Pilih Laman
Alek Mandeh 2024: Menggantang Ambang, Matrilineal Minangkabau di Persimpangan Waktu

Alek Mandeh 2024: Menggantang Ambang, Matrilineal Minangkabau di Persimpangan Waktu

Berangkat dari keresahan bersama atas pertanyaan-pertanyaan reflektif atas kehidupan keminangkabauan kita hari ini. Pertama, misalnya, bagaimana kita melihat lalu memaknai kehidupan kita hari ini dalam kerangka Minangkabau? Dari tataran konsep, hingga kemudian penerapannya dalam kehidupan di kampung-kampung, nagari-nagari di Minangkabau. Atau yang kedua, adakah kita masih berpijak pada konsep-konsep tersebut? Atau jangan-jangan kita telah serba mengambang kian kemari. Tergenang-genang namun tak mengalir.

Atas dasar itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung dengan dukungan dari Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM) dan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumatera Barat kembali akan menggelar Alek Mandeh: Festival Budaya Matrilineal tahun 2024. Festival budaya ini akan digelar selama tiga hari, dari tanggal 3 sampai dengan 5 Desember 2024, bertempat di Perkampungan Adat Nagari Sijunjung di Jorong Padang Ranah, Kanagarian Sijunjung, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung.

Tak tanggung-tanggung, tema pelaksanaan Alek Mandeh tahun 2024 ini adalah “Menggantang Ambang: Matrilineal Minangkabau di Persimpangan Waktu.” Tema ini mencoba membidik, sebuah upaya bersama untuk berhitung terhadap kemungkinan kemungkinan untuk mempertahankan dan sebaliknya mengembangkan nilai-nilai budaya matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat. Nilai-nilai budaya yang sebetulnya tidak saja perlu dihidupi namun juga pada saat yang sama menjadi nilai-nilai yang menjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya.

Dari konsep berpikir di atas, maka, kegiatan Alek Mandeh: Festival Budaya Matrilineal 2024 akan diturunkan ke dalam berbagai bentuk kegiatan. Pertama sekali akan dibuka dengan pertunjukan budaya Arak Iriang Bakaua Adat yang melibatkan kurang lebih 200 orang, terdiri atas Bundo Kanduang dan Naniak Mamak dari Nagari  Sijunjuang. Kemudian, selain pertunjukan budaya juga akan ada kegiatan pentas atau pertunjukan seni, pameran rupa dan petrunjukan interaktif, pentas musik Pop Minang, pemutaran film bertajuk layar matrilineal dan klinik kritik pertunjukan dan budaya.

Pentas seni dalam Alek Mandeh 2024 akan menampilkan tiga nomor karya dengan fokus pada potret ‘ambang’ Matrilineal Minangkabau. Nomor pertama adalah karya tari bertajuk Rantak Nagari Parampuan dengan koreografer Susas Rita Loravianti. Selanjutnya satu nomor pertunjukan Teater Berbahasa Minang karya sutradara Fitri Noveri berjudul Renteng Langsai. Adapun yang ketiga, satu nomor seni rupa pertunjukan hasil kolaborasi tiga orang perempuan seniman muda yakninya Maharani Mancanagara, Haiza Putti, dan Siska Aprisia, berjudul Rundiang Si Kalingkiang. Adapun pentas musik Pop Minang tahun ini akan menampilkan Adiem MF dan Ratu Sikumbang. Selain itu, juga akan ada pertunjukan dari sekolah-sekolah di Kabupaten Sijunjung.

Dokumentasi Pertunjukan Alek Mandeh tahun 2023

Dokumentasi pertunjukan Alek Mandeh 2023

Kegiatan klinik kritik pertunjukan dan budaya akan diisi oleh Dr. Sal Murgiyanto, Dr. Feriyal Aslam dan Thendra BP. Kegiatan klinik kritik ini akan diikuti oleh 12 orang penulis dari berbagai daerah di Sumatera Barat, yang juga akan diisi dengan pertunjukan spesial Baombai dari komunitas seni Gantiang Tak Putuih, Sijunjung. Kegiatan ini diharapkan dapat memancing lahirnya berbagai esai kebudayaan atau kritik pertunjukan yang menjadikan wacana matrilineal Minangkabau sebagai topiknya.

Bupati terpilih Sijunjung, Benny Dwifa Yuswir dalam sambutan tertulisnya menyampaikan bahwa pelaksanaan Alek Mandeh: Festival Budaya Matrilineal 2024 merupakan bukti dari komitmen Pemkab Sijunjung atas pelestarian kebudayaan Sijunjung, dan merupakan bagian dari upaya menumbuh kembangkan ekonomi kreatif dan pariwisata budaya di Sijunjung. Senada dengan itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung, Puji  Basuki menyatakan bahwa kegiatan Alek Mandeh: Festival Budaya Matrilineal 2024 sebagai salah satu kegiatan unggulan Dinas, tahun ini akan berfokus pada upaya mendorong terjadinya transformasi pengetahuan dan keterampilan, agar di masa depan kegiatan serupa ini memiliki semakin banyak sumber daya manusia dari anak Nagari Sijunjung sendiri.

Sementara itu Direktur PMM, Ahmad Mahendra mengharapkan bahwa Alek Mandeh: Festival Budaya Matrilineal 2024 ke depan tetap dapat terselenggara dengan skema pendukungan yang terus mengalami perkembangan. Artinya, penyelenggaraan Alek Mandeh pada tahun-tahun mendatang diharapkan selain mendapatkan dukungan selain dari pemerintahan Nagari dan pemerintahan Kabupaten dengan leading sector Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Selain Kementerian Kebudayaan, yang telah mendukung selama tiga tahun berturut-turut, ke depan Alek Mandeh  juga dapat didukung oleh stakeholder lainnya, agar event ini dapat menjadi event reguler yang dimiliki secara bersama, dan memiliki peran signifikan di dalam pemajuan Kebudayaan Kabupaten Sijunjung.

Pernyataan Direktur PMM tersebut dikuatkan oleh Kepala BPK III Sumatera Barat, Undri. Menurutnya, pelaksanaan Alek Mandeh: Festival Budaya Matrilineal adalah bentuk pelestarian berkelanjutan, setelah sistem matrilineal ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2013, dan perkampungan adat Nagari Sijunjung tetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya peringkat nasional tahun 2017. Di samping itu, Alek Mandeh juga adalah serta  salah-satu usaha untuk menciptakan ruang bersama bagi pelaku, pengamat dan masyarakat luas untuk melihat akar tradisi matrilineal sebagai sumber dari berbagai atraksi seni dan budaya Minangkabau.

