Pilih Laman

Jumat,9 Juni 2017 | teraSeni.com~

Zaenal Arifin adalah seorang pelukis kelahiran Bandung, 12 April 1955. Kehidupan Arifin sebagian besar dihabiskannya di Sumatera Utara. Arifin pernah menempuh pendidikan sarjananya pada program studi Seni Rupa Murni di STSRI ASRI Yogyakarta. Sampai saat ini Arifin masih rutin berkarya dan mengikuti beberapa pameran yang di selenggarakan di Indonesia maupun di luar negeri. Pameran bertajuk “Laku” (Laku diambil dari kata lakune (Jawa), perilaku, atau tingkah laku) ini merupakan wujud eksistensi Arifin sebagai seorang seniman, bukan semata-mata hanya untuk mencari ketenaran dalam hidup melainkan bagaimana Arifin mampu memindahkan nilai-nilai dan perilaku-perilaku positif yang disampaikannya dalam pameran “Laku” melalui sentuhan artistik ke dalam lukisannya yang Ia sebut sebagai lukisan ‘realis surealis.’

Pada pameran yang bertajuk Laku ini, Arifin menampilkan 25 karya lukis. Lukisan ini sebagian besar di buat dengan menggunakan cat akrilik dan mix media di atas kanvas berukuran ± 100 cm – 200 cm. Arifin memilih tembok sebagai latarbelakang karya di setiap lukisannya yang merupakan cerminan perubahan bagi Arifin. Tembok bisa dikatakan sebagai benda yang memisahkan antara ruang dan waktu. Tembok sebagian besar terbuat dari beberapa material pendukung seperti bata (tanah liat), batako, adonan semen dan lain-lain. Layaknya sebuah kehidupan di dunia ini, tembok dijadikan sebagai simbol peradaban umat manusia, simbol perubahan-perubahan yang terjadi di dunia ini, simbol tempat bercermin diri, introspeksi diri, simbol perjalanan hidup dan pengembaraan hidup manusia. Tembok juga bisa dikatakan sebagai pembatas, pelindung, dan merupakan salah satu elemen penyusun sebuah ruang atau gedung. Tentu dalam setiap penggembaraan hidup di dunia akan selalu mengalami perubahan diri karena dipengaruhi banyak hal bisa dari faktor sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik dari sebuah negara. Berikut ini akan dibahas tiga lukisan yang cukup merepresentasikan tema “Laku” yang hendak disampaikan Arifin kepada apresiannya.

Membaca Lukisan Zaenal Arifin-teraSeni.com
Gambar 1: Zaenal Arifin, Wajah Tua pada Tembok 
Mix media di atas
kanvas, 175 cm × 195 cm, 2016 
(Dokumentasi pribadi, 13 April 2017)

Karya Zaenal Arifin di atas merupakan karya lukis dengan ukuran 175 cm × 195 cm yang dibuat dengan menggunakan mixed media tahun 2016. Karya lukis ini diberi judul “wajah tua pada tembok”. Lukisan ini adalah gambaran mengenai potret dirinya di masa depan. Arifin meletakkan potret dirinya di bagian paling depan Art room Tahunmas, ini tentu menjadi hal yang sangat simbolik karena ketika pengunjung datang, hal pertama yang dilihat adalah lukisan potret diri Arifin. Dalam karya lukis ini digambarkan sosok Arifin berambut panjang, berkumis, dan berjenggot panjang. Kedua bola mata tajam menatap ke depan dilengkapi dengan kerut wajah menandakan umur kulit yang semakin tua. Potret diri ini bisa dikatakan sebagai lukisan hitam putih. Walaupun potret diri ini digambarkan secara tidak utuh oleh Arifin, bagi saya ini sudah cukup mewakili kesan, pesan, dan makna yang hendak disampaikan Arifin kepada khalayak umum.

