Jumat, 24 Maret 2017 | teraSeni.com~
“Aku hadir di ruang urban untuk menawarkan dialog padamu, tubuh urban. Kau akan melihat ada bagian darimu di aku. Maka tubuh kita tak saling asing. Kita terhubung. Kita pun dapat membangun keterjalinan itu, bukan?”
Ruang dingin dengan cahaya terang benderang itu terpecah keheningannya, oleh suara gaduh yang muncul dari sisi kanan panggung. Seorang perempuan bersanggul dengan hiasan melati, tubuhnya dibalut kain panjang dan kemben, bahunya ditutup selendang panjang warna merah. Ia berjalan diikuti wanita berkain panjang, berkebaya dengan motif bunga-bunga warna ungu-biru-merah cerah, yang membawa semacam nampan bulat kecil. Ada juga seorang lelaki memakai udeng (topi khas Jawa) membawa kendang kecil yang dikalungkan di tubuhnya. Ketiganya tidak memakai alas kaki. Mereka ramai memasuki panggung, berceloteh dalam bahasa Jawa Banyumasan bercampur bahasa Indonesia, menyatakan kekagumannya pada Jakarta, sekaligus keterkejutannya melihat penonton.
![]() |
Salah satu adegan dalam Stand Go Go, Karya Orniel Tasman (Foto: Renee Sariwulan, 2017) |
Bahasa tubuh dan bahasa verbal yang mereka tunjukkan, nyata mengungkap tubuh lokal yang bersemangat menghampiri Jakarta. Melihat banyaknya penonton, perempuan berselendang serta merta menawarkan diri menghibur penonton. Ketika tawarannya bersambut, ia mengajak kedua temannya berkeliling untuk mengumpulkan ‘uang seikhlasnya’ (sawer) dari penonton. Hal ini mengundang gelak riuh penonton, yang tidak menduga perempuan itu berani “menodong” dengan telak. Setelah sawer terkumpul, ia pun menari.
Ia membawakan tari yang menggunakan gerak dasar Tari Lengger Banyumas, sebuah tari pergaulan dari daerah Banyumas Jawa Tengah, yang biasa dibawakan berpasangan. Energik, dinamis, erotis, adalah tubuh Lengger yang ia pertunjukkan sore itu, Sabtu 4 Maret 2017 pukul 15.00 wib, di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Aktivitas itu: menari (diselingi seruan-seruan), menyanyi, berbincang, melucu, berlangsung segar dan tidak membosankan.
![]() |
Tubuh Lengger di hadapan mata penonton dalam Stand Go Go, Karya Orniel Tasman (Foto: Renee Sariwulan, 2017) |
Tasman Otniel, sang koreografer yang menjadi penari Lengger itu, menghadirkan kekuatan tubuh lokalnya. Tubuh Lengger yang ia hadirkan adalah tubuh anak tradisi yang menyerap tradisi itu dengan gairah dan penghormatan. Ia menghormati tradisi dengan kepala tegak, bebas dari inferioritas. Sejarah ia serap sebagi sesuatu yang wajar, ia sadari itu sebagai hal penting bagi sejarah tubuhnya. Namun tradisi dan sejarah tidak membelenggu geraknya. Ia memiliki kebebasan besar mengolah tradisi dalam dirinya, bersama dengan irisan-irisan lain dalam tubuhnya. Ia tidak mengalahkan apa-apa, baik tradisi maupun personalitas individunya. Semua ia gerakkan bersama, untuk memunculkan gerak-gerak baru.
Empat penari, satu perempuan dan tiga laki-laki, hadir di bagian kedua, menyuarakan gerak-gerak baru Otniel. Bagian ini ia ciptakan sebagai ruang ekspresi individunya. Ruang penjelajahan dan pergumulan atas sejarah dan tubuh, termasuk penerjemahannya atas tradisi dan (budaya) urban. Di sini ia ciptakan ruang besar bagi penjelajahan tubuhnya, yang melampaui identitas apapun.
Yang mengganggu konsistensi di bagian ini adalah kehadiran elemen gerak tradisi. Dalam konteks ‘gerak-gerak baru’ tersebut, akan menarik dan menjadi sebuah tantangan, jika elemen itu hadir dengan makna baru. Tetapi jika ia hadir tetap dalam konteks tradisi, yang tidak terlihat sebagai bagian yang mengalir (baik spirit maupun estetika gerak) bersama dengan ‘gerak kebaruan’ tersebut, maka akan memunculkan pertanyaan besar : Apakah ini? Atau jika koreografer ingin menghadirkan spirit tradisi sebagai keterwakilan irisan tubuhnya, maka akan lebih mengesankan jika itu dimunculkan tetap dalam kerangka ‘gerak-gerak baru’ tersebut.