Mewakili Panitia Pelaksana yang terdiri dari berbagai komunitas, Kurator Alek Mandeh, Dede Pramayoza menyampaikan harapannya agar Alek Mendeh dapat semakin memberi dampak terhadap peningkatan kesejahteraan, agar dapat memunculkan kebanggaan dan keyakinan masyarakat dalam melestarikan kebudayaannya. Dengan kata lain, budaya matrilineal Minangkabau yang dicerminkan secara representatif oleh perkampungan adat Nagari Sijunjung, yang juga tercermin melalui upacara adat bakaua adat serta tradisi batoboh kongsi, diharapkan dapat menjadi modal penting bagi pembangunan kebudayaan yang bisa berdampak baik sebagai bentuk peranti ketahanan budaya dan sekaligus sumber ekonomi budaya.

Kebebasan Berkesenian Terjamin, Pertanda Negara Sehat Refleksi dari Indonesia dan Afghanistan

Kebebasan Berkesenian Terjamin, Pertanda Negara Sehat Refleksi dari Indonesia dan Afghanistan

Kamis, 11 November 2021 teraSeni.id~
Kebebasan berkesenian yang terjamin merupakan indikator negara dengan ruang publik yang sehat, termasuk Indonesia. Sebab, ruang publik yang baik memungkinkan pegiat seni bebas mengekspresikan kritiknya, bahkan jika itu ditujukan pada negara. 

Tangkapan layar diskusi
dok: Koalisi Seni Indonesia

“Kebebasan berkesenian penting untuk dijaga, karena seni yang kritis kita perlukan. Sebab, seni punya peran penting untuk mengintervensi dan memberikan narasi tandingan. Untuk mencapai kebebasan berkesenian, perlu ada kebijakan yang menjaminnya,” ujar Dara Hanafi, pekerja lepas kreatif dan Anggota Koalisi Seni dalam diskusi daring Rabu malam, 10 November 2021. 
Bertajuk Ruang Usik-usik Berebut Dinding: Kebebasan Berkesenian di Dinding Indonesia dan Afghanistan, diskusi ini diadakan Koalisi Seni bersama Amnesty International Indonesia. Hadir sebagai pembicara ialah Anggraeni Widhiasih, Pemimpin Redaksi Visual Jalanan dan perupa dari Indonesia, serta Omaid Hafiza Sharifi, artivis dan Presiden ArtLords dari Afghanistan. Dara Hanafi, pekerja lepas kreatif dan Anggota Koalisi Seni, menjadi moderatornya. 
Menurut Anggraeni, seni adalah medium tepat untuk membicarakan problem sosial di masyarakat. Praktik kritik lewat seni, termasuk seni jalanan, bukan hal asing di Indonesia. “Sebelum kemerdekaan, banyak pejuang Indonesia menyuarakan kebebasan, keadilan, dan hak asasi manusia. Di Surabaya menjelang pertempuran yang sekarang diperingati jadi Hari Pahlawan, banyak grafiti dengan pesan serupa,” ucapnya. 
Anggraeni memaparkan di ruang publik ada banyak pemilik kepentingan bertarung, mulai dari warga, pemerintah, korporasi, hingga seniman. Tegangan vertikal dengan aparat negara dan horizontal dengan warga senantiasa terjadi. Saat aparat represif, mural bisa dihapus dan memicu perdebatan, seperti yang terjadi pada kasus Jokowi 404 lalu. Sebaliknya, tak jarang warga yang tadinya enggan temboknya dihias dengan mural, setelah ada program residensi seniman justru protes jika dindingnya tak kebagian.
Untuk memastikan kebebasan berkesenian terpenuhi, perlu ada kebijakan yang menjaminnya. Riset Koalisi Seni pada 2020 menemukan Indonesia sudah meratifikasi banyak instrumen hak asasi manusia (HAM) internasional, tapi juga membiarkan peraturan yang memberi peluang pembatasan HAM secara sewenangwenang. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk melalui karya seni, adalah HAM yang dijamin oleh hukum internasional dan konstitusi Indonesia. Sehingga, pemerintah harus berperan aktif melindunginya. 
Sementara, di Afghanistan, dinamika kebebasan berkesenian berubah drastis bersama perkembangan politiknya. “Saat Taliban pertama berkuasa, tidak ada tempat bagi seni. Kemudian ada peraturan yang menjamin kebebasan berkesenian, sehingga kami bisa berkesenian lagi meski tetap ada intimidasi dan ancaman karena mural ArtLords menyuarakan pesan antikorupsi dan toleransi. Taliban kembali dan mereka tidak percaya akan keberagaman maupun seni. Mural kami dihapus dan diganti propaganda, semua wajah perempuan juga dihapus di jalanan,” tutur Omaid yang mendirikan kolektif seniman ArtLords pada 2014. 
Kini, banyak seniman di Afghanistan terpaksa melarikan diri atau bersembunyi demi menyelamatkan nyawanya. Seniman yang masih berada di Afghanistan meninggalkan profesinya dan menghancurkan karyanya agar tak diringkus Taliban. 
Omaid mengatakan ArtLords kini fokus pada upaya evakuasi agar seniman bisa keluar dari Afghanistan. Tak kurang dari 54 seniman telah mereka selamatkan agar bisa memiliki pilihan untuk melanjutkan seninya. ArtLords juga berencana mengadakan terapi seni bagi para pengungsi Afghanistan, serta membuat ulang muralnya di beragam lokasi. “Kami akan senang sekali kalau ada seniman Indonesia mau menggambar ulang mural ArtLords,” ujarnya. 
Bagaimanapun, Omaid tak kehilangan harapan. Ia berharap satu saat nanti, jaminan kebebasan berkesenian akan kembali tegak di negara asalnya. “Kalau hukum yang menjamin kebebasan itu ada lagi, kami bisa melanjutkan kerja seni di Afghanistan.” (Siaran pers)
Mementaskan Teater Garasi: Mempercakapkan Program Antar Ragam dan Peer Gynts

