Pilih Laman

Kamis, 11 Agustus 2016 | teraSeni ~

Wanci merupakan pertunjukan
ketiga dari PAT 4 Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang dari Komunitas
Teater Satu Lampung, yang tampil di Gedung Teater Mursal Esten STSI
Padangpanjang tahun 2009 lalu. Tulisan ini adalah semacam review dan
refleksi atas pementasan itu.

Hari itu, setelah cukup lama menunggu-nunggu, akhirnya peserta dan para undangan yang datang
dari dalam maupun dari luar kota berdatangan menuju Gedung Teater Mursal Esten, di mana pertunjukan monolog dari Teater Satu Lampung berjudul Wanci akan dipentaskan. Penonton mulai mempersiapkan dirinya masing-masing. Meski harus duduk berdempetan, karena jumlah penonton yang melebihi ketersediaan bangku penonton, namun mereka berusaha untuk tetap tenang.
Besarnya rasa keingin tahuan mereka terhadap pertunjukan yang akan digelar, membuat sebagian penonton rela mengambil posisi duduk di lantai, sehingga jarak penonton cukup dekat dengan bibir panggung.

Ruth Marini dalam monolog Wanci
Ruth Marini, dalam salah satu adegan
monolog Wanci karya Imas Sobariah,
Produksi Teater Satu Lampung
(Sumber Foto:
www.ulunlampung.blogspot.com)

Jarak penonton yang cukup dekat dengan panggung tataan sett yang mengisi keseimbangan panggung terlihat cukup jelas. Ketika cahaya lampu mulai menyoroti panggung, dengan jelas terlihat pada bagian depan arah kanan penonton terdapat properti berupa keranjang-keranjang besar, seperti yang biasanya dipanggul di pundak para pemulung. Pada bagian belakang panggung arah kiri penonton, terdapat beberapa sett dengan property yang sama dan beberapa level berukuran 1 m persegi. Di bagian tengah panggung terdapat beberapa level dengan ukuran kurang lebih 1 m x 50 cm. Pada bagian paling belakang, terdapat level yang melintang dari wing kiri sampai wing kanan dari arah penonton. Dan pada level tersebut terdapat sebuah konstruksi kayu yang dipasang secara tidak beraturan.

Semua set dan properti itu menggambarkan sebuah areal prostitusi kumuh yang terletak di pinggir rel kereta api. Dari sela-sela gerbong-gerbong tua, tampak seorang perempuan setengah baya mengenakan pakaian compang-camping serta kacamata gelap. Di bibirnya mengepul asap rokok yang dihisapnya dalam-dalam. Sesekali di bibirnya keluar sapaan genit yang tidak lama kemudian berubah menjadi sumpah.

Setelah menyaksikan beberapa adegan, penonton segera diseret memasuki dunia seorang pelacur. Ia (Icih), telah menyadari bahwa hidup yang dijalaninya selama ini tidak mungkin lagi untuk terus dilalui. Ia menyadari bahwa tidak wajar jika seorang manusia tidak menginginkan keluarga serta anak-anak yang mengelilingi mereka.  Dengan penuh sesal pada masa lalunya dan segenap sisa ketulusan yang coba ia pertahankan, Icih akhirnya dinikahi oleh seorang laki-laki yang mau menerima dia apa adanya. Icih mencoba menjadi manusia baik dan menjalani kehidupan secara normal, sampai akhirnya memiliki dua orang anak. Tetapi dalam melewati kehidupan yang panjang dengan suaminya, tanpa disangka ternyata suaminya adalah germo. Sementara anaknya kemudian mengikuti jejak sejarah ibunya. Sang ibu mencoba menyelamatkan anaknya yang kecil, ia berjuang keluar dari pusaran itu, tapi gagal. Ia lalu mencoba bunuh diri.

Ruth Marini yang memainkan peran pelacur, membuka adegan dengan berjalan bagai malaikat diikuti oleh musik yang menghanyutkan. Dia menghunus rokok dan menyulutnya dengan gerakan seperti penari ballet. Sesekali ia duduk sambil melihat sekeliling seakan-akan menunggu sesuatu. Adegan itu membuat penonton penasaran untuk tahu kisah selanjutnya. Kemudian begitu Ruth mulai bicara, suaranya yang serak tapi terkontrol dan terolah mendorong kita masuk ke dalam duka wanita Sunda dengan rasa penuh simpati. Dalam beberapa adegan Ruth mengubah-ubah warna vokalnya. Berjalan liar menirukan seorang pelacur. Tatapan penuh birahi yang tanpa sadar di dalamnya tersimpan duka yang mendalam. Sesekali Icih berjoget sensual, tapi juga tak urung kejam. Semuanya dilaksanakan dengan terperinci namun tak berlebihan.