Tubuh non tradisi yang hadir di sini saya tangkap sebagai perjalanan individu membentuk dirinya. Kultur urban juga dialami generasi tradisi! Tak ada penghalang untuk itu. Belum lagi desakan-desakan ekonomi-politik, yang seakan monster hidup tak terlihat, tapi nyata meneror setiap saat di semua area. Itu pun meninggalkan jejak dalam irisan-irisan tubuh. Buah pengalaman-perjuangan dalam perjalanan tubuh, terutama dalam konteks Otniel, adalah tubuh yang menciptakan strategi.
![]() |
Adegan dimana Lengger berbaur dengan penonton dalam Stand Go Go, Karya Orniel Tasman (Foto: Renee Sariwulan, 2017) |
Tubuh Otniel adalah tubuh yang dibesarkan tradisi. Ia menikmatinya dan tidak menahan langkahnya untuk bertemu dengan tubuh-tubuh lain, dan menyerapnya. Termasuk perjumpaannya dengan tubuh urban, berikut hal-hal kompleks yang menyertainya. Dengan strategi itu, ia jadikan tubuhnya mampu menaklukkan satu demi satu pengaruh yang terserap oleh tubuhnya, sehingga semuanya mampu berperan sesuai porsinya, dengan nyaman. Irisan-irisan yang melekat di tubuhnya, adalah buah dari pergaulannya dengan peradaban, di mana ada tradisi dan budaya urban di sana. Ia mengumpulkan pertemuan irisan keduanya, menghadirkannya di bagian tiga karya ini.
Bagian ketiga dihantar oleh kehadiran Otniel, masih dengan kostum Lenggernya, bergabung dengan empat penari. Suasana hingar bingar yang dibangun di bagian akhir tiba-tiba senyap, sedikit mencekam, terasa ada suasana sangat serius yang sedang dibangun. Lima penari bergerak pelan dengan sorot pandangan yang tajam, namun kemudian dicairkan kembali dengan musik dinamis yang oleh Otniel ia adaptasi dari suasana klab malam Jakarta, di mana ada musik yang dimainkan disk jockey dan gerak dari penari go go boy. Selain itu ia juga berangkat dari pandangan mata penari Lengger yang membuahkan istilah dalam proses kreatifnya: pandangan menghasilkan gerak, gerak menghasilkan pandangan.
Ketika menari, apalagi berpasangan, penari Lengger selalu memandang langsung pasangan maupun penonton. Ada yang menyebut ini dengan ‘pandangan radikal’. Otniel menangkapnya sebagai sikap to the point, tanpa tedeng aling-aling, spontan, bebas dari basi-basi. Hal ini pun ia temui dalam pergaulan masyarakat urban. Konsep “pandangan” tersebut ia ambil sebagai salah satu ide eksplorasi geraknya. Kemudian ia kembangkan lagi dengan menghadirkan langsung tubuh-tubuh urban dengan mengundang beberapa penonton menari bersama di panggung. Di sinilah Otniel menegaskan temuannya bahwa tubuh tradisi (Lengger) dengan tubuh (pergaulan) urban itu ‘bersaudara’. Ada kemiripan karakter maupun gaya pada masing-masing. Kedua ‘tubuh’ itu bergerak bersama dalam beberapa saat, saling menjajagi dan mengenal gaya dan karakter itu.
Selanjutnya musik hingar bingar meredup bersamaan dengan silamnya tubuh urban dari panggung, meninggalkan kembali lima penari berproses melanjutkan bagian ketiga. Di sini Otniel menyajikan tubuh dan sejarah yang tidak imun dari ketegangan dan tarik-menarik yang tak pernah selesai. Pilihannya menjalani dengan riang, tidak serta merta melenyapkan kedukaannya terhadap hilangnya fungsi tradisi, sebagian demi sebagian. Juga kelelahannya menjalani realita dengan banyak pertanyaan. Di perjalanan itu pula ia temukan jalinan-jalinan tradisi-urban.
Temuan inilah yang ia bagikan pada penonton sore itu dalam keutuhan karya koreografi berjudul Stand Go Go. “Stand Go Go” adalah judul artikel yang ia temukan pada tahun 1980, yang membicarakan tentang kehidupan kalangan menengah-atas urban. Otniel memaparkan semuanya di karya ini, apa adanya. Bebas dari pretensi “siapa mengalahkan siapa”. Semua sejajar ia letakkan di panggung. Ketika di akhir karya, ia lucuti semua kostum dan asesori, hanya tertinggal kain panjang batik yang dililit kain hijau, juga ia hapus riasan wajahnya (sehingga penonton tahu bahwa penari itu sesungguhnya adalah laki-laki), ia tebalkan “kita” yang adalah “manusia”. Tak mampu mengelak dari apapun yang hadir dalam garis jalan tubuh masing-masing, suka atau tidak. Ketiadaan pretensi itu yang memunculkan haru pada saya. Maaf.