Mementaskan Teater Garasi: Mempercakapkan Program Antar Ragam dan Peer Gynts

Jumat, 15 Oktober 2021 teraSeni.id~
Siang hari sekitar pukul 12.00, 28 September 2021, sehari sebelum pementasan Teater Garasi. Masuk Whatshapp (WA) dari mba Lusia Neti Cayahani. Memberi undangan apa bila ada waktu dapat datang ikut menonton “pertunjukan” Garasi di Studio. Sebuah persiapan pertunjukan untuk festival yang di selenggarakan sebuah institusi kebudayaan Belanda.
Malam Rabu, 29 September 2021 pukul 20.00 WIB, sudah hadir di studio Garasi. Sesuai undangan, rasanya lama juga tidak meyaksikan pertunjukan secara langsung. Sehingga memantik penasaran pementasan seperti apa yang akan disajikan malam ini. Ruang studio teater Garasi telah dihadiri oleh beberapa orang. Ada layar putih menggantung, lampu menyala terang, mic, sound system. Ada orang-orang yang telah datang lebih awal menduduki kursi tertentu, sementara yang baru datang diminta mengisi beberapa kursi yang telah disediakan pada bagian sudut tertentu. 
Pertunjukan dimulai dengan ucapan selamat datang bagi penonton yang telah datang mengandiri undangan, sedikit pengantar mengenai pertunjukan, serta beberapa pemberitahuan dan aturan dalam menikmati peristiwa pertunjukan ini. Disusul musik dari Yennu Ariendra masuk mengiringi Gunawan Maryanto dan Ari Dwianto yang menaiki meja panjang beroda sehingga dapat bergerak, yang di dorong oleh Ega (salah satu kru Pangung).
Gunawan Maryanto dan Ari Dwianto berkostum warna-warni ala penari angguk yang penuh warna retro, duduk dengan dua buah kursi plastik di atas meja. Seolah-olah seperti menaiki sebuah bus; keduanya berperan sebagai seorang supir dan kernet, dengan logat betawian. “Ayooo Tonnngg berangkat….” teriak supir. “Iye.. Bang, tancap..terus..kiri-kiri, awas depan Bang..” sahut kernet. 
Foto: Dokumentasi Teater Garasi
Tampak dua orang sedang memasuki panggung
Foto: Dokumentasi Teater Garasi

Adegan awal ini memberi pintu masuk pengantar memasuki tangga dramatik dalam peristiwa teater. Teater di dalam dan di luar peristiwa keseharian dibenturkan; tanpa batas panggung, tanpa jarak tertentu penonton. Tidak ada sinopsis. Namun, Yudi Ahamad Tajudin memberi pembuka layaknya sebuah pengantar pertemuan peristiwa pertunjukan dengan penonton. Tidak lupa pemberitahuan pada penonton, seperti peristiwa akan direkam oleh beberapa kamera dan akan berada di sekeliling penonton, tidak diperkenankan mengambil gambar dengan HP, tidak merokok, serta tetap mengupayakan prokes berjalan selama pertunjukan. 
Pertunjukan kemudian seolah masuk dalam sebuah frame atau potongan adegan berkesinabungan yang secara kronologi melalui berbagai katakunci, pertanyaan, dan catatan. Bingkai pertunjukan terhubung dari kata kunci awal ke kata kunci berikutnya dramaturgi narasi selanjutnya dijahit. Kata demi kata disusun, adegan demi adegan diatur sedimikan rupa; presentasi laporan, catatan, refleksi, dan berbagai pertanyaan personal para aktor, sutradara sekaligus pemusik, lighting desaigner, pendamping lapangan program telah dilakukan oleh Teater Garasi, yakni Antar Ragam dan proses penciptaan karya Peer Gynts. 
Peristiwa pertunjukan semacam obrolan santai. Semacam mendekatkan pembacaan catatan harian pengalaman lapangan setiap aktor dalam berbagai perpektif persoalan yang ditemui. Lalu bertransformasi menjadi presentasi. Pertunjukan menjelma data yang berhamburan melalui kata, musik, tubuh, video dan peristiwa yang saling bersahutan dan tumpang tindih. Penonton diberi ruang intim menonton proses kerja kreatif para personil yang terlibat dan bergulat dengan perasaan-perasaanya (ketakutan, kecemasan, keraguan, dan pertanyaan) dalam setiap pelaksanaan program dan penciptaan karya teater Garasi secara lebih dekat. Dalam pertunjukan muncul pertanyaan-pertayaaan dan aplikasi dari dinamika kerja dan fungsi teater hari ini dalam kehidupan dan pengetahuan masyarakat.
lelaku di atas panggung
Foto: Dokumentasi Teater Garasi
Bagaimana menemukan posisi teater dan manusia yang bekerja di dalamnya melalui relasi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan di tingkat lokal, nasional dan global. Bagaimana membaca ulang dan menafsir seluruh peristiwa secara ulang alik dengan mempertimbangkan aspek keberadilan, tanggung jawab moral dan etika, yang selalu disadari tidak pernah berangkat dari titik yang sama dalam memandang suatu persoalan. Posisi kerja intelektual dan ego artistik yang selalu bergesekan serta terhubung dengan berbagai persoalan menganai pemerataan akses, baik ekonomi, pengetahuan, sumberdaya manusia, teknologi, media dan moda transaksi yang tidak merata. 
‘Mementaskan Garasi’ tak ubahnya menikmati pentas pada umumnya. Kemudian muncul refleksi lain pada diri yang menonton. Kita dapat melirik keseharian relasi orang di kampung. Kata ‘pentas’ dalam bahasa Jawa, secara akrab muncul misalnya jika ada seeorang akan mengadakan pertunjukan. Biasanya kemudian pertanyaan yang dilafalkan adalah ‘mentas ning endi?’(petas di mana?). Bila meminjam istilah homograf dalam ilmu bahasa, mentas juga dapat dilafalkan berbeda yakni m[ə]ntas (berarti keluar dari air). Pemaparan m[ə]ntas sebagai keluar dari air, memberi gambaran arahan kerja berproses atau perjalanan dari dalam air kemudian keluar air. Dari sebelumnya basah kemudian dapat menjadi kering. 
Pertunjukan malam tersebut tampaknya berusaha ‘mem[ə]ntakan’ Teater Garasi. Sebuah proses yang telah dikerjakan sekian lama dalam berbagai program kerjanya. Kemudian mencoba dibaca dan ditafsirkan ulang dalam peristiwa bersama. Hal lain yang tak kalah urgent adalah mempercakapkan simpanan-simpanan autokritrik dari masing-masing proses kerja yang telah dilalui Teater Garasi, yaitu melalui catatan pengalaman, data, dan fakta lapangan, proses visual, tranformasi musik, dan konteks pertunjukan saat ini menjadi semacam performance lecture
lelaku aktor di atas panggung
Foto: Dokumentasi Teater Garasi

Dalam peristiwa tersebut pun, percakapan tidak hanya mengenai bagaimana pendukung telah membantu proses kerja Garasi (secara materi atau infrastruktur), tetapi juga penonton dilibatkan menjadi bagian penting dalam presentasi karya dan programnya. Selain itu, percakapan yang terjadi adalah proses kerja antar anggota di dalamnya. 
Mencoba menonton ulang Garasi dan manusianya, berarti turut berproses kreatif langsung dari pergulatan dapur prosesnya. Sedekat mungkin mencoba lebih memahami dan mendialogkan bersama proses kerjanya selama ini dalam kerangka proses ‘tranformasi’ posisi relasi teater,dengan pengetahuan kehidupan dan penghidupan saat ini. 
Pertanyaan selanjutnya kemudian muncul apakah pertunjukan ini benar-benar dalam rangka mem[ə]ntaskan Teater Garasi sebagaima yang terasa mencoba memasuki ruang autokritik dari dalam dan memrpercakapkan keluar? Atau dalam rangka mengambil jeda, keluar kemudian untuk masuk kembali ke dalam setelah memahami kedalaman segala persoalanya? 
Pementasan yang digelar secara langsung dan terbatas dengan penonton yang menjaga jarak sesuai protokol kesehatan, seaakan menjadi udara segar. Pertemuan terasa intim di antara berbagai pertunjukan hari ini yang banyak termediakan melalui berbagai aplikasi zoom, youtube, tik-tok dan lain-lain, yang tidak semua hal dalam peristiwa pertunjukan dapat termediakan secara utuh. 
Sedayu, 10 Oktober 2021

