Senin, 8 Agustus 2016 | teraSeni ~
Menyoal praktik ‘keaktoran,’ terutama terkait proses dan metode yang harus dilalui untuk menjadi aktor yang baik, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para aktor teater. Tantangan itu terutama mengemuka bagi para aktor yang terbiasa terlibat dalam pementasan teater yang berbasis pada naskah drama (realisme, surealisme dan absurd), terutama ketika harus berhadapan dengan monolog atau teater yang berbasis pada gagasan dan ‘tubuh’ sebagai teks dalam menyampaikan peristiwa di atas panggung.
![]() |
Monolog Sengketa, naskah dan sutradara Afrizal Harun (2012) |
Guna menjawab tantangan ini, dibutuhkan para aktor yang memiliki kesadaran kreatif, agar kita tidak hanya mengulang kebesaran nama-nama aktor teater dekade 1980-an dan 1990-an era Bengkel Teater, Teater Kecil, Teater Populer, Teater Koma dan lain-lain. Tentunya, kesadaran keaktoran kita adalah kesadaran hari ini, di mana tradisi keaktoran itu diciptakan.
Radhar Panca Dahana menyebutnya dengan istilah Tiga Kesadaran Seorang Aktor. Dalam catatan Radhar, posisi seorang aktor di dalam pertunjukan teater memiliki peranan yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan bahwa seorang aktor harus mampu: (1) membuat sebuah panggung menjadi hidup atau merepresentasi kehidupan; (2) aktor harus mampu menjadi representasi terbaik dari penonton dengan seluruh kenyataannya; dan (3) kemampuan seorang aktor di dalam menghidupkan tubuh, pikiran dan emosi di atas panggung, sehingga panggung (teater) tidak sekedar menjadi perkakas yang diletakkan begitu saja, tanpa dihidupkan.
Tiga penjabaran di atas, Radhar meletakkan tiga pondasi utama yang disebut dengan ‘kesadaran’ yang harus dimiliki seorang aktor yaitu kesadaran tubuh, kesadaran akal dan kesadaran jiwa. Rahman Sabur menyebut kesadaran aktor ini sebagai kepekaan aktor dalam mengeksplorasi tubuh atas ‘ketubuhan’-nya, tubuh dengan ‘sosial’-nya, tubuh dengan lingkunganya sampai pada tahap yang lebih sublim bagaimana eksplorasi tubuh atas Tuhannya sendiri.
Jelajah kerja keaktoran tidak pernah berhenti ditulis semenjak Constantin Stanislavsky meletakkan fondasi kerja keaktoran sebagai metode maupun sistem pelatihan menjadi seorang aktor melalui buku An Actor Prepare, diterjemahkan oleh Asrul Sani (1978) dengan judul Persiapan Seorang Aktor. Begitu juga, buku Stanislvasky selanjutnya seperti Building A Character yang diterjemahkan dengan judul Membangun Tokoh (2008), menjadi referensi otentik dikalangan para penggiat aktor teater di Indonesia, Asia, Amerika dan Eropa. Kerja keaktoran tidak bisa hanya mengandalkan instingtif dan intuisi semata. Namun, praktik keaktoran senantiasa berada pada ruang teoretik dan praktik di dalam memperkaya ‘kesadaran’ dirinya sebagai manusia ‘aktor’ di atas panggung teater.
Pertunjukan teater atau monolog dihadapkan pada persoalan teknis tentang bagaimana aktor ‘menyikapi’ tubuh melalui laku berupa gestur dan bisnis akting, vokal, emosi dan keterlibatan aktor dengan elemen spektakel lainnya menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, berakting tidak hanya sekadar mengucapkan ‘hafalan’ naskah di atas panggung, tetapi bagaimana seorang aktor harus mampu ‘menghidupkan’ naskah itu sendiri melalui kecerdasan, kesadaran dan kepekaan aktor yang sublim.
