Sabtu, 24 September 2016 | teraSeni~
Dalam teori postmodernisme, retroaksi adalah salah satu jalan untuk mengungkapkan sudut pandang yang berlawanan dengan kehendak modernisme. Dalam konteks seni pertunjukan saat ini, retroaksi bahkan telah menjadi alternatif untuk mengungkapkan sisi lemah dari ‘kemajuan’ yang dijanjikan modernisme. Wajar, bila kini retroaksi kerap menjadi pilihan para seniman dalam menyampaikan gagasannya. Retroaksi kemudian malah menjadi titik balik yang vital untuk mengkaji ulang sejauh mana gagasan pertunjukan kontemporer dapat memuaskan selera estetis dan menyampaikan muatan tematis-nya dengan baik.
Pantomime adalah salah satu produk masa lalu yang kini kembali dipilih oleh para seniman teater. Retroaksi melalui pantomime, sudah banyak dilaksanakan oleh generasi seniman mutakhir. Di jogja misalnya, telah muncul kelompok Bengkel Mime yang dimotori Andy CS. Kelompok ini tidak sekedar membawa bahan mentah dari masa lalu pantomime, tetapi memodifikasinya sehingga tidak mudah di sambung-kaitkan dengan pantomime era Charlie Chaplin.
![]() |
Salah Satu Adegan Godot in Mime, Pantomimer M Hibban Hasibuan, Sutradara: Dede Pramayoza |
Di Sumatera Barat, memang tidak begitu banyak seniman atau kelompok teater yang fokus terhadap pantomime. Namun, bukan berarti tidak ada langkah signifikan yang dilakukan oleh seniman yang ‘sedikit’ itu. M Hibban Hasibuan misalnya. Dalam garapan terbarunya yang digelar pada 12 Februari 2014 di gedung pertunjukan Hoeridjah Adam, mahasiswa ISI Padangpanjang ini berani bermain-main dengan naskah absurd Waiting For Godot, yang kini berubah judul menjadi Godot in Mime. Narasi besar Godot yang telah jamak dibahas dalam berbagai sudut pandang, ketika itu seakan segar kembali untuk dibicarakan.
Hibban Hasibuan sebagai pemain pantomime dengan jam terbang yang sudah cukup tinggi, dalam garapan ini dikawal oleh penyutradaraan Dede Pramayoza. Meski Dede Pramayoza lebih senang menyebut dirinya sebagai konsultan karya ketimbang sutradara, karena menurutnya ia lebih banyak memberi ruang kepada M Hiban Hasibuan untuk menciptakan sendiri pola ungkapnya melalui idiom pantomime dalam karya ini.
Pertunjukan malam itu dimulai dengan kehadiran tokoh Gogo (Estragon) di atas panggung. Lelaki ini mulai bergerak ketika cahaya kuning telah menimpanya. Hal pertama yang diperagakan Gogo adalah kesibukannya untuk membuka sepatu. Proses ini berjalan cukup lama tanpa keberhasilan. Alih-alih membuka sepatunya, Gogo malah merasa sakit pada kakinya. Persitiwa berlanjut dengan kehadiran tokoh Didi (Vladimir) yang dimainkan oleh M Hiban Hasibuan. Ia muncul membawa batu di tangannya. Begitu beratnya beban itu sehingga ia harus berjalan terbungkuk-bungkuk.
Sesuai tebakan saya semula, kendala berat dan sakit yang seharusnya menimbulkan keprihatinan, malah menimbulkan kelucuan ketika dimainkan oleh kedua tokoh. Seperti runutan di dalam naskah, kehadiran tokoh-tokoh seperti Lucky dan Pozo serta seorang lelaki mini juga terjadi. Pozo yang digotong menggunakan gerobak oleh anak buahnya Lucky sempat ditebak sebagai Godot oleh Gogo dan Didi. Tapi Pozo membuat mereka kecewa karena nyatanya, ia memang bukan Godot yang ditunggu itu. Gogo dan Didi, juga menebak pria mini penuh keriangan yang hadir setelah Pozo dan Lucky pergi sebagai Godot. Lagi-lagi tebakan ini salah.
Repetisi kehadiran ketiga tokoh terjadi manakala Gogo dan Didi telah beranjak tua. Ketuaan itu ditunjukkan oleh sikap gesture dan jambang yang telah tumbuh di dagu mereka. Bahkan di usia lanjut ini, Vladimir dan Estragon masih menunggu Godot. Tetapi mereka juga melakukan kesalahan yang sama dengan menyangka bahwa Pozo dan lelaki mini yang juga kembali hadir sebagai Godot. Di penghujung pertunjukan, lelaki Mini muncul dengan membawa sebuah kertas besar. Ketika ia menolak disebut Godot, lelaki mini itu menyerahkan kertasnya kepada Didi dan Gogo. Setelah dibuka, tulisan pada kertas itu ternyata “Maaf, Tuan Godot tidak bisa Datang Hari ini”.