I Know Something that You Don’t Know: Diam itu Emas

I Know Something that You Don’t Know: Diam itu Emas

Senin, 17 Agustus 2020 | teraSeni.com~


Kedua telapak tangannya tertangkup di bibir meja. Ia hanya duduk terdiam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya mendengar dan melihat segala sesuatu yang berada di depannya. Seorang perempuan sambil menangis membawa sebuah bingkai foto dengan bergambarkan wajah seorang perempuan tua yang baru saja meninggal. Namun lagi-lagi, ia hanya terdiam melihat peluh tangis yang terurai di seperempat malam pertama. 
Ketika malam semakin larut, ketika tiada lagi insan di sampingnya, sang perempuan tua itu muncul dalam bayang-bayangnya. Mengembalikan segala ingatan yang telah dijalani oleh mereka berdua sebagai pasangan suami-istri. Kenangan mengarungi kehidupan bersama, yang memancarkan
kebahagiaan dan keintiman. Hal yang hanya diketahui olehnya, bukan orang kebanyakan, bahkan anak atau saudaranya sekalipun. Lantas hanya kenanganlah yang menemaninya hingga fajar—bahkan ajal—menjemput. 
tampak sebuah tangan sedang memegang gelas di meja makan
Foto: arsip Sumonar Festival
Adalah secuil peristiwa pertunjukan dari karya terbaru yang
bertajuk I Know Something that You Don’t Know dari kelompok teater boneka asal Yogyakarta, Papermoon Puppet Theatre (PPT).Setelah berhasil dengan karya A Bucket of Beetles yang dipentaskan secara daring pada awal bulan, PPT kembali menggelar pertunjukan daring untuk karya terbarunya pada rabu (12/8). Namun yang berbeda, karya terbaru mereka merupakan pertunjukan boneka binaural yang bereksperimen pada bunyi dan light mapping. Pun kesempatan eksperimen ini selaras dengan lokus pertunjukan digelar, Sumonar Fest 2020—festival video mapping dan instalasi seni cahaya. 
Berdurasi tidak lebih dari 45 menit, pertunjukan ini dirancang oleh Maria Tri Sulistyani (Ria) dan Iwan Effendi. Cerita yang dibuat oleh Ria tersebut lantas diwujudkan oleh Pambo Priyojati dan Beni Sanjaya, sebagai puppeter. Sementara untuk pertunjukan topeng boneka, Pambo dan Beni dibantu oleh sang pemilik cerita, Ria. Sebagaimana digelar untuk festival cahaya, maka karya ini turut menampilkan light mapping yang diolah menggunakan OHP (overhead projector) oleh Pambo, Beni dan Rusli Hidayat dalam pertunjukannya. Sedangkan pada musik, karya ini kembali mempercayakan Yennu Ariendra untuk mengolah bunyi. Namun dalam mengelolanya menjadi pertunjukan binaural, Iwan Effendi lah yang melakukannya. 
Dipertunjukkan sebagai salah satu repertoar pada festival yang mengangkat tema Mantra Lumina—atau harapan terbaik melalui cahaya—, PPT mengalami lonjakan penonton dari yang sebelumnya hanya digelar untuk 200 orang, menjadi 350 orang. Hal yang mengejutkan, 150 tiket tambahan habis dalam hitungan jam. Di luar keberhasilan penjualan tiket dan atensi penonton, apakah PPT berhasil memberikan sajian
terbaiknya? Adakah yang dapat kita petik dari karya terbarunya? 
Cerita Sederhana dan Cara Ungkap yang Tidak Sederhana

Jujur saja dari sekian banyak karya PPT, cerita yang berakhir dengan air jatuh dari pelupuk mata ke pipi adalah cerita lama. Hampir semua karyanya berakhir demikian. Namun apakah cerita yang berakhir sedih itu salah? Maka jawabnya, tentu tidak. Alih-alih PPT membuat karya dengan romansa
bak sinetron televisi, cerita yang dipentaskan PPT selalu mengunggah, baik secara wacana hingga kesadaran. Kesedihan yang dibangun pun tidak dibuat-buat dan dilebih-lebihkan, melainkan selalu terbentuk dari konsekuensi pemilihan sudut pandang cerita. 