Menariknya adalah hampir di setiap karya lukis yang Ia buat, Arifin selalu menuliskan kata-kata yang dapat menjadi ruh guna menghantarkan ikatan batin antara sang seniman, aura karya lukis, dan penikmat. Pada potret diri ini, Arifin menuliskan kata “Next” tepat di atas dahinya. Next (bahasa Inggris) yang berarti selanjutnya, yang berikutnya. Bisa dikatakan Arifin ingin menunjukkan dan mengatakan bahwa inilah Aku yaitu seseorang yang masih mempunyai tujuan hidup, Aku yang selalu akan berbenah diri untuk mencapai dan meraih angan-anganku, Aku yang akan selalu bersabar, bercermin diri, tetap bijaksana dalam mengambil keputusan disetiap dan sekecil apapun langkahku ke depan sebab Aku sudah banyak merasakan betapa pahitnya hidup ini, dentuman, dan sakitnya pengalaman hidup ini. Pertanyaannya adalah mengapa tembok dijadikan latarbelakang di setiap karya lukisnya kali ini? Tentu ini sangat menarik untuk ditafsirkan.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman masa lalunya itu, akhirnya Ia menyadari bahwa begitu banyak anugerah dan hikmah yang bisa dipetik. Tuhan tidak pernah diam dan tidur. Aku hanya manusia yang sama dengan manusia lain yang selalu mengalami perubahan. Muncul pertanyaan lagi disini, perubahan seperti apakah yang dimaksud Arifin?. Tembok merupakan cerminan perubahan bagi Arifin. Tembok bisa dikatakan sebagai benda yang memisahkan antara ruang dan waktu. Tembok sebagian besar terbuat dari beberapa material pendukung seperti bata (tanah liat), batako, adonan semen dan lain-lain. Layaknya sebuah kehidupan dalam dunia ini, tembok dijadikan simbol peradaban umat manusia, tembok dijadikan sebagai simbol saksi bisu perubahan-perubahan apapun yang terjadi di dunia ini, tembok dijadikan sebagai simbol tempat bercermin diri, intropeksi diri, tembok dijadikan sebagai simbol perjalanan hidup atau pengembaraan hidup manusia. Tembok juga bisa dikatakan sebagai pembatas, pelindung, dan merupakan salah satu elemen penyusun sebuah ruang atau gedung. Tentu dalam setiap penggembaraan hidup di dunia akan selalu mengalami perubahan diri karena dipengaruhi banyak hal bisa faktor sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik dari sebuah negara.

Saya menangkap bahwa Arifin mempunyai konsep besar yang Ia rancang dan siapkan sedari lama. Bagi penikmat yang tidak secara seksama memperhatikan setiap lukisan ini pasti akan susah dan sukar untuk menerjemahkan apa sebenarnya yang hendak Arifin sampaikan. Korelasi antara potret diri dan tembok inilah yang dijadikan Arifin sebagai dualitas dalam hidup. Ada rasa senang dan sedih, ada siang dan malam, ada perubahan baik dan buruk, ada sesuatu yang ditinggalkan dan akan ada proses yang selalu berkelanjutan, ada ruang dan waktu, ada masa lalu dan ada masa sekarang, ada kontekstualisasi yang berlaku dulu dan sekarang. Secara tegas Arifin memilih warna primer seperti biru dan merah (cenderung tua) yang dijadikan alat untuk menyuarakan rasa dalam menyematkan setiap intuisi, ilusi, dan pesan sang seniman kepada pembaca. Arifin mencoba mendekonstruksi bahwa tidak selamanya warna primer dianggap sebagai warna mentah. Baginya justru yang sederhana, mentah, atau warna dasar (warna primer) sejatinya mempunyai power relation yang sangat kuat dan dahsyat yang dijadikan konduktor untuk menghantar sinyal yang akan ditangkap kepada setiap penikmat pameran ini.

Membaca Lukisan Zaenal Arifin-teraSeni.com
Gambar
2: Zaenal Arifin, Monyet di-Uwongke
Akrilik di atas kanvas, 300 cm × 200 cm,
2012
(Dokumentasi pribadi, 13 April 2017)

Karya Zaenal Arifin di atas merupakan karya lukis yang dibuat dengan menggunakan cat akrilik pada tahun 2012. Judul dari lukisan ini adalah Monyet di-Uwongke dibuat dengan ukuran 300 cm × 200 cm. secara umum pemilihan warna dalam lukisan ini adalah jingga dan coklat. Warna jingga terlihat pada warna bata di dinding, sedangkan warna coklat dipilih untuk menggambarkan objek monyet yang direpresentasikan sebagai perjalanan evolusi seorang manusia. Dalam karya lukis di atas disuguhkan 7 buah objek (monyet) yang menjadi pusat perhatian yang hendak ditunjukan dan disampaikan Arifin kepada audience. Ditambahkan juga beberapa objek manusia dan hewan yang digambarkan secara samar-samar dalam karya lukis ini. Menariknya adalah Arifin menggambarkan objek (monyet) yang diwujudkannya ke dalam 7 buah perjalanan evolusi ini, namun pada akhir evolusi ini Arifin masih tetap menunjukkan tubuh objek sebagai “monyet” bukan manusia, tentu ini menjadi sesuatu yang sangat menarik karena secara langsung karya ini tidak berkorelasi dengan judul karya yang Arifin disampaikan.