Selayaknya pantomime, hampir tak ada kata yang muncul selama pertunjukan dimainkan. Jikapun suara aktor digunakan, hanya untuk menyampaikan rasa sakit atau kecewa berupa tawa, rengekan tanpa kata atau desisan. Sementara, satu-satunya yang terucap sebagai tanda hanyalah nama-nama tokoh.
Ada beberapa kesimpulan menarik bagi saya usai menonton pertunjukan ini. Yang pertama adalah soal tubuh dan alternatif ungkapnya. M Hibban Hasibuan dan rekan-rekannya ternyata tidak menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa berkonvensi untuk menggantikan kata-kata pada teks lakon. Berbagai gerak untuk mengekspresikan kalimat, berhasil menyampaikan pesan sebagaimana yang seharusnya.
Namun, memang tetap ada beberapa pengungkapan yang membingungkan ketika dikorelasikan dengan teks lakon karangan Samuel Beckett ini. Namun setidaknya, dapat dikatakan bahwa bahasa verbal baik itu lisan maupun isyarat konvensional, telah dibuktikan sebagai bukan satu-satunya pilihan di atas panggung teater. Memang dari segi motivasi gerak terlihat betul bahwa M Hibban Hasibuan masih mempertahankan unsur karikatural sebagai salah satu kekayaan pesona pantomime. Gerak-gerak tampak lebih banyak didominasi oleh motivasi ini.
![]() |
Adegan dalam Godot in Mime, Pantomimer M Hibban Hasibuan, Sutradara: Dede Pramayoza |
Tetapi, pada beberapa bagian juga terlihat bahwa tekanan naskah cukup memaksa M Hibban Hasibuan dan rekan-rekannya untuk memberontak dari pakem pantomime. Misalnya pada bagian ketika Lucky menangis, atau Vladimir dan Estragon kecewa. Pada bagian-bagian seperti ini, karikaturalisasi gerak dan (terutama) mimik tidak lagi menghadirkan kelucuan. Saya merasakan adanya unsur kepedihan yang lebih dalam daripada ekspresi berkata-kata yang kerap ditampilkan teater modern saat satu tokoh menangis atau kecewa.
Kesimpulan kedua adalah soal kehadiran eksperimentasi yang unik. Memang selama ini belum banyak pertunjukan pantomime yang diciptakan berdasarkan sebuah teks naskah lakon. Selama ini, pantomime kerap dipertunjukkan dalam format reportoar singkat yang notabene merupakan peniruan atas peristiwa keseharian. Artinya, kali ini ada upaya yang berbeda; untuk menggunakan Pantomime sebagai alternatif bahan tekstual. Melihat kepada pilihan naskah, saya awalnya sempat pesimis bahwa pementasan ini akan diminati penonton. Rasa pesimis ini muncul lantaran pantomime dalam perspektif saya masih juga sebuah pertunjukan yang menjual cerita.
Naskah absurd seperti yang diungkap Martin Eslin dalam bukunya The Theatre of The Absurd (1976), telah menolak pengemukaan unsur cerita seperti ini. Begitu juga halnya dengan Waiting For Godot. Dalam uraian Bakdi Soemanto pada bukunya yang memperbandingkan persepsi Amerika dan Indonesia terhadap Waiting For Godot, Bakdi menangkap benang merah bahwa dalam persepsi seniman Amerika dan seniman Indonesia, Waiting For Godot mempesona lantaran nilai-nilai yang diusungnya, bukan ceritanya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘cerita’ dalam naskah ini tidak begitu menarik.
Satu-satunya suspense yang tampak pada naskah Waiting For Godot hanyalah ketika munculnya Pozo dengan kereta atau gerobak yang ditarik manusia (Lucky). Tentu saja, empati penonton terhadap Lucky yang merepresentasi kedahsyatan efek penindasan terhadap manusia, dapat membuat mereka tergugah. Selebihnya, tidak ada suspen visual lagi.
Untuk naskah seperti ini, ekspresi pelakon dalam mengungkapkan kata-kata biasanya menjadi jurus untuk membuat penonton tetap menikmati pertunjukan. Pilihan naskah seperti ini, jelas merupakan pilihan eksperimental bagi sebuah garapan pantomime.
