemasan artistik yang disajikan. Ros Derrett (2009) bahkan mengatakan bahwa festival memiliki peranan penting dalam kehidupan kebudayaan dari masyarakat masakini, karena festival muncul dari budaya lokal masyarakat tertentu yang mengizinkan masyarakat dan pengunjung untuk saling berinteraksi melalui apa yang mereka ciptakan dalam festival.
Dari berbagai macam fasilitas atau layanan yang diberikan oleh penyelenggara festival untuk memberikan sajian menarik bagi para pengunjung salah satunya adalah dengan membuatkan tampilan dekoratif yang menarik di beberapa tempat sehingga bisa digunakan sebagai tempat untuk berfoto oleh pengunjung. Hal ini tentunya menjadi bagian dari strategi penyelenggara festival untuk membuat pengunjung lebih tertarik datang ke festival dan menghabiskan waktu bersama keluarga ataupun teman. Sehingga, pengunjung menjadikan festival bukan hanya untuk menonton suatu pertunjukan seni tapi kemudian festival juga dijadikan sebagai tempat bermain dan menjadi bagian dari aktifitas yang memang diperlukan untuk sekedar mengalihkan perhatian dari rutinitas yang menjenuhkan.

Pengunjung Festival dan Aktifitasnya
Memasuki penghujung tahun 2016 pada tanggal 3 Desember, sebuah festival yang berjudul Pasar Keroncong Kotagede digelar di Kotagede, Yogyakarta. Selain  menampilkan grup orkes keroncong dari berbagai kota di pulau jawa, pada tahun kedua ini Pasar Keroncong Kotagede juga menampilkan beberapa penyanyi kondang lintas genre, seperti genre music jazz dan balada. Festival ini menggunakan tiga panggung utama yang didirikan pada tempat yang berbeda, untuk menyaksikan pertunjukan dari satu penampil ke penampil lainnya, pengunjung harus rela berjalan kaki.

Salah satu penampilan
di Pasar Keroncong Kotagede 2016

Pasar Keroncong Kotagede kali kedua ini dimulai dari selepas sore hingga sebelum larut malam. Konsep yang ditawarkan Pasar Keroncong Kotagede kali ini berbeda dari tahun sebelumnya sehingga memiliki daya Tarik tersendiri bagi masyarakat diluar Kotagede untuk datang dan menikmati festival ini, bahkan pengujung terus berdatangan sampai festival ini berakhir.
        
Salah satu yang menjadi daya tarik dari festival ini adalah banyaknya tempat atau ruang yang disiapkan oleh pihak penyelenggara festival untuk pengunjung bisa berfoto mengabadikan peristiwa. Dekorasi-dekorasi menarik yang dihadirkan membuat pengunjung tidak ingin kehilangan momentum peristiwa dari Pasar Keroncong Kotagede. Bagi sebahagian pengunjung, terutama generasi muda, merupakan suatu kesempatan untuk bisa berfoto selfie ditempat yang telah disediakan. Tidak sedikit dari pengunjung yang datang pada saat itu untuk melakukan selfie, baik secara perseorangan, berpasangan dan juga bersama kelompok rombongan. Aktifitas selfie ini sangat mudah dilakukan, umumnya menggunakan kamera telepon selular yang saat ini bisa dikatakan hampir semua orang memilikinya.

Salah satu dekorasi
yang menarik perhatian Pengunjung 
di Pasar Keroncong Kotagede 2016

Bagi kebanyakan orang, berfoto memang merupakan aktifitas yang menyenangkan, apalagi jika dilakukan bersama orang-orang terdekat seperti pasangan ataupun teman. Keceriaan yang ditimbulkan dari aktifitas berfoto ini sesaat bisa menghilang kejenuhan rutinitas yang dilalui pada hari-hari biasa. Tentu semakin menarik apabila aktifitas berfoto ini dilakukan ditempat-tempat menarik seperti pada saat festival yang mana agenda penyelenggaraan festival biasanya digelar tahunan. Setiap tahun, walaupun pada tempat yang sama digelarnya festival, tentu konsep artistik dekorasi pun akan tidak sama.

Berfoto, dalam hal ini adalah akititas selfie, memang menjadi aktifitas budaya populer dari masyarakat global di abad 21 ini. Storey (2006) mendefenisikan “Budaya Pop” sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah memutuskan sebuah budaya lain yang dapat kita sebut sebagai “budaya luhur. Aktifitas selfie ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan anak muda saja bahkan beberapa tahun lalu pejabat negara pun pernah melakukan aktifitas ini dan hasil fotonya pun tersebar luas melalui media massa. Marcy J. Dinius (2015) mengatakan dalam artikelnya bahwa sejarah mencatat aktifitas selfie – aktifitas memfoto atau memotret diri sendiri – sudah dilakukan jauh sebelum ditemukannya ponsel selular. Orang yang melalukan hal ini pertama kali adalah Robert Cornelius, ia mencoba eksperimen selfie ini pada tahun 1839.