I know Something that You Don’t Know, Ria menerangkan bahwa stimulasi cerita dibuat berdasarkan kisah nyata. Neneknya yang berusia 108 tahun selalu duduk dan diam di sisi yang sama. Melihat sang nenek, Ria menyadari bahwa berapa banyak memori yang ia rekam secara indrawi ketika ia duduk menyaksikan pelbagai aktivitas yang terjadi di depan matanya. Lantas stimulasi tersebut diimbuhkan Ria dengan cerita sederhana yang ada di sekeliling kita, kehilangan. 
beberapa orang sedang memperkatakan sesuatu
Foto: arsip Sumonar Festival
Di dalam pertunjukan, sang kakek hanya diam—tanpa sepatah kata apa pun keluar dari mulutnya—melihat keadaan setelah kehilangan terjadi. Sementara orang di sekitarnya kalang kabut merasakan kesedihan, tetapi seakan lupa setelah ia keluar dari pintu rumah. Namun hal yang menarik, di antara
kesedihan itu, sang kakek yang selalu diam justru menyimpan sebuah memori yang lebih dari siapa pun. Kenangannya bahkan menuntunnya untuk bertemu kembali dengan sang mendiang istri. 
Hal ini tentu menohok bagi saya, di mana diam seperti yang kakek lakukan bukan kegiatan pasif, melainkan kegiatan aktif menyimpan segala kejadian ke dalam bentuk memori yang terkadang lebih tajam. Tamparan lebih jauh adalah apakah kita lebih banyak mendengar atau justru ingin
didengarkan? Dari sinilah saya berpendapat bahwa PPT selalu mengemas persoalan besar dengan cerita yang sederhana, tetapi subtil dan menggugah kesadaran. 
Tidak hanya sampai di situ, PPT mengemas pertunjukan dengan tidak tanggung-tanggung. Di mana sudut pandang sang kakek dipaksakan—dalam artian yang positif—kepada penonton. Sederhananya, sang kakek adalah kita, penonton. Hal ini ditandai dengan kedua telapak tangan yang tertangkup di meja berada persis di depan layar bagian bawah, sehingga seolah-olah pandangan layar si kakek adalah pandangan mata penonton. Dari situ
lah emosi pertunjukan semakin meningkat dan larut, di situ lah penonton merasakan
liminoid di dalam pertunjukan. 
Ketika Teater Boneka Bernegosiasi dengan Teknologi 
Bukan tanpa sebab, PPT bermigrasi ke platform pertunjukan digital. Adalah Covid-19 yang masih menghantui dan memengaruhi pertunjukan fisik di Indonesia, menjadi penyebabnya. Alih-alih hanya meminjam platform dan format pertunjukan digital sebagai medium presentasi, PPT justru berhasil bermain-main dengan luwes dengan momok yang kerap diwaspadai oleh insan teater ataupun teater boneka. 
Pada I know Something that You Don’t Know PPT berhasil menggunakan teknologi digital sebagai bagian dari pertunjukannya. Hal ini berkelindan pada karyanya, yakni: pertama, PPT memfungsikan layar sebagai bagian dari karyanya. Sebagaimana pertunjukan digital memaksa jarak dan jangkauan pandang yang tunggal, berbeda dengan pertunjukan fisik, maka PPT menjadikan layar yang disaksikan penonton seolah-olah menjadi si kakek di dalam
pertunjukan. Ditandai dengan kedua telapak tangan yang tertangkup di meja adalah pikiran cerdik PPT menjadikan teknologi sebagai bagian dari cara ungkap pertunjukan. 
pupet lengkap dengan ekspresi di atas meja
foto: arsip Sumonar Festival
Pun saya sempat menimbang-nimbang, bagaimana perwujudan karya ini jika dipentaskan secara fisik? Apakah sudut pandang yang ditandai tangan tertangkup di depan layar akan berubah? Apakah hal ini hanya berhasil jika dipentaskan secara daring? Maka dari itu, karya ini berhasil menggunakan teknologi tidak hanya sebagai cara ungkap, tetapi juga estetika dari pertunjukan itu sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Daniel Meyer-Dinkgräfe (2015)di mana liveness pada live-streaming tidak hanya meminjam ruang daring semata, tetapi mengolahnya sebagai bagian dari pertunjukan dan menghidupkan liveness-nya sendiri. 
Kedua, pertunjukan binaural yang bereksperimen pada bunyi. Tidak hanya diputar sebagaimana mestinya, musik di dalam pertunjukan diolah menjadi
mode suara kitar (surround sound). Ada beberapa elemen bunyi pada musik yang lebih diperkuat seolah-olah nyata,seperti bunyi nyamuk, tokek, motor, dan serta ketukan pintu. Jadi bebunyian tersebut seolah-olah ada di sekitar kita jika kita menggunakan headphone atau earphone. Hal ini mengingatkan saya pada teknologi musik 8D, 24D, hingga 32D, yang elemen musiknya diurai dan dapat ditempatkan lebih kuat untuk mendukung pengalaman dengar tertentu.
Ketiga, penggunaan OHP dan artistik pertunjukan. Sejujurnya penggunaan bayang-bayang pada pertunjukan PPT bukan hal baru. Namun di dalam
karya ini, permainan bayang-bayang mendapat porsi yang kuat dan menentukan, yakni ketika mengartikulasikan memori kakek dan istrinya. Permainan
bayang-bayang yang dioperasikan dengan menggunakan OHP dengan layar tembak, seperti pintu, jendela, teko, membuat pertunjukan semakin dramatis. 
Ketiga poin itu lah yang membuat karya ini menjadi penting dalam lanskap pertunjukan daring selama pandemi. Di mana ia tidak hanya meminjam ruang, tetapi mempertimbangkan unsur daring, mulai dari layar hingga suara sebagai sesuatu yang juga digarap. Namun terlepas dari keberhasilan
kelindan teknologi, PPT memanggul tanggung jawab besar. Pasalnya ia menjadi acuan penonton—dan juga seniman lain—dalam melihat seni pertunjukan
kontemporer, khususnya pada teater boneka. Maka PPT perlu terus merawat daya kritisnya agar tidak terjebak pada format yang baku dan itu-itu saja.[]
Festival Takbir: Meleburnya Dimensi Sakral-Profan dalam Seni

Festival Takbir: Meleburnya Dimensi Sakral-Profan dalam Seni

Sabtu, 23 Mei 2020 | teraSeni.com~

Malam Takbiran Idul Fitri tahun ini nampaknya akan terasa kering akibat keterbatasan ruang gerak dampak dari pandemi Covid-19. Mungkin tidak akan nampak kemeriahan perayaan malam seperti tahun-tahun silam. Takbiran pada dasarnya adalah bentuk praktik keberagamaan umat Islam, sebagai penanda berakhirnya ibadah puasa Ramadhan. Takbiran dilakukan dengan cara melafalkan kalimat Takbir secara berulang-ulang. Aktivitas perayaan malam takbir atau biasa disebut Takbiran khususnya di Indonesia pada umumnya diisi dengan beragam ekspresi kegiatan. Ada yangkumpul-kumpul singgah di mushola atau masjid, berjalan keliling kampung, konvoi di jalan raya, ataupun lomba takbir keliling.

Kegiatan ini sudah menjadi tradisi dan rutinitas masyarakat di berbagai wilayah Indonesia lintas agama. Bagi pemeluk Islam, Festival ini menjadi bagian dari praktik keberagamaan, dan bagi non muslim bisa menjadi wahana rekreatif serta edukatif. Tidak terkecuali di Yogyakarta, agenda Festival Takbir menjadi salah satu momen yang selalu dinantikan oleh masyarakat. Kurun waktu tiga tahun terakhir ini, saya menyempatkan untuk menyaksikan pergelaran Festival Takbir Keliling dalam rangka memperingati hari raya Idul Fitri yang diselenggarakan oleh PHBI (Panita Hari Besar Islam) kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta. Kegiatan tingkat provinsi ini memperebutkan trophy Walikota Yogyakarta dan digelar di halaman Museum Perjuangan dengan melibatkan ratusan partisipan. Peserta lomba mayoritas berasal dari masyarakat kecamatan Mergangsan dan sekitarnya yang mewakili Masjid di lingkungan tempat tinggal mereka (Pawestri, 2019).

festival takbir : teraseni.id
Para peserta festival takbir dengan atribut berupa lafaz Allah dan Muhammad
Foto: instagram phbimergangsan

Festival Takbir di kecamatan Mergangsan memiliki tema yang berubah-ubah tiap tahunnya. Salah satu tema yang pernah diangkat diantaranya “Kejayaan Islam di Nusantara” dan Isyahdu Bi Anna Muslimun (Tunjukkanlah bahwa kami orang-orang Muslim). Tema yang telah ditentukan menjadi acuan para peserta dalam menyajikan bentuk garapannya. Teknis penyajian karyanya dimulai dengan display di garis start dengan durasi tiga menit, kemudian berjalan menyusuri rute yang telah ditentukan. Aspek penilaian ditinjau dari aspek ketepatan lafal Takbir, kreativitas maskot, lampion, musik, tarian, kostum, dan baris. Kriteria tersebut dinilai oleh masing-masing juri yang berkompeten dibidangnya.