Saat menonton pertunjukan ini, perlahan saya dapat menyimpulkan betapa eksperimentasi ini berhasil mempertahankan atensi penonton. Mereka (para penonton) terus menunggu; apa lagi yang akan dilakukan M Hibban Hasibuan dan rekan-rekannya untuk mengalirkan peristiwa. Akhirnya, seperti juga Vladimir dan Estragon, para penonton pun kecewa karena ternyata Godot yang ditunggu-tunggu itu tidak pernah datang.
Kesimpulan ketiga adalah tarikan historikal yang mempertemukan semangat pantomime dan semangat absurditas. Dalam bukunya yang dipetik pada bagian sebelum ini, Martin Eslin juga mengemukakan bahwa sejak awal, teater absurd membangun konsep estetiknya dari pandangan anti–sasta, unsur mimus (peniruan; sebuah unsur terpenting dalam pantomime) dan unsur komedi perancis. Semua pandangan dan unsur-unsur itu tak berbeda dengan motivasi kelahiran Pantomime.
Charles Aubert dalam bukunya The art of Pantomime (1970) mendefinisikan pantomime adalah seni pertunjukan yang diungkapkan melalui ciri-ciri dasarnya, yakni ketika seseorang melakukan gerak isyarat atau secara umum bahasa bisu. Pantomime yang sudah berkembang sejak jaman keemasan pertunjukan Yunani dan Mesir klasik menunjukkan kedekatan unsur-unsurnya dengan absurditas berkaitan dengan penolakan kata-kata ini. Bukankah, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Samuel Becket sendiri juga merupakan bentuk penolakan terhadap kata-kata? Bahkan, Beckett juga banyak melahirkan naskah tanpa kata-kata lisan seperti “Laku Tanpa Kata”.
Kesimpulan terakhir adalah penyegaran Godot yang sempat saya singgung di bagian awal tulisan ini. Memang selama bertahun-tahun sejak awal ‘dibawa’ ke Indonesia pada era 1970-an oleh Rendra, Waiting For Godot cukup diminati para teaterawan. Banyak yang telah memproduksinya, bahkan telah pula menghuni daftar naskah wajib dalam festival-festival teater.
Godot adalah tokoh yang tak pernah muncul tapi menjadi pemantik narasi besar pada naskah ini. Sebagian orang beranggapan bahwa Godot itu abrevasi dari ‘Got is Tot’, bahasa Jerman yang bermakna Tuhan telah mati. Dalam pengantarnya pada Menunggu Godot yang merupakan terjemahan dari Waiting For Godot, Bakdi mengatakan bahwa naskah ini terinspirasi dari sepatu bot. Bahkan diterangkan bahwa menurut Beckett, Godot dalam bahasa perancis mengacu pada sepatu itu. Sayangnya, sebagian besar pakar kebahasaan menentang keterangan Beckett ini; bahwa dalam bahasa perancis tidak ada leksikon yang mengarahkan relasi Godot pada Sepatu Bot.
Saya tidak bermaksud mengurai kembali pendapat para ahli yang mencoba menelisik apa atau siapa itu Godot. Tapi yang jelas, Godot telah memancing timbulnya peristiwa-peristiwa dalam penantian yang bersikait dengan harapan, masa depan, keputus asaan, persahabtan dan hal-hal maunsiawi lainnya. Dan berkat pertunjukan malam itu, pembicaraan tentang Godot terasa menarik lagi untuk diapungkan, setidaknya bagi mereka yang telah mengenal naskah ini sebelumnya.
Secara sederhana (dan setengah nakal) saya sempat membayangkan bahwa tokoh-tokoh pada film kartun Sponge bob Square Pants bisa saja terinspirasi dari tokoh-tokoh pada Waiting for Godot. Melihat pada sifat dan lakunya, Didi adalah Sponge bob, Gogo adalah Patrick, Pozo adalah Tuan Crab, Lucky adalah Squit wart dan lelaki mini adalah Sandy. Memang tak terbayangkan, tokoh mana dalam film kartun itu yang merepresentasi Godot. Tapi yang jelas, Sponge Bob seperti juga Godot in Mime membuat hal-hal manusiawi tadi menarik lagi untuk dibahas.
Di samping kesimpulan-kesimpulan diatas, jika ditilik dari pandangan kepenontonan tentu Godot in Mime masih memiliki persoalan. Beberapa keluhan yang saya tangkap dari perbincangan dengan sejumlah penonton antara lain; terlalu banyaknya adegan repetitif, durasi yang terlalu panjang, serta musik yang gagap. Hal ini sangatlah penting untuk dipertimbangkan oleh M Hibban Hasibuan dan Dede Pramayoza, sekiranya karya ini kembali ditampilkan lain waktu. Apalagi, dalam karya bernilai retroaksi seperti ini, pembacaan terhadap selera penonton hari ini sangatlah penting.