Di era teknologi yang semakin modern seperti saat sekarang ini, aktifitas selfie jauh lebih mudah untuk dilakukan, cukup dengan memiliki sebuah ponsel selular (smartphone) aktifitas selfie bisa dilalukan dimana saja. Selfie saat ini seperti budaya populer baru yang mengglobal. Hal ini terjadi karena sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, melalui teknologi para pemilik perusahaan-perusahan besar dunia dengan mudah dapat menciptakan budaya baru yang “seragam”. Para pemilik modal melalui pasar yang dibentuknya sangat mudah tentunya menyebarkan budaya yang diinginkannya, dalam konteks ini teori difusi (persebaran) masih sangat relevan untuk melihat fenomena selfie sebagai bentuk budaya populer baru yang mengglobal. Di era serba digital ini, alat telekomonunikasi dan media massa yang kemudian sangat berperan dalam menyebarkan dan membentuk budaya-budaya baru.
 
Konsep lain yang diberikan oleh penyelenggara Pasar Keroncong Kotagede adalah dengan mengadakan lomba foto bagi pengunjung, hadiah yang diberikan pun cukup membuat pengujung tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam lomba foto ini. Penyelenggara tidak membuat persyaratan yang cukup sulit, hanya dengan memasukan foto-foto tersebut kedalam jaringan sosial media seperti Instagram, kemudian penyelenggara menentukan pemenangnya. Secara teknis lomba foto ini cukup mudah untuk diikuti, sehingga memotivasi pengunjung untuk berfoto sebanyak mungkin dengan harapan bisa mendapatkan hadiah, tentu aktifitas memotret tersebut selain untuk mengikuti lomba foto yang diadakan, aktifitas tersebut juga dilakukan untuk mengabadikan moment selama berada di festival tersebut.

Perilaku Pengunjung Festival
Usaha yang dilakukan oleh pihak penyelenggara Pasar Keroncong Kotagede 2016 untuk memberikan yang terbaik bagi pengunjung festival tampaknya sangat maksimal. Grup orkes keroncong yang didatangkan dari berbagai kota, plus penyanyi-penyanyi kondang dari berbagai lintas genre. Hal itu masih ditambah pula dengan menyediakan beberapa tempat di kawasan pasar Kotagede yang sengaja disetting dengan sangat dekoratif, merchandise menarik yang dijual dengan harga terjangkau, kemudian ditambah dengan adanya lomba foto yang peserta lombanya bisa diikuti oleh siapa saja bagi mereka yang datang ke festival.

Namun yang menjadi perhatian menarik dari semua itu ialah kenyataan bahwa tidak semua pengunjung datang ke festival untuk menonton pertunjukan musik yang ditampilkan. Banyak dari pengunjung yang datang hanya untuk berfoto dan mengabadikan pertunjukan dengan cara memotret grup orkes keroncong yang tampil, terlebih dengan adanya lomba foto yang diadakan oleh pihak penyelenggara festival.

Dekorasi yang paling diminati
sebagai tempat berfotoi oleh pengunjung 
di Pasar Keroncong Kotagede 2016

Tentu saja, menghadiri dan menikmati festival dengan cara mengabadikan moment dengan berfoto-foto merupakan salah satu cara melepaskan rasa jenuh dari rutinitas sehari-hari. Tapi kemudian muncul pertanyaan apakah pengunjung yang datang hanya untuk menikmati suasana festival dengan cara berfoto bahkan kalau boleh dikatakan datang hanya untuk mengikuti lomba foto yang diadakan tanpa harus menonton dan mengapresiasi seluruh pertunjukan yang ada dapat dikatakan apresian festival?

Jika hal ini benar terjadi, artinya pengunjung hanya tertarik terhadap bentuk lain dari apa yang ditawarkan oleh festival tersebut seperti lomba foto, dan menonton pertunjukan tidak menjadi alasan utama untuk menghadiri festival itu. Terlebih lagi bahwa jenis musik keroncong selalu diasumsikan jenis musik yang digemari generasi tua saja, walaupun pada kenyataannya asumsi ini bisa dikatakan tidak benar setelah melihat apa yang ditampilkan pada perhelatan Pasar Keroncong Kotagede lalu.

Salah satu bentuk dekorasi
yang digunakan sebagai Photobooth
di Pasar Keroncong Kotagede 2016

Berdasarkan fenomena yang terjadi pada festival Pasar Keroncong Kotagede, apa yang dikatakan oleh Jo Mackellar cukup bisa menjelaskan tentang perilaku pengunjung Pasar Keroncong Kotagede, dalam hal ini Jo Mackellar (2014) menggunakan kata partisipan sebagai kata ganti pengunjung, dia mengatakan bahwa partisipan serius (pengunjung) datang ke suatu event khusus yang menarik untuk mencari tantangan baru dalam berbagai aktifitas dan perlombaan.