Pengalaman saya menghadiri pergelaran Festival Takbir tersebut menyisakan bayang-bayang yang acapkali menggelisahkan, baik dari aspek artistik hingga kontekstual. Tiap-tiap peserta memang menyajikan corak dan ekspresi garapan yang berbeda-beda, tetapi tetap terasa sama, bukan karena lafal Takbirannya, tetapi karena bentuk penyajian yang bernuansa“drum band”, terutama terlihat jelas dari alat musik, gerakkan, dan kostum yang dikenakan. Ada juga beberapa kelompok yang bereksplorasi dengan gamelan Jawa, angklung malioboro, wayang kulit, dan hadrah dalam penyajiannya.

Kegelisahan yang saya rasakan dan pertanyakan muncul ketika menyaksikan konten tekstual (takbir, musik, tari, maskot, lampion, festival, dan hadirin) dengan simbol-simbol agama yang dihadirkan terutama kalimat Takbir. Seluruh aspek teks dan konteks tersebut dipergelarkan dalam satu ruang dan waktu, sebagai bagian dari peringatan hari besar agama Islam. Di sini saya menyimpulkan bahwa terdapat persinggungan antara seni sebagai teks dengan agama sebagai konteks. Maka dalam tulisan singkat ini, saya berupaya untuk membaca seperti apa pola kerja relasi antara seni dan agama melalui studi kasus Festival Takbir di Yogyakarta.

festival takbir : teraseni.id
Arak-arakan salah satu peserta festival takbir
Foto: instagram permata_tamtama

Festival dan Ritual 

Istilah festival itu sendiri memiliki beragam pengertian dan senantiasa dikembangkan oleh para ahli. Salah satunya oleh Alessandro Falassi yang menjelaskan festival berdasarkan etimologi dan epistemologi. Festival diserap dari Bahasa Latin, festum (kegembiraan) dan feriae (penghormatan kepada dewa). Feria dalam Bahasa Itali dan Spanyol menitikberatkan pada kegiatan keagamaan, lalu dalam Bahasa Inggris (old English) berkembang menjadi fair (pekan raya) yang mengarah pada kegiatan komersial. Falassi memaknai festival sebagai kegiatan upacara bersifat periodik dan temporal. Festival berhubungan dengan ritual yang menghadirkan partisipan dalam satu komunitas masyarakat yang diikat oleh ras, bahasa, etnik, agama, dan sejarah (Murgiyanto, 2017).

Festival Takbir melibatkan berbagai macam elemen, yaitu pihak penyelenggara event, peserta, dan penonton. Kegiatan ini seyogyanya adalah bagian dari agenda praktik keagamaan. Festival Takbir adalah bentuk lain dari cara mengekspresikan kalimat takbir. Takbiran menjadi salah satu elemen dalam rangkaian tradisi praktik keberagamaan umat Islam khususnya di Yogyakarta serta beberapa wilayah di Indonesia pada umumnya.

Festival Takbir menjadi media bagi masyarakat untuk bersosialisasi dalam satu ruang dan waktu yang bersifat temporal. Peristiwa festival tersebut menjadikan aspek ritual dan hiburan saling berkelindan. Kegiatan Festival Takbiran Keliling mencerminkan ragam bentuk festival yang ditawarkan oleh Falassi yaitu sebagai a) Rites of competition, berarti kontestan bersaing dan menghasilkan pemenang dan ada yang kalah. b) Rites of purification atau ritus pemurnian atau pembersihan diri. c) Rites of Conspicuous Display, dapat diinterpretasikan sebagai media menampilkan ekspresi dalam bentuk pawai atau karnaval (Murgiyanto, 2017).

festival takbir : teraseni.id
salah satu bentuk artistik yang dikonstruksi di area festival
Foto: instagram phbimergangsan

Yang Sakral dan Profan 

Terdapat stigma yang membangun konstruksi di sebagian besar masyarakat kita, bahwa seni dan agama ibarat air dan minyak. Melalui tulisan ini, saya berupaya meninjau kembali secara singkat relasi antara seni dan agama dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Hal pertama yang saya soroti yaitu tentang konsep sakral dan profan dalam perspektif sosiologi agama.

Definisi sakral dan profan merujuk pada penjelasan Marcia Eliade dan Emile Durkheim. Eliade menjelaskan bahwa sesuatu yang sakral dan profan ditentukan oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktu yang sakral selalu menghadirkan dan memanifestasikan keillahian, sedangkan yang profan tidak menghadirkan apa-apa (Eliade, 1959). Ruang dan waktu profan sama seperti waktu-waktu biasa tidak terdapat perbedaan. Berbeda dengan Eliade, Durkheim menjelaskan bahwa yang sakral bersifat komunal atau berkelompok, menghadirkan sesuatu yang supranatural dan memanifestasikannya dalam bentuk simbol-simbol. Sesuatu yang profan lebih bersifat individu atau natural, tidak menjalin relasi dengan yang transenden atau lebih bersifat imanen. Komunal lebih superior, dihormati, serta memiliki hirarki, sedangkan profan adalah bentuk keseharian dan bersifat biasa saja (Kamirudin, 2011).

Dalam dunia seni, istilah sakral dan profan acapkali disematkan dan digunakan untuk membaca sifat dari bentuk karya seni. Secara umum, pembacaan tersebut dilandasi oleh peran seni dalam ritus atau praktik keagamaan atau kepercayaan lokal sebagai wujud simbol. Contoh yang paling umum misalnya gamelan sekaten, gamelan selonding, lagu rokhani, patung dewa-dewi, kaligrafi, dan sebagainya. Tidak terkecuali dengan Festival Takbir di Yogyakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia.

Bercermin pada logika konsep sakral-profan menurut Durkheim dan Eliade, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kegiatan Festival Takbiran dapat dipisahkan mana yang sakral dan profan. Hal yang bersifat sakral terletak pada lantunan kalimat Takbir yang dikumandangkan secara terus-menerus. Kalimat Takbir adalah manifestasi dari simbol agama Islam yang menyiratkan keillahian. Festival Takbir juga dapat diinterpretasikan sebagai ruang sakral, prinsipnya sama yaitu masyarakat berkumpul (bersosialisasi) yang menghadirkan transenden atau keillahian .Hal yang dianggap profan menunjuk pada wujud dan bentuk seni yang digunakan sebagai media perwujudannya. Seni itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang profan, karena secara fundamental diciptakan oleh manusia dan bersifat imanen.