Event Monolog untuk Membaca Praktik Keaktoran
Monolog di Era Yunani Klasik (550 SM) telah ditandai dengan kehadiran ‘aktor’ tunggal yaitu Thespis, yang dikelilingi oleh chorus. Sejak itu para aktor monolog disebut sebagai Thespian. Thespis sebagai aktor keluar dari dialog antar tokoh. Bersama chorus, Thespis mengungkapkan narasi panjang berupa puisi, mencoba mengkritisi persoalan internal dan eksternal yang dialami oleh‘tokoh’ melalui narasi soliloqui dan nyanyian dithyramb. Begitulah, soliloqui menjadi embrio lahirnya tradisi monolog. Di Amerika, tradisi monolog diperkenalkan pertama kali pada tahun 1964 sebagai bentuk studi keaktoran.
Monolog dalam perkembangan teater menjadi sebuah genre baru, keluar dari konvensi teater yang berbasis pada naskah drama, memuat dialog antar tokoh di dalam menyampaikan tematik cerita. Aktor monolog merupakan seorang aktor yang berada pada fase in character, yang artinya seorang aktor menjadi bagian dari karakter tokoh yang diperankan di dalam naskah. Walaupun aktor juga memerankan berbagai karakter yang dikenal dengan istilah ‘peran di atas peran’.
Di samping in character, seorang aktor di dalam pertunjukan monolog juga berada di luar karakter tokoh yang diperankannya, disebut dengan out of character. Istilah ini merujuk pada posisi seorang aktor sebagai penutur cerita atau seorang narator, nantinya juga memerankan berbagai karakter di dalam naskah monolog yang dimainkan. Dalam tradisi teater dikenal dengan istilah one man play. Tentunya, istilah ini terus menjadi perdebatan dengan istilah lainnya seperti one man show, mono play, mono drama, dan lain-lain.
Terkait ruang aktualisasi praktik keaktoran di Sumatera Barat, hanya ada tiga kegiatan yang bisa saya ingat terkait dengan iven monolog yaitu Festival (lomba) monolog dengan tema ‘Meminang para Aktor’ pada tahun 2005, pementasan monolog dalam kegiatan Rumah Budaya Nusantara (RBN) KSST Noktah bertajuk Minangkabau Arts Festival pada 23-28 Desember 2013 dan Medan Monolog pada 20-24 Oktober 2014 yang juga digagas oleh KSST Noktah. Setelah itu, boleh dikatakan tidak ada lagi iven monolog di Sumatera Barat.
Potensi keaktoran di Sumatera Barat saat ini boleh dikatakan mampu berkompetisi dalam percaturan teater secara nasional. Namun yang menjadi kelemahan adalah minim-nya event monolog di Sumatera Barat, sehingga kita sulit melakukan pemetaan dan membaca progesivitas potensi keaktoran yang dimiliki oleh berbagai kelompok independen, UKM Seni (teater) dan Program Studi Seni Teater ISI Padangpanjang. Namun, Sumatera Barat masih bisa bangga setelah menjadi juara 1 monolog dalam Festival Seni Mahasiswa Nasional (Feksiminas) di Palangkaraya tahun 2014. Namun, setelah itu apa?
Aktualisasi keaktoran (monolog) di Sumatera Barat melalui event monolog menjadi program penting saat ini, karena di sanalah kita bisa bercermin, melakukan pemetaan atas progresivitas praktik keaktoran yang tidak hanya selesai di warung kopi saja, tetapi benar-benar berada pada ruang laboratory, bercermin di ruang kaca, sembari berucap “saya aktor? lalu apa yang harus saya lakukan sebagai aktor?” pertanyaan ini terus menerus menjadi stimulan dalam setiap eksplorasi dan elaborasi praktik keaktoran. Event Minangkabau Monolog Festival (MMF) adalah sebuah tawaran atas aktualisasi praktik keaktoran di Sumatera Barat yang dilaksanakan setiap tahunnya. Semoga!
(Pernah dimuat di Harian Padang Ekspress, Minggu 15 November 2015)