Pada karya ini objek (monyet) pertama, kedua dan ketiga terlihat membungkuk. Terlihat langkah kaki objek (monyet) kedua secara cepat melangkah dengan jangkauan gerak kaki yang lebar. Objek (monyet) ketiga memperlihatkan bahwa langkah kaki yang lebih santai. Pada objek (monyet) ke empat yang berada tepat di tengah-tengah seolah-olah menjadi pembatas. Postur tubuh digambarkan tegap dan sigap dengan pandagan mata ke depan. Untuk objek (monyet) kelima ini menjadi objek terbesar dalam karya lukis ini, sedangkan untuk objek keenam dan ketujuh digambarkan postur tubuh yang semakin pendek dimana objek ketujuh dilengkapi dengan payung yang dipegang erat di tangan kirinya. Terlepas dari objek (monyet) yang hendak ditunjukkan lebih dominan dalam karya lukis ini, Arifin juga menunjukkan secara implisit mengenai latarbelakang tempok yang dilukiskan dengan retakan-retakannya.

Saya menangkap impresi bahwa pada dasarnya Arifin ingin memperlihatkan kehidupan dan peradaban manusia dari zaman pra-sejarah hingga saat ini. Bagi Arifin menggunakan metafora objek (monyet) dianggap paling tepat untuk menjelaskan dan mewakili dari sifat-sifat atau perilaku yang kecenderungan mirip dengan manusia. Selama perjalanan pengembaraan umat manusia melewati kehidupan yang selalu berubah-ubah setiap zamannya, Arifin kemudian mempertanyakan ketika zaman terus berubah dan melaju cepat, apakah sifat, sikap, laku (perilaku) manusia juga berubah. Secara fisik memang manusia mengalami perubahan dan perkembangan, tapi apakah ini sejalan dengan perubahan dan perkembangan perilaku manusia yang menjadi lebih arif dan bijaksana atau justru sebaliknya. Ketika wujud evolusi akhir dari perkembangan itu digambarkan sebagai objek (monyet) yang memegang erat payung di tangan kirinya.

Membaca Lukisan Zaenal Arifin-teraSeni.com
Gambar 3: Zaenal Arifin, Refleksi 
Mix media di atas kanvas,
200 cm × 200 cm, 2016 
(Dokumentasi pribadi, 13 April 2017)

Pada karya ketiga di atas yang berjudul Refleksi, Arifin memilih Burung Elang sebagai simbol pengembaraannya selama hidup dalam mencari jati diri. Warna kuning keemasan memenuhi sekujur tubuh sang elang dengan hempasan sayap yang lebar siap menaklukkan jagat raya dan siap berperang dengan kencangnya dentuman angin. Karya ini dibuat dengan ukuran 200 cm × 200 cm pada tahun 2016, dengan menggunakan mix media di atas kanvas. Karya ini jauh berbeda dengan beberapa karya sebelumnya, karena Arifin seolah-olah membuat kesan cermin sebagai media yang digunakan untuk refleksi diri pada tembok, yang kemudian karya ini diberi judul refleksi.

Cermin berfungsi sebagai pantulan, pemantul, atau wahana yang dijadikan sebagai subjek untuk berdialog, bercermin diri, mempertanyakan sejatinya diri, dan melihat antara hitam dan putihnya diri ini. Arifin mengajak kita untuk berdialog dengan “bayangan”. Konteks yang hendak dibangun adalah bukan persoalan Burung Elang yang gagah melayang mengelilingi dunia itu, namun sejatinya adalah bagaimana sebenarnya kita dapat memaknai hitam dan putih, sedih dan senang, baik dan buruk, dan perjalanan hidup serta pengembaraan diri yang nantinya diharapkan kita mampu merefleksikan semua itu dalam berproses maupun berperilaku dalam hidup.

Arifin juga menambahkan kesan seperti awan dan bukit-bukit berwarna hitam yang terlihat jelas dalam karya ini. Arifin juga ingin menunjukkan betapa kelamnya pengembaraan hidup ini melewati liku-liku perjalanan yang berat. Arifin mencoba berdiskusi dengan diri mengenai apa yang dilewatinya, apa yang dirasakannya melalui karya ini. Arifin juga menginginkan bahwa audience tahu akan syarat makna dan pesan yang hendak disampaikan dengan cara melihat dan mengamati secara seksama, bukan semata-mata yang terlihat dengan mata, namun yang terlihat oleh batin itu mempunyai ruh dan kekuatan yang lebih dahsyat. Saya melihat bahwa Burung Elang yang berwarna kuning keemasan ini sebagai representasi Arifin untuk menunjukkan indahnya dunia nyata dan mewahnya dunia ini hingga terkadang kita melupakan “bayangan” yang dijadikan Arifin sebagai tolak balik dari dunia nyata yang penuh dengan kebencian. Perilaku manusia yang selalu berubah ke arah yang negatif, menjauhkan dari rasa kebersamaan, toleransi, dan saling menghormati inilah yang dijadikan Arifin sebagai proses untuk merefleksikan dan mempertanyakan jati diri dan konsep diri untuk lebih memperhatikan dan merubah perilaku kita ke arah yang lebih positif lagi.