Meleburnya Sakral dan Profan dalam Seni 

Pembacaan mengenai relasi seni dan agama dalam tulisan ini tidak sebatas mengupas bentuk serta ornamentasi artistik dalam simbol-simbol agama saja. S. Brent Plate dalam buku Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics menawarkan konsep membaca ulang agama melalui seni. Konsep tersebut saya gunakan untuk mewacanakan relasi seni dengan agama. Konsep yang ditawarkan oleh Plate tersebut dipengaruhi pemikiran Walter Benjamin. Salah satu analisisnya, Plate menjelaskan bahwa penciptaan mitos dan simbol agama merupakan bentuk praktik kreativitas, yang mengandung upaya being artistic (tindakan artistik) dan being aesthetic (tindakan estetis) (Plate,2011).

Plate juga menegaskan bahwa seni, atau mungkin lebih tepatnya “aktivitas artistik,” berfungsi di dunia religius dan budaya karena bersifat inventif, dengan demikian mengubah sifat tradisi dari mana ia tumbuh”. “Praktik keagamaan adalah praktik inventif yang menciptakan artefak dan cerita baru dari masa lalu, untuk kelangsungan hidup mereka sendiri, tradisi keagamaan harus melibatkan perspektif yang mempertahankan pendekatan yang fleksibel, dapat menjelaskan dimensi kreatif mitos, ritual, dan simbol, dalam kompleksitas kekacauan hidup mereka. Invetif berarti memiliki kemampuan untuk mereka cipta atau merekayasa yang sebelumnya belum ada (Nurvijayanto, 2019,144).

festival takbir: teraseni.id
iringan peserta festival sambil mengumandangkan takbir
Foto: instagram phbimergangsan

Kalimat Takbir berbunyi: Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa illa haillallahuwaallaahuakbar, Allahu Akbar walillaahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah. Kalimat Takbir merupakan bentuk kalimat pujian untuk mengagungkan nama Tuhan dari agama Islam yaitu Allah SWT. Kalimat Takbir adalah salah satu manifestasi simbol agama Islam. Kalimat tersebut senantiasa membutuhkan wujud untuk dapat diserap oleh panca indera manusia. Maka, dibuatlah nada-nada yang mengandung unsur artistik dan citarasa (estetis) supaya lebih impresif diterima oleh panca indera manusia.

Sugiarto dalam tulisannya memaparkan pandangan Heidegger yang menyebut seni pada dasarnya adalah poiesis, dalam arti menampilkan, membuat tampak dan berwujud. Kekuatan seni adalah melukiskan kedalaman pengalaman yang sebenarnya tidak tampak dan tidak terlukiskan, memperkatakan hal yang tak terumuskan, membunyikan hal yang tak tersuarakan, ataupun menarikan inti pengalaman batin yang tak terungkapkan (Nurvijayanto, 2019, 145). 

Festival Takbir menjadi aktivitas ruang dan waktu bagi para peserta untuk memperlakukan kalimat Takbir secara kreatif. Berbagai upaya dilakukan oleh para peserta untuk menyajikan wujud kreativitas terbaik mereka. Konten seni yang dihadirkan dalam festival Takbir di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta meliputi musik, tari, dan rupa. Jenis-jenis seni tersebut dirajut menjadi satu kesatuan karya seni pertunjukan.

Kelompok partisipan festival mengimplementasikan ide/gagasan yang merujuk pada tema yang telah ditentukan oleh panitia sebelumnya. Mereka melakukukan proses kerja kreatif, menggunakan beragam metode penciptaan sesuai dengan daya kreativitas masing-masing. Melalui studi kasus tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sakral dan profan tidak selamanya menjadi sebuah dikotomi, yang memisahkan makna-makna yang sebenarnya bisa jadi bersifat tunggal.

Kreativitas para peserta Festival Takbir di Yogyakrta dalam merajut berbagai bentuk seni menjadi karya pertunjukan telah mempertebal dan mengaktifkan spirit/energi dari kalimat Takbir itu sendiri. Impresi dari spirit tersebut dapat dirasakan oleh para hadirin yang berada dalam peristiwa tersebut, baik itu dari sisi peserta maupun penonton. Logika tersebut menarik benang merah bahwa seni dan agama memiliki relasi yang saling berkelindan. Meleburnya sakral dan profan dalam seni mampu menjadi media praktik spiritualitas bagi pelaku. Spiritualitas yang mampu menjalin relasi secara vertikal dan horizontal, antara manusia dengan transenden/Illahi, sesama manusia serta manusia dengan kosmos (semesta).

The Town Thereafter: Menguliti Tradisi Jepang dari Kebiasaan Sehari-hari

The Town Thereafter: Menguliti Tradisi Jepang dari Kebiasaan Sehari-hari

Minggu, 5 April 2020 | teraSeni.com~

“Fujimi Bashi…”, seorang perempuan berpakaian kasual memulai pembicaraan dengan menyebutkan nama sebuah jembatan yang cukup tenar di Jepang. Pun ia menyambungnya dengan menjelaskan arah sebuah daerah kepada seorang perempuan lainnya. Hal yang menarik, Ia merapal arahannya yang sama berulang kali. Tidak lama berselang, lawan bicaranya ikut merapal arahan tersebut tetapi terlambat per sekian detik. Hasilnya, rapalan dari dua orang tersebut saling berkejaran tetapi tidak terganggu satu sama lain. Alih-alih mengganggu, rapalan tersebut justru membentuk komposisi bunyi yang unik. Di saat yang bersamaan, terlihat cerobong asap hingga jam yang terus berputar.

Tidak dapat dipungkiri, kelompok seni muda selalu mempunyai cara yang unik dalam membuat karya. Kelompok teater muda asal Tokyo, Nuthmique adalah salah satunya. Di dalam karya yang bertajuk “The Town Thereafter”, Nuthmique menyoal kebiasaan (salah satunya rapalan berulang) dengan waktu yang terus berjalan (baca: kontinyuitas). Masashi Nukata—selaku sutradara dan penulis naskah—mempunyai cara yang unik dalam membalut gagasannya. Berlatar belakang musik, Nukata menggunakan metodologi musik minimalis modern untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari.

pemain, aktor dan aktris berdialog di salah satu sudut panggung
Foto diambil dari https://natalie.mu/stage/gallery/news/366359/1328603

Karya yang berlatar apartemen ini diperankan oleh empat orang muda, antara lain: Kazuki Kushio, Kana Sakato, Tsumugi Harada, dan Shiho Fukasawa. Berdurasi 80 menit, karya ini dipentaskan di ST Spot, Yokohama, Jepang. Karya yang dipentaskan delapan kali dalam lima hari jadwal tayang, jumat (7/2) hingga selasa (11/2) ini juga menjadi bagian dari gelaran TPAM Yokohama 2020, sebagai salah satu pertunjukan di TPAM Fringe. TPAM Fringe merupakan pertunjukan-pertunjukan yang berlangsung di saat yang bersamaan dengan TPAM, pada 9 hingga 16 Februari 2020. Alih-alih berkontestasi satu sama lain, TPAM justru mengajak seniman-seniman tersebut untuk mendaftarkan diri dan menjadi bagian dari gelaran mereka.