Merunut pada apa yang dikatakan oleh Mackellar diatas, tentu sebahagian dari pengunjung – walaupun tidak bisa dikatakan semuanya – festival Pasar Keroncong Kotagede tergolong sebagai pengunjung yang berperilaku serius yang datang untuk mencari kesenangan dan tantangan baru dalam berbagai aktifitas dan perlombaan. Jika dikatakan aktifitas ini merupakan bagian dari salah satu cara untuk melepaskan kejenuhan dari rutinitas harian, tentu hal ini juga merupakan solusi yang bisa lakukan pada saat itu.

Tak bisa dipungkiri, memang banyak orang datang mengunjungi festival dengan berbagai alasan dan motivasi yang berbeda-beda. Festival sebagai salah satu aktitas kebudayaan, didalam agendanya juga membentuk “budaya sendiri”, yang bisa diproduksi dengan berbagai cara. Lomba foto yang diadakan oleh Pasar Keroncong Kotagede juga membantu membentuk budaya selfie semakin populer ditengah masyarakat kita saat ini, walaupun sebenarnya budaya memotret diri sendiri (selfie) ini di Indonesia pun juga sudah telah lama ada, paling tidak beberapa tahun belakangan ini.

Lalu aktifitas selfie ini menimbulkan pertanyaan lain, mengapa orang senang berfoto di festival? Udo Merkel (2015) menjelaskan bahwa setiap festival dan event menciptakan dan menawarkan nilai-nilai khusus, yang membantu setiap individu-individu dan masyarakat atau komunitas untuk membuat pengertian tentang siapa mereka. Wacana yang diajukan Merkel itu kiranya cukup menjelaskan bahwa saat ini festival merupakan sebagai penanda kekinian, dan bagi pengunjung berfoto adalah upaya mengindentifikasi diri sebagai orang masa kini.

Setiap penyelenggara festival memang memiliki strategi yang berbeda untuk bisa mendatangkan pengunjung pada festival yang diselenggarakannya. Mengadakan lomba foto pun merupakan salah satu cara untuk mengundang pengunjung datang langsung ke lokasi festival. Dalam konteks ini, mengadakan lomba foto dalam disaat festival sedang berlangsung tentu tidak ada salahnya, pengunjung pun bisa memilih aktifitas apa yang ingin mereka lakukan saat berada dilokasi festival.

Tapi kemudian, jika pengunjung lebih tertarik untuk mengikuti aktifitas lain dari pada hadir untuk menonton sajian pertunjukan yang ada, bagi penyelenggara festival hal ini mungkin perlu dipertimbangkan lagi, karena akan menjadi tidak maksimal jika pengunjung datang hanya untuk mengikuti aktiftas lain sementara agenda inti dari festival seperti menyaksikan penampilan dari berbagai grup musik yang didatangkan kurang menarik perhatian, pertunjukan bukan lagi sebagai agenda utama dari sebuah festival musik.

Festival dan Budaya Selfie
Menurut Sejarah, festival telah menjadi bagian bentuk terpenting dari partisipasi sosial dan kebudayaan. Seperti dikatakan Andy Bennett (2014) festival menyampaikan dan membagikan nilai-nilai, ideologi, mitologi dan pada cara pandang yang baru bagi komunitas lokal tertentu. Pasar Keroncong Kotagede sebagai sebuah festival musik juga memiliki peranan dalam membangun dan membentuk kebudayaan. Didukung oleh teknologi yang modern, persebaran bentuk budaya baru akan sangat cepat tersebar, terutama dengan menggunakan perangkat telekomunikasi dan media massa.

Aktifitas memotret diri sendiri atau yang saat ini sudah lazim disebut dengan istilah selfie, merupakan suatu bentuk budaya populer baru yang mengglobal, karena isitilah selfie ini sangat populer bahkan pada tahun 2013 Oxford Dictionaries (kamus Bahasa Inggris) memasukan kata selfie kedalam susunannya berdasarkan pertimbangan sebagai kata yang sering digunakan untuk memotret diri sendiri.
    
Bisa dikatakan saat ini disetiap agenda festival-festival yang diselenggarakan, aktifitas selfie ini tidak pernah lupa untuk dilakukan, baik dilakukan secara perorangan, berpasangan, maupun berkelompok. Penyelenggara festival bahkan juga terkadang selalu menyiapkan tempat khusus di mana para pangunjungnya bisa berselfie untuk mengabadikan peristiwa. Aktifitas selfie saat ini seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan pada saat festival. Ditengah kesibukan dan tuntutan hidup yang semakin padat dan banyak, mengujungi festival untuk melepaskan kejenuhan dari rutinitas harian tentu bisa juga dijadikan salah satu alternatif pilihan.