Beberapa adegan berlalu, penonton dibuat sadar bahwa Wanci adalah perpaduan yang hebat antara naskah yang kaya akan kemungkinan, di padukan dengan visual yang memikat di atas pangung, dan juga pemain yang sangat berbakat dan tekun, serta sutradara yang cukup kaya akan ide. Selain itu, kemampuan Uthe dalam memanfaatkan setiap ruang yang ada membuat ruang panggung mampu dimanfaatkan dan digunakan dengan maksimal. Makanya, penonton yang hadir selama dua jam tampak larut dan terperangkap pada kisah Icih yang memilukan sekaligus satir.

Lampu black out, pertunjukan pun selesai diiringi dengan tepuk tangan oleh penonton untuk menyambut seorang Ruth Marini yang bisa dikatakan cukup berhasil memerankan karakter Icih. Aktor cantik yang berperan sebagai Icih ini mendapat sambutan hangat dari penonton, yang sambil bersalaman dan ada juga penonton yang meminta tanda tangan. Ruth Marini seperti siap panen ketika ia dikelilingi oleh para penonton yang menyimpan haru dan kesan yang dalam pada Icih yang baru saja diperankan Ruth.

Pada umumnya penonton cukup puas dari pertunjukan malam itu. Secara penyajian ata bagaimana seharusnya seorang aktor dalam memerankan karakter, penampilan Ruth memerankan Icih cukup membantu penonton untuk mengambil hikmat lebih. Tidak saja tentang posisi perempuan marginal, tetapi juga tekhnik untuk memerankan suatu karakter. Penonton dapat melihat nikmatnya Ruth Marini dalam memerankan karakternya. Dialog-dialog diiringi ekspresi dan gestur yang kuat seakan-akan mensugesti penonton untuk ikut tertawa ketika Icih tertawa, dan mengajak penonton turut bersedih ketika Icih sedang bersedih. Semuanya pada malam itu sangat cair, terlihat tanpa ada rasa beban sedikitpun. Tentunya hal ini dapat menjadi contoh, tentang bagaimana penyajian dapat dimatangkan untuk menjadi seorang aktor yang siap tempur di atas panggung.

Di saat pertunjukan, dapat dilihat pada sekeliling bangku penonton, bahwasanya tidak ada satupun yang ingin melewatkan satu adegan pun dari pertunjukan tersebut. Pada dasarnya penonton memang sadar bahwa malam itu hanyalah sebuah pertunjukan. Akan tetapi, tontonan yang kuat memaksa  penonton untuk menjadi tidak yakin, dan memberikan kesan bahwasanya di atas panggung benar-benar Icih yang darah daging.

Semua adalah bukti dari kepiawaian sutradara dan aktor menemukan bentuk pertunjukan yang cocok untuk mengangkat naskah Wanci tersebut. Meskipun sett serta properti yang minimalis, namun cukup baik dikuasai oleh aktor, dan sama sekali tidak membuat aktor canggung di atas panggung. Semuanya terkesan mengalir, meskipun ada sedikit kejanggalan, hal tersebut terasa tidak terlalu penting di permasalahkan ketimbang pertunjukan secara keseluruhan. Dalam arti kata lain, tidak membunuh karakter aktor, malah sebaliknya. Sett tetap berfungsi pada koridornya yaitu sebagai pendukung sebuah pertunjukan. Adapun kelemahan dari pencahayaan sama sekali tidak berdampak buruk pada pertunjukan malam itu, sebab penonton terlihat fokus dan tidak ingin melewatkan setiap tindakan yang dilakukan sang aktor.

Monolog berjudul Wanci yang ditulis dengan cukup baik oleh Imas Sobariah (lulusan Seni Teater STSI Bandung), memunculkan sebuah puisi yang indah tentang ketidakberdayaan perempuan. Pertunjukan yang ditonton pada malam itu terasa seperti “sudah jatuh ditimpa tangga pula”. Ternyata nasib wanita dalam realita jauh lebih tragis dari yang kita bayangkan. Mengenaskan. Sayang sedikit di penutup pertunjukan waktu permainan terkesan diulur-ulur sehingga tempo permainan juga terkesan lambat.

Keberhasilan Imas Sobariah menulis monolog Wanci, pastinya tidak terlepas dengan latar belakang pengalaman panggung yang ia miliki. Hal itu membuat karakter dalam naskah itu menjadi kaya akan interpretasi, yang menunjukkan berbagai pertimbangan yang cukup matang dalam penulisannya. Atas karyanya ini. Imas pantas untuk mendapat kehormatan dan apresiasi lebih, mengingat masih sedikitnya penulis drama wanita di Indonesia. Tapi bukan semata-mata karena sang penulis Wanci adalah seorang perempuan, melainkan juga karena jika dilihat dari karyanya, Wanci punya kualitas yang cukup layak untuk dipertimbangkan.