Lebih lanjut, TPAM Fringe menjadi ruang seniman Jepang dan sekitarnya untuk mendapatkan penonton serta jaringan yang lebih luas, yakni Internasional. Kendati mereka tidak menjadi deretan penampil di pertunjukan utama (TPAM Direction), melainkan hanya menjadi penampil di TPAM Fringe (pinggir), tetapi saya justru merasakan bahwa penampil mereka tidak kalah menarik dari para penampil utama di gelaran TPAM. Pasalnya Saya justru menyaksikan keberagaman cara ungkap dan kompleksitas gagasan ketika menyaksikan beberapa pertunjukan di TPAM Fringe. Satu di antaranya adalah “The Town Thereafter” karya Nuthmique, di mana mereka menguliti sesuatu yang mendalam dari hal kecil dan di sekeliling.

 

Dari Arah Mempertanyakan Marwah

Setelah melakukan registrasi, penonton masuk satu per satu pada sebuah lorong menuju panggung. Hal yang unik, terdapat instalasi susunan pintu tanpa daun pintu pada lorong tersebut. Semakin ke dalam tinggi pintu semakin rendah, sehingga penonton yang melewatinya harus menunduk untuk dapat masuk ke arena penonton. Sementara penonton berbelok untuk mengisi bangku penonton, susunan pintu itu juga tersusun hingga ke panggung. Sontak hal ini membuat saya berpikir, apakah pertunjukan sudah dimulai sejak memasuki lorong tersebut? Pikiran ini sontak terlintas, terlebih kelompok teater yang didirikan empat tahun silam ini dikenal selalu berangkat dari pertanyaan “apa itu pertunjukan?” dan kepercayaan untuk memperluas batas-batas seni pertunjukan. Atas dasar itulah instalasi ini tentu mempunyai maksud lain ketimbang hanya menjadi properti semata.

Setelah semua penonton memadati panggung pertunjukan, dua orang perempuan berpakaian kasual memasuki panggung dan saling bertegur sapa. Menjawab lawan bicaranya, salah seorang di antaranya mengatakan sebuah jembatan yang cukup dikenal masyarakat Jepang, “Fujimi Bashi”. Kemudian ia kembali menerangkan arah untuk pergi menuju jembatan tersebut. Oleh karena kecepatan ucap, arahan tersebut menjelma menjadi rapalan yang diucap berulang kali. Merespons arahan tersebut, lawan bicaranya turut merapal arahan tersebut dengan diucapkan terlambat per sekian detik. Tidak hanya mereka, seorang laki-laki yang memasuki panggung juga mengikuti rapalan tersebut. Pada awalnya saya merasa sangat terganggu, tetapi setelah rapalan ketiga, saya merasa bahwa rapalan tersebut tidak hanya membentuk susunan bunyi yang unik, tetapi juga dimaksudkan sebagai medium dalam menyingkap sesuatu.

dua orang aktris tampak sedang ingin berdialog
Foto diambil dari https://natalie.mu/stage/gallery/news/366359/1328603

Di adegan lainnya, seorang laki-laki mengajak seorang perempuannya berbicara. Laki-laki tersebut menanyakan kabar, pernikahan, dan beberapa pertanyaan seputar hidupnya, sedangkan perempuan tersebut menjawabnya dengan seadanya. Pada awalnya percakapan tersebut terdengar biasa-biasa saja. Namun percakapan tersebut kembali diulang-ulang. Alih-alih menyerupai rapalan laiknya adegan sebelumnya, percakapan yang dilakukan berulang-ulang tersebut diikuti dengan gradasi atas gestur tubuh, dari tegak ke respons tubuh yang sebaliknya, seperti:menggeliat, menjuntaikan tangan, menggerakkan kakinya, hingga mengayunkan badan. Raut wajahnya pun berubah dari wajah tegang ke wajah yang lebih santai. Bahkan gelak tawa pun menyertai perbincangan tersebut.

Lucunya, terlihat beberapa tanda spesifik, seperti: cerobong asap, hingga jam—yang terletak di sisi kanan panggung dari penonton—yang tampak bersamaan ketika adegan pernyataan arah atau pertanyaan kabar direpetisi. Tadinya saya mengira bahwa hal tersebut hanyalah properti yang nir-relasi dengan pertunjukan, ternyata tanda tersebut adalah benang merah dari pertunjukan, yakni waktu yang terus berjalan. Namun tanda tersebut tidak terlalu mencolok, sehingga tidak semua penonton menangkap tanda tersebut dengan utuh. Selain itu, percakapan atau gerak yang terus direpetisi tersebut terasa terlalu panjang dan minim variasi, dampaknya beberapa penonton di sekitar saya pulas tertidur. Untung saja pertunjukan ini dipentaskan dalam ruang yang tidak terlalu besar sehingga tercipta suasana intim, saya tidak membayangkan jika pertunjukan dipentaskan dalam ruang pertunjukan yang besar. Repot urusannya!

Sebenarnya saya tidak punya persoalan dengan metode musik modern minimalis yang digunakan Nukata—saya juga percaya bahwa musik minimalis mempunyai kaidah harmoni yang berbeda— tetapi sebagaimana Nukata menampilkan teater maka dramaturgi dari pertunjukan juga perlu ditautkan. Pasalnya adegan pertunjukan terasa disusun bergantian semata, tidak diberikan perhatian lebih pada antar dan inter adegan.

Tentu saya cukup menyayangkan, terlebih saya merasa bahwa gagasan kelompok Nuthmique dalam mengkritisi tradisi dari kebiasaan sehari-hari ini menarik. Ilustrasi hingga beberapa adegan telah memberikan sudut pandang yang berbeda akan wajah tradisi Jepang. Mulai dengan ilustrasi pintu yang memaksa kita harus menunduk; adegan rapalan repetitif akan arah FujimiBashi yang membuat kesan berulang; hingga adegan menanyakan kabar dengan diikuti sikap tegak hingga menggeliat yang merepresentasikan kebosanan.

Namun kita tidak dapat buru-buru mengatakan bahwa mereka mengkritisi tradisi dan ingin meninggalkannya. Saya justru melihat bahwa mereka mengkritisi tradisi atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat tanpa pemahaman yang utuh. Terlepas dari catatan atas pertunjukan mereka, apresiasi patut diberikan kepada kelompok teater muda ini. Bagi saya “The Town Thereafter” adalah suara millenial Jepang dalam menyikapi tradisi unggah-ungguh yang dilakukan berulang tanpa arah ataupun marwah.[]